Andrea tak menghilangkan senyuman di bibirnya mengingat semua hal yang kemarin ia lalui bersama Daren. Tak menyangka jika hatinya akan begitu bahagia saat berada di dekat lelaki paruh baya itu. Hal itu membuatnya jauh lebih bersemangat untuk berangkat ke kampus hari ini. Ia bergegas menuju lift dengan ceria. Sekali lagi Andrea mengingat bagaimana lelaki dewasa itu memperlakukannya dengan istimewa. Sesuatu yang belum pernah ia rasakan karena memang ia belum pernah pacaran sama sekali. Ia pun terkekeh pelan mengingat bagaimana lelaki itu membuainya dengan sentuhan lembut bibirnya. Andrea tidak bisa mengira bahwa berdekatan dengan seorang lelaki bisa menyenangkan seperti ini. Dulu ia memang selalu menutup diri jika ada lelaki yang hendak mendekatinya.
Ayunan langkah Andrea terhenti saat matanya tanpa sengaja bertumbuk dengan pandangan mata Azka. Senyum yang sedari tadi ia kembangkan kini menguap begitu saja entah ke mana digantikan dengan ekspresi datar. Andrea tak tahu mengapa hari ini ia sama sekali tidak ingin bertemu dengan lelaki itu. Padahal di antara mereka tidak ada masalah apa pun. Ia pun melenggang begitu saja tanpa menyapa lelaki yang sebelumnya selalu ia usik itu.
Sama seperti Andrea, Azka pun enggan bersuara. Ia lebih senang mengamati Andrea dalam diam melalui sudut matanya. Keterdiaman ini pun berlanjut hingga di depan pintu lift yang tak kunjung terbuka. Padahal Andrea sudah ingin sesegera mungkin menjauh dari lelaki jangkung itu. Andrea berdecak kesal dan memilih mengeluarkan ponselnya dari dalam tas untuk mengusir suntuk menunggu pintu lift terbuka. Tak biasanya hal semacam ini terjadi di pagi hari. Bahkan sekarang jam kantor sudah lewat.
Azka sesekali masih melirik gadis itu dari ujung ekor matanya. Ia tak terbiasa menyapa terlebih dahulu, apalagi untuk ukuran gadis semacam Andrea yang perilakunya suka berubah sewaktu-waktu. Pintu lift akhirnya terbuka, Azka terkesiap saat bahu kecil Andrea menabraknya dan berlalu begitu saja mendahuluinya masuk ke dalam lift tanpa menyapa atau mengeluarkan sepatah kata pun. Ia mengernyit bingung dengan perubahan sikap gadis itu yang menurutnya sangat janggal. Ia merasa tidak ada yang salah dengan dirinya. Sampai di dalam lift Azka berusaha untuk menyapa Andrea, namun hal itu segera diurungkan ketika melihat gadis itu memasang earphone di kedua sisi telinganya. Ia pun menghela napas pelan entah untuk menghilangkan sesuatu yang tiba-tiba datang menghantam dadanya.
Azka merasa hari ini sangat berbeda dari sebelumnya. Ia tak lagi bisa mendengarkan sejuta suara Andrea yang mempertanyakan atau mengisahkan tentang banyak hal padanya. Gadis itu tak lagi seperti Andrea yang ia kenal. Gadis yang selalu membuatnya memutar bola mata malas dan jengah untuk sekedar mengeluarkan suara itu kini telah berubah datar dan acuh. Di dalam hati Azka sangat merindukan ocehan Andrea yang selalu menemaninya mulai dari apartemen hingga kampus dan di saat pulang sembari menunggu bus. Gadis itu akan menceritakan kegiatannya di kampus dan apa saja yang ia temui selama berada di tempat itu. Azka sekali lagi menghela napas karena ia tak juga mendapatkan ide hanya untuk membuat Andrea mau bersuara. Menengok ke arahnya lah minimal.
