Jovan menjauhkan wajahnya dari wajah Clarisa. Dipandangnya wajah cantik itu dengan seksama. Wajah cantik yang terlihat pucat dari pertama kali bertemu.
Dengan lembut tangan besar Jovan menangkup kedua sisi wajah Clarisa, mencoba memberikan rasa hangat dari tangannya pada wajah wanita itu.
"Kau sudah tidak takut," kata Jovan tenang.
Clarisa tidak menjawab, hanya menatap Jovan lurus karna tidak tau apa yang akan ia katakan. Berdekatan dengan pria seperti sekarang baru hanya dengan Jovan ia lakukan. Sebelumnya, hanya Abraham yang pernah ada di hidupnya.
Tapi sekarang, ia bersama Jovan di sini. Bahkan bukan hanya sekedar duduk berdua, tapi mereka juga sudah pernah melakukan hal yang lebih dari ini, dan itu membuat Clarisa mau tidak mau harus membiasakan diri.
"Aku mau kau setenang ini, Clarisa. Jangan takut, buang jauh-jauh rasa takut itu. Rilex saja, aku tak akan menyakiti jika kau menjadi penurut."
"Hm." Clarisa berdeham pelan, tidak mau terlalu ambil pusing dengan ucapan Jovan.
Clarisa tau, dirinya terlanjur masuk ke dalam jerat hitam kehidupan Jovan. Kalau pun ia keluar, Clarisa tidak yakin jika dirinya akan selamat. Atau mungkin, jika ia berhasil keluar, Clarisa tidak yakin jika dirinya akan diterima dengan baik oleh lingkungan luar.
"Nanti kau harus bersiap," kata Jovan pada Clarisa setelah kedua tangannya terlepas dari wajah cantik wanita itu.
Sebelah tangannya terangkat, ia jentikan kedua jarinya untuk memanggil pelayan yang ada di sana. Ketika satu pelayan datang dengan langkah terbopoh, Jovan lantas menatap pelayan tersebut dengan wajah datar yang terlihat jelas di mata Clarisa.
"Ambilkan batrobe untuk Clarisa. Lalu beritahu Moza untuk membantu Clarisa bersiap," kata Jovan tenang tapi terasa dingin. Berbeda sekali saat beberapa saat lalu pria itu bicara pada Clarisa. Terasa hangat dan lebih bersahaja.
"Baik, Tuan. Tunggu sebentar, saya akan menyiapkan kebutuhan Nona Clarisa segera."
"Hm."
Tanpa menoleh lagi, Jovan mengibaskan tangannya di udara, meminta maid tadi untuk segera pergi yang kemudian kembali menatap Clarisa.
"Bersiaplah bersama mereka. Aku sudah mengirimi mu sebuah gaun untuk kau pakai malam ini. Aku harap kau mau memakainya. Aku yakin kau akan terlihat mengagumkan jika memakai gaun tersebut."
Dengan anggukan kecil Clarisa menjawab. Suaranya yang tertahan coba untuk ia keluarkan, takut jika nanti Jovan tersinggung akan prilakunya. "Iya." Satu kata yang sudah susah payah Clarisa keluarkan membuat Jovan mengukir senyum manis.
Setelah semua hal yang terasa asing di mata Clarisa. Jovan malah bangkit lebih dulu. Ia meraih selembar handuk putih tak jauh dari jacuzzi, melilitkan handuk tersebut pada pinggangnya kemudian mengusap puncak kepala Clarisa lembut sebelum ia beranjak pergi dari jacuzzi tempatnya dan Clarisa berendam.
"Aku pergi lebih dulu, sampai jumpa di ruang tengah nanti. Jangan buat aku menunggu," bisik Jovan yang kemudian menghadiahi Clarisa dengan sebuah ciuman manis di pipinya.
Setelah kepergian Jovan dari ruang jacuzzi tadi, Clarisa memegangi dadanya. Jantungnya yang bertalu membuat Clarisa harus mengatur napas, sekali lagi ia menatap pintu keluar di mana pintu itu yang menelan Jovan hingga tak terlihat lagi, debar jantungnya masih saja sama.
"Apa aku tertarik padanya? Masa ia? Bukannya dia pria yang cukup aneh?" Clarisa menggeleng, menepis pikirannya yang tadi berpendapat jika ia menyukai, Jovan. Ia kubur pikiran tadi dan ia alihkan dengan pikiran jika ia hanya takut pada Jovan, makanya tadi jantungnya berdebar tidak karuan.
"Bukan Clarisa, itu bukan rasa suka. Itu rasa takut mu yang jauh lebih kuat kepadanya," kata Clarisa menyakinkan dirinya. Tak lama setelah pintu terakhir tertutup akibat Jovan yang pergi, pintu itu kembali terbuka. Kali ini dengan menampilkan satu maid juga Moza.
Sebelum benar-benar mendekat, Moza meminta maid untuk tidak mendekat. Moza mengambil alih bathrobe yang di pesan Jovan tadi lalu menyerahkannya pada Clarisa.
Meski sempat terkejut melihat keadaan Clarisa yang tidak terbalut kain apa pun, Moza tetap diam. Mencoba maklum karna kini Clarisa adalah tawanan Jovan.
