Mata melihat jelas untuk sekali lagi. Wajah tampan dihadapan dengan tangan di pinggang. Hati terasa rapuh sesaat namun terjatuh dalam lembah. Kalau dipikir berulangkali, tidak seorang pun mau berhadapan dengan manusia tidak punya hati.
"Aku katakan sekali lagi! kamu tidak bisa memberikan apa yang aku butuhkan!"
"Kamu--!"
"Alasan apalagi yang ingin kamu katakan, intinya tetap sama"
Bibir terkunci rapat, badan lelah tidak dirasakan ketika kalimat pedas dilontarkan dengan sekali tarikan nafas.
"Mengapa?". Pertanyaan konyol diperdengarkan dengan harapan jawaban yang diberikan tidak seperti dugaan selama ini. Tangan mengepal erat di samping tubuh berusaha mengontrol emosi.
"Kamu sesuai dengan keinginan semua pihak". Sungguh kejam perkataannya seperti anak panah yang melesat di hatinya. Jero ingin melaratnya supaya tidak terlalu melukai Riu istrinya. Mata Riu mulai berkaca-kaca mengetahui alasan Jero menikahi dirinya.
"Riu..." panggilan lembut tidak ingin terjadi salah paham. Namun, wajah cantik Riu tidak menggambarkan emosi apapun selain pada matanya. Jero menghembuskan nafas sebelum memutuskan tapi ia tidak mau Riu terlalu banyak berfikir buruk tentangnya.
"Pergilah tidur! Jangan ganggu, aku tidak ingin melihatmu". Akhirnya, itu yang terucap dari mulut Jero, ia takut salah bicara lagi.
Tidak ingin menganggu lebih lama lagi, kaki menjauh dari ruang keluarga menuju kamar tidur. Riu tidak membantah ataupun menangis depan Jero, layaknya wanita lain. Tanpa setahu Jero, Riu diam-diam menghapus air mata ketika berbalik menjauh dari Jero.
Sesampainya di kamar, Riu menutup rapat pintu kamar lalu merosot bersandar di pintu. Pernikahan berjalan sesuai dengan keinginan dua pihak tetapi mengapa hanya dirinya terjebak disini. Apa salahnya hingga diperlakukan bagai burung dalam sangkar emas. Kesulitan hidup bukan barang baru baginya. Tangan gemetar menutup wajahnya dengan air mata yang menetes di sela jarinya.
"Ibu...Apa yang harus aku perbuat"
Riu tidak berani menangis kuat-kuat. Ia takut Jero akan mendengar dan membuat kesulitan di hari esok.
brak!
Riu terlonjak mendengar suara dari luar. Rasa takut mencekam hatinya. Buru-buru ia bangun dari duduknya, segera membersihkan muka dengan face toner supaya tidak terlihat bekas menangis.
Pintu terbuka dari luar. Jero masuk kedalam kamar mereka berdua dengan wajah muram. Mata saling memandang dengan kerumitan yang tampak.
"Aku tidak pulang malam ini. Kunci pintu!".
Setelah mengucapkan perintah dengan nada suara datar, Jero berbalik keluar kamar tanpa melihat Riu yang berdiri di depan meja rias. Jero takut untuk berbalik lalu berubah pikiran terhadap Riu. Tangan mencengkeram kuat kapas sebagai pegangan pengingat ketidakberdayaan dirinya terhadap sikap Jero padanya.
Jero terlalu malas menjelaskan, lagipula melihat wajah Riu seperti tidak ada respon maka untuk apa ia berada di sini. Suara mobil terdengar keluar dari garasi rumah. Riu terdiam memastikan mobil benar-benar pergi dari rumah.
"Ayah! mengapa? kamu tega menghancurkan kehidupan anakmu sendiri" teriak Riu menghancurkan semua yang ada di meja rias.
prang...
"Apa ini balasan yang kamu berikan setelah semua yang kulakukan padamu" ucapnya dengan tangisan yang lebih keras. Hati Riu tercabik-cabik dengan kejam. Pernikahan terjadi demi menjaga nama baik dua keluarga tanpa persetujuan dari Riu. Apakah demi nama baik, ia layak mengorbankan masa mudanya demi bajingan kelas kakap penakluk cinta wanita. Suara putus asa dan tangisan terus di lakukan Riu di kamar. Dibukanya laci pertama, dicarinya obat flu yang sering diminum ketika tidak bisa tidur. Satu tablet di telan mengunakan air putih yang ada di meja lain dekat dinding. Gelas berisi air putih sengaja di sediakan khusus untuk Jero apabila terbangun dan kehausan di tengah malam.
Setelah meminumnya, Riu bersiap untuk tidur nyenyak. Matanya terpejam dengan ketenangan menunggu reaksi obat flu bekerja di lambung. Air mata diam-diam menetes kembali di pipi. Kelelahan fisik dan mental dirasakan sangat kuat hingga rasanya mau mati.
