Bruk!
Clarisa berjingkat kaget saat suara keras terdengar begitu dekat dengan dirinya.
Matanya yang tadi terpejam pun kini perlahan ia buka paksa. Sedikit demi sedikit Clarisa bisa menerima cahaya yang masuk ke netra matanya. Ia mengerjap pelan saat menyadari ada seseorang berdiri tepat di depan dirinya. Dan saat kesadarannya sudah terkumpul, Clarisa pun mendongak, menyipitkan mata karna cahaya lampu yang tiba-tiba menubruk netranya.
"Ini pakaian dan buku peraturan dari Tuan Jovan. Kau baca dan pahami isinya, jika ada yang kurang jelas, bisa kau tanyakan padaku."
Kening Clarisa berkerut. Meski ia yakin pria yang saat ini bicara di depannya itu adalah Karim, tapi tetap saja Clarisa ingin memastikan.
"Kau Karim?"
"Apa aku nampak berbeda?"
Clarisa mengangguk pelan. "Lumayan. Pakaianmu nampak berbeda dari tadi saat pertama kita berjumpa."
Karim menatap Clarisa datar, ia memutar tubuhnya, melangkah pergi dari hadapan Clarisa dan memilih ke dapur. Sebelum benar-benar masuk ke dalam dapur, Karim sempat menunjuk jam dinding di ruang tengah.
"Sekarang jam dua pagi. Jelas saya tidak akan menggunakan jas di jam segini. Dan ngomong-ngomong, saya punya makanan untuk kamu. Makan lebih dulu, setelah itu baca peraturan yang harus kamu jalankan saat bersama, Tuan."
Clarisa mengalihkan pandangan pada buku yang Karim letakkan di atas meja, meraihnya cepat kemudian ia buka. Penasaran dengan apa yang tertulis di dalamnya.
'Peraturan Jovan Alexander'
Tulisan pertama yang ia lihat sudah berhasil membuat Clarisa memejamkan mata. Belum juga ia tau isinya, tapi Clarisa sudah bisa menarik kesimpulan jika setiap peraturan yang Jovan buat pasti akan sangat merugikan dirinya.
Dengan penuh tekad Clarisa akhirnya membuka lembar pertama, mencoba tabah saat nanti tau apa yang tertulis di sana.
Kalimat pertama Clarisa masih baik-baik saja, tidak ada peraturan yang memberatkan. Dia hanya diharuskan untuk tetap menjaga sopan, menjadi perempuan yang baik lalu tunduk atas kuasa Jovan.
Hingga lembar berikutnya, Clarisa tersedak, membuat Karim segera mengulurkan segelas minuman yang diambilnya tadi di dalam lemari pendingin.
"Minum dulu," kata Karim pada Clarisa yang sibuk menepuk dadanya.
Tidak langsung menerima minuman yang diulurkan Karim padanya, Clarisa malah menatap lama gelas di tangan Karim hingga membuat Karim berdeham kuat.
"Apa ada yang salah?" tanya Karim pada Clarisa yang langsung membuat Clarisa menggeleng.
"Tidak."
"Lalu kenapa tidak kau ambil minuman ini?"
Sekali lagi Clarisa menatap gelas itu, kemudian melirik Karim yang masih mengulurkan gelas padanya.
"Apa kau juga akan memakai ku seperti yang tertulis di sini? Melayani?"
Karim menatap datar Clarisa, wanita ini begitu polos. Benar kata Jovan, kali ini pria itu mendapat wanita yang berbeda. Karna biasanya, Karim tidak pernah repot untuk meminta para wanita yang akan bersama Jovan untuk membaca peraturan. Karena, wanita-wanita yang Jovan punya dulu lebih suka menyerahkan diri, bukan seperti Clarisa yang dipaksa menyerah.
"Apa pun yang tertulis di buku peraturan Tuan Muda Jovan, hanya akan kau lakukan bersamanya saja."
"Termasuk melayani kebutuhan ranjangnya?"
