Hari ini sungguh menyebalkan bagi Charlos. Sebenarnya ia sedang tidak bersemangat untuk berpartisipasi di acara pernikahan putra MJ Group. Sama sekali bukan waktu yang tepat untuk berpesta karena suasana hatinya tidak begitu bagus.
Untuk pertama kalinya setelah sekian kali Charlos mencoba menghubungi Reva, baru kali ini Reva menjawab. Dan kenapa Reva ingin bertemu dengannya hari ini? Dengan berat hati Charlos menjelaskan bahwa ia tidak bisa bertemu dengan Reva.
"Oh. Jadi kita tidak bisa bertemu sekarang? Baiklah, aku mengerti. Kamu pasti sibuk sekali. Aku tidak akan mengganggu kamu lagi kalau begitu." Suara Reva begitu kecewa dan kemudian telepon terputus.
Charlos menyesal karena tidak dapat meluangkan waktunya untuk bertemu dengan Reva. Ia tidak mungkin mengajak Reva untuk datang ke pesta. Akan ada banyak wartawan di sana. Charlos merenung dalam hati, kapan ia akan bisa bertemu lagi dengan Reva.
Ia telah siap berpakaian untuk ke acara pernikahan. Karena acaranya di hotelnya sendiri, jadi ia tidak perlu repot untuk menyiapkan segala sesuatu. Sudah sejak siang tadi ia berada di Golden Ring untuk memastikan semua persiapan pernikahannya berjalan dengan lancar.
Sekarang sudah pukul enam sore. Sejak tadi ia menunggu para staf wedding organiser untuk melaporkan keadaan di pintu masuk. Charlos telah menghubunginya melalui walkie talkie, tapi para staf masih juga belum tiba.
Akhirnya setelah menunggu lebih dari seperempat jam, staf WO tiba dengan berlari-lari.
"Maaf, Pak. Tadi ada sedikit masalah di bawah," kata pria yang pertama.
"Masalah apa?" tanya Charlos dengan tegas.
"Kebetulan ada banyak tamu dari Korea yang baru datang," ungkap pria yang kedua. "Mereka juga ada acara di lantai delapan. Beberapa orang Korea itu salah masuk. Kami berusaha menjelaskan, tapi mereka tidak bisa bahasa Inggris. Lalu mereka jadi marah-marah."
Charlos mengernyitkan dahinya. "Terus jadi bagaimana?"
"Ya akhirnya setelah saya jelaskan susah payah, mereka baru mau pindah. Padahal papan pengumuman acara pernikahan sudah dipajang jelas di lobby, juga di depan pintu lift."
"Ya sudah kalau sudah selesai," Charlos mengangguk.
"Ada lagi, Pak," ujar pria yang ke satu.
Kali ini Charlos melipat tangannya di dada.
"Petugas vallet parking-nya tidak ada. Mungkin terlalu banyak yang menggunakan jasa vallet, jadi kurang orang," terang pria yang satu lagi, wajahnya kemerahan.
"Kalau memang kurang orang, seharusnya kalian membantu. Kalian harus mengerti, tamu-tamu kita malam ini adalah orang-orang penting. VVIP." Charlos nyaris membentak.
Charlos memberi tatapan tajam pada para staf WO. Tiba-tiba sesuatu dengan bayangan merah bergerak-gerak di belakang pria-pria itu. Charlos menjulurkan lehernya untuk mencari tahu. Pria-pria itu bertubuh besar dan tinggi sehingga sosok di belakang mereka tidak terlihat.
"Baik, Pak. Kalau begitu kami kembali lagi ke bawah."
Charlos masih saja bergerak-gerak mencari tahu seseorang itu. Kemudian Charlos dikejutkan dengan suara pria yang berdiri di tengah dengan suara agak keras.
"Pak!"
"Eh?"
"Ada apa, Pak?"
Ia tampak sedikit bingung, tapi kemudian kembali menatap staf WO. "Tidak apa-apa. Kalian kembali bekerja kalau begitu."
Akhirnya pria-pria bongsor itu menghilang dari hadapan Charlos dan sosok serba merah itu terlihat.
Waktu seakan bergerak sangat lambat. Mengapa lampu-lampu di sini terasa sangat kuning dan menyilaukan? Mungkin karena ia sedikit letih belum mengisi perutnya sedari siang. Tapi sepertinya tidak ada hubungannya dengan kondisi tubuhnya yang lapar. Ia merasa dirinya tertarik gravitasi yang begitu kuat. Tubuhnya tidak dapat bergerak.
