Chereads / Baby, Please Love Me! / Chapter 3 - Mansion Mewah Jovan

Chapter 3 - Mansion Mewah Jovan

Clarisa menoleh kanan kiri, mencoba membaca situasi di sekitar Gedung Apartemen ini.

Seingatnya, kemarin saat dirinya dibawa paksa oleh Abraham--Ayahnya, tata letak dari Apartemen ini tidak seperti sekarang. Atau mungkin, kemarin ia yang tidak terlalu menangkap situasi sekitar dan hanya fokus pada nasibnya saja.

Sialnya, kini ia tidak bisa menebak, jalan mana saja yang bisa membawanya keluar. Terlalu lama berpikir, Clarisa sampai tidak sadar jika kini dirinya sudah ada di depan pintu lobi.

Jika memikirkan kemungkinan yang ada, dia bisa saja berlari sekarang dan melarikan diri. Tapi saat ingat jika kakinya kini di selimuti dengan sepatu hak tinggi, umpatan lagi-lagi Clarisa lontarkan untuk segala kemungkinan yang telah hancur. Astaga, tidak bisakah ia mendapat satu saja cahaya penerang agar bisa kabur dari keharusan menemui Jovan--pria yang membayar dirinya teramat mahal hanya agar bisa tidur bersama?

Membayangkan jika sebentar lagi dirinya akan tidur bersama pria asing, Clarisa kembali diserang rasa pening. Kakinya tiba-tiba lemas, tapi tidak sampai jatuh akibat ada salah satu pelayan yang menahan punggungnya.

"Nona tidak apa-apa? Apa perlu kami panggilkan perawat atau dokter pribadi Tuan Jovan?"

"Ah? Tidak. Tidak perlu, aku baik-baik saja."

"Tapi Nona--"

"Tenang saja, tadi aku hanya sedikit limbung. Mungkin karna hak dari sepatu ini yang terlalu tinggi."

"Apa kau yakin, Nona?"

"Ya. Bisa kita berangkat sekarang?"

"Tentu, Nona."

Clarisa menghela napas, ia masuk lebih dulu ke dalam mobil yang pintu bagian belakangnya sudah terbuka, membiarkan dirinya duduk dengan baik dan sudah ada yang menutup pintu mobil.

Kali ini Clarisa yakin, yakin jika ternyata ada orang yang memiliki kehidupan bak di negeri dongeng. Buktinya saja, ia baru dibeli oleh Jovan dan sudah mendapat perlakuan seperti ini. Padahal dulu, untuk makan saja Clarisa susah.

Entah sudah berapa kali Clarisa menarik napas kuat dan kembali mengembuskannya. Ia sudah tidak dapat lagi menghitungnya. Hingga suara salah satu pelayan yang duduk di depan menariknya pada dunia nyata, Clarisa pun berdeham sejenak.

"Ya?"

"Apa Nona tidak akan merapikan penampilan Nona lebih dulu? Mansion Tuan Jovan sudah dekat. Sekitar lima menit lagi kita sampai."

Sebelah alis Clarisa terangkat naik, ia mengerutkan kening dalam saat menangkap pantulan dirinya dari cermin yang pelayan itu ulurkan pada dirinya.

"Apa menurutmu penampilanku sudah berantakan?" tanya Clarisa pelan. Seingatnya, dia tidak sempat melakukan aktivitas berat sampai beresiko merusak tatanan rambut atau riasannya.

"Eum ...tidak. Tadi saya hanya ingin mengingatkan, siapa tau Nona ingin kembali merapikan diri."

"Tidak, tapi terima kasih atas niat baiknya. Aku baik-baik saja."

Mendengar jawaban tulus Clarisa, pelayan itu pun mengulurkan satu tangannya dengan senyum mengembang.

"Apa?" tanya Clarisa menatap tangan pelayan itu ada di depan tubuhnya.

"Moza. Nama saya Moza. Kemungkinan jika saya yang akan membantu anda nanti selama tinggal di Mansion besar. Jadi, ada baiknya kita berkenalan sekarang bukan?"

Clarisa balas tersenyum dan menjabat tangan Moza. "Clarisa."

"Saya tau. Salam kenal ya?"

Clarisa mengangguk masih dengan senyum di wajahnya. "Hm."

Belum sempat mereka kembali bicara, mobil yang membawa mereka dari Apartemen hingga Mansion Jovan pun berhenti, membuat keduanya mengalihkan pandangan ke luar mobil.

"Sudah sampai. Anda siap, Nona?"

"Bisakah kamu panggil aku, Clarisa saja? Aku sedikit aneh dengan sebutan, Nona."

Moza menggeleng, keluar dari mobil lebih dulu dan membukakan pintu untuk Clarisa setelahnya. "Enggak bisa, itu sudah jadi peraturan dari Tuhan Jovan dan saya sayang pekerjaan ini. Jadi, saya tidak mau dipecat karna memanggilmu dengan nama saja, Nona."

