Andrea menggeliat saat sinar matahari mulai menyapanya melalui celah korden. Ia bangkit dari posisi tidurnya. Ia bangkit dari posisi tidur dan merentangkan kedua tangannya ke atas sembari terus menguap. Dalam sekejap ingatannya kembali ditarik paksa untuk mengingat semua kejadian kemarin berikut kejadian bersama Azka tadi malam. Awalnya gadis itu tersenyum mengingat kejadian bersama Daren. Lelaki paruh baya itu sangat hebat dalam urusan tubuhnya. Berbeda dengan Azka yang selalu membuat dirinya merasa sangat di hargai dan hatinya menghangat dengan setiap perhatian kecil yang diberikan oleh lelaki itu. Lelaki itu tidak pernah menyentuhnya lebih selain usapan di kepala dan genggaman tangan. "Kenapa kamu begitu hangat?" lirih Andrea sembari mengusap kasar wajahnya. Ia baru menyadari jika ucapan itu ia tujukan kepada Azka bukan Daren yang sudah mengambil ciuman pertamanya.
Pikiran Andrea kembali menerawang. Ia mengingat semua hal yang dilakukan kedua lelaki itu. Jika Daren selalu memeluk dan menciumnya, Azka justru tidak pernah melakukan hal itu. Lelaki itu hanya akan diam saja saat sedang duduk ataupun berjalan bersamanya. Tapi, Azka akan mengutamakan keselamatannya. Menjaganya dan mengingatkannya pada hal-hal kecil yang sering terlupa oleh Andrea. "Ada di antara kalian membuatku menjadi wanita paling beruntung," gumamnya lagi kemudian beranjak menuju kamar mandi. Ia berlama-lama di sana dengan pikiran yang masih menerawang dua lelaki tampan tapi beda usia itu .
Menyadari dirinya tak sempat melihat jam saat bangun tadi, Andrea segera menyudahi acara mandinya. Ia segera berlari menuju walk in closed dan memilih baju yang akan di pakainya. Entah mengapa hari ini ia begitu bingung akan mengenakan baju seperti apa, padahal biasanya ia tidak akan terlalu peduli dengan hal semacam itu. Ia berpikir penampilannya hari ini harus elegan dan cantik di depan Azka. "Apa yang kamu pikirkan Andrea?" gumamnya pelan sembari terkekeh menyadari kegilaannya sendiri. Andrea meringis mengingat bagaimana hubungannya dengan lelaki itu. Ia tak tahu mengapa sebegitu percaya diri untuk memikirkan tentang Azka di waktu yang tak tepat. Andrea menggelengkan kepalanya untuk menghalau pikirannya sendiri tentang Azka karena belum tentu lelaki itu akan melakukan hal yang sama. Bahkan sikap acuh dan sesikit bicara masih sering lelaki itu tunjukkan saat mereka sedang bersama. Andrea mengesah pelan dan memikirkan kembali tentang perasaannya yang tak menentu. Ia menyadari bahwa Azka akan banyak berbicara dan tertawa hanya saat bersama dengan Fathan. Lelaki yang membuatnya penasaran setengah mati saat tiba-tiba memilih menginap di apartemen Azka .
Andrea menghela napasnya pelan sembari kembali menerawang bagaimana sikap Azka. Sekelebat bayangan tentang lelaki berkepribadian menyimpang bergelayut manja d pikiran cantik Andrea. Ia pun segera menggelengkan kepalanya, tidak.. tidak mungkin Azka begitu. Ia meringis menyadari pemikriannya yang sangat tidak masuk akal. Ia pun segera menyambar kaos dengan aksen polkadot untuk di kenakannya dan celana jeans ketat kesayangannya. Tak lupa mengambil setengah rambutnya untuk di jepit dengan asal. Ia pun berlalu menuju meja rias untuk sekedar memoleskan bedak dan lipbalm yang membuat wajahnya terlihat semakin segar. Ia pun bergegas menuju lift, namun tak sengaja bertemu dengan Azka dan Fathan. Mereka berjalan beriringan tanpa obrolan. Hanya sesekali ucapan Fathan yang dijawab dengan deheman oleh Azka. Andrea sendiri memilih mengeluarkan ponselnyq dan memasang headset. Hal itu tak luput sedikitpun dari perhatian Azka meskipun secara diam-diam.