Wanita itu benar-benar memukau matanya. Gaun merahnya begitu indah dan pas sekali membalut tubuhnya yang langsing. Sayang mantel hitamnya tidak cocok dengan gaunnya, tapi itu tidak masalah. Rambutnya ditata ikal seperti kesukannya. Wajahnya begitu bersinar seperti kilau berlian, sepertinya ia pernah melihat wajah itu di suatu tempat.
"Charlos." Suara wanita itu rasanya tidak asing lagi.
Charlos mengerjapkan matanya berharap fatamorgana ini segera berlalu, tapi wanita itu masih saja berdiri kaku di tempatnya. Wanita itu menoleh ke kanan dan ke kiri seolah mencari orang lain dan bukan dirinya. Lalu melangkah perlahan mendekati Charlos. Belahan roknya yang mencapai paha membuka dan memperlihatkan kaki wanita itu yang putih, panjang, dan mulus.
Setelah mereka sudah semakin dekat, Charlos baru menyadari siapa yang sedang berdiri di hadapannya.
"Rissa?" tanya Charlos masih dengan wajah terperangah. Sulit sekali mempercayai apa yang sedang dilihat matanya.
"Iya, ini aku. Syukurlah kita bertemu. Sepertinya aku tersesat. Aku pertama kalike sini. Kamu tahu tempat resepsinya di mana? Aku lupa tidak membawa undangannya. Sejak tadi aku mengikuti pria-pria itu, ternyata mereka malah ke sini. Aku pikir tempat resepsinya sepertinya bukan di sini." Rissa terus saja nyerocos masih sambil celingak-celinguk.
"Bagaimana kamu bisa ke sini?"
"Aku mewakili Kharisma. Pak Agung ke Australia. Kak Esther sedang ada acara. Jadi aku yang menggantikan." Rissa mengangkat bahunya. Ia melihat ke arah lampu kristal. "Ngomong-ngomong tempatnya bagus juga. Kamu tahu, aku suka sekali dengan lampunya. Mengingatkanku seperti di film-film. Aku pernah bermimpi memiliki lampu seperti itu di rumahku." Rissa tersenyum separuh. Tampak begitu cantik. Entah karena alasan apa malam ini dia banyak sekali berbicara. Mungkin karena gugup, Charlos menebak.
"Rasanya tidak mungkin aku memiliki benda seperti itu, mengingat rumahku tidak akan muat dan tidak pantas juga..." Tanpa aba-aba Charlos mendekat. Kata-kata Rissa terputus karena terkejut.
Charlos menurunkan retsleting mantel sialan itu, lalu melepaskannya dari tubuh Rissa. Kali ini pemandangannya benar-benar sempurna. Apa yang sejak tadi mengganggu penglihatannya telah ia lepas dan benar saja sesuatu yang di balik pengganggu itu memang seindah yang ada di bayangannya. Ia juga bisa melihat bahu Rissa yang putih dan bercahaya terkena sinar lampu.
"Nah begitu lebih baik."
Mulut Rissa menganga sedikit. Bibirnya yang juga merah terlihat begitu seksi dan menggoda. Bulu matanya yang lentik berkedip beberapa kali. Mudah-mudahan saja wanita ini memang tidak benar-benar sedang menggodanya. Karena bisa saja Charlos kehilangan kendali.
Ya ampun, kendali atas apa? Apa memang ini adalah benar dirinya sendiri atau sebagian dirinya dari masa lalu yang masih hidup? Sebelum Rissa, ia pernah melihat wanita cantik yang pernah mengisi hidupnya. Dan kini masa-masa indah itu hanya menjadi sebuah pelajaran hidup yang cukup pahit dan menyakitkan.
Mungkinkah ia merelakan dirinya untuk kembali terjun ke penderitaan yang sama? Tidak akan pernah. Cukup sudah itu semua!
Rissa meletakkan tangannya di dadanya, berharap jari-jarinya dan tas mungilnya itu cukup untuk menutupi belahan dadanya yang begitu indah. Padahal bagaimanapun juga Charlos telah melihatnya dan pada akhirnya toh ia tidak akan memegang dadanya terus menerus.
"Kembalikan!" Rissa berusaha merebut kembali mantel usangnya dengan sebelah tangan. Tapi Charlos menjauhkannya.
"Kamu mau ke undangan kan? Sebaiknya kamu menyingkirkan benda ini kalau kamu tidak mau terlihat memalukan." Charlos memanggil sekertarisnya, Rendra, melalui walkie talkie.
