Jero menatap sekali lagi kotak perhiasan di tangannya. Mulutnya mengerut, tangan bergerak membuka dan menutup kotak perhiasan seperti menimbang ribuan kali sebuah alasan klise namun tak terlintas sedikitpun pada otak kanan maupun kirinya untuk memberikan jawaban. Sangat sulit mengetahui apakah keputusan kali ini benar adanya. Sopir melihat dari kaca spion tengah mobil lalu mengarahkan lagi mata pada jalanan padat menyapa sejak keluar dari gedung perkantoran milik Jero. Langit sudah berubah menghitam. Sesekali Jero mengusap wajahnya dengan kasar, tiga hari sudah ia menghindari Riu. Ia sengaja melakukan perjalanan dinas keluar negeri namun begitu kembali ia disibukan dengan pekerjaan kantor.
"Tuan.... rumah besar atau tua?" tanya sopir hati-hati mengetahui wajah muram Jero majikannya, Jero menarik nafas panjang lalu menatap tajam ke arah sopir, "Rumah tua saja. Bagaimana keadaan nyonya di rumah besar?" tanyanya. Sopir gelagapan mendengar pertanyaan tidak tahu haruskah mengatakan yang sebenarnya atau menutupi jika selama tiga hari ini, Riu mengambil cuti dari pekerjaannya. Mengetahui tak ada jawaban, Jero mengelengkan kepalanya kesal, "Balik arah rumah besar!". Jero merasa ada kesal di hati mengetahui Riu masih di rumah besar, apa dia tidak tahu jika rumah besar bisa membuat mereka berdua semakin jauh satu sama lain ataukah disengaja oleh Riu sendiri.
Rumah besar adalah rumah milik keluarga Jero, selama perjalanan dinas, ia sengaja meninggalkan Riu di tempat itu. Namun, ia tidak menduga jika Riu tidak pernah pergi dari sana. Pepohonan di sisi kanan dan kiri menjulang tinggi, air turun perlahan dari atas tanpa kata-kata, mobil melambat begitu memasuki pelataran rumah besar. Taman berisi bunga mawar merah menyapa lembut saat Jero keluar dari mobil disertai rintik hujan.
"Dimana nyonya?" tanya Jero mengibaskan pakaiannya yang terkena sedikit hujan. Kepala pelayan memberikan payung dan handuk kecil untuk tuannya, "Nyonya berada di rumah kaca". Jero melangkah cepat menuju rumah kaca yang dimaksudkan. Kepala pelayan mengelengkan kepalanya melihat Jero mengabaikan benda yang diberikan, sedari kecil mengasuhnya, ternyata baru kali ini melihat Jero seperti layang-layang putus.
Jero tertegun melihat Riu tertidur pulas di atas ayunan. Wajahnya penuh kedamaian. Perlahan ia mendekati, jarinya menyentuh kepala Riu untuk diletakan hati-hati pada pangkuannya. Sejenak Jero mengamati wajah Riu, terbersit rasa bersalah padanya.
"Mengapa sangat sulit bagimu untuk mencintaiku?" gumam Jero terhadap Riu yang tidak bergerak. Lima tahun membuat Riu datang padanya tetapi hati Riu tetap tidak didapatkan, apa ada cara yang lain? anak? tidak...tidak! pikir Jero mengelak masuk tenggelam dalam lamunan tanpa mengetahui Riu sudah membuka perlahan.
Riu terus melihat ke arah Jero, hatinya bergolak. Pria ini merengut impian dan cintanya, mengapa terlihat sangat kesepian padahal dunia berada di tangannya? apakah benar, cintanya hanya untuknya? kalau iya, mengapa masih mengurusi mantan istrinya? posisi dirinya berada dimana sebenarnya pikirnya.
Mereka berdua tenggelam dalam pemikiran masing-masing namun ketika mata saling menatap, perlahan-lahan jarak diantara mereka berdua menghilang dengan sebuah ciuman lembut yang berubah dengan keinginan disertai kebutuhan untuk melengkapi.
Rumah kaca hanya namanya, sebenarnya hanya berupa sebuah ruangan yang tertutup. Beraneka tanaman berbunga milik nyonya besar menutupi pandangan semua orang untuk melihat kedalam.
Suara keduanya terdengar rendah supaya tidak ada yang mengetahui namun cukup di mengerti oleh mereka yang tahu. Jero memeluk erat Riu agar tidak jatuh dari pangkuannya. Wajah Riu berkeringat demikian juga ia. Mata memandang dengan penuh hasrat yang telah dilepaskan namun tersisa kerinduan yang tajam.
"Hai... aku merindukanmu" bisik Jero pelan. Ia takut kehilangan momen seperti ini bersama Riu. Nafas Riu masih tersengal-sengal terdengar, tangan Jero bergerak mengusir rambut yang menutupi sebagian wajah Riu. Percintaan kali ini sangat luar biasa, Jero tidak tahu apa itu tetapi ia sangat bahagia telah melakukan perjalanan dinas.
