Rumah Tahanan yang berada di Komplek Markas Kepolisian Daerah Metro Jaya di Jalan Jendral Sudirman Kaving 55, Jakarta Selatan itu terlihat kokoh. Pilar beton dengan paduan tembok tebal angkuh menunjukkan keperkasaan sebagai tempat aparat memenjarakan manusia-manusia yang tersesat. Keangkeran bangunan itu terlihat lembut kala terpoles warna yang cantik.
Bangunan lantai empat dengan perpaduan warna kuning, merah jambu dan merah hati itu lebih terlihat feminim dari pada isi di dalamnya. Tak nampak sosok mengerikan bahwa di dalam bangunan tersebut berdiam bermacam manusia dengan karakter angker untuk ukuran orang pada umumnya. Wanita dan laki-laki dengan segala macam bentuk kejahatan yang telah dilakukannya siap menunggu hukuman yang akan dijatuhkan di pengadilan.
Di setiap lantai, kejahatan dibedakan berdasarkan blok. Lantai dasar terdapat blok A. Lantai ini tempat pembesuk dan penghuni rumah tahanan bertemu. Diatasnya terdapat blok B, lantai di mana tahanan wanita dikumpulkan. Bok C yang terdapat di lantai tiga untuk tahanan kasus narkoba dan kejahatan pembunuhan. Tahanan terorisme diletakkan tersendiri di lantai empat, atau blok D. Di setiap lantai ada sekitar tujuh hingga sepuluh kamar sel. Tiap-tiap kamar sel dihuni lima hingga tujuh tahanan yang hidup menumpuk di dalamnya.
Beberapa kali aku memasuki area Rutan ini. Namun, selalu ada perasaan getir yang setiap saat menyambut. Betapa mudahnya manusia melakukan kesalahan, betapa susah mereka harus menebusnya.
Aku, Sahat dan Bu Rola berjalan perlahan memasuki area, berusaha tidak menampakkan kegaduhan yang akan ditangkap oleh awak media. Kami disambut tiga undakan tangga untuk mencapai teras rutan. Lantai tangga lumayan bersih untuk sebuah rumah tahanan. Pos pemeriksaan pertama menahan langkah kami sejenak.
Seorang polisi duduk di sebuah kursi sedang menikmati tembakaunya dengan santai. Buru-buru dia mematikan rokoknya saat kami sudah berhadapan. Setelah mengecek tanda pengenal dan tas kami, dia mempersilahkan kami masuk.
"Harap menunggu sebentar. Ipda Sugiono akan menemui anda," katanya sopan.
"Terima kasih," jawabku.
Tidak lebih dari sepuluh menit, seorang petugas setengah baya berpakaian preman dengan wajah kuyu menemui kami. Senyumnya terasa dipaksakan. Guratan hitam dibawah mata menandakan dia habis begadang semalaman. Setelah melihat berkas Surat Kuasa Khusus dari Ibu Rola, Ipda Sugiono-begitu beliau mengenalkan diri-mengembalikan berkas itu ke Sahat.
"Saya penyidiknya. Silahkan, saya akan mengantar anda ke tempat tersangka."
Kami mengikuti langkah Ipda Sugiono menuju ke ruang dalam. Setelah melewati pintu jeruji besi yang memisahkan ruangan pemeriksaan dan ruang rutan, Ipda Sugiono membawa kami ke sebuah ruangan yang hanya terdapat tiga kursi dan satu meja kayu.
Bau cat yang menusuk menandakan bahwa kantor ini sedang tidak ingin membeli inventaris baru. Tidak ada satu benda pun yang menghias dinding. Hanya tembok warna putih dipadu dengan lantai keramik ukuran tiga puluh senti warna kelabu.
"Silahkan tunggu. Petugas kami akan mengantar tersangka ke sini," kata Ipda Sugiono dengan keramahan yang dipaksakan. Dia berlalu meninggalkan kami dalam dekapan keheningan.
Kutuntun Bu Rola ke salah satu kursi yang tersedia. Aku dan Sahat menempati kursi kosong di depannya. Detak jarum jam bergerak lambat dalam dekapan waktu yang lembap. Keheningan terasa lamban.
Sejurus kemudian, suara sepatu berdetak menghampiri. Seorang pemuda keribo dengan kulit hitam legam diapit dua petugas bersenjata laras panjang memasuki ruangan. Ipda Sugiono berada di antara mereka.
