Clarisa terus berusaha menggelengkan kepalanya. Sesekali kakinya juga ia gerakkan, maju mundur saat tangan Jovan malah bergerilia di pahanya. Demi apa pun, Clarisa ingin sekali melakukan perlawanan, tapi kepalanya yang pening juga kata-kata Jovan soal dirinya yang memang sudah dibeli untuk dinikmati membuat Clarisa terpaksa pasrah.
Kepalanya yang pening karena pengaruh alcohol pun membuat Clarisa tidak bisa melakukan banyak hal. Sialnya lagi, pikiran dengan tubuhnya seakan berkhianat soal sentuhan yang Jovan berikan pada dirinya.
Di dalam otaknya, ia terus meminta untuk berhenti, tapi tubuhnya malah seakan menerima dengan pasrah apa saja yang Jovan perbuat padanya. Bahkan saat cumbuan pria itu makin liar, kalimat-kalimat permohonan dari Clarisa untuk minta dilepas malah berubah menjadi desahan.
"Tolong …ah …aku mohon," rintih Clarisa yang membuat Jovan berhenti sebentar dari kegiatan menikmati Clarisa, ia lantas memilih untuk melihat wajah cantik Clarisa yang sedang memohon dengan senyum miring tercetak jelas di wajahnya.
Meski begitu, Jovan tetap memainkan kedua tangannya di atas tubuh Clarisa. Hanya wajahnya saja yang menatap lurus Clarisa dengan senyum juga fokus mata tertuju pada Clarisa.
"Kau baru saja memohon. Memohon untuk apa? Untuk berhenti atau untuk aku lanjutkan ke tahap berikutnya? Hm?" tanya Jovan yang makin nakal menggoda tubuh Clarisa. Bahkan tangan besar itu tidak lagi ada di paha bagian luar, melainkan sudah ada di paha bagian dalam dengan sesekali mengusap kain pelindung yang menyelimuti inti kenikmatan Clarisa.
Wanita itu makin gelisah, menggeliatkan tubuhnya yang makin lama makin terbakar oleh nikmat yang hanya tangan Jovan berikan. Sempat Clarisa berpikir jika bagaimana seandainya nanti ia benar-benar melakukan itu bersama Jovan, sedangkan baru hanya dengan jarinya saja ia sudah dibuat lemas.
"Aku mohon, aku akan melakukan apa pun asal kau mau membebaskan aku. Tapih …ah …lepas …lepas ...lepaskan aku dulu," kata Clarisa susah payah. Kakinya ia tekuk, berusaha melindungi intinya yang mulai Jovan mainkan dengan jarinya.
"Lepaskan? Ini?" tanya Jovan tidak perduli dengan permintaan Clarisa, ia malah menarik kain pelindung inti kenikmatan Clarisa dan hendak menariknya keluar dari kedua kaki Clarisa tapi dengan sisa tenaganya Clarisa terus menahan.
"Jangan menangis, aku paling tidak suka berhubungan jika lawan mainku malah menangis. Kau …hanya boleh menangis jika milikku sudah mengentak masuk, bukan sekarang," kata Jovan di depan bibir Clarisa yang kemudian meraupnya dengan bibirnya sendiri.
Kelihatannya Jovan tidak perduli dengan penolakan yang Clarisa lakukan, bahkan tidak sama sekali terganggu dengan gerakan-gerakan yang Clarisa timbulkan. Jovan kini malah sudah berhasil melepas kain pelindung terakhir yang Clarisa pakai pada tubuhnya, membuat wanita itu memejamkan matanya kuat. Bersamaan dengan itu, air matanya tumpah.
"Apa aku sudah katakan jika nanti akan terasa sedikit sakit? Hanya sedikit dan sebentar, setelahnya hanya kenikmatan yang akan kau rasakan, Clarisa," bisik Jovan dengan tangannya yang memegang miliknya sendiri.
Clarisa hanya bisa menangis. Kali ini Jovan melepaskan kedua tangan Clarisa yang sejak tadi ia pegang. Perlahan namun pasti, Jovan mulai mengarahkan miliknya ke dalam milik Clarisa. Di rasa posisinya sudah pas, Jovan dengan segera menekan miliknya hingga Clarisa hendak berteriak namun Jovan sudah lebih dulu membekapnya dengan bibir.