Clarisa diam, tidak percaya dengan apa yang Moza katakan. Masa sih hanya dengan menyebut namanya saja Jovan sampai memecat orang? Apa itu tidak berlebihan?

"Nona, Tuan Jovan sudah menunggu," bisik Moza lirih. Sebelah tangan wanita itu terulur, ingin membantu Clarisa keluar dari mobil. Tepat saat kaki Clarisa berpijak pada bumi dan kepalanya terangkat, sosok pria dengan pakaian rapi ia lihat berdiri di lantai atas Mansion mewah ini. Bahkan tatapan mereka sempat beradu untuk beberapa saat, tapi Clarisa lebih dulu memalingkan wajahnya karna tidak biasa melakukan kontak mata pada lawan jenisnya.

Kontak mata saja Clarisa tidak pernah, apa lagi kontak fisik. Membayangkan itu lagi, Clarisa kembali dibuat merinding.

"Ayo."

Clarisa mendongak, menatap Moza yang sudah bersiap di depannya, mengulas senyum lebar tanpa beban. Beda sekali dengan dirinya yang merasakan jika kakinya teramat berat hanya untuk melangkah.

Pelan tapi pasti, Clarisa berhasil melewati pintu utama Mansion megah ini. Saat pijakan pertamanya, Clarisa sudah di sambut oleh beberapa maid dengan pakaian rapi. Semuanya membungkuk hormat pada dirinya, membuat Clarisa tidak enak sendiri.

Dan tepat saat ia sudah berpijak di ruang tengah Mansion, suara denting lift terdengar hingga membuat Clarisa menoleh kebelakang. Ia sedikit terkejut saat mendapati Jovan ada di balik punggungnya.

Tanpa bicara apa pun setelah saling tatap dengan durasi yang cukup lama, Jovan malah melangkah meninggalkannya lebih dulu, membuat Clarisa berbalik badan dan menatap punggung tegap Jovan yang pergi kian jauh.

"Ayo Nona, kita makan malam dulu. Tuan Jovan sudah menunggu."

Tidak langsung mengikuti Moza, Clarisa malah menahan tangan wanita itu dan menatap Moza dalam.

"Apa dia biasa seperti itu?" tanya Clarisa ambigu, membuat kening Moza berkerut dan tidak paham.

Clarisa yang sadar akan kebingungan Moza pun kembali buka suara. "Jovan, apa dia biasa tidak bicara seperti itu?"

"Ah!" Moza mengangguk dengan senyum. "Dia pria yang sedikit cuek. Tapi aku tidak tau bagaimana dia jika berdua saja dengan pasangannya. Bukannya nanti kau akan tau sendiri? Jadi, bersiaplah."

Clarisa menipiskan bibirnya. Clarisa yakin, Moza pasti berpikir jika ia sama dengan wanita yang mungkin pernah bersama Jovan sebelumnya. Wanita yang katanya ingin dan datang sendiri pada pria itu. Tapi dia tidak, dia dijual, dia dipaksa melakukan ini.

"Apa aku terlihat seperti itu?"

"Maksud mu, Nona?"

Helaan napas terdengar berat dari mulut Clarisa, tapi wanita itu memilih untuk tidak menjawab dan menggeleng sembari mengibaskan sebelah tangannya di udara.

"Sudahlah, lupakan. Aku harus menemuinya sekarang."

Clarisa pergi lebih dulu, sambil sesekali melirik ke segala arah. Clarisa baru kali ini tau jika di dunia nyata, rumah bak istana itu benar-benar ada. Ya ini, rumah milik Jovan.

Tepat saat langkahnya sampai di meja makan kediaman Jovan, ia dibuat terkejut saat tau jika Jovan malah melayangkan tatapan tajam pada dirinya.

"Duduk," kata Jovan terdengar dingin. Tidak membantah, Clarisa segera duduk. Tapi saat Clarisa ingin duduk di kursi yang sedikit jauh dari Jovan, tangannya dicekal lalu Jovan menunjuk kursi yang ia ingin Clarisa tempati.

"Duduk di sana, jangan terlalu jauh."

Clarisa diam, menatap tangannya dan kursi yang Jovan tunjuk bergantian. Setelah Jovan berdeham hingga lamunannya buyar, Clarisa segera duduk.

"Apa setelah makan, kau akan benar-benar meniduriku?"

Belum saja acara makan malam dimulai, Clarisa sudah melontarkan pertanyaan pada Jovan hingga tangan yang ingin memotong daging di piring terhenti, berganti dengan pandangan Jovan kepada dirinya.

"Ya!"

GLEK!

Mendengar itu Clarisa sampai tidak sadar jika ia melepaskan garpu juga pisau di tangannya hingga suara denting piring terdengar nyaring di ruangan dan membuat Jovan menatap Clarisa dengan sebelah alis terangkat naik.

Bersambung...