Rasa pusing di kepala Charlos rasanya tidak mau cepat hilang. Sejak tadi ia tidak henti-hentinya menguap sambil menggosok-gosok matanya yang agak merah. Memang salahnya sendiri yang tidak mau juga terlelap semalam karena hatinya tidak sabar menanti hari ini.
Charlos memandang jam tangannya yang untuk ke sekian kalinya, berharap seseorang itu datang tepat pada waktunya. Tapi nampaknya ini memang bukan hari baiknya. Berkali-kali para penumpang mengambil bagasi, pergi atau dijemput oleh orang-orang dan kemudian menghilang.
Seharusnya pesawatnya sudah tiba sejak pukul sebelas siang. Ini sudah pukul dua. Dia merasa menyesal juga karena tidak menunggu di mobil saja. Tapi Charlos merasa bahwa ia harus menjemput seseorang itu tepat di pintu ini, sambil membawakan kopernya.
Charlos tersenyum dalam hati. Ini agak konyol. Biasanya supirnya yang selalu membawakan kopernya setiap kali sehabis pulang rapat atau bisnis dengan perusahaan lain dari luar negeri. Dia juga telah membebas tugaskan supirnya kali ini, hanya demi menjemput seseorang itu.
Ini adalah pertemuan yang sudah sejak lama ia nantikan. Perkenalannya yang tak terduga telah membawa mereka sejauh ini, sejauh Indonesia dengan Kanada. Charlos tidak pernah menyangka bahwa ia akan berdiri di sini dan akan bertatap muka dengan seseorang yang telah menyentuh hatinya.
Saat itu Charlos sedang dalam keadaannya yang paling terpuruk. Seseorang inilah yang telah memberinya semangat untuk bangkit dan menjadi hidup kembali. Selama empat tahun ini mereka hanya berkomunikasi melalui chatting di internet atau video call. Hari ini Charlos akan membuat mimpinya menjadi kenyataan.
Tapi baru saja Charlos melihat jam tangannya. Ia menggelengkan kepalanya, merasa kesal dengan maskapai penerbangan yang selalu saja menunda perjalanan.
Tiba-tiba seseorang bertanya, "Jam berapa sekarang?"
"Hah? Apa? Jam tiga lebih sepuluh," ia mendongak. Dan Charlos melihatnya.
Seseorang tersenyum manis padanya. "Maafkan aku Charlos. Kamu pasti sudah lama menungguku. Seandainya saja aku pilotnya."
Segera Charlos memeluk seseorang itu dengan erat.
"Reva!"
"I miss you, Charlos," kata Reva.
Hati Charlos berdebar mendengar kalimat itu. Ia melepas pelukannya perlahan dan kemudian memandang Reva.
"I miss you too, Rev..." Suaranya agak bergetar.
Reva tersenyum begitu rupa, membuat Charlos tidak tahan memandang Reva lebih lama lagi. Senyum lebar menghiasi wajah Charlos. Ia tidak ingat berapa lama ia terus menatap wajah Reva.
"Charlos, apa kita bisa pergi sekarang?"
"Oh... Ya..." jawab Charlos. Tangannya gemetaran. Ia mengerjapkan matanya berusaha untuk berkosentrasi. Ia melihat koper Reva, lalu segera meraihnya.
"Itu tidak perlu, Charl..." Reva mengerutkan dahinya.
"Tidak apa-apa, Rev," ungkap Charlos sambil tersenyum.
Mereka berjalan bersama-sama menuju parkiran mobil. Charlos memasukan koper Reva ke dalam bagasi.
Dari kejauhan Charlos bisa melihat penjaga pribadi Reva mengawasi mereka, memakai pakaian serba hitam lengkap dengan kacamata hitam.
"Kamu ke sini dengan penjaga? Kenapa? Aku pasti akan menjagamu," kata Charlos, alisnya bertaut.
"Charl, aku tidak mau mengambil resiko. Kalau sampai ada wartawan..." Reva menatap wajah Charlos yang cemberut. Ia terkekeh. "Oke, aku akan suruh mereka jangan terlalu dekat dengan kita." Lalu Reva menekan tombol di ponselnya, berbicara singkat dengan penjaganya.
