Riu menyesap kopi pagi dengan santai. Ketenangan diharapkan tapi gelisah jika Jero tidak pulang malam ini maka ia tinggal dimana. Pikiran-pikiran buruk bermunculan bagai drama di televisi. Walaupun pernikahan mereka berdua tampak di paksakan namun, mereka berdua sudah menikah bahkan kewajiban terkadang juga dilakukan.
"Nyonya, hari ini anda akan keluar?"tanya bibi pembantu berumur 50 an datang membawa sepiring pisang goreng di letakan di meja.
"Ya, ada apa?"jawab Riu sambil mencomot pisang. Rasa panik dan kriuk masuk
"Besok saya tidak bisa datang, ada keluarga yang datang, saya minta ijin"
Sejenak Riu memikirkan acara besok, tidak terlalu penting, "Baiklah, tidak usah dipikirkan. Bereskan saja hari ini dan cepatlah pulang".
"Terimakasih nyonya" kata bibi pembantu senang bukan main. Bibi pembantu bergegas menuju dapur untuk menyiapkan makan siang supaya bisa segera pulang.
Sepeninggal pembantu, Riu bangkit berdiri hendak ke kamar untuk mandi. Jero baru saja datang dan melihat dengan jelas pakaian tidur Riu yang menantang andrenalin. Suguhan pagi yang menarik untuk dinikmati tanpa sisa. Riu masih belum menyadari kedatangan Jero karena tahu Jero pergi keluar maka ia memakai baju tidur yang terbuat satin dan pas badan.
"Mau kemana"
Riu berbalik ke arah suara dan terkejut, Jero bersandar di kusen pintu. Wajahnya segar sehabis mandi dan tampaknya baik-baik saja. Untuk sesaat, Riu kaget lalu panik begitu sadar apa yang dipakainya.
"Mandi" katanya cepat berbalik hendak kabur dari hadapan Jero. Mengetahui itu, Jero melangkah mendekati lalu menarik Riu masuk dalam tangannya. Sepanjang malam tidur akibat mabuk, begitu bangun kepalanya seperti diterjang batu. Buru-buru pulang tidak ingin Riu salah paham tapi Riu seperti cuek, terasa mengganjal di hati.
"Kepalaku sakit" keluhnya cepat dengan sengaja supaya Riu bersimpati padanya. Lagian semalam habis bertengkar, gengsi kalau minta maaf dan itu tidak ada di kamus hidup Jero.
Kepala Jero di tundukan di lekuk leher dan bahu. Riu berubah kaku, Jero mengeluh dalam hati, selalu seperti ini. Tidak bisakah berlaku selayaknya istri, lagipula mereka berdua sudah sah sebagai suami istri.
"Istirahat saja dikamar. Aku akan ambilkan aspirin". Tepukan di punggung tangan Jero memberikan isyarat untuk melonggarkan. Mana mau Jero melepaskan dengan kesempatan jarang di dapatkan.
"Tidak mau. Kamu juga harus ikut" tolak Jero cepat berusaha menggeser Riu melangkah masuk kedalam kamar. Riu berusaha bertahan sekuat tenaga, mana mau ia mengikuti keinginan Jero.
"Ikut kemana?". Riu berpura-pura jika Jero bersikap manja seperti ini bukan sifatnya, biasanya galak bahkan cenderung arogan. Apa benar memang sakit kepala atau hanya akal-akalan saja dari Jero. Ia tidak mau terjebak lagi dengan tipuannya yang aneh-aneh.
"Tidur" jawab Jero semakin keras melangkah hingga akhirnya Riu mengikuti langkahnya dengan berat dan posisi tidak nyaman. Mereka berdua masuk kedalam kamar mereka, mata Jero melirik sekilas, masih ada bekas Riu tidur semalam. Terlihat nyaman.
"Tapi, aku sudah bangun. Aku harus pergi kerja" kata Riu menjelaskan, kalau terlambat bekerja, bisa dipecat. Ia tidak mau kehilangan pekerjaan yang sudah diterima dengan susah payah.
"Aku juga sudah bangun". Jero santai mengatakan, begitu tahu tubuhnya membutuhkan vitamin pagi.
"Bangun?" tanya Riu tidak mengerti. Apalagi yang bangun, bukannya mereka sudah bangun pikir Riu. Jero mengeluh dalam hati, mereka berdua sudah menikah selama ini tetapi tetap tidak bisa menyentuh dengan bebas tubuh Riu.