"Memangnya aku terlihat memalukan?" tanya Rissa. Wajahnya tampak polos dan menyedihkan.
"Kalau kamu masih memakai mantel ini, kamu jadi terlihat konyol. Dan kalau tangan kamu..." Charlos menunjuk ke arah dada Rissa. "...begitu terus, nanti kamu bisa pegal."
"Oh. Begitu ya? Tapi aku tidak percaya diri."
Charlos mendengus tidak sabar.
"Kalau kamu tidak percaya diri, begini saja." Ia menarik tangan Rissa yang menempel erat di dadanya kemudian mengaitkannya ke pergelangan tangannya. Mereka berdiri bersebelahan seperti sepasang kekasih. Tangan Rissa yang satu lagi otomatis naik lagi ke atas untuk menutupi dadanya.
"Eits... tanganmu yang satu lagi sebaiknya pegang tas saja. Jangan sibuk ditutup-tutup ya. Semua wanita memang ditakdirkan seperti itu. Kamu harus berjalan tegak, angkat dagumu sedikit. Ya benar. Sekarang kamu jalan dengan penuh percaya diri."
Charlos hendak membawanya berjalan bersamanya tapi Rissa kemudian melepaskan tangannya dari Charlos. Pipinya tampak merona. Ia berusaha menarik-narik kembennya ke atas, tapi usahanya gagal karena memang bahannya hanya segitu-gitunya saja.
"Terima kasih sarannya. Kamu beri tahu saja acaranya di lantai berapa. Aku bisa jalan sendiri." Wanita itu tampak tegang.
Dari arah berlawanan muncul Rendra yang kemudian berhenti di tengah jalan saat melihat Rissa. Rendra mengangguk sekilas kemudian berjalan mendekati Charlos.
"Ada apa, Pak? Tadi panggil saya?" tanya Rendra.
"Ini," Charlos menyerahkan mantel Rissa. "Tolong kamu simpan ya. Nanti kalau Rissa sudah mau pulang, kamu kembalikan lagi."
"Oh memangnya ada Ibu Carissa?" tanya Rendra polos.
Charlos menunjuk wanita berbaju merah di depannya. Rendra menoleh kemudian kembali menatap Charlos dengan mulut menganga lebar. "Yang benar, Pak?"
Rendra sengaja menghampiri Rissa yang sejak tadi berdiri tegang. Matanya melihat Rissa dari atas sampai ke bawah tanpa tanggung-tanggung.
"Wah! Ibu Carissa cantik sekali malam ini. Saya terkejut sekali sampai tidak mengenal Ibu." Wajah Rendra masih melongo.
"Eh, terima kasih ya, Pak Rendra," jawab Rissa sambil nyengir terpaksa. Masih saja ia susah payah menutup dadanya dengan tas dan tangan.
"Ya sudah, Rendra kamu kembali lagi sana!" seru Charlos.
"Iya, Pak," jawab Rendra.
Segera saja Rendra melangkah dengan cepat dan menghilang di belokan.
Rissa masih terdiam di tempatnya. Bokongnya terlihat sangat indah dari belakang. Bentuk tubuh Rissa memang sangat indah. Belum lagi high heels-nya membuat dirinya semakin tinggi dan seksi.
"Kamu mau diam terus di sana? Acaranya pasti sudah mulai dari tadi. Memangnya kamu tidak mau lihat saat pengantinnya masuk?"
Wanita itu menoleh, wajahnya seketika berubah memohon. "Aku sudah bilang kalau aku tidak pernah ke sini. Kamu belum beri tahu aku acaranya di lantai berapa."
"Rissa, aku juga mau ke sana. Memangnya kamu tidak mau pergi ke sana bersamaku?"
Charlos tidak perlu menunggu Rissa untuk menyetujui ajakannya. Sekali lagi ia memaksa tangan Rissa untuk menggandeng tangannya. Charlos seperti sedang menyeret-nyeret Rissa. Tapi kemudian wanita itu sanggup mengendalikan dirinya dan berjalan dengan langkah yang lebih mantap.
Charlos menekan tombol lift. Mereka menunggu sesaat dan kemudian pintu lift terbuka. Di dalamnya beberapa pasang mata memandang mereka. Karena sudah terbiasa, Charlos tersenyum. Orang-orang yang ada di lift balas tersenyum dan beberapa mengangguk sopan dan memanggil namanya.
