"Bagaimana perkembangan kasus kalian? Ada kemajuan yang berarti? Waktu bergulir semakin cepat."
Pertanyaan Anto yang bertubi-tubi membuatku dongkol. Dia seolah memposisikan dirinya sebagai Penuntut Umum yang sedang menginterogasi terdakwa. Atau lebih tepatnya seorang Presiden Direktur sebuah perusahaan dagang yang terpepet beban biaya yang membengkak tatkala penjualan tak kunjung membaik.
Ini adalah pertemuan kami yang pertama membahas kasus ini setelah seminggu yang lalu Sion membubuhkan tanda tangannya di Surat Kuasa Khusus. Alih-alih menjawab, kubiarkan pertanyaan Anto berlalu sambil mencecap kopi. Perlahan kunikmati aromanya. Kafein yang terkandung di dalam minumanku larut dalam darah, memacu jantungku, membangunkan mataku.
Pagi berjalan lambat tak memperhitungkan detak jam di dinding. Karyawan belum juga ada yang datang. Bahkan petugas kebersihan yang biasanya datang paling pagi sekali pun tak terlihat tulang punggungnya yang kurus dan keriput itu. Tapi Anto sudah memberondongku dengan perkembangan kasus yang susah kujawab.
Aku dan Sahat tidak pulang tadi malam. Kami menginap di kantor. Selain karena Anto menelepon untuk minta bertemu pagi sekali, kami juga ingin membahas kejadian di diskotik malam itu. Kami menghabiskan malam bersama memagut detail demi detail peristiwa yang mungkin terlewatkan. Tatkala semua berujung kebuntuan, otak kami tak sanggup lagi diajak bergerak.
Pukul lima pagi, Anto sudah tiba di kantor. Langsung menuju lantai dua. Sahat menyambutnya dengan menggerakkan lehernya yang kaku, kemudian dengan langkah gontai menuju kamar mandi di lantai bawah. Sebelum Anto memulai percakapan, aku melompat meraih cangkir dan menyedu kopi.
Anto menghempaskan pantatnya di kursi mendengar pertanyaannya tak terjawab. Dia mematikan beberapa lampu dan AC, menyisakan satu lampu kecil di tengah. Hujan dini hari yang mengguyur sangat membantu menyejukkan pagi. Aku mengulurkan kopi panas, dia mengangguk berterima kasih sambil menghirup wangi kopi, kemudian mencecapnya.
"Kita harus bergerak cepat," kata Anto.
Aku tahu yang dimaksud dengan bergerak cepat. AC butuh diservis, listrik perlu dibayar, gaji karyawan tak bisa dihutang. Semakin kami cepat memiliki alat bukti yang bisa membantu Sion, semakin siap kami beragumentasi saat awak media mengejar. Tentu saja, wajah-wajah kami akan sering menghiasi berita dan infotaintment. Sebuah iklan gratis yang akan membuat biro hukum kami kebanjiran kasus.
Rasa jengkel merayapiku. Aku memaksanya pergi, berusaha memahami posisi Anto. Tugas Anto sebagai managing partner memang harus seperti itu, berkutat dengan angka-angka yang harus ditutup.
"Tadi malam kami mencari petunjuk sampai larut malam. Agaknya pagi ini otak Sylvi masih terperangkap dalam dekapan selimutnya," timpal Sahat berusaha mencairkan keadaan.
Pemuda dari Indonesia bagian barat ini tahu betul perasaanku yang terefleksi pada perubahan sudut bibirku yang kutarik dan desahan napas panjang. Aku menggedikkan kedua bahu, membiarkan kedua laki laki ini menunggu.
"Aku yakin Sion tidak bersalah," kataku enteng.
"Bukan kamu yang menentukan salah atau tidak. Dua alat bukti dan bagaimana kamu meyakinkan hakim, itulah yang akan menolong klien kita."
Aku tersenyum kecut. Tentu aja aku tahu kuliah basi yang keluar dari mulut Anto.
