Mimpi itu hadir lagi. Kal ini semakin jelas. Pria tampan dengan senyum ramah semakin rutin menyambangi tidurku akhir-akhir ini. Umurnya belum tiga puluhan. Berhidung mancung, mempunyai rahang kokoh dihiasi pupil mata tajam dan kelopak mata dalam. Alis tebal melengkung bertengger angkuh di atasnya. Wajahnya bersih tanpa cambang. Yang membuatku tak bisa lepas dari wajah itu adalah sorot matanya yang sendu. Menyiratkan kesedihan, kemarahan dan ketidakberdayaan.
Lelaki itu berdiri di depan halaman rumah. Raut wajahnya disekap sedih dan senyap. Ia berjalan gontai meninggalkan seorang anak kecil perempuan sambil melambaikan tangannya. Lemah. Mata anak kecil yang ditinggal itu pun terlihat memelas. Kepedihan anak kecil itu tersampaikan kepadaku. Menusuk hati, menyesap kelelahan di jemari mungilnya saat meraih kegelapan. Degup jantungnya yang melompat-lompat di antara ribuan harapan yang tak tergenggam mengajakku ikut larut di dalamnya.
Aroma jus jeruk dan roti panggang membuat bayangan itu lenyap. Hidungku mengantarkan bau itu ke otak, menstimulus perutku, memaksa mimpi pedih itu menjauh. Tatkala kelopak mataku mengerjap, perih masa lalu yang selama ini bersembunyi di dadaku menyeruak, menghajar kerinduan gersang yang hanya berisi kesunyian.
Atap plafon putih dengan hiasan lampu antik menyambut geliatku. Mataku mengerjap, berusaha mengenali lingkungan sekitar. Kugelengkan kepalaku ke kanan ke kiri, memastikan bahwa aku memang terbangun tidak di dalam kamarku. Di dinding tembok warna biru muda tergantung lukisan gadis dengan pakaian tradisional jawa. Penari itu melenggok diiringi beberapa pemain gamelan.
Di bawah lukisan itu teronggok sepasang kursi dan meja. Piring berisi roti panggang mengepul dengan selai strawberry dan segelas jus jeruk di atasnya itulah yang membuat perutku menari-nari minta diisi. Kupaksa otakku mengulang kembali kilasan yang membuatku berada di tempat ini. Tetapi yang kudapat pukulan hebat di belakang kepala.
Tangan, kaki dan beberapa bagian di punggung dan dada menjerit bersama. Aku menggerang kesakitan.
"Syukurlah kau sudah bangun."
Sebuah suara berat memaksaku mengalihkan tatapan ke arahnya. Seorang pria mendekat. Tanpa kupersilahkan dia duduk di sebelah kiri di samping tempat tidurku.
"Terima kasih" Kalimat yang keluar dari bibirku berupa lenguhan serak.
"Makan roti panggang dan minum jusnya. Setelah itu minum obat luka dan anti nyeri ini."
Dia bergeser mendekat, aroma sabun mandi menyeruak segar memenuhi hidungku. Lengan kekarnya memapah tubuhku bangun. Pria itu menahan tubuhku dengan dadanya sementara kanannya meraih gelas berisi jus jeruk. Perih menggigit saat cairan manis kecut dingin yang diangsurkan itu membasahi bibirku. Aku menyeruputnya perlahan. Sekedar membasahi kerongkonganku yang tercekat.
Dia kembali meletakkan kembali gelas itu di meja, kemudian menjangkau piring yang berisi roti panggang. Tangan kanan yang membawa piring itu dipenuhi otot-otot yang menonjol. Lelaki itu ingin menyuapiku.
Aku menolak. Kupaksa tangan kananku terangkat mengambil roti panggang walau setiap persendian yang membalutnya menjerit menyakitkan. Kuperintahkan gigiku mengunyah roti tawar dua lapis bertabur selai nanas hingga habis. Kerongkonganku yang bandel karena tak mau bekerja sama menelan kerat roti itu kupaksa bekerja keras.
Aku tak ingin bermanja-ria bertelekan di dada seorang pria yang belum kukenal. Walaupun dia telah menyelamatkan nyawaku.