Pintu lift terbuka, Fathan melangkah lebih dulu sedangkan Azka menghentikan langkahnya dan menoleh ke arah Andrea yang masih diam saja. Dengan gerakan cepat, Azka menarik lengan Andrea hingga membuat gadis itu memekik kecil. Tubuhnya yang tak siap dengan gerakan tiba-tiba itu akhirnya limbung dan menabrak tubuh tegak dengan cukup keras. "Arrgghh shit," umpatnya sembari mengusap dahinya lembut. Azka terkekeh melihat gadis itu meringis kesakitan.
"Pakai matamu," ucapnya sembari menggantikan tangan Andrea untuk mengusap.
Andrea memutar bola matanya malas. "Kau bisa memanggilku," kesalnya.
Azka sama sekali tak menggubris ucapan Andrea. Ia justru kembali menarik gadis itu lagi untuk bergegas menuju halte karena Fathan kini sudah tak terlihat. Andrea mengikuti langkah lebar dan panjang Azka dengan sedikit berlari karena memang dirinya belum siap.
"Lepaskan aku, Azka." Andrea menarik paksa lengannya yang ada di genggaman lelaki itu. "Aku bisa jalan sendiri," imbuhnya saat lelaki itu saama sekali tak merespon ucapannya.
"Sebentar lagi bus datang dan aku yakin kau tak akan lolos begitu saja masuk ke dalam tanpa bantuanku," ucapan Azka terdengar sangat sombong di telinga Andrea yang kini hanya bisa mendengus sebal.
Andrea memilih mengikuti gerak pandangan Azka di banding menjawab ucapan lelaki itu barusan. Ya, pagi ini memang terlihat sangat ramai di halte padahal biasanya mereka adalah penumpang pertama. Mungkin karena mereka sedang ingin datang lebih awal ke kantor, pikir Andrea. Sementara itu, Fathan yang sedari tadi hanya menjadi penonton kini mulai mendekat. Ia memeperhatikan sikap Andrea yang masih sangat kesal pada Azka. Tak terasa ia pun tersenyum saat menyadari bahwa Andrea sedang mengerucutkan bibirnya sembari terus bergumam yang ia yakini sedang mengumpati Azka.
Azka menghela napas pelan dan melepaskan genggamannya perlahan. "Apa kau marah?" tanyanya sembari mengingat kejadian semalam.
Bus yang mereka tunggu akhirnya datang saat Andrea belum sempat menjawab pertanyaan Azka. Fathan sudah lebih dahulu masuk dibanding Azka yang masih sibuk mencarikan jalan bagi Andrea yang kini sudah terdorong oleh lalu lalang penumpang lain yang ingin keluar dan masuk ke dalam bus. Lelaki itu tampak tenang berbeda dengan Andrea yang kini mulai panik. Dengan cepat Fathan meraih bahu Andrea dan membawanya masuk ke sisi sebelah kiri.
"Kenapa mereka tidak bisa mengantri," kesal Andrea yang kini sudah berdiri melkeat dengan dada Fathan. Ia menatap sekeliling dan tak menemukan Azka.
"Duduklah," tiba-tiba suara Fathan menginterupsi perhatiannya yang sedang sibuk mencari dimana Azka berada. Ia baru menyadari jika lelaki itu sudah merapatkan tubuhnya yang terhimpit penumpang lain.
Andrea mengikuti kata Fathan. Ia duduk dan terdiam melihat sekeliling. Ia tak menemukan Azka. Dalam hatinya merutuki dirinya sendiri yang justru memaksa lelaki itu melepaskan genggamannya dan mengikuti Fathan yang menariknya. Andrea merasa bersalah jika sampai Azka tertinggal di halte hanya untuk membantunya mendapat ruang di dalam bus.
