Chereads / Cinta Istri Kedua / Chapter 9 - Momen Riu

Chapter 9 - Momen Riu

Kesibukan terlihat di sekitar meja kerja Riu menjelang makan siang. Suara-suara berbisik pelan supaya tidak menganggu satu sama lain terdengar.

Riu duduk berpangku tangan di atas meja kerja. Matanya tak pernah lepas dari ponsel. Sebuah pesan yang membuatnya melambung tinggi ke awan lalu jatuh ke tanah hingga berdebu. Haruskah ia membalasnya? ataukah berpura-pura tidak tahu. Ada banyak pertanyaan yang ingin ditanyakan padanya. Ia berdiri kemudian berjalan cepat menuju rooftop kantor. Riu memandang langit dengan gelisah, tangannya bertautan bahkan erat seperti memegang tali penyelamat. Hatinya berdengung seperti suara lebah yang menyengat.

Apa kamu pernah berfikir cinta itu biru atau merah?. Apa kamu mengingat dimana letak cinta sesungguhnya?. Jika iya... katakan padaku dan berikan semua untukku. Jika iya... peluk aku karena kali ini, aku akan bersikap egois hanya untukmu.

Matahari sedikit demi sedikit meredupkan cahayanya dengan angin berputar-putar di sekelilingnya memberikan kesejukan. Riu menarik nafas gelisah hingga tanpa sadar terpaku berjam-jam di tempat ini. Masa lalu selalu datang pada saat segalanya berjalan baik-baik dan itu terasa menyakitkan.

Tawa sumbang disertai tangisan di keluarkan Riu. Hatinya sangat sakit. Tak ada satu hari yang tidak di sesali olehnya. Ketika cincin melingkar di jarinya, penyesalan tumbuh perlahan seperti lumut yang berusaha keras menutupi di setiap bagian hatinya. Berpura-pura selama tiga bulan dalam sebuah hubungan pernikahan yang tidak disukainya menjadi boomerang sejak awal. Setiap menjalankan kewajibannya bagaikan neraka baginya.

Ingatannya beradu bahkan keluar tanpa disadari. Teriakan hingga jeritan tidak berdaya terdengar nyaring di rooftop.

"Mengapa? mengapa kamu datang?"

Hidupnya berubah 360° dari keinginannya. Keringat dingin keluar melalui pori-pori kulitnya seperti akan mengalami demam. Katakan kali ini, Riu salah melangkah tapi ia memerlukan waktu untuk dirinya sendiri. Saat ini, ia tidak ingin mendengar atau melihat. Kaki berjalan tak tentu arah meninggalkan rooftop menuju tempat ia bisa melarikan diri dari keadaan sekarang. Tangannya gemetaran ketika berada dalam taksi, pikirannya kacau.

"Harapan Indah"

Begitu arah tujuan diucapkan, hati Riu bertambah sakit hingga merasakan darah keluar membasahi dadanya. Mobil terus melaju ke tempat yang dimaksud. Kepadatan lalu lintas menggoda untuk berbalik arah. Angin berhembus sejuk melalui AC mobil mengusir kegerahan dikarenakan musim kemarau yang mulai menyiksa.

Apakah aku bisa kembali ditempat ada kata kita?. Apakah ada kata maaf jika ada pertemuan kedua?. Kita merupakan dua manusia yang terjebak dalam lautan nasib dan takdir tanpa ada harapan masa depan.

Riu terus berfikir dan berfikir ulang di sepanjang jalan hingga mobil berhenti di tempat bernama Meli Melo. Ia turun setelah membayar dan mulai berjalan perlahan-lahan menyusuri jalanan setapak. Di sekelilingnya tampak rumput ilalang menjulang tinggi, menghalangi pandangannya. Terdapat beberapa tanaman terlihat kering dimakan waktu. Perubahan terjadi di sekitarnya. Lima tahun tidak pernah menginjakkan kaki di tempat ini. Bagaimana bisa berharap masih sama? bayangan masa lalu terus menghantuinya bagai film yang berputar dalam otak kecilnya. Beberapa bangunan restoran telah mengalami kebangkrutan lalu berganti bahkan ada yang dibiarkan tidak terurus menjadi pemandangan tidak enak untuk dilihat. Matahari mulai menutup mata. Angin panas berganti angin dingin yang mulai mengusik kulit.

Apakah kamu tahu, aku datang lagi di tempat pertama kali kita berciuman?. Apakah kamu ingat ketika kita nyaris di usir satpam karena sembarangan berciuman dipinggir jalan?. Apakah kamu ingat dimana kita tertawa bersama, saling menggoda, berjanji dan berpelukan untuk mendapatkan cinta yang bertambah kuat setiap hari namun terhempas oleh kenyataan konyol ?.

