Jero memandangi etalase di depannya. Beberapa perhiasan cantik dan menawan ada depan mata tapi ia bimbang memilih.
"Pak, ini keluaran terbaru" tunjuk salah satu pegawai di hadapannya dengan sopan. Sebuah kalung sederhana dengan liontin berwarna merah maroon, sangat elegan dan cantik. Ada sepasang anting yang melengkapi sebagai penunjang keindahannya. Pegawai itu tahu siapa Jero di kalangan orang konglomerat di Indonesia jadi semangat menawarkan. Kalau sampai Jero membeli salah satu perhiasan maka bonus akhir bulan bisa mencukupi tiga bulan bahkan mampu membayar hutang.
"Bungkus" katanya seraya mengeluarkan kartu berwarna golden dengan lambang nama bank terkenal di Indonesia maupun luar negeri. Jero buta hal-hal begini tapi ia harus menghadiahi Riu karena sudah melayani dengan baik sepanjang hari sampai tidak bekerja.
"Baik Pak". Pegawai tersebut segera memproses permintaan Jero dengan cepat sementara Jero masih melihat-lihat.
"Jero?"
Jero menoleh ke arah suara yang terdengar akrab di telinga. Wajahnya berubah datar begitu Ayun mendekati, tidak seperti tadi.
"Mengapa kamu kemari?" tanya Jero sedikit mengerutkan dahi, jelas ia tidak suka bertemu dengan mantannya.
"Aku butuh perhiasan untuk acara penggalangan dana" jawab Ayun berpura-pura tidak mengetahui perubahan wajah Jero. Berteman sejak kuliah ditambah menikah setahun dengannya, bagian mana yang tidak ia tahu seandainya Jero tidak suka.
"Penggalangan dana?" tanya Jero berfikir keras di atas meja kerjanya. Seharian mengurusi Riu, belum sempat ke kantor, mana ia ingat.
"Iya, apa kamu tidak mendapatkan undangan dari Carlo?" tanya Ayun bersemangat namun juga tidak terlihat jelas. Kesempatan bagus, ia bisa minta sesuatu tanpa harus mengeluarkan uang pribadinya.
"Aku belum membaca. Terlalu banyak undangan" kilah Jero seperti biasa.
Ayun mengangguk saja. Matanya meneliti setiap gerakan Jero seperti elang yang mengamati mangsanya.
"Kamu kesini untuk....". Ayun sengaja memberikan jeda pada perkataan demi mencari jalan mendekati lagi.
"Beli untuk Riu" kata Jero datar. Matanya kembali meneliti deretan perhiasan di depannya.
"Mau aku bantu?" tawar Ayun bertambah semangat. Jero bukan tak tahu nada itu, hanya ia malas berdebat. Setahu Jero, Ayun tidak menyukai Riu menjadi istrinya dari detik pertama dikenalkan.
"Kamu tidak keberatan melakukan ini?" tanya Jero heran. Ayun berusaha keras tenang di hadapan Jero.
"Tentu saja. Kalau kita adalah mantan, bukan berarti kita tidak berteman" jawab Ayun tersenyum lembut seraya merangkul lengannya.
"Kamu benar" kata Jero pelan sambil berusaha menarik lengannya. Ayun mempererat pegangan bahkan meletakan jarinya pada jari Jero seperti pasangan pada umumnya.
"Benarkan. Ayo, aku coba bantu cari untuknya". Ayun cepat mengalihkan pandangannya pada etalase namun tangan tetap melingkar di lengan Jero. "Tidak perlu, bagaimana kalau untukmu saja" tolaknya dengan sedikit melambaikan tangan kepada pegawai yang ada di dekatnya.
"Terimakasih Jero" ujarnya cepat. Tak perlu basa basi lebih lama ayun memilah-milah mana yang diinginkannya. Beberapa kali Ayun mencoba bahkan bersikap layaknya istri yang baik ketika memilih perhiasan untuk dasi atau kancing kemeja untuk Jero.
Pegawai melihat dengan seksama pasangan di depannya, sangat miris, satu acuh tak acuh dan satu lagi masih berusaha menawarkan banyak. Wanita sejenis ini banyak di luar sana, sungguh kasihan wanita yang dirumah tidak tahu hal ini. Pegawai tersebut bersimpati pada istri Jero, berharap wanita tak tahu malu tidak menyebabkan masalah ke depannya. Semua orang tahu siapa istri Jero tapi tak ada yang berani berbicara.
Langit bertambah malam, hujan gerimis turun disertai angin dingin mulai terasa ketika ayun dan Jero keluar dari toko perhiasan sambil menenteng tas.
