Chereads / Lady Advocate / Chapter 10 - Chapter 9; Malaikat Penolong

Chapter 10 - Chapter 9; Malaikat Penolong

Tanpa melihat ke belakang apakah mereka mengejar, kugenjot kakiku berlari cepat. Setelah melewati beberapa pemadat dan penikmat dunia malam yang berkelejotan menikmati kerasnya musik disko, aku menemukan diriku sudah tak terjamah lagi oleh pekatnya asap rokok bercampur keringat segala macam bau parfum.

Di parkiran, kuhirup udara malam dalam balutan sendu dini hari. Aku melirik arloji yang melilit di pergelangan. Jam satu pagi. Setengah berlari aku mendapati motor kesayanganku.

Tak kuhiraukan celana jenasku yang basah oleh embun di jok motor. Kuhidupkan mesinnya, kutarik gas sedikit terburu. Tukang parkir yang terantuk dalam ketermanguan tersenyum cerah menerima selembar dua puluh ribu dariku tanpa kembalian.

Malam berjalan lambat, selebihnya dingin embun meresap kulitku yang tak terlapisi jaket. Kupacu kencang motorku seolah bersayap. Beberapa warung kopi mulai menutup dagangannya, penjualnya putus asa kala rejeki tak kunjung datang bersama rintik hujan.

Air yang turun dari langit menetes membasahi jaket, membasahi tangki sepeda motorku. Knalpot motorku meraung membelah dinginnya malam, memecahnya menjadi partikel-partikel kecil berujung uap air.

Sekira tiga ratus meter melaju, motorku memasuki jalan sempit diapit dua tembok gedung apartemen. Lebar jalan itu hanya cukup untuk satu mobil. Dari belakang, lampu dim berkali-kali berkedip memintaku untuk minggir. Instingku meneriakkan kata bahaya.

Semakin cepat kupacu gas motorku. Dinding bagian belakang perumahan mewah yang mengapit jalan seolah bergerak mundur bersama laju motorku. Setelah melewati jalan sempit, aku berbelok ke kanan. Jalan lebih lapang membuat hatiku sedikit tentram.

Jantungku berdegup lebih kencang tatkala mobil yang tadi menyuruhku berhenti muncul dari belakang. Kutarik lagi gas motorku. Mobil itu ikut memacu kecepatannya. Sebentar saja kendaraan di belakangku berusaha mendahuluiku.

Pada jalan yang lebih lebar, pengemudinya memepetkan bodi mobil ke motorku. Setir motorku sedikit oleng. Jalan pedestrian berundak membuat ban motorku menyerempetnya. Aku tak bisa menguasai keadaan. Motorku tersuruk menabrak pedestrian itu. Aku tak sanggup lagi menguasai motorku.

Sebelum kepalaku terantuk stang, aku melompat dari jok motor, bergulingan di atas aspal. Kubiarkan motorku menabrak tiang lampu di depan. Jaket bomberku tak mampu meredam lecet kulit lengan dan siku ketika bergesekan dengan aspal. Tulang bahuku ikut berderak. Ngilu tak terkira mengigitnya.

Mobil besar produksi Jepang yang tadi memepetku berhenti. Larut malam diiringi hujan rintik membuat tak satu pun manusia terlihat di sekitar. Bahkan tak satu pun motor melintas. Aku berdiri meringis menahan sakit. Perih di sekejur tubuh tak kuhiraukan. Kupersiapkan diri menunggu aksi selanjutnya.

Tiga orang turun dari kendaraan itu. Si pendek dempal, pemeran utama "planet of the apes" dan si Indo "Bugsy Siegel". Tiga laki-laki yang tadi kupermalukan di diskotek menyeringai senang melihat jaket bomberku compang camping. Kali ini ketiganya mendatangiku tidak dengan tangan kosong. Sebuah pemukul baseball dalam genggaman tangan kanan mereka.

Aku melirik ke kanan ke kiri, mencari benda apa pun yang bisa kujadikan alat untuk membela diri. Sebuah kayu sebesar lengan teronggok tak jauh dari tempatku berdiri. Tetapi jaraknya lebih dekat dengan ketiga laki laki yang semakin mendekat itu. Untuk meraihnya terpaksa aku harus menghadapi ketiganya dulu dengan tangan kosong.

Walaupun tubuhku meminta untuk istirahat sejenak, naluri bertahanku tak membiarkan itu terjadi. Kupaksa mata dan telingaku fokus dengan apa yang akan kuhadapi. Kulemaskan sekujur persendian. Tubuhku sedikit demi sedikit mau diajak kompromi. Bahaya yang mengancam membuat sulur-sulur ototku menegang. Darahku terpompa ke jantung lebih cepat. Kedua tanganku mengepal keras, kakiku menyilang ke depan membentuk kuda-kuda. Bahuku yang ngilu telah hilang rasa sakitnya.