"Azka ada di dekat pintu sana," suara Fathan kembali mnenginterupsi mata Andrea yang sedang mencari Azka. "Jangan khawatir, dia tidak tertinggal," tambah Fathan sembari terkekeh melihat wajah pias Andrea.
"Kau yakin?" tanya Andrea mencoba mencari kebohongan Fathan.
Fathan hanya mengangguk untuk menanggapi ucapan Andrea. Sejujurnya ia terlalu gugup ada di dekat gadis itu. Ternyata Azka menyukai Andrea karena gadis itu sangat ramah dan lembut, meskipun tidak semua orang bisa melihatnya. Namun, Fathan yakin sikap itu hanya akan Andrea tunjukkan jika sedang bersama dengan Azka.
Flash Back on
Azka mengusap sayang puncak kepala gadis itu. "Itu sama sekali bukan urusanmu," ucapnya selembut mungkin agar Andrea tidak tersinggung saat tak mendapat jawaban darinya tentang kedatangan Fathan yang tiba-tiba ditambah lelaki itu menginap.
"Apa aku sama sekali tidak ada artinya untukmu?" ucapan Andrea ini benar-benar membuat lidah Azka kelu.
Azka tak bergeming. Ia menimbang sebuah jawaban agar Andrea mengerti dan tak salah paham. Ia ingin sekali mengatakan bahwa semua perhatiannya tersita hanya untuk gadis itu, tapi sekali lagi lidahnya kelu mengingat jika gadis itu bahkan kini lebih sering menghabiskan waktunya bersama seorang lelaki paruh baya yang dirinya pun tak tahu siapa. "Jangan terlalu keras pada dirimu sendiri Andrea," akhirnya kata itu menjadi pilihan Azka dibandingkan menjelaskan perasaannya sendiri. Azka terlalu takut tersakiti oleh perasaannya sendiri.
Andrea menatap tak percaya pada lelaki jangkung di hadapannya. Harapannya untuk mendengar jawaban yang ia inginkan kini menguap entah kemana. Dada Andrea terasa seperti diremas. Sangat sakit namun tidak berdarah. Dengan susah payah ia menahan dirinya untuk tidak menangis saat ini meskipun kedua matanya sudah sangat panas. Andrea menghela napas pelan untuk mengurangi sesaknya. Gadis itu tersenyum samar dan berlalu meninggalkan Azka tanpa sebuah ucapan. Ia terlalu takut jika mulutnya tidak bisa di ajak berkompromi. Maka dari itu ia memilih diam dan berlalu. Ternyata Azka memang tidak seperti yang di pikirkannya. Andrea merasa bodoh karena menganggap Azka peduli padanya karena pada kenyataannya lelaki itu sama sekali tak menganggapnya istimewa. Sebulir air mengalir dengan tanpa bisa di cegah dan terus di ikuti oleh buliran lain yang semakin banyak. Ya, Andrea menangis. Ia sudah tidak bisa menahan diri lagi. "Aku memang bodoh," rutuknya sembari melempar semua bantalam yang ada di sofa ruang tamunya. "Tidak seharusnya aku menerbangkan diriku sendiri setinggi itu," ucapnya lagi masih dengan nada kesal dan kecewa.
"Apa yang sebenarnya terjadi padamu?" suara lelaki itu membuat Andrea menoleh. Ia menatap tak pemilik suara yang entah sejak kapan ada di dalam apartemennya.
"Keluar," Andrea berteriak.
"Andrea," Azka mencoba membujuk gadis yang kini terlihat kacau itu.
"Keluar," suara Andrea semakin meninggi membuat Azka berjengit kaget dan menatap lekat gadis di hadapannya itu. Sedetik kemudian ia pun memilih keluar setelah menghembuskan napas lelahnya yang jelas terdengar oleh Andrea.
Flash Back Off