"Sudah beres. Puas?" Reva mengangkat alisnya.
Charlos mengangkat bahu. "Maafkan aku, Rev. Tapi aku tidak terbiasa bersama dengan seseorang yang perlu penjaga. Apa kamu keberatan kalau naik mobilku?"
"Kamu ngomong apa sih? Ayo kita pergi!" Reva membuka pintu mobil lalu masuk.
Charlos baru menyadari kalau Reva adalah seorang artis ternama di dunia jazz. Ia tidak bisa terlihat bersama dengan Reva. Wartawan pasti bisa saja tiba-tiba mengambil foto dan membuat berita yang tidak benar. Semoga saja pelukannya dengan Reva tidak terlalu berbahaya. Anggap saja kalau ia baru saja bertemu dengan seorang teman lama. Sebenarnya Charlos berharap kalau ini tidak hanya sekedar pertemanan biasa.
Charlos menarik napas dalam-dalam kemudian duduk di kursi kemudi. Ia nyaris lupa bagaimana cara menyetir. Kehadiran Reva di sampingnya membuat Charlos merasa kalau ini nyaris seperti mimpi yang terlalu indah untuk menjadi kenyataan.
Charlos memasang sabuk pengaman. Tangannya masih gemetaran. Reva melihatnya. Ia memegang tangan Charlos, membuatnya terkesiap. Tangannya terasa hangat menyengat tangannya yang dingin.
"Kamu baik-baik saja?" tanya Reva.
"Aku..."
"Kamu terlihat lebih tampan daripada di video call." Reva tersenyum.
"Thanks." Wajah Charlos memerah.
Charlos kehilangan kata-kata untuk balik memuji Reva. Lidahnya seperti terkunci. Ia bingung untuk memikirkan kata-kata seperti : keren, misalnya. Rasanya kata-kata itu kurang cukup untuk menggambarkan betapa luar biasanya Reva di mata Charlos.
Jadi Charlos memilih untuk fokus menyetir. Sesekali ia melirik Reva. Ternyata Reva pun sedang menatapnya sambil tersenyum.
Perjalanan menuju hotel terasa sangat cepat. Kebetulan hotelnya tidak terlalu jauh dari bandara. Charlos memarkirkan mobilnya di basement. Ia mengeluarkan koper Reva. Saat ia hendak menarik kopernya, ia terkejut melihat Reva memakai masker di wajahnya dan kacamata hitam. Lalu ia memakai topi.
"Apa harus seperti itu?" tanya Charlos.
"Maafkan aku, Charl. Tapi aku tidak mau karyawanmu melihat wajahku. Apa kita punya cara cepat untuk masuk ke dalam kamar tanpa ada yang melihat?" tanya Reva.
Charlos mengangguk perlahan, kemudian ia mengeluarkan sebuah kartu dari saku kemejanya.
"Oh... Baguslah!" seru Reva.
"Aku sudah menyiapkan semuanya, Rev. Aku harap aku bisa memberikan yang terbaik untukmu."
"Tentu saja, Charl. Kamu memang selalu yang terbaik."
Charlos yakin kalau Reva pasti sedang tersenyum meskipun ia tidak bisa menembus kacamata hitam dan masker yang menutupi wajahnya.
Mereka berjalan cepat menuju lobby kemudian buru-buru masuk ke dalam lift. Charlos yakin kalau tidak ada yang memperhatikan mereka. Resepsionis sedang menangani seorang tamu. Jadi mereka aman.
Ketika sudah di kamar, Charlos meletakkan koper di pinggir lalu berjalan menuju tempat tidur dan menjatuhkan dirinya ke kasur.
"Huufft... Cape juga ya. Aku tidak bisa membayangkan kalau aku jadi artis seperti kamu, Rev."
Reva tersenyum geli, matanya hangat berbinar-binar memandang Charlos. Ia membuka topi, masker dan kacamata hitamnya, lalu mendekati Charlos, duduk di sebelahnya.
"Maafkan aku, ya," kata Reva sambil mengelus pipi Charlos.
"Bukan salahmu, Rev. Jangan minta maaf."