"Mengapa kamu pulang?" tanya Riu berusaha keras mengembalikan kewarasannya, bergerak turun tetapi tertahan karena bagian diri Jero masih tertinggal di dalam tubuh Riu. "Mau kemana? apa aku tidak boleh pulang?" tanya balik Jero dengan mata tidak senang. Baru saja bercinta malah ingin kabur, tentu bikin jengkel. "Itu...tentu aku senang" jawabnya setengah mengelak. "Benarkah? Kamu cinta atau tidak sih" keluh Jero menarik Riu lebih rapat dengannya. Riu melotot merasakan gesekan dalam dirinya yang kembali bergerak mengembang mengenai dinding sensitif miliknya.
"Jero..lepaskan" pinta Riu pelan ketika Jero malah sengaja melakukan gerakan lambat yang terlihat samar tapi jelas keinginannya. "Beritahu aku dulu" ujarnya dengan kelembutan yang bertambah sengaja. Cengkeraman kuat di bahu Jero telah menggoreskan sedikit luka akibat kuku Riu tetapi Jero tidak peduli.
"Katakan Riu" bisik Jero menempelkan wajahnya pada bagian favorit di wajah Riu. Mengecap dan menghisapnya perlahan-lahan seperti memakan bagian terindah dalam diri Riu secara bersamaan. "Katakan kamu mencintaiku" bisiknya lagi, melepas sejenak untuk Riu bernafas normal.
"Mengapa aku harus mencintaimu? apa sayang saja tidak cukup?" tanya Riu perlahan-lahan membiarkan semua sarafnya merespon keinginan Jero. "Tidak cukup! sayang? apa aku harus mengajarkan padamu arti cinta?" tanyanya dengan kesal namun tindakan berbanding terbalik dengan perkataannya. Kelembutan yang nyaris mengambil semua jiwa milik Riu, mata berpandangan dengan harapan penyerahan tunggal dan mutlak tanpa syarat.
"Aku-- Jero, lakukan dengan cepat!" rengek Riu ketika badai akan datang namun terhenti dikarenakan Jero menghentikan. "Beri aku kesempatan Riu" pinta Jero tidak mengindahkan perkataan Riu yang sewot. "Kesempatan?" tanya Riu gemas dan frustasi, permainan percintaan di ruang kaca membuatnya gila. Riu mengamati wajah Jero dengan hati-hati, ia tidak mau memberikan harapan palsu untuk hatinya. Ia mencintai orang lain sementara Jero terlalu asyik dengan mantan istrinya lalu apa yang tersisa untuknya sebagai pegangan.
"Biarkan aku masuk ke dalam hatimu, aku berjanji tidak akan menyakiti hatimu" jawab Jero dengan sungguh-sungguh. Sekelebat perasaan muncul dapat dilihat di wajah Riu namun Jero tidak mau gegabah.
"Jika aku membiarkan kamu masuk maka aku tidak dapat membalaskan dendam!" kata Riu mulai bergerak, kali ini ia melakukan inisiatif untuk menyelesaikan. Jero tersentak mendengar itu ditambah gerakan Riu yang cepat. Kemarahan muncul di dadanya, Jero cepat melepaskan diri dari tubuh Riu, otomatis Riu terjatuh dilantai. Jero bergerak menutup bagian penting miliknya kembali ke posisi semula. Riu buru-buru bangkit berdiri membenahi pakaiannya. Wajahnya merah padam karena malu dengan sikap Jero.
"Balas dendam? lakukanlah! kamu harus tahu sampai kapanpun kamu adalah milikku, Riu" kata Jero lantang, "Milikmu? kamu hanya mendapatkan tubuhku, apa itu disebut cinta?" ejeknya. Jero mengepalkan tangannya di samping tubuh lalu berbalik berjalan tidak melihat ke belakang lagi.
"Pergilah sejauh-jauhnya dariku Jero, sampai aku mati kamu tidak akan mendapatkan hatiku, ini milik dia"
Teriakan kencang Riu menghentikan langkah Jero yang sampai di depan pintu. Wajahnya mengeras lalu berbalik cepat menghampiri Riu, menyambar tubuhnya untuk rapat padanya kemudian menciumnya dengan kasar seperti ingin menghukum Riu karena telah melukai perasaannya. Riu berusaha berontak hingga Jero benar-benar melepaskan lalu pergi begitu saja dari rumah kaca.
Riu terduduk lemas di lantai setelahnya. Hatinya tergoncang ribuan kali, diusapnya bibirnya dengan jari tangan seperti memastikan ciuman tersebut tidak memberikan efek padanya tetapi nyatanya timbul semacam perasaan putus asa. Apakah dirinya telah menggantikan dengan sosok Jero? mengapa setiap kali menyentuhnya, ia berinisiatif untuk membalasnya walau pertengkaran kerap terjadi?.
Langit telah menutup mata dalam kurun waktu lama demikian juga matahari. Jero bersandar di ruang kerjanya, kegusaran masih nyata terlihat di wajahnya, apakah cukup sulit untuk mencintainya? berbagai pikiran melintas di kepalanya namun tidak ada satu jawaban yang diperoleh.