Laki laki pendek dempal yang tadi kujatuhkan dengan satu kali pukulan agaknya tahu apa yang ingin kulakukan. Berbarengan dengan gerakanku meloncat ke arah kayu yang teronggok, berbarengan pula dia menyabetkan tongkat baseballnya.

Aku lebih memilih melepaskan dulu keinginan untuk meraih kayu itu. Kutarik tubuhku kebelakang, membiarkan pukulan itu mengenai ruang kosong.

Melihat serangannya bisa kuhindari dengan mudah, bentakan keras beserta sumpah serapah mengiringi pukulan-pukulan tongkat berikutnya. Serangan si pendek ini tidak beraturan dan cenderung ngawur. Dengan mudah aku menghidari pukulannya.

Pada satu ketika, pukulan tongkatnya bisa kuhindari dengan memiringkan tubuh. Aku menyusulnya dengan melayangkan pukulan tepat ke rahang penyerangku. Pergelangan tanganku terasa patah ketika tinjuku menyentuh rahangnya yang keras. Tak ayal tubuh pendek itu terjengkang kebelakang. Tongkat baseball lepas dari tangannya.

Aku yakin pukulanku yang tepat ke rahang membuat otaknya bergetar, dan tak bisa lagi diajak untuk mengontrol bagian tubuh yang lain. Dalam satu hari, untuk kedua kalinya harga diri lelaki itu hancur karena wanita yang sama.

Dua temannya tanpa sungkan lagi merangsek berbarengan.

Kupungut tongkat baseball yang tadi ditinggalkan penyerangku. Tanpa sempat berpikir lagi, kuladeni dua laki-laki tinggi besar itu. Berbeda dengan si pendek dempal, si wajah kera dan si Indo ini agaknya terbiasa dengan pemakaian senjata dalam perkelahian. Serangan-serangan mereka cepat, kuat, dan terarah.

Celakanya, aku tak mahir menggunakan senjata dalam perkelahian. Aku memang terbiasa berlatih olah raga bela diri, tapi tidak dengan senjata. Aku menyesali keteledoranku. Tak pernah kubayangkan bahwa suatu hari nanti aku akan menggunakan kemampuan bela diri yang kulatih bertahun tahun untuk melindungi pekerjaanku.

Beberapa pukulan bisa kuelakkan atau kutangkis dengan tongkat di tanganku. Tapi, tetap saja beberapa pukulan lain mampir telak ke tubuhku. Tulangku terasa ngilu. Aku yakin daging yang membungkusnya meruam memar. Dalam beberapa gebrakan saja aku semakin terdesak.

Berikutnya aku hanya bisa menghindar ke belakang, atau menangkis saja. Tanganku berasa kaku. Ngilu. Genggamanku di tongkat semakin rapuh. Tak lama lagi aku tak sanggup menahan serangan dua lelaki ini.

Dalam keadaan labil, sebuah sodokan ujung tongkat mengenai ulu hatiku. Sodokan itu membuatku tertunduk tak bisa bernapas. Si Brewok yang menyodokku tertawa senang sambil mengayunkan tongkat ke arah bagian belakang kepalaku.

Otak menyuruh tubuhku untuk menjatuhkan diri. Menghindar. Namun napasku yang tertahan di paru-paru membuatku tak bisa bergerak. Mataku nanar. Belakang kepalaku berdenyut keras. Aku tak sanggup lagi. Pasrah menerima pukulan itu.

Dalam keadaan tak ada pilihan lain, mulutku berucap doa, berharap ada keajaiban yang datang.

Doaku didengar Tuhan. Penyerangku berteriak kesakitan. Pemimpin pasukan kera itu itu terjengkang kebelakang. Entah dari mana, seorang lelaki yang terbalut jaket kulit hitam dan celana jeans warna hitam sudah berdiri di sampingku. Tubuhnya tegap, tinggi. Di tangannya tergenggam balok kayu sebesar lengan yang tadi akan kupakai untuk membela diri.

Tokoh utama Planet of the Apes itu memuntahkan darah segar, mendekap dadanya sambil mendelik tak percaya. Dalam hitungan detik tubuh besar itu jatuh berdebum layaknya karung berisi beras dilempar dari atas truk.

"Kau tidak apa-apa?" Suaranya serak. Berat.

Aku hanya mengangguk. Napasku masih satu-satu menghiasi rongga dadaku. Aku tak bisa mengenali wajah penolongku. Topi baseball menutup seluruh rambutnya. Sapu tangan membalut wajahnya dari hidung hingga leher, membuat penampilannya layaknya bandit perampok di film-film cowboy. Hanya saja tanpa pistol, topi laken, dan sepatu bot.

"Bangsat! Jangan ikut campur!" teriak Bugsy Siegel.