Rambut pemuda ini sebenarnya panjang kalau saja tidak melingkar seperti ular. Dua tangannya diborgol. Bahu kanannya masih terbalut perban. Matanya merah, acuh tak acuh melihat ke atap. Keenganan terlihat jelas dari raut wajahnya.
Ketika sebuah pekikan tertahan menyebut namanya memecah kebuntuan, pemuda itu terbelalak. Tanpa sempat dicegah lagi, Ibu tua yang duduk disampingku meloncat menubruk anak satu-satunya itu. Kedua petugas pengantar berusaha bergerak reflek menghalangi. Kibasan tangan Ipda Sugiono memerintahkan mereka untuk membiarkan momen itu terjadi.
"Anak bodoh! Apa yang telah kau lakukan?! Mamak rindu padamu!"
Pemuda yang didekap ibunya itu hanya diam terpaku. Tubuhnya bergetar sebentar membiarkan rasa kejut menjalar, memastikan apa yang terjadi adalah sebuah realita. Setelah menguasai diri, mulutnya meluncurkan beberapa patah kata tak beraturan.
"Mamak…." Hanya sepatah kata itu yang meluncur dari bibir Sion.
Suaranya yang serak dan berat membuat pelukan Bu Rola mengeras. Kami membiarkan adegan yang sering muncul dalam drama Korea itu terjadi. Atas nama kemanusiaan, Ipda Sugiono dan kedua petugas pun memberi waktu anak-mamak ini larut dalam keharuan. Bahkan pembunuh berdarah dingin sekali pun dilahirkan dari rahim seorang wanita.
Setelah membiarkan momen haru biru itu terselesaikan, aku memecah perhatian mereka.
"Sion, perkenalkan. Namaku Sylvi, dan ini Pak Sahat. Kami dari Kantor pengacara Anto & Partner. Ibumu sudah memberi Surat Kuasa Khusus kepada kami untuk untuk mendampingimu dalam kasus ini," kataku perlahan.
Sion menatap aku dan Sahat bergantian curiga. Dengus keenganan keluar dari lubang hidungnya, bola matanya bergerak liar menunjukkan dia masih belum percaya pada kami. Aku tidak tahu apakah pemuda di depanku ini paham tentang Kantor Konsultan Hukum, tentang Surat Kuasa beserta segala prosedur untuk mendapatkan bantuan hukum, juga tentang hukuman yang diacamkan kepadanya.
"Mereka berdua orang baik. Kamu masih turut kata Mamak, kan?" sergap Bu Rola.
Sion mengangguk.
"Silahkan bicara. Petugas kami akan berjaga diluar," kata Ipda Sugiono. Dia memberi perintah pada dua petugas untuk mengikuti langkah kakinya ke luar ruang pemeriksaan. Belum juga para penegak hukum itu menutup pintunya, "Pak Polisi, bisa kah ikatan anak saya dilepas?" celetuk Bu Rola.
"Maaf, kami tidak bisa mengabulkan. Ini adalah standar yang harus dipatuhi."
Ipda Sugiono berlalu dari ruangan diikuti dua petugas. Aku, dan Sahat duduk berhadapan dengan mereka. Kedua tangan Sion yang terborgol masih erat dalam genggaman ibunya. Aku merekam momen itu terbalut ribuan rasa keanehan.
Bagaimana mungkin pemuda lugu yang tangannya gemetar ini bisa menghabisi lima nyawa dengan dengan darah dingin? Aku yakin, walaupun tangan pemuda ini terlihat kekar dan kasar, tidak mungkin dia bisa sigap menarik pelatuk begitu cepat, memuntahkan peluru dalam sekian detik. Mencabut nyawa sepasang wanita dan pria beserta tiga nyawa pengawalnya yang terlatih.
"Bu Silvy ini baik sekali sama Mamak. Dan Pak Sahat ini, masih satu daerah sama kita," kata Bu Rola memperkenalkan kami tanpa diminta. "Mereka berdua datang atas permintaan Mamak untuk membebaskan kamu."
Naluri Advokatku untuk mendapatkan kepercayaan dari Klien mencuat tanpa kuminta.
"Sion, seperti yang dibilang mamakmu, kami adalah para pembela yang akan mendampingimu dalam menghadapi tuduhan ini. Sebelum kita teruskan, aku ingin engkau membubuhkan tanda tanganmu di dokumen ini."
