Andrea berlalu menuju kampusnya dengan perasaan kesal. Entah mengapa ingatan tentang sikap Azka yang tidak mau mengakui arti dirinya bagi lelaki itu membuat mood Andrea semakin buruk. Ia berusaha untuk tidak perduli, namun ia gagal. Azka sudah terlalu dalam masuk ke dalam kehidupannya berdampingan apik dengan Daren. Mengingat Daren membuat Andrea menghela napas pelan. Sedari kemarin ia tak membalas pesan atau pun menerima panggilan dari lelaki itu. Waktunya tersita habis hanya untuk memikirkan tentang Azka, lelaki yang menurutnya tidak memiliki sikap seorang pria sejati. "Aku kesal padamu," ucapnya membuat Fathan yang berjalan di sebelahnya menoleh.
"Apa salahku?" tanya Fathan bingung membuat Andrea semakin merutuki dirinya sendiri.
"Kau terlalu banyak bicara," ketus Andrea kemudian mempercepat langkah kakinya untuk mendahului lelaki itu.
Fathan mengernyit bingung. "Hei aku diam saja sedari tadi Andrea," serunya tidak terima.
"Diamlah," ketus Andrea membuat Azka terkekeh pelan.
"Jangan cemberut begitu, wajahmu semakin tidak enak di lihat," gurau Fathan mencoba peruntungan untuk menggoda Andrea.
"Hei jaga bicaramu. Jangan sampai setelah ini kau mengemis untuk menjadi pacarku," sahut Andrea dengan ekspresi mengejek.
Mata Fathan membulat sempurna mendengar ucapan gadis itu berbeda dengan Azka yang kini justru tak bisa menahan tawanya.
"Kau yang harus jaga bicaramu," kesal Fathan tidak terima membuat Andrea terkekeh.
"Diamlah. Kau tidak akan menang mendebatku," ucap Andrea sambil lalu.
Fathan mencebik kesal dan memukul ringan lengan Azka yang tak kunjung diam dari kekehannya. "Kalian memang cocok," gumamnya membuat Azka semakin tidak bisa menahan diri untuk tertawa.
"Kenapa kau mengomel seperti perempuan?" ejek Azka membuat Fathan semakin kesal.
"Apa salahku?" tanya Fathan sembari memutar bola matanya malas.
Azka hanya mengangkat bahunya samar untuk menjawab pertanyaan Fathan itu. Ia pun bingung kenapa Andrea melampiaskan kekesalannya kepada Fathan yang sudah jelas tidak tahu apa-apa. Ia ingin sekali mengejar Andrea, tapi sekali lagi egonya lebih besar. Jadi berakhirlah mereka dengan saling mendiamkan.
"Wah kalian datang bersama," kali ini ada salah satu teman kelas mereka yang menginterupsi keterdiaman sahabatnya itu. "Kenapa wajahmu seperti koran bekas Andrea?" tanyanya sembari menatap lekat pada Azka untuk meminta jawaban karena Andrea berlalu begitu saja.
Melihat Azka yang mengangkat bahunya acuh membuat gadis yang dikenal Fathan bernama Irma mendesah kesal. Pasalnya Azka sangat dekat dengan Andrea lalu bagaimana mungkin lelaki itu tidak tahu alasan mood Andrea sudah buruk sepagi ini. Ia pun berlalu mengejar Andrea dan melayangkan tatapan tajam pada lelaki itu.
"Itulah perempuan. Merepotkan saja," kesal Azka meninggalkan Fathan yang menatap Reyma dan Andrea yang berlalu begitu saja.
Fathan mengejar Azka yang kini sudah terlihat memasuki kelas dan langsung mengambil duduk di sebelah lelaki itu. Ia segera mengeluarkan beberapa lembar tugas yang semalam ia selesaikan di apartemen Azka begitu pun dengan sahabatnya itu. Mereka sudah tidak sabar untuk mendengar presentasi tugas kali ini karena nilainya akan sangat membantu mereka saat masa magang nanti.
