" Cuh! Cuh!"
Berkali-kali Sion memuntahkan ludahnya yang tak kunjung keluar. Mulutnya kering dibekap rasa pahit. Dia membuka mulutnya lebar-lebar, memaksa paru-parunya menyerap karbon dioksida yang tengah dihembuskan tumbuhan di sekitar. Tapi, yang dihisap tak jua membuat mulutnya berair.
"Aku harus bisa melaksanakan tugas ini," bisiknya dalam hati.
Tugas malam ini akan mengantarkannya menuju level kehidupan berikutnya. Bayang uang, pujian, dan minuman keras mengalir deras dalam benaknya, terus membayangi langkahnya.
Beberapa kali Sion membetulkan letak kancing jaket yang lepas dari lubangnya. Angin malam bertiup keras, sesekali menggigit kulit legamnya yang tak tertutup jaket. Kilat cahaya di langit bercampur aduk dengan suara gemuruh. Lidah petir menjilat udara, memperdengarkan teriakan yang memekakkan telinga.
Belum pula jauh melangkah, tetes air dari langit turun berderap membasahi rambutnya yang panjang dan keriting. Sion semakin mempercepat langkahnya sembari menyapu tetes air hujan bercampur keringat dengan ujung lengan jaketnya.
Pemuda pendek kekar terbalut jaket kulit usang dan celana jeans belel itu berlari kecil berpacu dengan waktu menyeberangi jalan. Beberapa pemuda yang sedang asyik duduk bergerombol sambil mencecap minuman keras tak dihiraukannya. Pada keadaan biasa, dia akan berhenti sebentar. Menyapa mereka, dan ikut larut menikmati beberapa teguk minuman keras oplosan.
Tetapi, malam ini perutnya sudah dihangatkan minuman yang sudah disedunya sebelum berangkat. Teriakan beberapa teman yang dia kenal dibalasnya dengan lenguhan pendek. Sion sedang tidak ingin berbasa-basi.
Tempat yang ditujunya semakin dekat. Sinar yang dihasilkan kerlip lampu yang menghiasi papan nama salah satu diskotek terbesar di Jakarta pusat itu berpendar di tengah butiran hujan. Sion mengenakan tutup kepala jaketnya tatkala air yang turun dari langit mulai menyerbu. Semula rintik, kemudian menderas. Tangan kanannya meraba benda yang terbungkus plastik di jaketnya, memastikan benda itu masih tetap ada. Perintah langsung dari bosnya sangat jelas. Dia sendiri yang harus menyerahkan bungkusan itu.
Berjarak kurang lebih sepuluh meter dari parkiran diskotek, Sion berhenti sejenak di bawah pohon rindang. Buliran dari langit turun semakin melimpah. Malam semakin larut. Tempat parkir diskotek terlihat lenggang. Satu mobil mewah hitam mengkilat keluaran Eropa, dan tiga motor milik pegawai diskotek terparkir di sana. Knalpot mobil itu mengeluarkan asap tipis dari mesin mobil yang dihidupkan.
Di depan pintu keluar diskotek, tiga orang berpakaian safari dengan potongan cepak berdiri tegap dengan wajah dingin dan mata liar berputar berkeliling. Sejurus kemudian, tiga orang itu mulai bergerak. Satu orang yang berdiri tegap di samping pintu belakang mobil meraih payung, dua lainnya bersiap di depan pintu diskotek sambil beberapa kali berbicara lewat earphone yang terhubung di telinga.
Sion berjalan cepat mendekati tujuannya tanpa melihat kanan kiri. Ibu jari kakinya yang terbalut sepatu sneakers berlobang terasa dingin tatkala air yang menggenang di jalan diterabasnya. Pintu diskotek terbuka lebar.
Laki-laki yang akan ditemuinya keluar berjalan sempoyongan. Disampingnya, wanita cantik dengan rok mini gaun putih belahan dada lebar menggelayut mesra. Teriakan centil melengking mengikuti langkahnya. Dengan sigap dua pengawal itu memapak sepasang mempelai, membantunya menuju mobil mewah.
Dari tempat berdiri pemuda berkulit legam itu hanya tinggal sepuluh meteran. Sion semakin mempercepat langkahnya. Langkahnya tak surut walau tiga pasang sorot mata pengawal mendelik ke arahnya. Entah dari mana datangnya suara itu, dua letusan pelan teredam kedapnya malam. Lelaki yang akan ditemuinya memekik, kemudian roboh bersimbah darah sambil memegangi dadanya. Baju putih yang dikenakannya berubah warna.
Bersama dengan robohnya laki-laki itu, wanita yang menempel erat disampingnya juga menjerit sambil mendekap belahan dadanya yang memerah. Proses itu begitu cepat. Tiga pengawal hanya berdiri mematung. Setelah sepersekian detik menyadari keadaan telah berubah runyam, ketiganya berubah beringas. Tanpa dikomando, mereka mencabut pistol. Mengarahkannya ke Sion.
Pemuda itu membeku. Kakinya tak mau diajak kompromi. Degup jantungnya berhenti sejenak. Tanpa sadar kedua tangannya terangkat ke atas, memohon untuk tidak ditembak. Ketiga pengawal itu terlihat tak peduli. Jari telunjuk mereka siap menarik pelatuknya. Alih-alih melarikan diri, Sion hanya menutup mata. Menanti takdir yang akan membawanya ke perjalanan berikutnya.
Suara letusan pistol berperedam tiga kali menggema. Kaki Sion tak mampu lagi menyangga tubuhnya. Pemuda itu ambruk bertekuk lutut. Namun, dia merasa heran. Tak ada rasa sakit, atau sensasi kulit dan daging terkelupas. Sion meraba dada, berharap tumpahan darah membuatnya tersentak dari angan-angan kosongnya. Jaketnya lembab. Tidak ada genangan cairan.
Penasaran dia membuka mata sembari tangannya memeriksa seksama bagian tubuhnya. Tidak ada satu pun yang berlubang terkena terjangan peluru. Cahaya kilat di langit menerangi keadaan di depannya. Sion terbelalak mendapati tiga tubuh pengawal itu tergeletak bergelimpangan dengan dahi berlubang.
Bibir tebal pemuda itu mengembang penuh. Dia masih hidup. Asanya melambung tinggi. Namun, rasa itu tidak berlangsung lama. Sebuah suara letusan kembali menyalak. Tetapi kali ini suara itu dibarengi rasa sengatan ribuan kalajengking di bahunya. Tangan kanannya meraba asal rasa itu. Basah. Seketika matanya berkunang kunang, degup jantungnya berirama tidak normal.
Sion tak mampu lagi menahan posisi duduknya. Sebelum tubuhnya ambruk beserta kesadaran meninggalkan otaknya, mata pemuda itu mendapati sebuah wajah asing muncul dari kegelapan.
Kembali guntur menggelegar bersama kilatan cahaya. Pandangan Sion mendapat gambaran laki-laki itu secara jelas. Di depannya, wajah asing berkulit kuning, bersih tanpa cambang mengernyit dengan mata sipit. Di tangan lelaki itu tergenggam pistol berjenis glock 20 berperedam. Kesadaran terakhir Sion terengut manakala gerakan dari atas bergerak mengenai kepalanya.