Aku merindukanmu, apakah kamu mengetahui itu?. Kaki Riu terhenti, ia termenung melihat bangunan yang telah rusak parah hingga sulit dikenali. Bangunan rusak tersebut menjadi saksi dimana mereka berdua berdiri dengan saling berhadapan di bawah gerimis hujan.

Aku merindukanmu, apakah langit akan mengijinkan bertemu lagi dengannya ataukah aku harus melanjutkan langkah dengan hati yang berdarah?.

Riu memejamkan mata sejenak, menghirup udara walau sesak. Untuk pertama kali, ia membiarkan dirinya meresapi masa lalu yang datang melalui pesan hari ini.

Apakah aku egois?. Apakah aku tidak diizinkan untuk mengingat rasa yang pernah muncul ini?. Seandainya kita diijinkan bersama, apakah cinta itu akan berkembang seperti sekarang ataukah malah musnah.

Ponselnya bergetar beberapa kali namun di acuhkan. Ia mungkin sudah gila sekarang. Ada bagian dari dirinya yang tak bisa melepaskan cinta pertama dan terakhir dalam hidupnya. Janji adalah janji. Bukankah kita harus menepati walau itu sesuatu yang tak bisa terjadi?. Tangan terangkat untuk menghalangi sinar lampu yang menyorot wajahnya. Air mata jatuh bebas di pipi bagai air terjun. Bibirnya terkunci rapat. Kepalanya mulai dirasakan sakit.

Apakah aku boleh bermimpi?. Aku ingin memeluk dirimu jika diijinkan. Perlahan Riu tertawa histeris, kemarahan di dadanya meluap tak terbendung lagi. Tangannya bergerak mencari nomor ponsel untuk mengetik pesan tapi lagi-lagi ia tertegun membaca pesannya kemudian dihapus sebelum dimatikan ponselnya.

Mengapa kamu pergi jika akhirnya kamu kembali?. Apakah salahku hingga kamu tega mengikat hatiku dengan cintamu?.

Riu berjongkok sambil menghapus air matanya dengan tisu dari balik kantong celananya. Beruntung ia, tadi sempat menyambar tasnya sebelum pergi. Sekian lama terdiam dan berusaha bersikap baik-baik saja, membiarkan dirinya terbuai oleh masa lalu.

Berdiri dengan hati gelisah tanpa tujuan. Riu melihat sekali lagi di seluruh tempat ini. Apakah ini, jalan yang harus ditempuh olehnya sebagai orang asing?. Apakah ia tidak boleh berharap untuk sebuah kesempatan dalam kesempitan yang diberikan oleh langit padanya?.

Riu belajar melupakan dengan mencintai rasa sakit yang diberikan padanya selama ini. Bukankah langit dikatakan baik oleh semua orang tetapi mengapa padanya seperti bermain-main bahkan tak memberikan jalan ketika dibutuhkan. Namun, nyatanya lagi-lagi ia harus menelan suara protes yang ada di dalam dada. Riu tertawa histeris, memukul-mukul dada dengan sembarangan lalu menangis di pinggir jalan, lima tahun lamanya. Ia mencari seperti orang gila dimana letak kesalahannya hingga cincin Jero melingkari manis di jarinya.

"Apakah yang harus aku lakukan?" tanyanya panik, langkahnya linglung lalu terjatuh ke tanah dengan cepat.

Jero berlari dengan cepat menangkapnya sebelum Riu tergeletak di tanah. "Riu... bangunlah sayang, Riu..." panggilnya dengan kegelisahan dan kepanikan. Buru-buru diangkat Riu menuju mobil yang diparkir dekat Riu berjalan tadi.

"Rumah!"

Sopir segera menjalankan mobil dengan kecepatan tinggi meninggalkan tempat tersebut. Jero terus mendekap Riu dengan harapan segera sadar. Tepukan hangat bahkan panggilannya tidak juga membuat Riu merespon.

"Bangunlah sayang, jangan begini" ujarnya dengan lembut di telinga Riu. Jero tidak tahu apakah perbuatannya memaksa Riu menikahi dirinya merupakan jalan yang terbaik demi mendapatkan cintanya ataukah ia malah terjebak cinta bertepuk sebelah tangan tanpa bisa kembali lagi.

"Dengarkan aku baik-baik Riu, sampai mati, aku tidak akan melepaskan dirimu walaupun kamu berlari dari semua kenyataan. Aku akan memaksamu karena aku mencintaimu" bisiknya di telinga Riu sekali lagi dengan harapan Riu mendengar dan sadar. Namun, Riu masih dalam posisi sama.

Sesampainya dirumah, dokter pribadi dipanggil untuk datang memeriksa Riu. Wajah cemas Jero membuat kerutan di wajah dokter. "Bagaimana?" tanya Jero bertambah cemas. "Untuk sekarang biarkan nyonya istirahat, besok antar ke rumah sakit supaya lebih pasti" jawab dokter pribadi yang telah mengikuti Jero puluhan tahun di setiap generasi keluarganya.