Andrea dan Azka berjalan beriringan menuju gerbang kampus. Mereka terlihat seperti biasa namun tak saling berbicara. Mereka sibuk dengan pikiran masing-masing yang entah apa. Tak jarang mereka harus memasang wajah seceria mungkin untuk menyahuti sapaan beberapa teman yang berpapasan. Banyak teman mereka merasa iri karena Azka adalah lelaki yang sangat susah untuk di dekati, sedangkan Andrea dengan mudahnya pulang dan pergi bersama lelaki itu. Pandangan mata Andrea akhirnya terangkat dan tertuju pada Azka yang kini sedang berbicara dengan Fathan. Rasa penasaran Andrea begitu saja muncul ke permukaan saat melihat lelaki jangkung itu tampak serius berbicara dengan sahabatnya itu. Ia pun berniat untuk mengetahui apa yang sedang dua sahabat itu bicarakan. Ide luar biasa langsung muncul di kepalanya, Andrea akhirnya mengikuti Azka dan Fathan hingga ke kantin. Ia sengaja duduk dekat dengan keduanya, meskipun sudah mendapat beberapa kali lirikan tidak mengenakan dari Azka. Bahkan dengan konyolnya, ia ikut memesan makanan demi menyamarkan keingintahuannya akan urusan dua lelaki tampan itu. Andrea merutuki dirinya sendiri yang terlalu ingin tahu dengan urusan Azka. Padahal dirinyalah yang lebih dahulu memilih untuk mendiamkan lelaki itu.
"Ada apa? Sepertinya kali ini sangat serius," tanya Azka sambil menyesap teh hangatnya.
"Aku butuh tempat untuk menenangkan diri," jawab Fathan yang menatap kosong pada minumannya tanpa minat.
"Maksudmu?" tanya Azka yang sebenarnya sudah paham maksud sahabatnya. Hanya saja ia butuh alasan jelas untuk itu. Sementara Andrea masih mendengarkan saja sembari memakan sarapannya.
Fathan terdengar berdecak sebal. "Bisakah aku menginap di tempatmu malam ini?" suara Fathan membuat Andrea menghentikan suapannya. Ia semakin menajamkan pendengaran untuk mendengar jawaban dari lelaki jangkung itu.
"Apa serumit itu?" Azka justru berbalik tanya membuat Andrea berdecak kesal tak kentara.
"Aku tidak bisa menjelaskannya disini. Ini terlalu rumit. Bagaimana?" lirih Fathan tapi masih bisa di dengar oleh telinga Andrea.
"Baiklah. Kita langsung ke tempatku saat pulang nanti. Dan ingatlah pintu apartemenku selalu terbuka untukmu kapan saja," Sahut Azka.
Mereka tak bersuara lagi setelah itu membuat Andrea merasa tak suka karena Azka sangat mudah menerima temannya untuk menginap. Padahal ia saja yang ada dalam satu apartemen dengannya bahkan tak diijinkan sekedar untuk mengintip. Entah mengapa Andrea merasa Azka tidak adil padanya. Dengan segera ia pun berlalu dari kantin dan menuju kelasnya. Ia tak ingin mengumbar kekesalannya di kantin hingga membuat kegaduhan. Lebih baik ia pergi dan meninggalkan si jangkung itu.
Azka memperhatikan Andrea yang tiba-tiba bangkit dari duduknya dengan lekat. Tak sengaja Ia sempat melihat tatapan tak suka Andrea. Azka semakin penasaran dengan sikap gadis itu. Ia benar-benar tidak mengerti, Andrea sangat berbeda dari biasanya. Dalam hati Azka merutuki dirinya sendiri yang terlalu sibuk memikirkan Andrea, padahal belum tentu gadis itu akan berlaku hal yang sama. Namun tanpa sengaja ingatan Azka mengulang kejadian beberapa hari terakhir di mana Andrea sering dijemput oleh lelaki paruh baya itu. Ia menebak jika gadis itu berubah karena sedang asyik dengan dunianya bersama dengan lelaki asing itu. Azka pun ragu jika hubungan mereka adalah saudara karena tidak seperti itu pada kenyataan yang terlihat.
Tak berselang lama, Azka dan Fathan juga memutuskan untuk ke kelas. Mereka melihat Andrea yang melengos saat Fathan mencoba menyapanya. Azka mengangkat bahunya acuh saat Fathan mencoba meminta penjelasan tentang sikap Andrea yang kini berubah. Azka melangkah mendahului Fathan yang masih menatap tak percaya pada Andrea.
"Apa hubunganmu dengan Andrea baik-baik saja?" tanya Fathan saat mereka memasuki kelas.
"Menurutmu?" jawaban Azka kali ini membuat Fathan benat-benar ternganga.
"Apa kalian bertengkar?" tanya Fathan lagi. Ia belum bisa menerka maksud jawaban Azka yang sebelumnya.
"Apa kau bercita-cita menjadi seorang wartawan?" kesal Azka akhirnya membuat Fathan terkekeh.