"Kali ini aku memang masih belum punya alat bukti apa pun yang meringankan dia. Tapi, aku mempercayai kata hatiku," balasku tak mau kalah.
Anto mendengus. "Hakim tidak akan mendengar kata hatimu tanpa alat bukti."
"Dalam penyidikan, Sion sama sekali tidak membantah Berita Acara Pemeriksaan penyidik. Aku khawatir kita belum mendapatkan alat bukti yang meringankan Sion saat Berita Acara Pemeriksaan itu dinyatakan P-21 oleh kejaksaan," cetus Sahat.
Aku meradang. Sahat telah memilih sekutunya, berpihak pada Anto. Sebelum kuberi dia umpatan yang tak akan pernah dilupakannya, Sahat menyusul dengan kalimat menenangkan.
"Jangan khawatir, kami akan berusaha lebih keras lagi untuk mencari alat bukti. Percayalah pada kami, aku dan Silvy tak akan mengecewakanmu."
Sahat berdiri menepuk bahu Anto yang sejak tadi duduk lemas di kursi, kemudian berjalan pelan ke jendela menatap geliat ibu kota yang mulai menunjukkan aktifitasnya.
Wajah Anto yang diliputi kekhawatiran tak berubah walaupun mendapat tepukan di bahunya. Tanpa alat bukti dan saksi yang meringankan, Penuntut Umum akan leluasa membantai kami. Terlihat dungu tanpa pembelaan yang berarti akan berakibat fatal pada masa depan biro hukum kami. Tak akan ada lagi kasus besar yang akan datang, kecuali menangani gerutuan ibu-ibu yang ingin menceraikan suaminya karena kawin lagi.
Aku memegang jemari Anto yang sedingin es. Meremasnya lembut, mencegah kekhawatiran merasuki tubuhnya. Kepalanya menunduk lemah. Kucari bola matanya, kutatap lekat bola mata mantan kakak tingkatku di Universitas itu, kuberi dia kekuatan kala hatinya disekap sedih dan senyap.
"Aku mempertaruhkan masa depan karierku sebagai Advokat pada kasus ini. Aku yakin tidak akan gagal. Percayalah padaku. I Won't let you down. I swear to God. We'll make you proude of us."
Hampir tiga puluh detik dia menatap lurus ke bola mataku, mencari kebenaran di sana. Aku tahu betul kebiasaan Anto, dia manusia yang tak gampang diberi janji manis. Setelah menemukannya, senyum Anto mengembang walau terasa dipaksakan.
Managing Partner-ku itu menarik napas panjang, menyerahkan semua keputusan kepada kami.
"Aku percaya kalian akan berbuat yang terbaik. Berhati-hatilah, instingku mengatakan kasus ini melibatkan banyak pihak," tegasnya.
Aku dan Sahat tersenyum menyambut uluran kepercayaannya. Sejurus kemudian keheningan mengemas seluruh perasaan kami jadi satu. Di luar, deru motor dan klakson mobil yang mulai bergerak terdengar ceria.
"Aku ingin bertemu kalian berdua pagi-pagi karena ada informasi yang ingin aku sampaikan," pecah Anto.
Sahat membalikan tubuh yang sejak tadi terpaku di pinggir jendela. Ia berjalan mendekati kami, dan kembali duduk di kursi. Kami bersedeku di atas meja, menyimak antusias keterangan yang akan meluncur dari bibir Anto. Aku tidak ingin melewatkan sekecil apa pun informasi yang akan sangat membantu dalam kasus ini.
"Kalian masih ingat dengan Om Sandi, pamanku yang bekerja di Kepolisian Daerah Metro Jaya?"
Sejenak Anto menahan ucapannya. Memberi jeda waktu bagi kami untuk mengingat nama yang disebutkannya. Tidak terlalu susah untuk mengingat kembali Om Sandi. Tiga, empat kali aku pernah bertemu beliau ketika masih kuliah. Kalau tidak salah, pangkatnya waktu itu Brigadir Kepala, bertugas di Polrestabes Surabaya. Umurnya saat ini sekira empat puluh tahunan. Pria tampan, dengan sifat ceria, dan gerakan energik membayang di kepalaku.