"Terimakasih sudah membelikan aku anting yang cantik". Ayun sangat senang dibelikan sepasang anting yang nilainya mencapai 3x gaji UMR.
"Tidak masalah" kata Jero berusaha menanggapi tapi mata lurus ke depan melihat hujan yang turun.
"Apa aku bisa menumpang sampai rumah, Jero? rumahku cukup jauh dari sini" pinta Ayun memandang hujan dengan perasaan senang.
"Taksi online banyak" tolak halus Jero. Bagaimana juga mereka berdua sudah berstatus mantan, jika ada yang melihat, tidak akan baik hasilnya.
"Terlalu lama. Tadi aku di antar Carlo, kamu tega membiarkan aku sendiri disini menunggu taksi online" rajuk Ayun seraya menghentak kaki ke lapisan trotoar luar toko. Kebiasaan kecil yang selalu membuat Jero tidak tega.
"Kamu ini. Sudahlah, aku antar" kata Jero mengalah, kalau dibiarkan terlalu lama disini bisa menjadi perhatian banyak orang.
Mereka berdua berlarian masuk ke dalam mobil yang sudah ditunggu oleh supir. Baju Ayun setengah basah sehingga menciptakan siluet bagian dalam baju tipis yang dikenakan. Jero mengelengkan kepala lalu melihat arah luar. Supir menjalankan mobil dengan hati-hati melalui jalanan yang mulai licin dan berlubang. Tanpa harus diberitahu, sopir mengerti arah mana yang harus di tempuh.
Ayun berpura-pura mengibaskan rambutnya dengan cepat sehingga memercik ke arah Jero.
"Ayun. Tidak bisakah kamu diam" tegur Jero kesal, air yang dikibaskan mengenai bagian baju Jero. Bajunya sudah basah jadi bertambahnya parah.
"Bagaimana bisa, lihat bajuku basah" keluh Ayun yang tidak menyukai rasa basah di tubuh, terasa menganggu tetapi diliriknya penampilan Jero yang tak jauh berbeda dengannya.
"Pakai ini" ujar Jero mengambil handuk di bagian belakang mobil. Gerakan Jero menambah mata ayun jelalatan tidak jelas. Selama menikah dengan Jero, tidak ada kata bercinta, mereka berdua hanya saling menjalankan hubungan mutualisme.
Handuk diterima dengan senang hati, ayun buru-buru melepaskan baju luar dari tubuhnya.
"Tidak bisakah kamu lebih sopan. Kita bukan suami istri lagi" keluh Jero lagi melihat tingkah Ayun yang seperti sengaja.
"Tapi kita teman. Jero, apa sih yang kamu suka dari Riu?" tanya Ayun kesal. Jero diam sejenak memikirkan satu jawaban tapi tidak ditemukan.
"Banyak" jawab Jero asal. Ia telah memilih, jadi buat apa juga menjelaskan untuk orang lain diluar kehidupan pernikahannya.
"Punya dia sama seperti aku. Beda ukuran saja" kata Ayun memamerkan bagian tubuh depannya. Tampak besar dan menggoda di balik tank top putih yang dipakai.
"Ayun, jaga mulutmu" tegur Jero tidak nyaman. Sejak kapan Ayun jadi tidak memiliki urat malu.
"Jero, mengapa kamu menikahi Riu?" tanya Ayun meletakan handuk di tengah mereka berdua.
"Itu bukan urusanmu" jawab Jero pelan, nada suara pelan terdengar menyakitkan bagi Ayun.
"Jero, aku masih mencintaimu. Tidak bisakah kita kembali seperti dulu?" tanya Ayun menatap Jero dengan penuh minat. Terlalu terlihat bagi Jero namun acuh tak acuh di tonjolkan.
"Bukan aku yang lebih dulu bermain api" jawab Jero santai. Ingatannya tidak buruk tapi ia sudah menutup buku masa lalu, untuk apa juga membukanya.
"Jero, itu hanya salah paham" kata Ayun tidak mau kalah. Ia harus berusaha mendapatkan Jero, ia nyakin itu semua hanya kecemburuan Jero terhadap Carlo.
"Salah paham sampai tidur dengannya?" tanya balik Jero dengan melihat kearahnya.
"Itu tidak seperti yang kamu pikirkan" jawab Ayun gelagapan. Bagaimana juga banyak hal yang tidak bisa disebut, kalau hati memang untuk Jero.
Mereka berdua terdiam lama. Keheningan menyeruak di dalam mobil sehingga Jero memandang luar jendela daripada Ayun yang sibuk mengelap bagian-bagian tubuhnya. Hujan bertambah deras menyebabkan genangan dimana-mana.