Karim mengangguk. "Bukannya kau di sini untuk itu?"
"Tapi aku masih gadis," pekik Clarisa membuat Karim bangkit dengan cepat, bersamaan dengan kedua pundaknya yang terangkat ringan.
"Itu kelebihanmu, dan karna itu harga yang Ayahmu dapat mahal. Satu milyar, dan karna itu bersyukur-lah."
Setelah mengatakan hal tersebut dengan ringan, Karim melangkah mendekati pintu utama Apartemen. Karna takut ditinggalkan lagi, Clarisa segera menyusul. Belum sempat Karim benar-benar membuka pintu, Clarisa sudah lebih dulu menahan lengan Karim dan menatapnya serius.
"Kamu mau kemana?"
"Pulang."
"Lalu aku?"
"Kau akan tetap di sini sampai besok. Besok, bersiaplah. Akan ada penata rias yang akan datang, gunakan gaun yang saya berikan tadi kemudian lakukan apa-apa saja yang Tuan Jovan inginkan sesuai dengan peraturan di sana. Tampil cantik dan jangan mengecewakan, itu yang Tuan Jovan ingin darimu, jadi lakukan itu."
Setelah ucapan panjangnya, pintu apartemen benar-benar terbuka, menghilangkan Karim dari sana dan membuat Clarisa kembali jatuh terduduk.
Ia menatap nanar buku peraturan yang ada di atas pahanya, memilih menekuk kedua lututnya ke atas lalu memeluknya sambil menyandarkan kepalanya di atas lutut.
"Jadi aku tidak bermimpi? Aku benar-benar dijual oleh, Ayah? Aku ...wanita bayaran sekarang?" lirih Clarisa.
Tadi Clarisa masih berharap jika ia hanya bermimpi, berpikir jika Abraham tidak akan tega melakukan hal seperti ini pada dirinya. Tapi saat ia terbangun dan sadar jika ia masih ada di apartemen yang sama dengan saat Abraham membawanya juga kembali bertemu Karim, ia sadar jika ini nyata.
Dirinya ...sudah terjual.
"Kenapa Ayah tega? Kenapa? Kenapa harus aku?" tanya Clarisa menjatuhkan buku pemberian Karim yang berasal dari Jovan. Kedua tangannya beralih menjambak rambutnya, menangis dengan isakkan kuat hingga membuat dadanya sakit. Tapi tetap saja, sebanyak apa tangisan yang ia keluarkan, tetap tidak bisa merubah kenyataan jika dirinya sudah dijual Ayah kandungnya.
***
Keesokkan harinya.
Clarisa menatap datar cermin besar yang menampilkan dirinya sendiri. Dibalik punggungnya, masih ada beberapa orang yang membantu merapikan rambutnya.
Di dalam otaknya, Clarisa terus berpikir, mencoba untuk mencari cara agar bisa keluar dari keadaan ini.
Tapi saat otaknya masih berpikir cara-cara apa saja yang harus ia lakukan, tepukkan di pundaknya membuat Clarisa tersadar.
"Tuan Jovan kali ini benar-benar tidak salah pilih. Nona sangat cantik, bahkan saat kami belum merias wajah Nona saja, kecantikan Nona sudah terlihat. Dan setelah dirias, kecantikan Nona kembali bertambah berkali-kali lipat."
Pujian demi pujian Clarisa dapat, tapi tidak membuat Clarisa terkesan. Ia hanya diam, menatap datar pantulan wajahnya. Dengan sangat tidak semangat, Clarisa memejamkan matanya, mencoba untuk tetap bertahan meski sangat sulit.
"Apa ini sudah selesai?" tanya Clarisa tidak menanggapi ucapan pelayan tadi yang memuji kecantikan dirinya.
Bukannya langsung menjawab, pelayan tadi malah terkekeh, membuat Clarisa menaikan sebelah alisnya bingung.