Reva kemudian berjalan mengelilingi kamar. Kamar hotel ini sangat pribadi. Charlos tidak pernah membuka kamar ini kecuali untuk tamu-tamu besar. Reva adalah tamu yang terlalu spesial untuknya.
Reva membuka pintu kaca yang menghubungkan ruang tamu menuju jacuzzi yang berada di luar. Kamar hotel ini adalah kamar paling atas. Tidak akan ada yang dapat melihat bila ada seseorang yang berendam di dalam jacuzzi. Reva sedang tidak ingin berendam saat ini. Jadi Reva menutup kembali pintu kaca itu lalu membuka gorden, melihat pemandangan luar.
"Hotel kamu keren juga. Aku suka," kata Reva.
Reva berbalik lalu membuka kulkas, mengeluarkan botol air mineral lalu menenggaknya hingga habis setengah. Disimpannya botol itu di meja, sementara Reva berjalan menuju kasur kemudian duduk di sebelah Charlos. Jari-jarinya mengelus selimut bed cover. Charlos memperhatikan betapa panjangnya jari Reva.
"Oh ya?" Charlos kemudian duduk dan mendekati Reva. "Kamu belum lihat Hotel Poseidon yang baru aku bangun. Itu jauh lebih keren lagi. Aku sendiri yang merancang bangunannya."
Alis Reva bertaut. "Terus kenapa kita tidak ke sana saja?"
"Pembangunannya belum benar-benar selesai, Rev. Nanti kalau sudah grand opening, aku pasti ajak kamu ke sana."
"Oke." Reva kembali tersenyum.
"Ngomong-ngomong kenapa sih kamu tidak menginap di rumahku saja?" tanya Charlos penuh harap.
"Aku..." Reva tertawa pelan. "Aku merasa tidak enak, Charl."
Merasa tidak enak? Charlos mengernyitkan dahinya. Untuk apa Reva merasa tidak enak padanya.
"Lagipula aku kan hanya satu hari saja di sini," lanjut Reva. "Aku tidak mau merepotkanmu. Bisa menginap gratis di sini saja aku sudah senang sekali."
Pertemuan pertama yang akan segera berakhir seiring matahari tenggelam. Charlos tahu bahwa mereka sama-sama sibuk. Ia tiba-tiba merasa kesal dengan semua pekerjaannya yang begitu banyak dan menumpuk, terutama hari ini.
Baiklah, ia tidak akan memperburuk suasana dengan bersikap kekanakan. Charlos mengingatkan dirinya sendiri bahwa tujuan utamanya ke Indonesia bukan hanya untuk bertemu dengannya.
"Kamu bilang kalau di sini dekat dengan pusat perbelanjaan. Aku ingin sekali jalan-jalan. Apa kamu mau menemaniku? Charl..." Reva memiringkan kepalanya, memperhatikan Charlos yang masih murung.
"Rev, jangan merasa tidak enak ya. Aku hanya ingin kamu merasa nyaman berada di sini. Aku akan melakukan apa saja untuk kamu." Charlos menatapnya serius.
"Terima kasih, Charl. Tapi aku memang merasa sudah sangat nyaman di sini. Sekali lagi terima kasih." Senyum Reva tampak tulus.
Charlos mengangguk perlahan. Syukurlah kalau Reva merasa nyaman di kamar hotel yang telah Charlos persiapkan. Sejujurnya Charlos tidak tahu harus bagaimana memperlakukan Reva.
"Charl, ayo kita jalan-jalan!" ajak Reva dengan nada yang lebih ceria. "Aku mau makan rujak. Katanya kalau di Bandung paling enak makan rujak. Aku pikir itu sejenis salad buah. Hahaha... Terlalu lama di Kanada membuatku hampir saja melupakan kampung halaman."
"Rujak?" Charlos menaikkan alisnya. "Baiklah. Apapun..."
Reva memegang tangan Charlos yang membuatnya merasa seperti terkena sengatan listrik. "Ayolah, Charl. Jangan sedih begitu. Selesai acara nanti, kita bisa pergi ke mana saja kamu mau. Aku usahakan." Reva menambahkan.
"Oke. Aku mengerti." Charlos mencoba untuk tersenyum.
