Riu menatap kotak di depannya, kecurigaan bertambah begitu Jero keluar dari kamar mandi dalam keadaan tanpa busana. Kebiasaan tanpa tahu malu seperti ini hanya di perlihatkan pada Riu tapi orang yang dituju malah sibuk sendiri.
"Apa ini?". Pertanyaan konyol diucapkan Riu, Jero melirik sekilas. Dilihatnya Riu hanya memandangi kotak di depannya, jelas-jelas perhiasan, mengapa masih bertanya.
"Buka saja" jawab Jero memakai pakaian tidurnya dengan cepat. Akhir-akhir ini kebutuhan primitif lebih cepat tersulut, kalau dilihat lagi pakaian Riu tidak menunjukan tanda-tanda seksi tapi malah menaikan.
"Kamu suka?" tanya Jero melihat kotak dibuka dan dikeluarkan isinya dari atas tempat tidur.
"Ini" kata Riu tidak berani berkata suka, sangat cantik bahkan mahal. Sepasang anting berbentuk panjang dengan batu kecil menggantung, sangat bukan Jero yang memilih. Kesukaannya hanya anting tempel sederhana, lalu mengapa Jero memilih ini pikirnya apa dia hendak merubah style berpakaiannya selama ini.
"Terimakasih atas pelayanan mu tadi" sindir Jero sengaja untuk memutuskan perhatian Riu pada kotak itu, bagaimana bisa dia mengabaikan suaminya dengan barang jelek seperti itu pikirnya penuh kesal. Malam ini berapa kali ia merasa kesal bahkan rasanya ingin menghukum seseorang, benar-benar sebuah ujian kesabaran.
"Kamu--!" teriak Riu sambil menoleh, untung tangannya cepat mengembalikan anting tersebut ke kotak. Perasaan bimbang tergantikan kesal dengan perkataan Jero yang kasar.
"Besok malam ada acara, aku harap kamu tahu apa yang akan kamu pakai, ingat ini penting" jelas Jero akhirnya. Ia hanya tak mau Riu berfikir kalau sengaja membeli perhiasan sebagai hadiah, ia harus meluruskan itu, ia hanya tak mau dianggap sebagai suami takut istri atau lainnya.
"Tapi, aku mungkin sibuk" kata Riu pelan. Topik terlarang telah diangkat, Jero mengeryitkan keningnya hingga dalam, tak mungkin Riu mundur.
"Kamu ingin buat aku marah, Riu?" tanya Jero sedikit kencang. Riu tahu tapi ini hidupnya, kalau dilarang terus, ia takut.
"Mengapa kamu seringkali buat keputusan sepihak?" tanya Riu tak mau kalah.
"Ini tidak sepihak. Aku sudah katakan tidak usah bekerja. Hartaku tujuh turunan juga tidak habis dimakan" jawab Jero menaikan nada suaranya.
"Bukan itu maksudku" kata Riu sabar. Jero terlihat marah, seharusnya Riu mundur.
"Riu, jangan menguji kesabaranku" ujar Jero masih menekan kemarahan yang timbul. Mengapa Riu tidak seperti Ayun yang mampu meredam kekesalan hatinya malah membuatnya marah pikirnya.
"Hari ini aku bolos kerja, aku hanya tak mau dipecat" kata Riu lantang. Selama pernikahan mereka berdua, Jero sudah memberitahu larangan-larangan yang tidak boleh diangkat tapi Riu melanggar.
"Dipecat? ya bagus, kerja padaku" ucapnya kencang.
"Bagian apa?" tanya Riu pelan dengan tampang bingung. Jero tidak tahu harus marah atau menyumpahi Riu.
"Bagian pelayanan kebutuhan rohani big bos" jawab Jero seenaknya. Wajah Riu memerah bahkan nyaris tidak tertahankan mengetahui Jero tidak punya malu akut.
"Kamu-- tidak tahu malu"tuduh Riu cepat berdiri. Mengapa juga menikah dengan pria seperti Jero, dulu ia salah menyinggung tapi bagaimana lepas ia juga tak tahu.
"Untuk apa malu" kata Jero arogan. Lagipula perusahaan itu miliknya, kalau ada gosip di kantor maka dipastikan selamat tinggal masa depan. Mengapa juga diributkan pikirnya.
"Aku tidak mau bekerja denganmu" tolak Riu bergerak memutar ke arah biasa ia tidur.