Dengan langkah penuh percaya diri, Charlos membawa Rissa masuk ke dalam lift. Rasanya begitu ringan dan mudah saja menggandeng wanita dengan metamorfosis luar biasa di sebelahnya ini. Tidak seperti jika ia sedang berdua dengan Reva. Contohnya ketika mereka berjalan-jalan di factory outlet atau saat mereka di hotel Borobudur. Charlos bergidik, berusaha menghilangkan ingatan itu dari pikirannya. Semoga saja para awak media tidak ada yang berhasil mengambil fotonya saat itu.
Orang-orang di lift tidak akan berpikir macam-macam ketika ia menggandeng Rissa. Wanita itu hanyalah seorang karyawan Kharisma. Hal itu mungkin saja karena kebetulan mereka saling kenal dan bertemu. Hanya sekedar rekan bisnis. Oh sederhana sekali. Sama sekali tidak seperti menggandeng seorang wanita simpanan.
Lift terus bergerak sampai lantai delapan. Hanya beberapa detik saja kemudian pintu lift terbuka. Mereka pertama keluar, disusul dengan orang-orang di belakang mereka.
Mereka mengantri saat di pintu masuk karena tamunya sangat banyak. Charlos melirik Rissa. Wajahnya terlihat merona.
"Kamu cantik dan anggun, Rissa."
Rissa menoleh, senyumnya begitu manis dan malu-malu. Dadanya naik turun dengan cepat. Ia pasti gugup sekali. Charlos meremas tangan Rissa yang menggandeng di tangannya dengan tangan satunya lagi, rasanya dingin sekali.
Sepertinya perbuatannya membuat Rissa seolah tersengat listrik. Charlos bisa melihat tenggorokan Rissa bergerak seperti sedang menelan ludah. Bagaimana wanita segalak Rissa bisa terlihat begitu canggung dan gugup seperti ini? Padahal ia begitu bersemangat ketika sedang beraksi di panggung Calipso d'Cafe.
Charlos terkekeh. Ia bisa merasakan tatapan Rissa mulai berubah menuju ke sifat aslinya.
Sekarang giliran mereka untuk mengisi buku tamu. Selesai bersalaman, mereka kemudian masuk ke dalam ruangan resepsi. Dekorasi ruangan didominasi mawar merah segar yang mengelilingi ruangan. Prosesi masuknya pengantin sudah selesai dan sekarang pengantinnya sudah berada di atas pelaminan.
Rissa terlihat begitu terpukau akan sekelilingnya. Senyumnya selalu tulus. Kulitnya yang putih terlihat begitu bercahaya. Ia sudah terbiasa berdiri tegak sehingga tidak lagi ingat untuk menutup-nutupi belahan dadanya. Sekarang ia jadi terlihat lebih dewasa, anggun, dan percaya diri.
Sebenarnya Rissa tidak perlu minder dengan gaun itu, ia memang benar-benar terlihat sangat cantik. Bahkan ada ibu-ibu lain yang badannya sama sekali tidak mendukung, tapi begitu memaksakan diri memakai gaun yang lebih terbuka dari Rissa.
Selesai acara potong kue dan mengangkat gelas untuk cheers, dilanjutkan dengan acara makan malam. Charlos tidak henti-hentinya bersalaman dengan beberapa kolega. Banyak sekali para pemilik perusahaan yang datang kemari.
Beberapa di antaranya tidak sungkan untuk menanyakan wanita yang tengah menggandeng tangan Charlos. Apa itu adalah kekasihnya? Apa itu adalah calon istrinya? Mudah saja menjawabnya.
"Bukan. Biar saya jelaskan, ini adalah Carissa, rekan bisnis dari PT. Kharisma. Kebetulan saya bertemu dengannya di sini. Tentu saja dia bukan pacar saya," jawab Charlos sambil terkekeh.
Mereka mengangguk-angguk mempercayai setiap kata-kata Charlos. Setelah pertanyaan itu, tangan Rissa tidak lagi terkait. Ia malah menjauh dan mengedarkan pandangannya ke sekeliling ruangan.
"Kamu mau ke mana?"
"Aku... aku mau mencari makan. Kamu pasti sibuk. Aku tidak akan menganggu." Dengan cepat Rissa menyelinap dan pergi.
"Tunggu..."
Charlos juga ingin makan. Sejak tadi siang ia belum makan. Sementara orang-orang tidak membiarkannya istirahat sejenak untuk mengambil sedikit saja makanan. Jadi ia mengambil segelas jus anggur yang mejanya letaknya tidak jauh dari tempatnya berdiri.