Fathan masih cukup penasaran namun ia simpan dulu untuk saat ini karena Azka sepertinya sedang tidak dalam mood yang baik-baik saja. Ia tahu jika sikap Andrea akan sangat mempengaruhi Azka, jadi sebisa mungkin ia tidak akan menganggu lelaki itu jika itu berhubungan dengan Andrea. Ia pun memilih duduk di belakang dan membiarkan Azka duduk bersebelahan dengan Andrea.
Sepanjang perkuliahan pun Andrea sama sekali tak bergeming. Ia bahkan merasa kesal karena membuat lebih banyak bicara dengan Fathan dan mengacuhkannya. Padahal biasanya Azka akan dengan senang hati mengganggunya. Ia pun memilih mendahului keduanya saat mata kuliah terakhir sudah selesai. Namun ia tak berniat menjauh, ia hanya ingin mendengarkan pembicaraan kedua lelaki itu tanpa kentara.
Sebenarnya Andrea sudah penasaran setengah mati dengan apa yang di bicarakan dua lelaki itu. Sepertinya ada hal serius yang sedang mereka diskusikan. Biasanya Azka akan meminta pertimbangannya jika itu benar-benar rumit. Tapi kali ini kedua lelaki itu justru lebih asyik hanya berdua. Andrea merasa ia tak di butuhkan lagi oleh Azka, dan ia tak suka dengan hal itu. Andrea mendesah kecewa karena niatannya untuk mengikuti dua lelaki itu kembali ke apartemen harus gagal. Andrea berjalan lemah tanpa tenaga saat melihat mobil Daren sudah terparkir cantik di halaman depan kampusnya. Lelaki itu tak memberi kabar jika akan menjemput. "Hai, kenapa tak mengabariku lebih dulu? Bagaimana kalau aku tidak ada jam hari ini?" serbu Andrea saat sudah berada di dalam mobil Daren.
Lelaki itu terkekeh. "Surprise," ucapnya sambil menarik kepala Andrea agar bersandar di dada bidangnya.
Andrea memukul manja dada lelaki itu. "Kalau aku sudah pulang bagaimana?" ulangnya lagi.
"Aku akan menyusul ke apartemenmu," jawabnya sambil melajukan mobilnya menuju jalanan.
Selebihnya tak ada lagi obrolan di antara keduanya. Daren yang sedang menyetir justru sibuk menggenggam tangan Andrea dengan sebelah tanggannya tanpa mengatakan apa pun membuat Andrea juga enggan mempertanyakan ke mana tujuan mereka hari ini. Ia lebih menikmati perlakuan manis lelaki itu dibandingkan banyak bicara. Ada sesuatu dalam diri Andrea yang memberontak saat sesekali lelaki itu menciumi punggung tangannya. Bahkan remasan-remasan pelan namun hangat itu membuat Andrea sedikit melupakan rasa penasarannya pada Azka dan Fathan. Andrea mengamati jalanan sekitar yang mereka lalui dan mengernyit bingung. Jalanan ini menuju sebuah hotel yang pernah ia datangi bersama papa dan mamanya. Ia tak mengerti mengapa Daren membawanya ke hotel. Baru akan bertanya mulut Andrea sudah lebih dulu ditutup dengan sentuhan lembut bibir Daren. Tak ada lumatan ataupun yang lainnya. Hanya sebatas kecupan singkat namun memabukkan bagi Andrea yang sama sekali belum pernah merasakan hal semacam itu. First kissnya sudah diambil oleh Daren. Belum lagi sempat ia mengeluarkan suara lelaki itu sudah lebih dulu mengajaknya keluar. Andrea terpukau dengan kemewahan yang selalu di tunjukkan Daren saat bersamanya.
Daren membawa Andrea ke dalam sebuah kamar dengan fasilitas luar biasa. Andrea tahu benar berapa banyak uang yang harus dikeluarkan lelaki itu hanya untuk menyewa kamar ini. Dan ia cukup takjub dengan kemewahan yang Daren sukai. Selama di dalam kamar pun Andrea tak pernah terlepas dari dekapan hangat pria paruh baya itu. Ia sesekali memejamkan mata saat tangan Daren mengusap punggung hingga tengkuknya dengan irama pelan namun berulang. Namun, ingatannya justru kembali berselancar dan mengingat Azka. Sentuhan tangan Daren tak lagi bisa mengalihkan dunianya saat Andrea mengingat Azka. Ia mendesah pelan dan frustasi secara bersamaan.