"Dengar Riu. Besok kamu harus datang bersamaku, kalau sampai tidak datang, jangan harap bisa bekerja lagi seumur hidup"
"Kamu memaksa!" teriak histeris Riu. Ia mulai frustasi jika Jero sudah begini. Ia tertipu di awal perkenalan bahkan terjebak di dalamnya tanpa tahu bagaimana melepaskan.
"Aku tidak memaksa hanya mengingatkan" teriak balik Jero, kekerasan kepalanya jelas muncul di wajah.
"Jero, kamu tahu kita menikah karena apa?" tanya Riu sedikit merendahkan suaranya, ia takut mendapatkan peringatan dari satpam.
"Lalu kenapa? secara hukum dan agama, kita sah. Kita juga sudah melakukan itu dan aku mau lagi" jawab Jero menjelaskan dengan santai.
"Kamu--! tak bisakah untuk lebih fokus pada pembicaraan kita" teriak Riu tak tertahankan. Selalu seperti ini akhirnya, ujungnya.
"Tidak bisa! aku butuh penerus" tolak Jero kencang bahkan nadanya tidak bisa dianggap main-main.
"Kamu-- tidak bisa begini. Seharian tadi sudah" rengek Riu bingung. Bukankah tadi mengenai perhiasan lalu mengapa pembahasan ini selalu muncul.
"Kamu mau menyalahi kewajiban. Kamu tidak takut aku bersama orang lain" kata Jero seraya memicingkan matanya menuduh.
"Untuk apa takut. Lagian fungsinya cuma sama aku" elak Riu spontan tapi terdengar ejekan di telinga Jero.
"Kamu!" teriakan menggelegar bahkan kecepatan gerakan menarik Riu tidak di perhitungkan oleh Riu sendiri.
Terlalu kesal dan marah, Jero meredam semua protes di keluarkan Riu. Bagaimana bisa menikah dengan wanita yang lebih memprioritaskan pekerjaan dibandingkan dirinya, harta ada bahkan berlimpah, dasar wanita tidak tahu bersyukur geramnya dalam hati Jero.
Kata orang, cinta itu jauh di mata tapi dekat di hati.
Caoli menenggak cairan merah dengan cepat. Di depannya Carlo sudah setengah mabuk. Jose berada di dekatnya, mengelengkan kepala tak tahu mau bersimpati atau takut.
"Bawa dia ke kamar hotel. Jangan lupa wanita yang mirip Ayun, berjaga-jaga di depan pintu supaya kalau mati bisa cepat dibereskan!"
Jose diam membisu, cepat mengangkat Carlo dibantu salah satu anak buahnya. Caoli mengelus bagian sensitifnya lalu menoleh ke arah wanita di sekitarnya. Melambaikan tangan sebentar, wanita melangkah mendekati dan melakukan apa yang diminta saat ini.
Mata terpejam, membayangkan Riu yang melakukan, selalu seperti ini. Seharusnya dulu, ia harus lebih berani jadi tidak di dahului Jero. Mulutnya mengeluarkan desis bahkan tubuhnya mirip ular kepanasan. Sebentar lagi, aku akan mendapatkan Riu katanya dalam hati.
Cahaya lampu yang redup, membuat semua tamu asyik berada dalam dunia masing-masing tanpa ada aturan mengusik.
Hujan berhenti sedari tadi. Angin memberikan kesegaran malam bikin perasaan damai di hati.
Jero turun dari tempat tidur setelah membuat Riu mohon ampun dengan kekuatan primitif yang berkali-kali. Ia ingin buang air kecil, ketika melintas meja rias. Jero tertegun. Diambilnya kotak yang terbuka, seingatnya ia tidak membeli barang ini. Matanya muram seketika begitu sadar Ayun telah salah mengambil.
Iapun menoleh ke arah ranjang, terlihat Riu tidur dengan damai. Jero menimbang apakah harus membuang kotak ini atau mengembalikan. Ia tahu sifat Ayun jika ada yang menyentuh barang pribadinya tapi jika tidak di kembalikan, bisa ada keributan pada Riu.
Walaupun pernikahan mereka berdua tampak aneh dan kilat. Ini tetap sebuah pernikahan yang suci dan sakral. Kalau ditanya apakah ia mencintai Riu maka ia akan menjawab iya tapi kalau ditanya apakah mencintai Ayun maka ia tak bisa menjawab. Sungguh rumit.