Setengah jam berlalu. Popularitas dirinya bahkan lebih tinggi daripada sang pengantin sendiri yang saat ini sedang acara minggle, mengelilingi ruangan untuk bersalaman, berfoto, dan membagikan cokelat. Betapa banyaknya kolega yang menghampirinya dan bahkan tidak semua dikenalnya. Mereka menjabat tangan Charlos dengan penuh antusias.
Staminanya nyaris menurun. Jus anggur sama sekali tidak menolong. Ia harus segera mencari sesuatu untuk dimakan. Harum masakan membuat perutnya semakin protes. Tidak adakah seseorang yang menolongnya untuk menyelinap sebentar saja?
Charlos memasang kuda-kuda dan bersiap untuk bergerak. Ia malah menubruk seseorang di sampingnya.
"Aduh maaf, maaf." Ternyata Rissa. "Syukurlah." Charlos menghela napas lega.
Rissa sedang mengunyah. Tangannya memegang piring yang penuh dengan dim sum yang nyaris tumpah. Charlos merebut sumpit di tangannya, mencapit dim sum kemudian melahapnya.
"Kamu lapar ya?" Rissa menatapnya dengan cemas. "Aku lihat sejak tadi kamu di sini terus. Aku sudah berkeliling, makan segala macam. Ini dim sumnya untukmu saja. Aku akan mengambil lagi yang lain."
Charlos mengangguk cepat, mulutnya penuh dengan makanan. "Cepatlah!" tambah Charlos. Rissa sudah menghilang lagi dengan cepat.
Baru saja beberapa suap, sekarang gilirang sang pengantin yang mendekatinya sambil membawa keranjang berisi cokelat, diikuti kamera, video, dan lighting. Segera saja matanya menjadi silau terkena lampu sorot.
Susah payah Charlos meletakkan sumpitnya ke atas piring dim sum untuk bisa bersalaman dengan pengantin. Kemudian mereka berfoto dengan gaya mulut Charlos penuh dengan makanan yang belum sempat ia kunyah.
Demi solidaritas, sang pengantin pun ikut menggembungkan pipinya seperti dirinya. Charlos hanya bisa bergumam-gumam, terlalu gengsi untuk membuka mulutnya. Matanya saja yang membentuk senyuman sipit.
Akhirnya rombongan sibuk itu pun berlalu. Rissa telah kembali membawa nasi dengan beberapa jenis sayuran di pinggirnya. Charlos menjelaskan tanpa kata-kata bahwa dim sumnya saja belum habis.
Cepat-cepat ia menghabiskan dim sum di mulutnya. Rasanya haus sekali. Tidak perlu kata-kata, Rissa sudah mengerti apa yang Charlos butuhkan. Air mineral sudah siap di tangannya. Charlos meneguk banyak-banyak. Lega sekali rasanya.
Rissa merebut piring dim sum kemudian menyerahkan piring nasi. Ia merasa seperti anak kecil yang diurus oleh ibunya.
"Terima kasih, Rissa. Kamu sudah menyelamatkanku dari kematian mendadak."
"Apa yang kamu bicarakan? Siapa yang mau mati? Ini." Rissa menyerahkan piring lain. "Aku beri kamu bonus kambing guling. Cobalah. Rasanya enak sekali."
"Rissa, aku sudah mencicipi semua makanan di hotel ini. Aku kan..." Rissa menyuapkan sepotong kecil kambing guling ke mulutnya yang sedang terbuka. Mau tidak mau ia mengunyah makanan itu.
"Enak kan." Rissa tersenyum-senyum senang melihat ekspresi wajah Charlos. "Ayo habiskan makanannya. Nanti kamu sibuk lagi. Tapi sepertinya mereka sadar diri, kamu sekarang sedang makan, mereka juga tidak mendekati. Seharusnya sejak tadi kamu mengambil makanan. Jadi kamu tidak akan mengalami 'makan seperti orang gila'."
"Apa?" Charlos melotot.
"Kamu kan pernah bilang padaku kalau aku makan seperti orang gila. Nah sekarang kamu sama seperti aku waktu itu. Kalau sudah lapar, kamu jadi seperti orang lain. Tapi aku senang bisa menolong." Rissa terkekeh.
"Baiklah. Aku tidak akan menyebutmu gila lagi. Puas?"
Rissa masih saja tertawa-tawa. Lalu ia menyuapkan kambing guling ke mulutnya sendiri.
"Charlos, sepertinya banyak orang yang memperhatikan kita."
Apa yang dikatakan Rissa memang benar. Beberapa pasang mata mengamati mereka berdua. Charlos membayangkan apa yang mungkin terjadi bila ia datang kemari dengan Reva.
