Caoli menatap bolak balik jam di tangan. Ini sudah siang, seharusnya Riu sudah kelihatan tapi ini menjelang siang, mengapa tidak terlihat tanda-tanda Riu muncul.
Ting....
Suara bel di atas cafe berbunyi nyaring menandakan ada tamu yang masuk. Caoli mengangkat wajahnya untuk melihat siapa yang datang tapi lagi-lagi kecewa begitu melihat ternyata bukan Riu melainkan orang kepercayaannya sekaligus sekretaris di kantor, Jose.
"Ada apa?" tanya Caoli kesal. Melihat kedatangan Jose kemari, itu berarti tidak akan menyenangkan, itu berarti ia lagi-lagi tidak bisa bertemu Riu.
"Rapat diundur setelah makan siang, sekarang hampir selesai, apakah tidak akan datang?" tanya balik Jose dengan intonasi hati-hati terlihat jelas agar tidak menyebabkan Caoli tersinggung ataupun marah.
"Undur saja" perintahnya cepat tanpa memikirkan lain. Keinginan untuk bertemu Riu semakin kuat. Ini sudah bulan ke 15 sejak terakhir kali bertemu.
"Tapi, rapat kali ini pemegang saham akan datang" kilah Jose membuat Caoli mengeraskan hatinya agar tidak tergoyahkan dengan perkataan Jose.
"Katakan saja ada perubahan yang mendadak" ucap Caoli santai. Ia tahu siapa pemegang saham terbesar di perusahaannya, jika sampai terjadi sesuatu maka akan repot mengurusnya.
Jose kebingungan harus berkata apa pada peserta rapat yang notabene semuanya bisa menggeser posisi Caoli di perusahaan. Suara ponsel miliknya terdengar lalu cepat ia menerima dengan sengaja menjauh dari Caoli.
Caoli menghembuskan nafas lalu meminta pelayan mendekat untuk memesan makan siang.
"Pemegang saham terbesar membatalkan pertemuan dikarenakan ada kendala di tempat lain" kata Jose lega, ternyata sekretaris besar pemegang saham lebih dulu menghubungi jadi ia bisa cepat membatalkan yang lainnya lalu melaporkan.
"Bagus, ternyata Jero sendiri yang membatalkan". Caoli bersyukur diam-diam dalam hati jadi begini juga lebih baik.
"Apa anda akan tetap disini?" tanya Jose bingung. Caoli mengangkat alis mendengar kebingungan Jose, ia hanya bisa mengeluh dalam hati, mengapa punya sekretaris sekaligus orang kepercayaan yang tidak peka situasi.
"Aku masih menunggu orang" jawab Caoli pelan. Jose tahu siapa yang ditunggu oleh Caoli namun sengaja bertanya untuk memastikan perkiraannya. Cafe ini juga milik Caoli, sengaja di buat dekat tempat Riu bekerja dan semua menu merupakan kesenangan Riu termasuk dekorasi.
"Pekerjaan menumpuk, banyak dokumen yang harus ditandatangani" kata Jose berusaha menjelaskan banyak hal supaya Caoli segera pergi ke kantor.
"Itu bisa menunggu" tolak Caoli cepat dan diiringi nada suara kesal.
"Beberapa tempat harus dikunjungi, terlalu lama disini juga tidak akan baik" kata Jose lagi dengan mengabaikan nada suara Caoli. Ini sudah tugasnya, kalau ada masalah ia akan mendapatkan amukan dari Caoli juga.
"Apa maksudmu?" tanya Caoli bertambah kesal. Semua orang juga tahu siapa yang ditunggu setiap hari dan ini mempengaruhi kinerja perusahaan bukan cafe.
"Saya rasa anda harus tahu mana perioritas dan kondisi saat ini. Tuan Jero tidak akan suka jika mengetahui hal ini" ujar Jose berusaha tidak terlalu keras memperingatkan posisi Caoli yang rentan.
Caoli ingin sekali menutup mulut Jose dengan tisu di dekatnya tapi ia juga tahu kebenaran perkataannya. Jose menunggu dengan sabar, semua perkataan sudah diucapkan jika tidak juga bergerak, apa yang bisa dilakukan selain ikut menunggu.
Kekayaan Caoli sudah cukup banyak dari cafe miliknya yang bertebaran di Jakarta namun, perusahaan gabungan milik keluarga menyebabkan ia kesulitan beberapa tahun terakhir ini hingga ia meminta bantuan pada Jero untuk membantu. Alhasil, ia sering ditekan oleh Jero seperti kesetanan demi mendapatkan target.