Kalau saja dia tidak terlalu tua dan masih belum beristri, aku akan gampang jatuh hati padanya.
"Ya, aku masih ingat dengan beliau. Polisi tampan, simpatik dan ceria. Beda sekali dengan keponakannya."
Anto tersenyum pahit mendengar sindiranku.
"Apa yang beliau katakan?" tanya Sahat.
"Tak banyak. Dia banyak mendengar desas-desus di kepolisian tentang kasus ini. Dia hanya minta aku dan kalian untuk ekstra hati-hati menangani kasus ini. Kalian tahu, kan, korbannya adalah orang terkenal."
"Hanya itu?" sela Sahat, kecewa.
Anto menatap mata partnernya yang sedang kecewa, kemudian menghela napas panjang. Sahat menyeruput kopi yang sudah mulai dingin, menyeringai, mungkin berharap informasi dari Anto tak sepahit kopi tanpa gula yang dihabiskannya.
"Dia terikat dengan jabatannya, Teman. Aku mendesak Om Sandi memberi informasi tentang kasus ini. Tapi, tak ada berita yang bisa kudapatkan darinya," jawab Anto getir.
Sahat meletakkan cangkir kopi sedikit kasar. Asanya terbang menjauh. Harapan yang sempat digantungkan hilang bersama karbon monoksida yang terhempas dari derap knalpot motor empat karyawan kami yang meraung-raung di depan kantor. Tak ada sepatah kata pun terlontar dari mulutnya. Aku tahu, sahabatku ini kecewa. Berharap ajakan Anto untuk bertemu di pagi buta bisa memberinya petunjuk walau sedikit.
"Sebenarnya, Om Sandi memintaku untuk melepas kasus ini. Terlalu berbahaya, katanya. Terutama, dia tahu betul karakter kamu, Syl." Tatapan Anto berbalik arah padaku.
"Oh ya? Dia masih ingat padaku?"
Anto mengangguk. Aku terkesan karena Om Sandi masih juga ingat padaku. Kala masih kuliah tingkat dua, layaknya murid karate yang baru mengenal beberap jurus, aku selalu mendebat Om Sandi tatkala bicara tentang kasus-kasus pidana yang menjadi santapan publik. Wajah Om Sandi memerah bila aku mencerca dia dengan kritikan pedas tentang kinerja kepolisian.
Tatkala mulai keteteran, Om Sandi berdiri, menepuk pundakku, memintaku menghentikan seranganku. "Hukum tidak selalu seperti yang tertulis di buku kuliahmu, Syl," katanya kala itu.
"Aku tahu biro hukum kita butuh kasus besar. Tapi, bukan kasus yang membahayakan keselamatan kita," kata Anto tertunduk lesu.
Wajah cerahnya yang tadi sempat muncul waktu aku meyakinkan dia bahwa kami bisa menangani kasus ini, menghilang tanpa bekas. Nada suara dari kalimat berikutnya semakin pelan saat kami mulai bosan dengan keluh kesahnya yang tak berkesudahan.
"Jangan terlalu masuk ke dalam. Kasus ini tak sesederhana seperti apa yang tertulis di media masa. Aku tidak ingin kalian celaka, sehingga kinerja kantor advokat kita jadi terbengkalai."
Sahat mencengkeram gelas di tangannya. Kemarahan dan kekecewaan yang sejak tadi ditahannya meledak tak terbendung.
"Aku tak akan melepas kasus ini apa pun resikonya! bersamamu atau bergabung dengan biro hukum lain!"
Anto tak mau kalah. "Aku tidak mengatakan kau harus melepas kasus ini. Aku hanya tidak ingin kau dan Sylvi celaka, itu saja!" balas Anto meninggi.