Lampu mulai meredup. Tim musik mengalunkan lagu yang lebih lembut. Lampu sorot menyinari pasangan pengantin yang telah bersiap-siap untuk dansa di tengah ruangan.
Charlos telah selesai makan. Ia meletakkan piringnya. Selesai minum, ia menarik tangan Rissa. Tampaknya semua pasangan melakukan hal yang sama. Pesta dansa telah dimulai. Beberapa orang mengikuti gerakan dansa diikuti irama musik yang indah.
"Apa yang kamu lakukan?" Wajah Rissa terlihat panik.
Charlos tidak benar-benar mengerti apa yang sedang dilakukannya. Tapi sejujurnya tidak ada yang salah melakukan hal ini dengan Rissa. Suasananya sangat mendukung. Kalau memang ini akan membangkitkan sesuatu dari masa lalunya, maka ia akan membuktikan bahwa itu mustahil. Anggap saja ini sebagai bersenang-senang.
Ia menyunggingkan senyum miringnya. "Ayo kita dansa."
Mudah saja mengarahkan tangan dan tubuh Rissa untuk menempel tepat di depan tubuhnya. Ia nyaris bisa merasakan detak jantung Rissa yang bergemuruh di dadanya. Tangan Rissa terasa sedikit lengket, tapi Charlos tetap menggenggamnya.
"Charlos, aku tidak pernah berdansa. Rasanya aneh..."
"Kamu ikuti aku saja. Ini mudah."
Charlos membimbing Rissa untuk bergerak bersamaan dengannya. Mereka berputar-putar perlahan. Setiap ketukan, satu langkah, kaki yang kanan, mundur sekali, kemudian berputar lagi.
Rissa tertawa geli. Dengan cepat ia telah menghafal gerakannya. Gerakan mereka jadi semakin mantap. Sekarang Charlos sudah tidak perlu membimbing Rissa lagi. Ia bergerak seolah dirinya memang seorang penari sejati.
Tawanya begitu ringan tanpa beban. Wanita yang tengah menari bersamanya tampak seperti burung yang terbang bebas melayang. Charlos bisa merasakan bahwa tubuhnya tidak kesulitan untuk berdekatan, bahkan saling menyentuh seperti ini. Pegangan tangan Rissa di bahunya terasa pas dan sudah seharusnya berada di sana.
Jantung Charlos berdetak cepat, sama cepatnya seperti detak jantung Rissa. Charlos harus mengakui bahwa ada sesuatu yang bergairah di dalam dadanya dan sepertinya itu sangat berbahaya.
"Charlos, ini asyik sekali." Senyum indah mengembang di wajah Rissa.
"Kamu suka?"
"Ya. Aku suka sekali. Aku suka suasana di sini. Aku suka lagunya, lampunya, bunganya." Rissa tertawa.
"Jangan sampai kamu jadi Cinderella. Tinggal beberapa jam lagi untuk kamu melepaskan sepatu kaca. Kamu pikir siapa yang akan memungut sepatu kamu?" Charlos terbahak.
Semoga saja itu tidak membuat Rissa tersinggung. Sepertinya tidak karena Rissa juga ikut tertawa.
"Untung saja ini bukan sepatuku. Mana sanggup aku membeli sepatu sehebat ini."
"Dan gaunnya?" Charlos menaikkan sebelah alisnya.
"Bukan punyaku juga. Ahahaha... Aku tidak punya apa-apa, Charlos. Tapi yang kamu bilang itu benar. Aku merasa seperti Cinderella. Aku bisa berada di sebuah pesta, memakai gaun cantik, sepatu yang bagus, dan sekarang aku sedang berdansa dengan pria paling tampan yang pernah aku kenal. Apalagi kalau bukan Cinderella?"
"Jadi menurutmu aku tampan?"
Wajah Rissa memerah. Senyumnya memudar digantikan wajah yang mendadak tegang.
"Ya. Kamu memang tampan. Semua orang juga memiliki pendapat yang sama. Kamu tampan, punya segalanya. Bagaimana bisa wanita sepertiku berdansa denganmu. Seharusnya malam ini kamu berpasangan dengan Reva, bukan denganku."
Secercah cinta memancar dari balik bulu matanya yang lentik. Charlos menangkapnya begitu jelas. Wanita ini menyukai dirinya.
Charlos melepaskan tangannya dari pinggang Rissa kemudian mundur selangkah. Mata Rissa melebar, wajahnya berubah pucat seperti anak kecil yang terkejut sehabis memecahkan vas bunga.