"Akh …mmppphhh!!"
Jovan menghentak kuat miliknya, menekan hingga seluruh batangnya masuk ke dalam tubuh Jihan yang makin kuat menangis. Tidak perduli dengan rasa sakit yang masih mendera tempat sensitif Clarisa, Jovan sudah mulai bergerak maju mundur demi meraih kenikmatan bersama.
"Eeeuuughhh…" lenguhan pertama Clarisa keluar saat tautan bibir yang Jovan lakukan tadi berakhir. Bersamaan dengan kedua tangan Clarisa mencengkram kuat pundak Jovan demi menyalurkan rasa sakit yang wanita itu dapat karna selaput kewanitannya telah koyak.
Malam itu, di iringi suara desahan juga decakkan antara kedua kulit yang basah, Clarisa menangis pasrah. Saat itu juga Clarisa sudah menyerah dengan keadaan, ia benar-benar merasa dirinya teramat kotor, tidak lagi bisa mejaga kesuciannya. Bahkan yang membuat dirinya ada dalam kendisi seperti sekarang saja tidak perduli akan kesucian dirinya. Karna demi uang, Ayahnya rela menjualnya dan menghancurkan masa depannya.
***
Pagi harinya Clarisa sudah bangun lebih dulu. Sebelum Jovan terbangun dan melihat dirinya dalam keadaan polos, Clarisa mengantisipasinya dengan bangun dan mandi lebih dulu.
Saat di dalam kamar mandi pun, Clarisa kembali menangis di bawah guyuran air shower. Bagaimana tidak, tubuhnya penuh dengan bercak merah, yang sudah pasti hal itu dilakukan oleh Jovan. Memang siapa lagi yang menghabiskan malam bersamanya tadi jika bukan Jovan.
"Kau sudah bangun?"
Clarisa terperanjat ketika tubuhnya merasakan sentuhan kembali dari Jovan. Meski hanya sekedar pelukkan dari balik punggungnya, tapi Clarisa cukup merasa risih. Ia benar-benar belum pernah melakukan sentuhan fisik pada lelaki mana pun, dan Jovan yang pertama melakukan itu.
Dengan menahan napas, Clarisa mencoba untuk tetap tenang. Setidaknya Jovan tidak melakukan tindakan yang berlebihan maka dia akan aman.
"Hm, aku bangun lebih awal."
Terasa pada pundaknya jika Jovan mengangguk. Setelahnya, tidak pernah Clarisa bayangkan jika Jovan akan mencium pundaknya yang masih terbalut bathrobe dengan begitu lembut. Bahkan satu tangan Jovan sudah berlarian ke leher jenjang Clarisa dan menyentuhnya perlahan hingga Clarisa lagi-lagi harus menggigit bibir bawahnya dengan napas tertahan.
"Apa masih sakit?" tanya Jovan masih dengan tangannya yang berlarian liar. Sedangkan Clarisa yang tidak paham dengan pertanyaan Jovan memilih diam, ia tidak tau harusa menjawab apa dengan kepala makin pening merasakan sentuhan Jovan di tubuhnya.
Tak kunjung ada jawaban dari Clarisa, membuat Jovan kembali mengulang pertanyaannya dengan suara serak basah yang berat. Juga hembusan napas hangat Jovan yang makin membuat Clarisa salah tingkah.
"Ini, aku bertanya soal ini. Apa dia masih sakit?" Kali ini Jovan tidak hanya bertanya, melainkan juga menyentuh inti pusat tubuh Clarisa dengan satu tangannya tanpa rasa canggung, berbeda dengan Clarisa yang malah menegakkan tubuhnya akibat terkejut.
"Ti—tidak."
"Kau yakin? Jangan berbohong padaku. Aku sadar jika semalam aku melakukannya dengan kasar. Jika seingatku, harusnya kau susah berjalan."
Clarisa menunduk, makin kuat menggigit bibir bawahnya. Bagaimana bisa ia mengatakan pada Jovan jika miliknya memang terasa sakit, panas dan perih? Ia terlalu malu mengungkapkannya.