Kusodorkan Surat Kuasa Khusus dan bolpoin yang sudah kupersiapkan sejak tadi. Pemuda itu tidak merespon. Bahkan, sedikit pun tidak mendaratkan tatapannya ke kami. Dia hanya menunduk sesekali melirik wajah ibunya. Remasan tangan ibunya memberi sinyal padanya agar mematuhi perkataanku.
Dia melirik aku dan Sahat, kemudian dengan tangan gemetar menerima bolpoin dari tanganku. Belum juga tinta tergores, Sion meletakkan bolpoin itu dan menyorongkan kembali Surat Kuasa sebelum ditandatanganinya. Rambut keritingnya bergerak ke kanan ke kiri mengikuti gelengan kepalanya.
"Kenapa Sion?" tanyaku.
Sahat tidak sabar. Advokat muda itu membentak pemuda di hadapannya.
"Bah! kau akan dihukum mati? Mamak kamu jauh-jauh dari desa ke Jakarta minta tolong sama aku supaya kamu bisa membelamu. Tapi kamu tolak? Macam apa pula kau ini?!"
Aku mendelik pada Sahat untuk diam dan tenang. Dia bersungut-sungut menerima teguranku.
"Sion, kami tidak bisa membantumu bila kamu tidak menandatangani Surat Kuasa ini. Surat ini menunjukkan bahwa kamu mempercayai kami untuk membantumu, membelamu, dan berusaha membebaskanmu jika kamu memang tidak bersalah," jelasku sesederhana mungkin.
Bu Rola tak sabar lagi melihat anaknya yang lemot. "Kk—au … anak bodoh! Kau tidak mau turuti perintah mamakmu lagi, kah?"
"Ibu Silvy dan Pak sahat ini tidak dibayar! Mereka orang baik yang akan bela kau. Mamak tak akan sanggup meneruskan hidup ini bila kehilanganmu…." isak Bu Rola tak tertahankan.
Anak semata wayang itu menghela napas panjang, menghembuskan udara yang keluar dari paru-parunya bersamaan dengan hempasan perasaan kalut yang menjerat.
"Tapi, Mamak … aku sudah janji pada Bang Rud untuk tidak mau dibela siapapun juga. Bang Rud Juga berjanji akan membuat mamak senang, akan kasih mamak banyak hadiah."
"Bah! Mamak tak kenal siapa Bang Rud itu! Mamak tak mau pula terima apapun dari dia. Jika kau tak bisa kembali pada Mamak … hu…." Tangis Bu Rola menderu hebat.
Aku memegang tangan Bu Rola, mencoba menenangkannya. Aku terkejut mendengar cerita Sion. Bagaimana Sion bisa mendapat janji dari Bang Rud? Bukan kah selama dia ditahan tak seorang pun bisa menemuinya? "Sion pernah ketemu Bang Rud sejak ditahan?" tanyaku memelankan suara.
Sion menggelengkan kepala.
"Lalu dari mana kau bisa dapat janji itu?" semprot Sahat.
Sion tak menjawab. Kepalanya menunduk. Kembali kupelototi Sahat. Partnerku ini memalingkan wajahnya, tak puas karena aku mencegahnya mencecar Sion dengan pertanyaan yang tak ingin dijawabnya.
"Baiklah jika Sion tidak mau cerita tentang Bang Rud. Tapi, Sion harus tahu, bahwa Sion akan didakwa atas pembunuhan berencana. Dan hukuman maksimal atas tindakan itu adalah hukuman mati."
Aku memberi ketegasan tatkala mengucapkan hukuman mati. Bola mata Sion terangkat menatapku, kemudian menatap mamaknya yang masing menangis sesenggukan.
"Mamakmu jauh-jauh datang dari desa ingin berkumpul lagi denganmu. Tadi di kantor dia mengucapkan rasa sesalnya karena memberimu ijin ke Jakarta. Oh ya, satu hal lagi, Om Tupang telah meninggalkan Mamakmu. Sekarang beliau kesepian," kataku lembut.
Dengan tertangkapnya Sion, para penyidik menelusuri latar belakang sang pelaku. Media ikut mengekspose informasi tentang keberadaan Sion dan latar belakang kehidupannya. Dari berita yang pernah kubaca, Om Tupang, kekasih mamak Sion, menghilang entah kemana. Tak diragukan lagi, laki laki itu takut masa lalunya ikut terungkap bila dia terlibat dalam keluarga ini.