Pasangan pengantin telah mencapai acara puncaknya. Dansa mereka diakhiri dengan wedding kiss di atas panggung putar yang naik ke atas setinggi semeter lebih. Di sekeliling panggung begitu semarak dihiasi kembang api berbentuk air mancur. Kertas konverti bertebaran di mana-mana. Tepuk tangan riuh memenuhi ruangan.
Charlos membeku, sesuatu yang tajam menusuk di dalam dadanya. Perbuatannya malam ini bisa jadi sebuah pengkhianatan pada Reva. Ya, kenapa ia malah berdansa dengan Rissa dan bukannya dengan Reva. Tapi Reva tidak ada di sini.
Ia hanya ingin bersenang-senang sejenak. Pasti menyenangkan sekali kalau bisa berdua saja dengan Reva. Tapi ia juga ingin berdua dengan Rissa. Tangan yang sedang ia genggam adalah tangan seorang wanita yang baru saja ia kenal, tapi juga begitu memikat hatinya.
Apa saja yang dilakukannya bersama Rissa terasa mudah, tidak perlu panjang-panjang untuk berpikir. Tidak seperti saat bersama dengan Reva. Hatinya protes begitu keras. Hati ini telah menjadi milik Reva. Ia telah berjanji untuk tidak menyakiti Reva lagi. Hentikan semua ini!
"Maafkan aku. Seharusnya aku tidak memaksa kamu berdansa. Ini salahku."
"Kamu tidak salah," jawab Rissa dengan suara agak keras mengimbangi suara tepuk tangan dan sorak-sorai. "Aku senang bisa berdansa denganmu."
Charlos menunduk dan terdiam. Tangan Rissa seolah ingin meraih Charlos, tapi tidak dilakukannya. Kali ini ia merasa seperti telah terjun kembali ke masa lalunya yang begitu berbeda dengan pandangannya sekarang. Akan tetapi raganya masih tetap berada di sini dengan hatinya yang telah berubah.
"Lebih baik aku pulang," ujar Rissa dengan suara normal, setelah semenit berlalu. "Ini sudah malam. Sekarang memang belum jam dua belas. Tapi... terima kasih karena telah membuatku merasa seperti Cinderella. Aku pulang dulu. Sampai bertemu lagi."
Matanya masih memandang sedih Charlos yang tengah berdebat dengan dirinya sendiri, seolah berharap Charlos mencegahnya untuk pergi. Tapi kemudian wanita itu pergi dengan langkah yang kikuk.
Sepasang suami istri yang Charlos ketahui adalah pemilik restoran chinese food yang cukup terkenal, mendekatinya hendak menyapa. Tapi sebelum mereka semakin mendekat, Charlos mengambil langkah seribu.
Mudah-mudahan saja Rissa belum terlalu jauh. Bodoh sekali dirinya. Sudah sekian lama ia menyukai Reva, tidak mudah baginya untuk membagi hatinya kepada yang lain. Rissa hanya menyentuh hatinya sejenak, bukan berarti benar-benar telah merebutnya. Ia tidak perlu memperburuk hubungannya dengan Rissa. Wanita itu tidak perlu tahu keadaan yang sebenarnya. Mereka masih tetap rekan kerja. Charlos harus menjelaskan sesuatu padanya.
Charlos bergegas menuju pintu lift. Rissa sepertinya telah turun. Sebuah lift di sebelahnya membuka. Charlos segera masuk dan menekan tombol satu. Beruntung lift-nya langsung menuju lantai satu tanpa berhenti.
Suasana di lantai satu tidak terlalu ramai. Mungkin sebagian besar tamu telah datang. Di sana ia bertemu Rendra yang sedang bercakap-cakap dengan satpam.
"Rendra! Kamu melihat Rissa?" tanya Charlos sambil terengah-engah.
"Tadi Ibu Carissa mengambil mantelnya lalu pergi ke sana," Rendra menunjuk ke arah luar parkiran. "Saya tidak sempat bertanya..."
Charlos langsung bergerak sebelum Rendra menyelesaikan kalimatnya. Mudah saja melihat Rissa dari kejauhan karena gaunnya yang berwarna merah. Langkah kakinya tidak seanggun saat berada di tengah pesta. Seolah wanita itu mengentak-entakkan kakinya dalam setiap langkahnya.
Tahu-tahu saja kakinya terpeleset. Dengan cepat Charlos menangkap tubuhnya. Tangannya yang satu menyangga kepalanya supaya tidak membentur tembok.