"Baiklah, jika kau tak mau menjawabnya, maka biar aku yang mencari tau," kata Jovan mundur, ia melepas lingkaran tangannya pada pinggang Clarisa lalu memutar tubuh wanita itu dengan memegang pundaknya.
Kini, keduanya sudah saling pandang. Memudahkan Jovan untuk menatap Clarisa dari atas sampai bawah. Pria itu pun berdecak ketika melihat Clarisa yang menunduk.
Dengan cepat ia meraih ujung dagu Clarisa, membuat wanita itu mendongak dan bertemu pandang dengannya. "Aku yang bicara, maka biasakan untuk menatapku. Mulai sekarang, jika aku sedang bicara dan kau tidak menatap ke arah ku, maka hukuman sudah pasti menantimu."
"Hu—hukuman? Maksudmu?"
"Maksudku. Jika aku bicara dan kau tidak menatap ke arahku, maka itu artinya satu kali ciuman untukku. Kau paham?"
Dengan cepat Clarisa menelan salivanya, merasa terintimidasi dengan senyum miring Jovan juga mata coklat terangnya.
"Kau paham, Clarisa?"
"Iya."
"Bagus. Seperti apa yang aku katakan tadi, aku yang akan cari tau sendiri apa milikmu sakit atau tidak. Jadi, sekarang coba kau melangkah ke sana dan kembali lagi kemari. Aku ingin tau bagaimana caramu berjalan."
"Hah?"
"Lakukan saja atau aku akan menghukumu?" tanya Jovan membuat Clarisa mau tidak mau memenuhi keinginan Jovan.
Walau sudah berusaha dengan sekuat tenaga terlihat baik-baik saja, tapi tetap saja ia tidak berhasil. Langkah kakinya terhenti saat baru saja melangkah sebanyak tiga kali. Ringisan pelan juga terdengar di telinga Jovan, membuat pria itu berdecak dan cepat-cepat menghampiri Clarisa.
Tanpa kata-kata Jovan meraih tubuh Clarisa, menggendong wanita itu ala bridal style hingga membuat Clarisa terpekik dan mengalungkan tangannya di leher Jovan. Tidak perduli dengan suara pekikan Clarisa juga wajah kaget wanita itu, Jovan malah sudah menidurkan lagi Clarisa di atas ranjang.
"Mau apa?" tanya Clarisa saat tubuhnya baru saja menyentuh ranjang, tapi Jovan tetap bungkam. Ia pergi ke sebuah ruangan yang juga ada di kamarnya lalu kembali setelahnya dengan benda kecil ada di tangan.
"Kau mau apa??" tanya Clarisa lagi, ia harus tau apa yang Jovan ingin lakukan. Takutnya pria itu kembali meminta ia untuk melayaninya seperti tadi malam. Karna jujur, jika itu terjadi Clarisa tidak akan siap. Miliknya …benar-benar masih sakit.
Namun bukan jawaban yang Clarisa dapat, melainkan bathrobe-nya dibuka oleh Jovan cepat hingga Clarisa panik dan menutupi tubuhnya dengan tangan.
Jovan yang melihat itu menatap Clarisa dalam kemudian menggeleng. "Aku tidak akan melakukannya lagi. Kau masih sakit, jadi tidak mungkin sekarang. Aku cuma mau mengobatinya. Ini, dengan salep," jelas Jovan menunjukan salep yang ada di tangannya.
Meski begitu, Clarisa tetap tidak mau. Malu adalah asalan utamanya. Saat ia hendak menolak, Jovan sudah duduk di tepi ranjang dengan satu tangan sudah memegang kakinya.
"Biar aku bantu olesi, aku hanya ingin mengobati tidak akan lebih, aku janji," kata Jovan menyakinkan Clarisa jika ia tidak akan macam-macam.
Setelah berpikir sedikit lama, Clarisa akhirnya pasrah pada keputusan Jovan. Ia membiarkan Jovan mengoleskan salep pada miliknya. Walau resikonya ia harus menahan napas dengan rasa malu yang luar biasa. Meski begitu, ada hal lain yang Clarisa temukan. Jovan saat ini, terlihat berbeda. Lebih lembut dan perhatian.
Bersambung…
Jangan lupa tinggalkan jejak kalian ya. See you!