Azka menatap Andrea yang masih membuka tasnya untuk mengambil tugas. Ia sangat penasaran dengan apa yang terjadi pada gadis itu. Ia mulai berpikir mungkin itu karena dirinya, tapi sekali lagi ia menepis semua hal itu. Ia tak mau terpengaruh dengan kehadiran Andrea ataupun semua permasalahan yang berkaitan dengan gadis itu. Namun, ia gagal karena mata dan hatinya kini mulai tak bersahabat dengan mulutnya yang mengatakan bahwa ia tidak sedikitpun tertarik pada Andrea. Gadis yang terbilang polos dan sangat apik dalam merawat diri. Andrea memang terlihat bukan dari kalangan biasa, tapi gadis itu sangat baik hati karena berteman dengan siapapun tanpa memandang status mereka. Satu poin yang membuat Azka sangat mengagumi Andrea.
Dosen pengampu akhirnya datang dan membuyarkan semua lamunan Azka tentang gadis yang ada di hadapannya itu. Mereka kini tengah sibuk dengan diskusi tentang tugas, namun semua hal yang dilakukan Andrea tak pernah luput dari pandangan Azka sedikit pun. Ia kagum dengan kepintaran Andrea yang selama ini tidak terlalu ditunjukkan. Gadis itu benar-benar apik membawa diri. Dan tak terasa 2 jam sudah berlalu. Mereka akhirnya memutuskan untuk ke kantin dan membeli makan. Azka sudah berdiri mengajak Fathan, namun sialnya sahabatnya itu justru mengajak Andrea. Azka sedikit senang karena ia tak perlu berbicara dengan gadis itu. Tapi kesenangannya langsung luruh ketika Andrea menolaknya dengan ketus. Azka berlalu sembari menarik tangan Fathan. Ia mengaku sudah sangat lapar padahal sengaja ingin cepat pergi dari sana untuk menghindari tatapan mata Andrea.
Sementara Andrea kini tengah menatap malas pada setumpuk tugas yang ada di tangannya. Entah mengapa sikap acuh Azka sangat membuat dirinya kacau. Lelaki itu benar-benar mengacuhkannya setelah perdebatan mereka tadi. Andrea sebenarnya tidak ada maksud untuk memaksa lelaki itu untuk mengakui siapa dirinya, namun ia hanya ingin lelaki dingin itu sedikit mengerti jika ia mengagumi. "Mengagumi?" batin Andrea berteriak menerawang pemikirannya yang baru saja melintas tanpa permisi. Sesegera mungkin ia menggelengkan kepalanya untuk menghapus jejak kekonyolan itu. Ia mendengus kesal ke dirinya sendiri karena masih saja berharap bahwa Azka akan melihat dirinya. Di tengah kejenuhan yang kian bertahta, Andrea mendapati sebuah panggilan di ponsel mahalnya. Seketika ia berjingkrak bahagia dan segera menggeser tombol hijau. Senyumnya tak pernah luntur saat berbicara membuat Fathan dan Azka yang baru masuk ke kelas menatap gadis itu dengan heran. Andrea terlihat antusias dengan obrolan itu membuat Fathan beberapa kali menyikut lengan Azka untuk meminta perhatian lelaki yang kini sudah terlihat memasang earphone di kedua telinganya. Fathan berdecak kesal dengan kelakuan sahabat dinginnya itu, namun juga tak memprotes. Ia sangat tahu bahwa dua orang di depannya ini seperti sedang ada masalah yang memang sedang tak ingin diselesaikan atau lebih tepatnya di tutupi. Ia pun memilih fokus pada gawainya dan mencoba menghubungi keluarganya.
