Download Chereads APP
Chereads App StoreGoogle Play
Chereads

Aletha : Revenge

🇮🇩white_mode
--
chs / week
--
NOT RATINGS
56.7k
Views
Synopsis
Aletha Ava Robert adalah seorang hunter yang memiliki kekuatan elemental. Suatu ketika sang kakak yang memintanya untuk membasmi penghianat yang ada diklannya mengirimnya ke desa Toda. Namun, semua berubah saat ia mengetahui apa yang ia bantai. Keinginan balas dendam yang besar membuatnya merencanakan hal besar. Xavier Dion Cornelius adalah seorang putra pang lima kerajaan. Ia mewarisi darah sang ayah yang berasal dari klan demon. Memiliki sifat dingin dan tak tersentuh menjadi daya tarik tersendiri baginya. Xander memiliki kecerdasan dan kemampuan yang hebat sehingga ia pantas untuk mendapatkan posisi pang lima berikutnya. Aletha dan Xavier dipertemukan di akademi Victoria. Xavier yang merupakan murid pindahan membuat ia menjadi pusat perhatian ditambah dengan statusnya. Xavier tertarik pada Aletha karena ia merasa Aletha adalah matenya.
VIEW MORE

Chapter 1 - Chapter 1

Langit malam yang gelap dengan hujan dan petir yang menemani, menjadi saksi berdarah yang menyakitkan. Tebasan demi tebasan ia lakukan. Genangan air hujan yang berubah menjadi genangan darah. Tak ada belas kasihan yang tersorot dari manik hazel itu hingga korban terakhir menyadarkannya dengan bantuan dari cahaya petir.

Keterkejutan membuatku jatuh terduduk di tanah. Ini tidak mungkin. Aku telah membunuh teman masa kecilku sendiri. Bagaimana ini bisa terjadi?. Ku putuskan untuk melihat setiap mayat yang tewas ditanganku. Mereka semua adalah pekerja di rumahku. Sebagian dari mereka adalah pengikut setia dari kakaku. Kenapa?, kenapa dia melakukan ini, ia bilang aku hanya harus membunuh para penghianat, tapi kenapa aku malah membunuh orang-orang yang baik kepada kami. Bahkan tanpa hati aku membunuh tiap bayi yang ku temui. Aku tidak bisa menerima ini.

Tanganku telah melakukan hal yang tidak seharusnya. Kenapa kakak tega melakukan hal ini padaku. Bersama dengan derasnya hujan, aku menekuk kakiku dan menangis sekencang-kencangnya. Aku dibesarkan hanya untuk menjadi mesin pembunuh. Aku terlalu bodoh menerima misi yang ia berikan saat itu. Aku merasa dibohongi. Seharusnya aku sadar, ia tidak pernah menganggapku adiknya, dimatanya aku hanyalah mesin pembunuh. Ini menyakitkan dengan langkah gontai aku berjalan pulang. Memegang pedangku dengan gemetar. Akhirnya aku sampai disebuah mansion yang ku huni.

"Nona Anda sudah pulang." Maid itu mendekatiku dan mengambil pedang yang ku bawa.

"Dimana kakak ku?."

"Tuan meminta Anda untuk beristirahat nona."

"Benarkah?, baik sekali. Bawakan aku beberapa botol alkohol."

"Baik nona.". 'Tidak biasanya nona meminta alcohol.'

Aku hanya terdiam saat membaca pikiran pelayan itu. Kekuatan ini semakin hari semakin liar saja. Aku harus meredamnya. Aku berjalan menuju kamarku. Membersihkan diriku yang kotor. Saat aku keluar dari kamar mandi seseorang mengetuk pintu kamarku.

"Masuk."

"Nona aku membawakan beberapa botol alkohol."

"Letakan di atas meja, kau boleh pergi."

"Baik nona."

Tanpa menuangkannya ke gelas, aku langsung meminum alkohol itu dari botolnya. Aku hanya menertawakan kebodohanku. Aku melihat kedua telapak tanganku dengan rasa kebencian. Ku sandarkan diriku di sofa yang berada di kamar. Satu botol alkohol telah ku habiskan, meski aku merasa mabuk jangan harap aku akan berhenti meminumnya. Aku menangis dan tertawa bersamaan ketika mengingat tindakan bodoh yang telah ku lakukan. Meratapi dosa yang ku perbuat. Botol demi botol ku hempaskan ke lantai kamar, tidak peduli dengan pecahan kaca yang tersebar disana.

Ku langkahkan kakiku dengan malas menuju balkon, tak peduli dengan pecahan kaca yang membuat telapak kaki ku terluka. Aku mengambil pecahan kaca itu, menggoreskannya ke pergelangan tangan. Darah mulai mengalir dari pergelangan tanganku yang ku tau luka ini tak sebanding dengan apa yang mereka rasakan. Akankah ada penebusan dalam dosaku ?.

***

"Morin apa dia sudah pulang?."

"Sudah tuan."

Brak!

"Tuan!"

"LANCANG!, Siapa yang memperbolehkanmu masuk?!."

"Maafkan aku tuan tapi nona…."

"Ada apa dengannya, kenapa kau begitu panik?

."

"Nona mengunci kamarnya dan berulang kali terdengar benda pecah di dalam sana, saya khawatir nona melakukan sesuatu yang berbahaya."

Tanpa pikir panjang ku langkahkan kakiku dengan cepat menuju kamarnya. Saat tiba disana tidak terdengar suara apapun. Aku semakin panik karena keheningan ini. Aku mencoba membuka pintu itu tapi tidak berhasil. Ia membangun barrier disini. Akhirnya ku keluarkan kekuatanku sedikit untuk mendobrak pintu itu.

Saat pintu terbuka suasana kamarnya begitu gelap. Aku meminta salah satu maid menyalakan lampu. Betapa terkejutnya aku, di depan sana banyak tersebar serpihan kaca dan darah di atasnya. Aku mulai panik dan masuk ke dalam mencari keberadaannya. Aku melihatnya berada di balkon. Apa yang ia lakukan?. Ia berbalik saat menyadari keberadaanku. Tatapan kosong dan wajah pucatnya menyambutku. Aku langsung berlari ke arahnya saat ku lihat pergelangan tangannya terluka. Ia kehilangan kesadaran tapi syukurlah aku bisa menompang tubuhnya.

"Panggil Kevin sekarang!."

Aku menggendongnya dan membawanya menuju tempat tidur. Selama menunggu Kevin, aku berusaha menghentikan perdarahan dipergelangan tangannya. Wajahnya bahkan terlihat lebih pucat dari sebelumnya.

"Ada apa memanggilku Alex?."

"Tidak perlu bertanya obati saja dia.''

Kevin berjalan ke arahnya, mengeluarkan kemampuan penyembuhan. Seketika itu perdarahan dan wajah pucatnya hilang dari dirinya. Kevin menatap sinis ke arahku.

"Apa lagi yang kau lakukan padanya?."

"Tidak ada."

"Kau berbohong kau berusaha melepaskan segelnya secara paksa bukan?." Aku hanya diam.

"Jangan membukanya secara paksa atau kau akan kehilangannya. Aku bisa saja menyembuhkan luka fisiknya tapi untuk menyembuhkan jiwa yang terluka jangan harap aku bisa. Pastikan ia istirahat total, jangan membuatnya stress, saat ini perputaran mana dalam dirinya kacau. Huh...pastikan ia meminum pil yang ku berikan."

"Terima kasih."

"Ah satu lagi untuk sementara jauhkan ia dari pedang yang sering ia gunakan. Pedang itu mengalirkan kebencian yang nyata atas trauma pemiliknya."

"Baiklah."