Suasana mulai mencair. Kemudian mereka berbincang-bincang dengan santai. Reva menceritakan tentang perjalanannya dari Kanada menuju ke Singapura. Kemudian berganti pesawat menuju ke Bandung.
Charlos tidak dapat menutupi dirinya bahwa ia sangat terpesona pada Reva. Ia tidak bisa berhenti memandanginya, memperhatikan setiap gerakan tangannya saat Reva berbicara.
Bahasa Indonesianya sangat lancar. Reva memang lahir di Indonesia. Ibunya orang Jakarta sedangkan ayahnya asli Kanada. Sejak kecil ia pindah ke Kanada bersama orang tuanya.
Kulit Reva putih pucat. Terdapat semburat merah kecoklatan di rambut Reva yang ikal sebahu. Mata Reva berwarna kecoklatan dan sangat jelas coklatnya saat terkena matahari. Badan Reva kurus dan sangat tinggi, lebih tinggi dari Charlos.
Dalam hati, Charlos tidak bisa membayangkan yang lebih keren lagi dari yang selama ini ia lihat di layar monitor. Ia takut kalau tiba-tiba Reva menguap dan menghilang dari hadapannya.
Charlos sedang menikmati memandang Reva, tidak begitu memperhatikan apa yang dikatakannya sampai kemudian Reva menggerak-gerakan tangannya di depan wajah Charlos yang tampak bengong seperti orang bodoh.
"Halo? Kamu melamun ya?"
"Apa? Tidak." Charlos memalingkan wajahnya, matanya memandang langit-langit. Dari sudut matanya Charlos bisa merasakan Reva tersenyum geli.
"Ayo kita pergi, Charl!" Reva bangkit berdiri. Tangan Reva terulur dan Charlos menyambutnya dengan senyuman lebar.
Kemudian mereka berjalan-jalan ke factory outlet di Jalan Riau. Tentu saja dengan topi, masker, dan kacamata hitam. Sebenarnya di luar langit mulai gelap. Charlos tidak yakin dapat melihat dengan baik sambil memakai kacamata hitam. Mereka juga membeli rujak seperti yang Reva mau dan membeli beberapa potong celana panjang dan jaket kulit untuk pertunjukkan nanti.
Ini adalah kencan yang sangat dirindukan oleh Charlos, seandainya saja Reva menganggap kalau ini memang kencan. Walaupun Charlos tidak dapat menutupi kalau kencan ini agak repot. Mereka tidak bisa terlihat terlalu dekat atau terlalu akrab. Di tempat umum seperti ini bisa saja ada wartawan. Reputasinya bisa terancam.
"Oke Charlos, aku sudah selesai belanja."
Wajah Reva muram melihat sikap Charlos yang waswas setiap kali ada orang yang lewat memandang mereka. Charlos tidak segera menjawab.
"Charl?" Reva menepuk bahu Charlos, membuatnya melonjak. "Kamu kenapa sih?"
"Apa? Tidak. Aku tidak apa-apa. Mmm... Kamu mau ke mana lagi? Sudah saja belanjanya?"
"Ayo kita makan malam. Aku harap kita makan di restoran yang sudah dipesan dan sedikit pribadi," kata Reva dingin. "Penjagaku akan menemani makan malam kita, supaya jangan ada yang terlalu memperhatikan aku atau kamu." Telunjuknya ditekan ke dada Charlos.
"Oh..." Charlos terkesiap. "Baiklah." Charlos berusaha tersenyum yang tidak dibalasnya.
Selama perjalanan, Reva hanya berbicara seperlunya. Charlos mulai khawatir dengan keadaan ini. Duduknya sama sekali tidak nyaman. Berkali-kali Charlos berganti posisi. Matanya tidak berhenti melirik Reva. Dia tidak bermaksud untuk canggung tapi sepertinya keadaan tidak semudah yang ia bayangkan.
Seharusnya ini tidak boleh terjadi. Ini adalah yang Charlos inginkan, bertemu dengan Reva, bersama dengannya tanpa ada rasa takut atau cemas.
Tapi sepertinya dunia melarangnya. Charlos masih saja terus memikirkannya.