"Iya, bangun tapi kepalaku pusing" jawab Jero sedikit manja, ia tahu jika Riu sangat sensitif berurusan dengan kata sakit.
Jero sengaja mempererat sehingga Riu bisa merasakan apa yang berubah pada tubuhnya. Wajah Riu memerah mengetahui itu. Ia berusaha bergerak pelan tapi dasar pria, Jero malah bertambah erat.
"Itu... itu tidak benar, kamu jangan pura-pura" tuduh Riu berontak keluar. Seringai jahil nampak di wajah Jero, kena kamu pikirnya.
"Untuk apa pura-pura, memang benar sakit bahkan parah" keluh Riu lagi. Riu bersusah payah mengatakan tapi sepertinya Jero mempunyai ide lain yang lebih spektakuler. Benar saja, hanya dalam hitungan detik yang terdengar hanya suara Riu.
"Mau kemana?" tanya Jero sedikit malas. Perasaan puas dan melambung jauh masuk dalam institusi primitif.
"Kerja". Mendengar kalimat Riu, Jero menjadi kesal. "Suamimu itu bos besar. Untuk apa juga kamu kerja susah-susah"ujar Jero keras kepala. Riu mengomel dalam hati, iya emang bos besar tapi kalau ada apa-apa dengan dirinya, bisa ditekan habis-habisan.
"Jero, aku juga perlu kebebasan mencari uang" keluh Riu berusaha memberikan pengertian padanya.
"Iya tapi suamimu ini juga butuh kebebasan bersama istrinya" ucap Jero seenaknya.
"Sejak kapan aku mengekang kebebasan kamu, mau kemana aja juga tidak aku atur" kilah Riu kesal.
"Ya memang" kata Jero masih keras kepala, enak saja mau pergi pikir Jero, semalam cari gara-gara hingga ia mabuk, mana bisa tinggalkan begitu saja.
"Lalu?" tanya Riu tidak mengetahui rencana Jero, kalau tahu dipastikan kabur.
"Tidak ada kata lalu. Aku butuh istriku, titik tidak pakai koma" tegas Jero spontan bahkan mulai bergerak.
Tangan Jero mendarat pada incarannya, selagi Riu bisa di ajak kerjasama seperti ini, mana boleh dibiarkan. Riu berusaha berontak tetapi selalu berakhir dengan suara-suara tidak jelas dari mulutnya.
"Aku lapar"seru Jero memelas. Riu masih terkapar akibat polah Jero jadi enggan untuk mengerakkan badan.
"Bibi sudah masak" ujarnya. Jero mengangkat alisnya lalu tersenyum pada Riu yang tidak menyadari ekspresi dari wajah Jero.
"Diam disini. Jangan bergerak. Kalau kamu bergerak, aku buat kamu tidak turun" katanya cepat bangkit berdiri namun sempat memakaikan selimut ke atas tubuh Riu dengan rapat. Ia takut Riu terkena masuk angin.
"Eh? aku harus kerja Jero" teriak Riu mulai panik melihat jam dinding menunjukkan pukul 08.00, Jero melirik sekilas tapi cuek.
"Masa bodoh. Besok perusahaan tempat kerjamu aku beli, terserah kamu mau kerja apa tidak" putus Jero secepat angin tanpa memikirkan resiko untung atau rugi. Lagian juga punya uang banyak untuk apa kalau tidak dibuat bersenang-senang dan menambah investasi.
"Hei!"teriak Riu kencang. Jero menyambar celana training pendeknya di kursi kamar, cepat memakai sebelum Riu bertindak melarikan diri, ia sempat mengunci kamar dari luar.
Belum sempat bergerak, Jero datang membawa makanan untuk Riu. Mengetahuinya kekerasan kepala Riu, Jero nyakin Riu akan bekerja, maka ia sengaja mengunci dan menyembunyikan di suatu tempat.
Jero bertekad hari ini harus berhasil banyak ronde demi mendapatkan keturunan. Tekanan dari sana sini membuat kesal diragukan kemampuannya membuat gol.
Waktu terus berjalan hingga menjelang sore, Riu berusaha duduk dengan nyaman bersandar pada tembok di belakangnya. Mulutnya cemberut, setiap kali pagi Jero sering seenaknya tapi kalau sudah malam sangat menyebalkan.