**
Setelah bersiap selama hampir dua jam, Moza akhirnya mengatakan jika Clarisa siap.
Jujur, Clarisa tidak pernah menghabiskan waktu selama ini hanya untuk berdandan, membuat dirinya nyaris mati bosan.
"Kau terlihat sangat cantik, Clarisa."
Clarisa tersenyum masam, ia menatap pantulan Moza dari cermin meja riasnya kemudian menggeleng sambil mengibaskan tangan di udara.
"Tidak secantik itu."
"Kau merendah. Buktinya Tuan Jovan memilih mu."
Clarisa menatap pantulan dirinya sambil mengangguk pelan beberapa kali. "Dipilih dengan dibeli berbeda, Moza. Aku ...dibeli oleh Jovan."
"Clarisa, aku---"
Moza tidak lagi bisa melanjutkan kalimatnya ketika satu tangan Clarisa ada di udara, memberi tanda jika ia tidak mau mendengar apa pun lagi tentang pembahasan masalah ini.
"Kau sudah tau, aku ini dijual dan dibeli oleh Jovan. Jadi, dia tidak akan memilihku. Jika dia bosan, aku bisa dibuang kapan pun dia mau. Sama seperti wanita yang selama ini pernah mendampingi dirinya juga. Bukan begitu?" tanya Clarisa membuat Moza jadi merasa bersalah.
Pasalnya ia tau jika sejak awal Clarisa dibeli oleh Jovan, bahkan mungkin, saat Clarisa belum tau dirinya dijual. Moza tau. Moza-lah yang dulu mendapati Abraham di depan apartemen Jovan dan mengatakan jika pria itu ingin menjual seorang gadis pada Jovan. Dan gadis itu, Clarisa.
"Clarisa--"
"Sudahlah, Moza. Bisakah kita akhiri percakapan kita ini? Aku lebih baik segera bertemu dengan Jovan. Aku tak mau membuat Tuan-ku menunggu."
Clarisa sudah berdiri, merapikan sedikit gaunnya yang terlihat kusut dibagian pinggang lalu mengangguk pada Moza yang masih memperhatikan dirinya dari pantulan cermin.
Buru-buru Moza menyiapkan semua yang perlu Clarisa bawa. Setelah semua siap, Moza mengantarkan Clarisa untuk bertemu Jovan diruang tengah Mansion mewah pria itu.
Dari sofa ruang tengah di mana Jovan duduk, pria itu dapat melihat kehadiran Clarisa yang menuruni anak tangga satu per satu.
Meski wajah Clarisa menunduk, Jovan sudah bisa menebak bagaimana cantiknya wajah Clarisa malam ini. Dengan bangga Jovan akan memamerkan Clarisa di hadapan para rekannya nanti.
Tepat saat langkah Clarisa yang diantar Moza sampai di depannya. Jovan segera menarik ujung dagu Clarisa, memaksa wanita itu untuk saling beradu pandang dengannya.
"Jangan menunduk. Tidak ada kata menunduk untuk pasangan Jovan malam ini. Kau tau? Kau terlihat amat sangat mempesona malam ini. Jadi, bisa aku mendapat satu kali senyum manis mu?" tanya Jovan setelah Moza pergi, pria itu bisa bicara panjang.
Karna memang bertekad untuk tetap bertahan di tempat ini, Clarisa pun akhirnya menurut dengan perintah-perintah Jovan.
Menarik sudut bibirnya secara bersamaan hingga membentuk garis lengkung ke atas, Clarisa akhirnya berhasil melukis senyuman. Ia memberikan apa yang Jovan mau hingga pria itu pun ikut tersenyum tipis. Sangat tipis sampai semua orang yang melihat pun tidak akan sadar jika tidak diperhatikan dengan baik.
"Cantik," puji Jovan setelah mendekatkan bibirnya ke daun telinga Clarisa yang sebelah kiri.
"Terima kasih." Jovan mengangguk mendengar jawaban Clarisa, ia mengulurkan tangannya, meminta Clarisa untuk menggengamnya kemudian ia bawa tangan Clarisa di lengan sebelah kirinya.
"Pastikan semua orang memandang ke arah kita malam ini, Clarisa," kata Jovan yang setelahnya membawa langkah mereka untuk segera pergi.
Di dalam hati, banyak sekali hal yang berkecambung untuk Clarisa. Bahkan di dalam pikirannya, beribu pertanyaan terus terlintas di otak cantiknya.
Soal sikap Jovan yang hangat padanya, nasibnya kedepan, sampai bagaimana jika ia nanti berhasil lepas dari Jovan. Akan makin menderita, atau bahkan bisa bahagia?
Semua pertanyaan itu belum terjawab, sampai bibirnya merasakan jika ada bibir yang menempel di atas bibirnya. Clarisa yang terkejut sedikit menjauh tapi malah membuat Jovan tersenyum.
"Aku tidak suka melihatmu murung. Sudah aku katakan, tersenyum dan bahagialah, aku lebih suka Clarisa yang senyumnya lebar. Kau lebih cantik jika begitu," kata Jovan mulus, tidak ada keraguan di dalam kalimat pria itu sampai membuat Clarisa kembali berpikir. Mungkinkah ini hanya mimpinya saja bisa membuat Jovan sebaik ini padanya?
Ah, entahlah.
Bersambung...