Suatu perbuatan dianggap melanggar hukum pidana, dan dapat dikenakan hukuman apabila dipenuhi dua unsur. Yaitu, unsur actus reus dan mens rea. Actus reus adalah esensi dari dari kejahatan itu sendiri, sedangkan mens rea adalah sikap batin pelaku ketika melakukan perbuatan pidana.
Esensi dari perbuatan Sion sudah diketahui oleh penyidik. Batin atau niat apa yang melatar belakangi si pelaku dalam melakukan perbuatannya itulah yang perlu digali. Permasalahan semakin komplek tatkala Sion tidak membantah apa pun tuduhan penyidik.
"Kasihani Mamak, Nak. Mamak ingin pulang sama kamu ke desa. Mamak berjanji tidak akan mengatain kamu bodoh lagi, tak akan lagi Mamak menempelengmu. Mamak juga sudah siapkan uang untuk kamu beli kambing lagi." Dibelainya kepala pemuda itu dengan rasa sayang.
Mata Sion terlihat gamang, sebentar lagi pertahanannya bobol.
Aku lebih keras lagi menyudutkan dia. "Kalau memang Sion tidak mau menandatangani Surat Kuasa ini, ya sudah. Toh, tetap saja Negara akan menyediakan orang lain untuk membelamu. Tapi, kami tidak bisa menjamin apakah mereka lebih keras dari kami dalam membelamu. Tentu saja mamakmu ini juga tidak akan bisa lagi menjengukmu."
Tubuh pemuda itu mengejang. Berkali-kali ditatapnya Bu Rola dan aku bergantian. Mata pemuda itu menatapku dengan pandangan menyelidik, mencari kebenaran dari kalimatku. Akhirya ia diam terpaku. Tenaganya melemas. Kepalanya tertunduk. Pertahanannya bobol.
Pemuda itu meraih bolpoin. Jemarinya gemetar ketika membubuhkan tanda tangannya diatas meterai. Lebih tepatnya bukan tanda tangan, tapi coretan yang tidak jelas. Agar tidak menimbulkan masalah di persidangan sebagai alat bukti kelengkapan administrasi, aku meminta Sion membubuhkan sidik ibu jarinya di atas meterai dalam surat itu.
"Bang Rud akan membunuhku," kata Sion lemah. Berkali-kali ia menggumam kalimat yang tak jelas.
"Jangan khawatir, Sion, aku tidak akan membiarkan hal itu terjadi. Percayalah padaku," tegasku. Aku meneruskan, "Asal, kamu bicara jujur dan terbuka pada kami. Mengerti?"
Sion hanya mengangguk berkali kali.
Setelah menyalami Sion untuk pamit, aku dan Sahat membiarkan dia berpelukan lama dengan ibunya. Mata tua itu tak habis-habisnya menetes. Kalau saja Sahat tidak menarik tangan Bu Rola untuk meninggalkan ruangan, tak akan dilepas anak semata wayang yang hidupnya akan berujung di depan diregu tembak itu.
Kembali kami menyusuri blok-blok labirin yang lembab. Tak ada kata yang terucap. Sesekali Bu Rola masih mengusap sisa air mata dengan sapu tangannya yang semakin lusuh oleh keringat dan air mata.
Setelah melewati pintu pemeriksaan terakhir, dan sedikit berbasa-basi dengan penjaga, kami bertiga sudah dihadang puluhan kamera dengan mic yang tersodor ke depan. Reflek aku melindungi Bu Rola dari sentuhan para wartawan, menggenggam erat tangan wanita itu dan membawanya ke belakang tubuhku. Tanpa dikomando, Sahat mengarahkan wartawan untuk mewawancarainya.
Sahat memberi kode lewat kerlingan mata untuk mendahuluinya. Aku menggandeng tangan Bu Rola menjauhi kerumunan, menariknya ke mobil yang terpakir tak jauh dari tempat kami berada. Kupacu mobil Sahat membawa Bu Rola ke tempat yang lebih aman tanpa kerumunan awak media.
Baru beberapa jam yang lalu tidak ada yang mengenal keberadaanku dalam dunia Advokasi. Sekarang semua sudah berubah. Akan banyak pertanyaan bertubi-tubi dari awak media. Hidupku ke depan akan dipenuhi kilatan lampu blitz kamera. Masa laluku akan terkuak. Kebebasan masa depanku akan terampas. Sebuah harga yang harus dibayar untuk sebuah ketenaran. Jujur, aku masih belum bisa menyatu dengan kehidupan seperti itu.