Setelah cinta yang tulus diberikannya untuk seorang perempuan yang kemudian meninggalkannya dan menikah dengan pria lain, Charlos mengalami depresi berat. Reva adalah seseorang yang telah membangkitkan Charlos dari keterpurukan. Dia tidak akan melewatkan kesempatan berharga untuk menyenangkan Reva.
Charlos membelokkan setir mobil. Akhirnya mereka tiba di sebuah restoran Perancis yang mewah : La Verasion. Mereka bisa melihat lampunya berkelap-kelip.
Seorang pelayan restoran menyambut mereka dengan wajah ramah. Kemudian mengantar mereka menuju ruangan yang terpisah. Lampunya berwarna kuning remang-remang. Cahaya yang paling redup berasal dari lilin yang tertancap pada sebuah wadah perunggu bercabang tiga.
Di dalam ruangan itu tidak terlalu banyak meja, tidak ada pengunjung lainnya, hanya mereka berdua. Tepatnya tidak benar-benar berdua karena sang penjaga berdiri di dekat meja mereka.
Setelah masker dan kacamata hitam dilepaskan, sang pemilik restoran baru menyadari kalau tamu spesialnya adalah Reva. Sepertinya ia juga salah satu penggemar Reva. Tidak lama kemudian lagu instrumental jazz berkumandang. Charlos mengenal lagu yang dimainkan Reva. Suara saxophone-nya sangat khas.
Reva tidak tampak terkesan dengan restoran Perancis ini. Sejak tadi ia memasang wajah datar. Charlos masih saja merasa tidak enak pada Reva, tapi ia berusaha untuk bersikap biasa. Ia bergumam pelan mengikuti nada lagu.
"Kamu hafal lagu ini?" tanya Reva.
"Tentu saja!" Charlos merasa sedikit lega. Hampir saja ia putus asa mencari cara untuk melawan ketegangan di antara mereka. "Aku itu salah satu penggemar berat kamu, Rev. Mana mungkin aku tidak hafal lagu ini. Answer of My Heart, salah satu favorit aku." Charlos tersenyum lebar. Ia kembali menggumamkan lagu itu dengan suara yang lebih jelas.
Pelayan membawa sebotol anggur istimewa bertuliskan : Chateau Lafite. Botolnya berwarna gelap. Saat pelayan itu menuangkannya ke gelas, anggurnya berwarna merah darah.
Mereka bersulang. Kemudian Reva memutar-mutar gelasnya, menghirup aromanya kemudian mengecapnya perlahan. Charlos melakukan hal yang sama.
Tidak lama kemudian pelayan menyiapkan menu pembuka. Mereka menyantap Escargot, hidangan yang berasal dari siput. Charlos baru pertama kali mencicipinya. Tadinya dia tidak mau menyentuhnya, tapi ketika melihat Reva menikmatinya, akhirnya ia mencoba juga. Kuahnya terasa sangat kaya rempah.
Ia khawatir akan lendir dari siput, tapi ternyata sama sekali tidak ada. Dagingnya terasa lembut dan gurih. Konon katanya proses pembuatannya sangat rumit dan bahkan menu siput ini dijadikan tolok ukur berkualitas atau tidaknya sebuah restoran Perancis. Sejauh ini Charlos cukup menikmatinya.
Menu utama tiba. Coq Au Vin. Itu adalah ayam jantan yang dimasak dengan anggur. Tampilan dan aromanya benar-benar menggugah selera. Ayamnya ditata sedemikian rupa di sebuah piring keramik putih yang kebesaran. Porsinya sangat sedikit bagi Charlos, tapi menu ayam ini memang sangat enak. Rasa gurih, manis, dan hangat berpadu padan di lidahnya. Aroma anggurnya semakin tajam setelah mengalami proses pemanasan dengan suhu yang tinggi.
Charlos hampir saja mengenyahkan rasa jaimnya untuk memesan lagi Coq Au Vin. Tapi nalurinya berkata ini bukan saat yang tepat untuk mengenyangkan perut. Ini waktunya untuk menikmati makan malam yang romantis. Mungkin ini memang romantis. Candle light dinner diiringi musik jazz yang lembut. Apalagi? pikir Charlos. Ada satu yang kurang.
Charlos menatap Reva, sama sekali tidak terlihat menikmati hidangannya.