"Huh! tunggu aku selesai makan saja" katanya dengan kekesalan di hati yang membungkus.
Jose bernafas lega, tak mau Caoli berubah pikiran ia cepat membayar semua di kasir. Melihat itu, Caoli hanya bisa pasrah.
Kata orang, ingin berjumpa malah tidak bertemu karena nasib saja yang usil.
Ayun membuka mata lebar-lebar lalu berguling ke kanan dan kiri. Tubuhnya remuk ditambah sakit kepala ringan tapi enggan keluar dari kenyamanan selimut yang membungkus.
"Mau sampai kapan berguling, kamu tidak kerja?" tanya Carlo meminum kopinya. Ayun menghela nafas sekali lagi begitu menyadari lagi-lagi ia bersama Carlo. Otaknya mungkin miring, bisa-bisanya terlibat hubungan dengan Carlo.
"Aku rasa Jero tidak bekerja. Bagaimana kalau kita menemuinya?" tanya Ayun tidak menjawab pertanyaan Carlo dengan berusaha duduk tapi masih terlilit selimut.
"Ayun". Carlo memanggil nama Ayun sekedar mengingatkan apa yang boleh diucapkan dan tidak disini.
"Hei, aku jarang bertemu dengannya. Kali ini, aku nyakin ia berada di hotel. Telepon Caoli sekarang, dimana Jero sekarang" kata Ayun bersemangat kalau ingat mantannya.
"Untuk apa kamu pikir lagi Jero, dia sudah punya istri" tegur Carlo tidak nyaman ketika Ayun mengabaikan peringatannya.
"Istri? mana bisa dikatakan istri, tidak mungkin! Jero hanya mencintai aku" tolak keras Ayun menyebabkan suasana hati Carlo memburuk cepat.
"Mengapa begitu?" tanya Carlo meletakan kopi di atas meja dengan hati-hati dan mulai berdiri untuk mendekat pada ayun yang tidak menyadari perkataannya.
"Buktinya semalam"jawab Ayun cepat. Carlo harus menguasai dirinya untuk tidak bertindak kasar pada Ayun.
"Hahaha hanya seperti itu tidak berarti apa-apa, ayun" ejeknya tapi Carlo sudah berada di tempat yang sama dengan Ayun.
"Jangan tertawa" ucap Ayun kesal lalu menoleh ke arah Carlo. Betapa kagetnya ia, Carlo dekat dengan dirinya.
"Dengar baik-baik Ayun, kamu sudah mantan" ujar Carlo menarik rahang Ayun kuat agar melihat jelas ke arahnya.
"Lalu kenapa? mantan juga bisa rujuk. Kita hanya salah paham saja" kata Ayun keras kepala.
"Benarkah?" tanya Carlo sekali lagi tapi nada suara mengejek jelas ditambah tekanan di rahang mulut ayun bertambah kuat.
"Eh...tidak" jawab Ayun mulai ketakutan melihat kilatan di mata Carlo.
"Sepertinya kamu terlalu liar, kamu lupa siapa yang memberi makan dan lainnya" kata Carlo cepat menampar wajah ayun hingga terjatuh dari tempat tidur, selimut yang dipakai terbuka lebar.
"Bukan begitu Carlo" teriak Ayun begitu menyadari kesalahannya berucap. Carlo bergerak turun lalu melepaskan ikat pinggang di celananya. Ayun cepat bergeser ketika ikat pinggang nyaris menyentuh di tubuhnya.
"Carlo dengarkan aku dulu"
Teriakan ayun berkali-kali kepada Carlo tetapi tidak ada respon darinya. Ikat pinggang itu akhirnya mengenai tubuh Ayun dengan cepat, tak pelak bukan perkataan lagi yang diucapkan tetapi teriakan kesakitan yang dikeluarkan oleh Ayun.
Tidak ada seorangpun yang tahu siapa Carlo sesungguhnya, saat itu ayun hanya merasa Carlo menyukainya jadi menempel padanya supaya Jero cemburu tapi siapa sangka jika Jero malah mengetahui dan menceraikan dalam hitungan detik.
Penyesalan demi penyesalan naik turun di dada Ayun. Seandainya saat menjadi istri Jero, ia tidak berdekatan dengan Carlo maka ia tetap masih bersama.
Carlo menyeringai senang, ia tahu apa yang dipikirkan Ayun, jejak pukulan bahkan kekejaman di tubuh Ayun terlihat jelas setiap kali ia marah namun menambah adrenalin untuk menaklukkan dirinya.