"Kamu tidak apa-apa?" tanya Charlos cemas.
Wajah Rissa terkejut bukan main. Mengapa wanita itu malah menatap wajahnya seperti itu, sangat mengganggu. Untung saja wajah mereka tidak terlalu dekat karena sesuatu bisa saja kembali terjadi di luar kendali.
Charlos membantu Rissa untuk menyeimbangkan tubuhnya. Jepit rambutnya terlepas. Charlos menggenggamnya kemudian memasukkannya ke dalam saku jas tanpa diketahui Rissa.
"Aku tidak apa-apa," jawab Rissa sambil merapihkan rok gaunnya yang tersingkap, menunjukkan sebagian besar kakinya yang mulus. "Kenapa kamu ada di sini?"
Charlos terkekeh. "Terima kasih kembali. Kalau aku tidak ada di sini, kepala kamu sudah bocor terkena tembok, dan paha putih kamu itu sudah jadi tontonan semua orang."
Rissa langsung bersikap salah tingkah. "Terima kasih." Hanya itu yang keluar dari mulutnya.
Charlos menatapnya khawatir. "Kamu sungguh tidak apa-apa? Aku bisa mengantarmu pulang kalau kamu tidak keberatan. Aku bukan bermaksud tidak sopan, tapi wanita seperti kamu pulang sendirian malam-malam, apa kamu tidak takut?"
Wanita itu menatap Charlos. Wajahnya masih terlihat salah tingkah. "Aku ke sini naik mobil kantor. Kalau aku tidak kembali, nanti supirnya akan mencariku. Jadi kamu tidak perlu repot-repot. Sungguh. Aku baik-baik saja. Terima kasih."
Tidak ada yang bisa Charlos katakan lagi. Rissa memang benar. Ia tidak mungkin membiarkan supirnya menunggu. Syukurlah ia sudah ada yang mengantar. Setidaknya Charlos tidak perlu sulit untuk menjelaskan apa-apa padanya malam ini.
Rissa mengangguk tanda pamit. Kemudian ia menuruni parkiran dan menghilang di belokan. Charlos mulai berpikir kenapa mobilnya tidak diparkir di dalam hotel saja? Apa karena tempat parkir di hotelnya kurang luas? Mungkin saja.
Penasaran, Charlos berjalan turun dan ia menemukan jawabannya. Dasar wanita tukang berbohong. Mobil kantor apa? Ia melihat Rissa sedang membuka pintu taksi dan masuk ke dalam.
Jadi memang beginilah dirinya, selalu saja melakukan tindakan yang konyol. Bersama dengan Reva selalu menjadi sebuah kesalahan bagi dirinya dan semua orang yang mungkin melihatnya. Tidak ada bedanya bersama dengan Rissa. Ia juga selalu melakukan hal-hal yang salah seperti membiarkannya pulang sendiri naik taksi.
Hatinya nyaris meragukan jati diri yang sebenarnya. Tapi sekali lagi hatinya menegaskan bahwa Reva tetaplah menjadi pilihannya. Reva tidak akan meninggalkannya seperti yang Esther lakukan. Sekarang ini tinggal ia mencari waktu yang tepat untuk menyatakan perasaannya pada Reva. Pikirannya harus lebih fokus agar ia tidak lagi kecolongan untuk melirik wanita lain.
***
Dari kejauhan Reva melihat segalanya. Dalam hatinya begitu sedih dan kecewa. Mudah saja bagi Charlos untuk memiliki partner pesta pernikahan. Tapi begitu sulit untuk meluangkan waktu dengan dirinya.
Wanita muda itu tampaknya tidak tahu dengan siapa ia sedang berhadapan. Jika Charlos memang lebih memilih wanita itu, ia juga tidak akan memaksakan pilihannya. Mungkin lebih baik Charlos bersama dengan wanita itu daripada dengan dirinya.
Mungkin kini saatnya untuk berhenti mengejar cintanya yang terlarang dan tidak mungkin untuk menyatu. Tapi hatinya masih begitu perih dan tidak terima atas segala yang telah ia lihat dengan mata kepalanya sendiri. Ia begitu yakin bahwa Charlos juga memiliki perasaan yang sama dengan dirinya. Lantas mengapa segala sesuatu terasa begitu sulit bagi mereka berdua?
Dengan geram, Reva memutuskan bahwa ia tidak akan berhenti untuk mendapatkan perhatian Charlos sampai pria itu memutuskan sendiri dengan siapa ia akan menetapkan hatinya.