"Apa kamu tidak suka daging ayam?" tanya Charlos waswas.
"Suka." Reva menyantap Coq Au Vin dengan wajah masam.
"Apa rasanya kurang enak?"
"Oh ini enak kok," jawab Reva tidak mau memandangi Charlos.
Charlos berpikir keras bagaimana caranya memecah ketegangan di antara mereka. Ia menenggak minumannya kemudian menarik napas perlahan. "Rev, kamu marah padaku ya?"
"Apa? Oh aku bukannya marah, Charl." Reva menegakkan badannya. "Aku hanya kesal, kamu tidak memperhatikan saat aku bicara. Aku pikir kamu keberatan menemaniku."
"Aku sama sekali tidak keberatan menemani kamu hari ini," sergah Charlos.
"Sungguh?" Reva mengangkat alisnya sebelah.
"Tentu saja, Rev." Charlos menghela napas. Ia berharap wajahnya terlihat tulus. "Aku minta maaf kalau kamu merasa tidak nyaman. Aku takut kalau kamu nanti kelihatan wartawan. Mereka bisa menulis berita apa saja. Aku tidak mau terlibat."
Reva melipat tangannya di dada. "Jadi itu masalahnya."
"Mmm..."
"Itulah kenapa aku perlu yang namanya penjaga. Sekarang kamu mengerti kan kenapa aku selalu bersama penjagaku."
Charlos mengangguk. "Ya, sepertinya kamu memang perlu penjaga. Maafkan aku."
"Syukurlah kalau kamu mengerti. Aku berharap kalau aku akan selalu mendapat perhatian dari kamu, Charl."
Charlos menatap Reva. Seharusnya Reva tahu kalau Charlos akan selalu menempatkan perhatian utamanya pada Reva. Meskipun akan ada banyak sekali rintangan di hadapannya. Charlos tidak dapat memungkiri hal itu.
Reva mengambil garpu lalu kembali menyantap.
"Aku penasaran bagaimana pendapat kamu tentang aku waktu kamu pertama kali lihat aku secara langsung," kata Reva memecah ketegangan.
Charlos tersenyum. "Aku tidak tahu harus bilang apa. Kamu terlihat... luar biasa... Lebih keren dari yang aku lihat di youtube."
"Youtube?" Reva tersenyum sambil mengunyah. Charlos terus saja memandanginya seperti orang bodoh.
"Charl, kamu tahu tidak, hanya kamu yang panggil aku Reva."
Charlos terkesiap. "Oh maafkan aku. Apa aku lancang?"
Reva terkekeh. "Harus berapa kali kamu bilang maaf, Charl? Ayolah, itu sama sekali bukan masalah."
Ya, Reva memang spesial di hatinya. Seandainya saja Reva bisa membaca pikirannya. Tapi bukankah semuanya sudah jelas, semua sikapnya pada Reva. Bahkan tidak perlu banyak kata-kata untuk mengungkapkannya.
Reva membalas senyuman Charlos. "Charl, kamu... manis. Sangat manis. Aku suka kalau kamu tersenyum."
Mereka saling bertatapan. Charlos ingin sekali memegang tangan Reva. Tapi kemudian sang penjaga berdeham. Sepertinya itu ide yang buruk.
"Oh ya, Charl..." kata Reva tiba-tiba. "Besok kita mau pergi ke mana lagi?"
Charlos mendesah. "Sebenarnya besok aku tidak bisa menemani kamu. Aku ada janji."
"Oh baiklah. Tidak masalah. Aku bisa bertemu dengan Jack besok soalnya hari Minggu aku harus melakukan persiapan untuk pertunjukkan Festival Jazz di Jakarta."
"Oke," jawab Charlos.
Jack adalah manager Reva. Charlos belum pernah bertemu secara langsung dengan Jack. Yang Charlos ketahui bahwa Jack adalah manager yang lumayan galak. Ia sangat disiplin dan tepat waktu.
"Charl, kamu mau temani aku ke Jakarta nanti Minggu?" tanya Reva sambil tersenyum.