Kebingungan menanti ketika hari mulai beranjak bertambah malam. Jero memasuki cafe di bilangan Jakarta Selatan, tempat biasa nongkrong. Matanya meneliti satu persatu pengunjung cafe. Sebuah tangan melambai dari jauh disertai senyuman manis. Anggukan kepala Jero menjadi sebuah jawaban yang diinginkan. Ayun bernafas lega melihat mantan suaminya muncul di cafe.
"Mengapa lama sekali baru datang, Jero?" tanya Ayun manja begitu Jero mendekat langsung menempel bak koala. Beberapa pria di dekat mereka serempak memutar bola mata dan kepalanya karena gerah melihat kelakuan tidak normalnya. Usapan di kepala diberikan lembut agar Ayun senang oleh Jero.
Ayun tersenyum seraya menyodorkan pipinya untuk diberikan hadiah manis yang biasa diberikan Jero setiap pertemuan mereka. Jero melakukan keinginan Ayun, "Macet" jawabnya santai duduk di antara sahabatnya. Ayun cepat duduk di sampingnya tanpa tahu malu, membuat sebal sahabat Jero yang tak lain Carlo.
Sepanjang mengenal Ayun, entah berapa kali Carlo berusaha mendekati dan mengajak kencan tetapi Ayun tidak mau. Mereka berdua sudah bercerai tapi mengapa masih terlihat mirip sepada sepasang suami istri. Entah apa alasannya hingga terjadi perceraian. Kebencian muncul di setiap Ayun bersikap istri.
Sebuah gelas di letakan di hadapan Jero. Hal ini membuat Jero mengangkat wajahnya melihat siapa di depannya. Caoli duduk dengan santai, rokok terselip di mulut.
"Apakah jalang ini sudah membuat buta matamu?"
"Tidak!"
"Lalu?"
"Aku senang mempunyai pengagum"
"Dasar sinting"
Suara tawa memecah begitu ucapan Caoli mengusik telinga hingga merah. Jero tersenyum simpul, bagaimana juga Riu adalah istrinya sementara Ayun hanyalah sekedar mantan jadi lebih aman bermain daripada bermain-main dengan wanita di luar sana.
"Kak Caoli, jangan ganggu Jero. Ia baru datang, biarlah minum satu atau dua gelas lebih dulu" ujar Ayun tersinggung, susah-susah menempel mirip koala malah di hancurkan suasana romantis yang mendukung.
Caoli adalah teman semasa kecil Jero. Ia sangat mengenal siapa Jero dan hatinya. Ada hal yang selalu menganggu dengan tingkah Jero di setiap malam. Menikahi seorang wanita dengan cepat namun tidak pernah menemani dari awal sampai akhir. Sebenarnya apa yang dicari Jero padahal wanita cantik seperti Riu telah menjadi istrinya.
Jero mengangkat gelas di tangan ke udara dengan sengaja di hadapan Caoli. Ia sangat tahu, Caoli tidak menyukai tindakannya pada Riu. Ia juga sangat tahu, Caoli mencintai Riu secara diam-diam. Hatinya tidak senang jika mengingat sikap Riu malam ini. Cepat di habiskan minuman di gelas tanpa mau berfikir lebih lanjut. Mabuk menjadi kebiasaan akhir-akhir ini demi mengusir perasaan kecewanya pada Riu.
Jika,
Waktu bisa diputar
Jika,
Kata bisa ditarik
Jika,
Hati bisa memilih
Akankah kata kita bisa dirubah menjadi kami
Caoli tidak peduli lagi dengan keadaan sekitar, ia terus mengisi gelas Jero. Di kepalanya hanya satu yaitu membuat Jero mabuk dan menjebak dengan Ayun. Bukankah selama ini, Jero menyukai Ayun dan sebaliknya. Lalu, apa salah jika Caoli membuat semua senang. Bukankah dengan jebakan ini bisa menjadi cara mereka berdua rujuk kembali? pikirnya gusar.
Jero yang memang dalam suasana hati muram, ia tak menolak ketika gelasnya diisi terus menerus. Wajahnya memerah seperti tomat matang. Ayun masih terus menemani di samping sembari minum sekali-kali demi mengusir rasa bosan.
Cafe ini milik Carlo jadi tak ada perasaan khawatir sama sekali. Carlo diam menyesap minuman soda miliknya, sejak awal ia tidak meminum minuman keras demi kewarasannya. Semua minuman di cafe terbagi dua yaitu bersoda dan bercampur minuman keras. Tergantung pada pemesanan pelanggan.
Malam semakin larut. Suara-suara musik bertambah keras di dalam cafe demikian juga para pelanggan datang silih berganti.