"Kelihatannya Nona Clarisa tidak suka dengan Tuan Jovan, tapi juga tidak sabar ingin bertemu. Sabar Nona, Tuan Jovan sudah siap sejak tadi, dia sudah menunggumu sejak tadi di Mansion. Dan saya rasa, Tuan sama tidak sabarnya seperti, Nona."
Clarisa memutar bola matanya jengah. Sungguh, jika saja tidak ada peraturan untuk tetap sopan pada siapa saja yang berkaitan dengan Jovan, mungkin mulut pada pelayan ini akan Clarisa bungkam dengan kalimat 'Aku bahkan tidak ingin ada di sisi Tuan-mu karna bayaran!'
Sayangnya, ucapan Clarisa tadi hanya berani berkoar di dalam hati. Ia terlalu takut dengan kemungkinan buruk yang terjadi, seperti; tidak bisa keluar selamanya dari lingkaran setan ini.
Baginya, Jovan adalah setan karna mau membeli dirinya dari sang Ayah. Dan Ayahnya; Abraham adalah iblis yang rela menjual anaknya demi uang. Dunia benar-benar sudah gila jika Clarisa lihat.
"Bisa langsung temukan aku dengan Tuan kalian? Ada yang harus aku bicarakan dengannya."
Si pelayan tetap terkekeh, dan Clarisa mulai tidak perduli akan aksi mereka itu.
"Tentu, Nona. Setelah ini kalian akan tinggal bersama, maka dari itu kapan pun Nona ingin, Nona bisa bicara dengan Tuan."
Tidak menjawab, Clarisa lebih memilih berdiri. Dengan sigap satu pelayan datang lagi, berjongkok di depan dirinya sambil menyerahkan sepatu hak tinggi keluaran brand ternama.
"Eh?" Clarisa mundur, tapi dengan cepat ditahan salah satu pelayan yang paling dominan sejak tadi, mungkin itu adalah pemimpin dari para pelayan itu.
"Tenang Nona, ini biasa. Kami akan membantu anda mulai sekarang. Dari ujung rambut hingga ujung kaki."
Clarisa tercengang, ia menatap semua orang di sana, menggeleng tidak percaya akan perlakuan mereka. Bahkan saat tadi Clarisa akan memakai parfum saja, ada yang menyemprotkan. Sungguh terlalu berlebihan jika Clarisa pikir.
"Apa menurut kalian ini tidak berlebihan?" tanya Clarisa dan pelayan itu menggeleng.
"Bagi kami, apa pun perintah Tuan Jovan, tidak pernah berlebihan."
Dengkusan keluar dari Clarisa, tidak perduli jika para pelayan itu menyadari ketidak sukaannya pada sikap Jovan.
"Sudahlah, aku hanya perlu bicara dengan Tuan kalian. Jadi, bisa aku pergi sekarang?" tanya Clarisa yang langsung digiring menuju pintu apartemen. Belum sampai keluar, ada lagi seorang pelayan datang dengan satu buah tas keluaran brand ternama, menyambut Clarisa dengan ramah.
"Tasnya, Nona."
"Tas?"
"Iya. Di dalamnya sudah lengkap. Mulai dari ponsel, kartu debit dan kredit, alat make-up, hingga semua keperluan yang mungkin akan anda butuhkan nanti."
Meski bingung untuk apa ia mendapat itu semua, Clarisa tatap meraihnya. Yang ia perlu lakukan sekarang adalah pergi dari tempat ini segera dan kabur. Itu yang ada di dalam otak cantiknya. Tidak peduli seberapa kaya Jovan hingga bisa memberikan dirinya pelayan memukau dan mewah seperti ini di hari pertama dirinya tinggal.
'Tujuanku hanya satu. Setelah keluar gedung ini, kabur sejauh yang aku bisa,' gumam Clarisa di dalam hati ketika sampai di depan lift dan menunggu pintu lift terbuka. Kedua tangannya mencengram erat tali tas yang ada di pundaknya, berharap apa yang ia inginkan terkabul.
Bersambung...