Charlos menelan ludah. Kepalanya sedikit menunduk. "Aku ingin sekali bisa menemani kamu ke Jakarta. Tapi..." Senyum Reva memudar. "Hari Minggu aku juga ada janji lagi."
"Oke, tidak masalah..."
Ponsel Charlos berdering. Suaranya yang terlalu besar membuat Charlos hampir terlonjak dari kursinya karena sejak tadi telinganya terbiasa dengan suara Reva yang lembut.
"Halo! Hai Satria! Besok?" Mata Charlos melirik Reva yang sedang memperhatikan setiap ucapannya. "Mmmm... Oh iya. Jam berapa? Iya nanti aku datang. Thanks ya, Sat." Charlos menutup teleponnya. "Maaf. Sampai mana tadi?"
"Siapa itu Satria? Kamu mau ke mana besok?" tanya Reva curiga, lebih tepatnya seperti menuduh.
"Oh Satria itu temanku. Besok dia mengajakku latihan drama natal."
"Kamu pasti datang kan?" tanya Reva.
"Apa? Latihan? Tentu saja. Jangan tertawakan aku ya. Aku itu berbakat lho." Tidak sedikit pun Reva ingin tertawa. Dia terus menatap tajam Charlos.
"Maksud aku ke Festival Jazz."
"Oh.. Maaf. Aku... Kapan? Tanggal enam sampai delapan yah. Mmm... Aku tidak tahu. Mungkin. Sebenarnya aku..."
Reva menaikkan alisnya. "Kamu bisa pergi meluangkan waktu untuk... latihan drama. Tapi kamu bilang mungkin untuk datang ke acaraku sendiri?" Suara Reva meninggi.
"Aku..." Darah surut dari wajah Charlos. Mulutnya terbuka sedikit, lalu ia mengatupkannya lagi. Tangannya gemetaran. Reva tidak pernah marah sebelumnya.
"Oh yeah... Apa sih yang aku harapkan dari seorang CEO yang super sibuk? Kencan? Makan malam?" Reva menyambar gelasnya dan meneguk anggur banyak-banyak.
Kencan? Apa mungkin Reva mengharapkan sesuatu yang lebih dari hubungan mereka saat ini? Sesuatu yang sama seperti yang Charlos inginkan? Jantung Charlos berdetak semakin kencang. Ia senang karena Reva menanggapinya dengan serius. Tapi mungkin sekarang ini bukan saat yang tepat untuk mendiskusikan tentang hubungan mereka.
Sesuatu yang sangat jelas bahwa Reva ingin dirinya hadir di Festival Jazz. Charlos akan melakukan apa saja untuk mewujudkan keinginan Reva. Oh tunggu dulu, tadi Reva menyebutnya CEO super sibuk. Yang benar saja.
"Jangan sebut aku seperti itu, Rev. Kamu kan tahu kalau kita sama-sama sibuk." Charlos memberanikan dirinya untuk memegang tangan Reva. "Aku bukannya tidak mau ke Festival Jazz. Aku akan datang kalau aku bisa. Sebenarnya tanggal enam itu aku harus ke Singapura. CN Group sudah setuju untuk proyek aku kali ini. Tanggal delapan aku baru pulang. Aku akan langsung ke sana. Mudah-mudahan aku sempat."
Reva melepaskan pegangan tangannya. Wajahnya masih penuh dengan kemarahan.
"Rev, aku mohon jangan marah. Aku sangat menghargai kamu mau berusaha membujuk Jack supaya kamu bisa ke ikut Festival Jazz di Indonesia. Maksudnya supaya kita bisa bertemu kan."
"Tidak ada hubungannya Festival Jazz dengan pertemuan kita." Nada Reva yang begitu dingin membuat Charlos bergidik. "Festival Jazz tetap akan berlangsung di Indonesia dengan atau tanpa adanya aku. Tapi aku tetap akan bertemu sama kamu karena kamu sudah janji kalau kita akan bertemu hari ini. Ingat, Charl, kamu sendiri yang menentukan tanggal pertemuan kita."
Reva memandang Charlos tajam sambil bersender ke punggung kursi. Wajahnya tampak serius.