"Haa! Alasan saja! Aku tahu, hanya uang saja yang kau pikirkan! Kalau aku dan Sylvi celaka, maka tidak ada orang lain yang mau dibayar murah untuk menutup operasional pengeluaran, iya kan?"
Seolah api disiram minyak, Anto tak mau kalah mendapat gugatan. Dia menggeram, menggelengkan kepalanya berkali-kali seolah tak percaya sahabat yang bertahun-tahun dikenalnya itu tega menuduhnya seperti itu.
"Kalau iya, apa maumu?" tantangnya.
Hatiku terasa terhimpit di antara dua tebing yang semakin mendekat. Jikalau aku tidak berusaha mendobraknya, aku yakin akan tergencet di dalamnya.
"Sudah! Sudah! Sahat, Anto! tahan emosi kalian! Pertengkaran tidak akan menyelesaikan masalah!" Suaraku melengking tinggi.
Prak! Sahat melempar gelas yang tadi diremasnya ke dinding hingga pecah berkeping-keping. Kopi yang tersisa membasahi lantai. Tanpa berkata lagi dia pergi sambil membanting pintu, berteriak tertahan menuruni tangga. Beberapa detik kemudian knalpot sedan bututnya menyalak membawa serta kepedihannya yang tertinggal.
Dadaku terasa sesak. Kepergian Sahat membuat udara di ruangan dipenuhi kemampatan. Mataku panas. Rasa kecewa dan sedih mengigit keras. Bibit perpecahan dalam persekutuan kami mulai berbiak, menghisap waktu yang tak tersisa. Kutahan air mata, kuelus pundak Anto. Aku juga kecewa dengan sikap Anto, tapi kekecewaan dan kemarahan tak akan membuka jalan perdamaian.
"Bagaimana kabar Om sandi?" tanyaku mengalihkan pembicaraan.
Anto diam tak menjawab. Matanya terpaku pada gelas yang pecah di lantai, membayangkan hal yang akan terjadi akibat emosi yang tak bisa ditahan. Sahabatku itu menghela napas panjang, menjawab pertanyaanku dengan berusaha keras meredam kesedihannya.
"Dia sehat, titip salam untukmu. Aku disuruhnya menyampaikan nasehat kepadamu."
"Apa nasehat beliau untukku?" tanyaku penuh rasa ingin tahu.
"Hukum tidak selalu seperti apa yang tertulis dalam buku kuliah, begitu pesan Om Sandi," jawab Anto lemah.
"Kau tahu nomor teleponya? Aku ingin bertemu langsung dengan Beliau. Aku kangen berat sama Om-mu yang ganteng itu."
Aku berusaha melucu, siapa tahu dengan kelucuanku bisa kupagut kembali kebersamaan yang menghilang. Bibir Anto mengembang tipis. Dia mengeluarkan ponselnya, mengirim nomor telepon Om Sandi ke ponselku. Setelah itu ia berdiri, berjalan menuruni anak tangga, meninggalkan aku ditikam sepi.
Aku tersenyum kecut. Hukum memang tidak selalu seperti apa yang tertulis dalam buku kuliah. Namun, hukum juga tidak boleh dipermainkan. Equality before the law, semua warga negara sama kedudukannya di mata hukum.
Bahkan untuk Sion, pemuda tak berpendidikan yang telah dihakimi media masa yang bersekutu dengan netizen media sosial. Semoga hukum di Indonesia tidak tumpul ke atas tapi tajam ke bawah.
"Everything's alright, Bu?" Wajah Lisa muncul di tengah kegalauanku.
Sapu, keranjang sampah dan kain pel tergenggam di tangannya.
"No problem!" Kuberi dia senyum terindah.
Sebelum dia bertanya menuntaskan ke-kepo-annya, aku meninggalkannya membersihkan lantai. Sejak kapan kepala bagian keuangan turun pangkat jadi tukang bersih-bersih kalau bukan untuk menguping?