Penolongku tidak menjawab. Dia memegang lenganku, membantuku berdiri, dan menuntunku menepi. Aku duduk terkulai. Kubiarkan tubuhku sejenak istirahat, dan membiarkan laki laki penolongku itu menghadapinya sendiri.

Tanpa bertukar kalimat tantangan lagi, malaikat penolongku itu segera merangsek ke dapan. Kedua tangannya memainkan kayu sebesar lengan itu seperti mainan anak kecil. Bugsy Siegel tanpa banyak bicara meladeninya. Derak dua tongkat kayu bertemu di udara. Disusul derak-derak gebrakan kayu saling pukul memukul.

Lelaki penolongku itu bergerak lincah meladeni permainan Bugsy seperti ayah bermain tongkat dengan anaknya. Setiap serangan yang mengicar organ vitalnya dengan mudah ditangkis. Kemudian, ia membalasnya dengan menggebuk pungung dan lengan si penyerang, seolah pelatih anjing menggebuk binatang piaraannya yang tak menuruti instruksi setelah diberi makan.

Kayu dalam genggaman penolongku seolah punya mata. Kemana pun pukulan datang, dia dengan mudah menangkisnya. Keadaan berubah cepat. Kini Bugsy yang kewalahan.

Dalam satu serangan yang cepat ke arah kepala, balok kayu di tangan Bugsy terlepas diikuti tubuhnya yang terpental menabrak dinding. Mata indo lelaki itu mendelik. Napasnya memburu. Daging bibir dan jidatnya menggembung sebesar bakpau.

"Bangsat! Kubunuh kalian!"

Tangannya merogoh sebuah benda dari dalam jaketnya.

Jarak yang terpisah dari tempat Bugsy sekira sepuluh meteran. Sebelum penolongku itu menyusulnya dengan serangan untuk melumpuhkannya, aku yakin peluru dari pistol di genggaman Bugsy akan bergerak lebih cepat. Tak ada yang bisa dilakukannya kecuali melontarkan kayunya ke arah tangan yang merogoh jaket itu.

Lemparan itu tepat mengenai tangan Busgy. Laki-laki dandy itu mengaduh memegangi tangan kanannya. Kami punya waktu sepersekian menit untuk melarikan diri. Dengan cepat laki laki penolongku itu berbalik ke arahku. Menyeretku berlari menjauh.

"Tar! Tar!" Dua suara tembakan membelah malam. Desing peluru menyusul. Kami merunduk dalam pelarian. Tembakan Bugsy tak mengenai sasaran.

Tangan kanan lelaki itu menggenggam erat tangan kiriku, menariknya sekuat tenaga. Kupaksa kakiku yang sudah kaku mengikuti langkah lebarnya.

"Tar! Tar! Tar!"

Hening malam kembali terkoyak oleh suara peluru berikutnya yang berhamburan.

Berbarengan dengan peluru-peluru yang melesat entah kemana, pantatku dan pantat penolongku sudah duduk manis di atas motor sport 250cc miliknya. Lelaki itu memacu motornya melaju meninggalkan lorong tempat duel.

Motor menukik tajam ke kiri, lurus, kemudian berbelok ke kanan mengarah ke jalan utama. Gerimis dini hari berhenti sempurna. Jalan aspal masih basah dan licin. Beberapa mobil dan motor menggeliat berseliweran meramaikan ledakan ufuk merah di langit yang masih temaram.

Aku tak tahu kemana arah jalannya motor. Tangaku memeluk erat pinggang laki-laki yang belum kukenal ini dari belakang. Tubuhku terasa berat, seluruh persendianku dicengkeram rasa ngilu. Bayang kasur hangat tuk sekedar mengistirahatkan sejenak urat-uratku berkelindan dengan aktifitas pagi yang menggeliat.

Setelah tiga puluh menit kami berderak di atas jok motor, laki-laki itu menghentikan motornya di depan pagar sebuah rumah kecil bergaya minimalis.

Puluhan rumah dua lantai berbentuk sama, terbalut cat warna krim dan abu-abu tua berjejer rapi. Penolongku mematikan mesinnya, bergegas memapah tubuhku yang sudah tak bertenaga. Suara bel terdengar berkali-kali. Setengah sadar, kilas wajah seorang ibu tua menyembul dari balik pintu.

Kepalaku semakin pening. Seluruh persendian menjerit tak karuan. Suara-suara berbentuk vokal dan konsonan seliweran di dalam kepalaku. Perutku menggelegak. Aku berasa menyusuri sebuah lorong panjang, gelap, dan berakhir di sebuah tempat pembaringan yang lembab. Selebihnya aku tak ingat lagi.

Suara terakhir yang menyapa telingaku sebelum kesadaranku hilang adalah teriakan tertahan dari ibu itu.