"Aku tahu kalau sejak tadi kamu terus menerus membalas pesan di ponsel kamu. Lalu beberapa kali kamu menelepon sekertaris kamu mengenai pekerjaan. Kamu pasti sangat sibuk kan hari ini! Lalu untuk apa kita bertemu?" Tangan kanannya erat memegang garpu. Charlos khawatir garpu itu melayang ke wajahnya.
"Maaf karena aku tidak bisa memprediksi jadwal kerjaku dengan baik." Charlos mendengus perlahan. "Seharusnya hari ini aku mengecek pembangunan Poseidon."
"Oh bagus lalu kenapa kamu tidak ke sana saja?" Mata Reva membelalak.
Mereka terdiam cukup lama. Wajah Charlos berubah pucat. Tampaknya Reva menyesali perkatannya. Reva menunduk.
"Aku sengaja mengosongkan jadwal hari ini supaya aku bisa bertemu denganmu. Mengecek pembangunan Poseidon itu tidak lebih penting daripada bertemu denganmu, Rev," ungkap Charlos. "Sekarang kamu sudah ada di hadapanku. Tapi dari tadi kita bertengkar. Rasanya..." Charlos menggelengkan kepalanya.
"Maafkan aku, Charl..." Matanya yang tadinya berkilat perlahan mencair. Suaranya selembut beledu. "Aku tidak ingin bertengkar denganmu. Aku cuma khawatir kalau kamu tidak akan datang ke Festival Jazz."
"Kamu tidak usah khawatir, Rev. Aku akan datang. Aku pasti datang. Aku akan terbang secepatnya ke Jakarta. Please, Rev jangan mempersulitku."
"Apa?"
"Bagiku sudah cukup sulit bertemu denganmu. Dengan segala kenyataan yang ada... Ini benar-benar hal baru bagiku. Aku hanya melakukan apa yang menurutku benar. Aku pikir ini memang sedikit gila." Charlos menggelengkan kepalanya.
"Aku tidak pernah mempersulitmu, Charl." Nada bicaranya kembali dingin. "Kamu yang mempersulit diri sendiri!" Reva bangkit berdiri.
"Rev..." Charlos hendak menarik tangan Reva, tapi ia tidak mendapatkannya.
"Oke, Charl. Sampai di sini saja. Aku lelah. Aku mau istirahat. Selamat malam."
"Rev! Reva! Reva!"
Reva pergi dengan penjaganya, meninggalkan Charlos.
Ini benar-benar di luar rencana. Mereka baru saja bertemu beberapa jam setelah penantian selama empat tahun.
Hatinya benar-benar hancur saat melihat Reva melangkahkan kaki, meninggalkannya sendirian. Ternyata bayangannya akan Reva yang menguap dan menghilang benar-benar terjadi. Sesuatu dalam dadanya terasa sakit, ia tidak tahu apa itu.
Charlos menarik napas dalam-dalam. Mungkin ini memang salahnya yang kurang perhatian pada Reva. Charlos meneliti hatinya, apakah memang sesulit itu mencintai seorang Reva. Dengan segala kenyataan yang memang tidak memungkinkan mereka untuk bersama.
Kamu yang mempersulit diri sendiri!
Kata-kata Reva masih terngiang dalam benaknya. Mungkin Reva benar, ia sendiri yang mempersulit diri sendiri.
Charlos masih tidak paham akan sikap Reva yang sangat sensitif. Mungkinkah Reva juga memiliki perasaan yang sama dengannya? Dengan kesal Charlos menusuk-nusuk Coq Au Vin yang sudah hampir habis.
Sang pelayan membawa makanan penutup : Chocolate Mousse. Charlos mendongak, menatap sang pelayan dengan tatapan bengis. Sang pelayan terkesiap, ia menarik kembali piring itu ke nampannya, segera keluar dari ruangan itu dengan terburu-buru.
Dengan berang Charlos menghentakkan pisaunya ke meja. Dia harus ke hotel, menemui Reva. Tapi mungkin ia harus memberikan Reva waktu untuk menenangkan diri. Suasana hati Reva masih panas. Malam ini bukan saat yang tepat, pikir Charlos. Hati kecilnya berontak akan gagasan itu. Akhirnya Charlos memutuskan ia harus bertindak perlahan tapi pasti dan juga hati-hati.