Sementara itu, Azka yang sebenarnya tak melakukan apapun kini mulai memfokuskan pandangannya pada Andrea yang masih dengan asyik bercengkerama melalui ponselnya. Ia menghela napas beberapa kali karena di sana terlihat Andrea sangat bahagia seperti seseorang gadis yang baru pertama kali jatuh cinta. Entah mengapa ia sedikit tidak rela saat melihat gadis itu tersenyum yang sudah jelas di tujukan kepada seseorang di seberang sambungan telepon meskipun orang itu tidak akan pernah melihatnya. Ia pun masih menatap lekat Andrea yang kini bangkit dari duduknya sembari merapikan semua tugas yang ada di atas mejanya setelah temannya mengumumkan bahwa dosen hari ini tidak datang jadi mereka bisa mengerjakan tugas sebelumnya di perpustakaan.
Andrea tampak senang dan segera menghambur keluar kelas. Ia menuju gerbang kampus dimana disana sudah ada Daren yang menunggunya. Senyum Andrea tak pernah luntur, gadi itu bergegas mendekati Daren dan mendaratkan sebuah ciuman di pipi lelaki paruh baya itu. Rona merah di pipinya kini telah berkuasa atas pipinya saat lelaki tampan itu berbalas mencium pipi Andrea di sertai dengan senyuman yang sungguh membuat kaki Andrea kini terasa lemas. Ia tak menyangka jika bertemu dengan Daren seketika bisa mengobati kekesalannya dengan sikap Azka. Kini dunia Andrea berpusat pada Daren yang sudah duduk di sebelahnya dan melajukan mobilnya entah kemana.
"Kenapa kau tidak menerima panggilanku Andrea? Apa ada pelanggan lain yangs edang bersamamu?" tanya Daren penuh selidik. Ia sedikit kesal dengan tingkah gadis di sampingnya itu karena ia sudah membayar mahal tapi di acuhkan.
"Ah, bukan. Aku sedang banyak tugas dan tidak sengaja ponsel aku buat mode silent jadi aku tidak mendengar ada panggilan. Maafkan aku," ucap Andrea penuh dengan penyesalan. Padahal ia berbohong.
"Apa sebanyak itu tugasmu sampai tidak sempat membuka pesan dariku?" kata Daren semakin sinis.
"Ya begitulah. Tapi aku hari ini free. Jadi biar aku mengganti hari kemarin dengan hari ini. Bagaimana?" tawar Andrea yang mulai merasa tak nyaman.
"Tentu saja. Aku sudah membayarmu mahal untuk menemaniku," ucap Daren tanpa menoleh sedikit pun ke Andrea yang kini sudah memanas.
Entah mengapa mendengar ucapan Daren barusan membuat dadanya terasa sakit. Lelaki itu benar-benar membuatnya menjadi wanita, ahh entahlah. Kini pikiran Adrea menerawang ucapan lelaki itu sangat jauh. Membuatnya mengembuskan napas lelah. "Ke mana kita?" tanyanya untuk mencairkan suasana.
"Terserah padaku. Aku sudah membayarmu jadi tugasmu hanya mengikutiku, bukan menginterogasi," jawab Daren yang membuat Andrea semakin meremas tali tasnya kuat-kuat hingga buku-buku tangannya memutih.
Andrea memilih diam dan mengikuti ke mana pun lelaki itu pergi. Ia tak ingin bersuara lagi karena terlalu takut akan merasakan sesak yang semakin membuatnya tidak bisa bernapas. Namun lamunananya seketika hilang setelah mendengar suara Daren yang begitu dekat dengan telinganya. Ia pun segera menoleh dan tanpa sengaja bibir manisnya bertemu dengan bibir Daren. Andrea semakin bungkam saat lelaki paruh paya itu mulai menikmati setiap bagian bibirnya dengan lembut dan intens. Tanpa diminta pun ia langsung menutup matanya.
Andrea dengan segera membuka mata saat ciuman itu terhenti. Ia merasa tak rela namun sedetik kemudian merasa malu karena melihat Daren terkekeh, "Apa?" kesalnya membuat Daren semakin tak bisa menyembunyikan kekehannya.