Mataku terbelalak. Pakaian yang kukenakan bukan lagi pakaianku. T-Shirt hitam lengan panjang, jaket bomber dan celana jeans yang tadi kupakai berganti dengan piyama. Warna pink! Warna yang kubenci saat ini karena mengingatkanku akan lelaki jadi-jadian itu.
Mataku berputar mencari pakaianku. Tidak kutemukan. Hanya sepatu sniker putih teronggok di sudut kamar. Hatiku semakin meranggas tatkala meneliti sekujur tangan dan kakiku.
Kulitku yang penuh noda darah dan tanah kotor telah bersih. Kuraba wajah dan bagian tubuhku yang lain. Semuanya bersih. Bahkan tercium aroma sabun wangi. Wajahku memerah jengah. Pria muda yang tak kukenal ini kah yang telah mengganti bajuku? Memandikanku? Berarti dia melihatku telanjang? Jangan-jangan … Dia memperkosaku saat aku tidak sadar!
Kemarahan menghentak dadaku.
"Aku bisa makan sendiri! Menjauhlah!" kataku ketus.
Seolah tersadar dari tindakannya yang kurang sopan, laki-laki itu melepaskan lengannya dari bahuku. Ia mengambil kursi sebagi tempat duduknya. Aku berusaha menahan tubuhku agar tidak ambruk terlentang kala dada bidang yang tadi menyanggahku menghilang.
Denyut keras menghajar kembali belakang kepalaku. Pandanganku kembali berkunang-kunang.
"Maaf, aku tidak bermaksud kurang ajar, aku…."
"Di mana pakaianku?" tanyaku sinis.
"Sedang dicuci Bi Uni. Beliau pula yang mengganti bajumu dengan piyama miliknya. Membersihkan luka dan noda di tubuhmu dengan air hangat dan sabun wangi."
Kalimat dari bibir laki-laki di sebelahku ini seolah guyuran air es di tengah gurun pasir. Laiknya obat jiwa, hatiku yang tadi sempat membara berubah menjadi dingin. Kukutuk prasangka burukku. "Sudah ditolong, diberi makan, bukannya berterima kasih malah berprasangka buruk!"
Aku tertawa lirih mendengar piyama warna pink yang kekecilan ini adalah piyama milik ibu tua yang mengurusku saat aku pingsan.
"Kenapa kau tertawa? Ada yang aneh?"
Kepalaku menoleh ke arahnya. Mulutku terbuka. Separuh ingin menjelaskan kenapa aku tertawa. Namun bibirku kelu. Jantungku berdebar keras.
Dia tersenyum menatapku balik. "Ada apa? Ada yang salah dengan penampilanku?"
Kuumpat keluguanku. "Ndeso! Koyok gak tau ndelok wong lanang ganteng ae![1]"
Kulitnya bersih sawo matang dengan cambang tumbuh beberapa mili menghiasi bibir tipis dan dagunya yang menggantung. Membuatnya terlihat sangat jantan. Tulang rahang kokoh. Rambut ikal menutupi telinga. Hidung mancung laksana kuntum seroja.
Bagian dari wajah yang paling membuatku terpesona adalah bentuk matanya. Pria di depanku ini mempunyai kelopak mata cekung yang melindungi skleranya. Putih jernih. Dan di tengah sklera itu, kornea, iris, dan pupilnya menggumpal menjadi satu tanpa sekat perbedaan warna.
Kuibaratkan Sklera miliknya itu seolah air telaga jernih yang mengelilingi pupil. Iris dan kornea sebagai pulaunya. Aku ingin berenang di telaga itu. Setelah puas, aku berharap bisa beristirahat dengan damai di bola matanya.
"Namaku Johan. Kau berada di rumahku saat ini," kata pemilik wajah mempesona ini sambil menyorongkan tangan kanannya.
Bibirnya terbuka lebar memperlihatkan gigi depannya yang putih rapi. Aku tak segera membalas perkenalannya. Kutatap bibir itu beserta gigi putihnya. Aku tersihir untuk kesekian kali. Senyum laki-laki ini memabukkan.
"Ah, ak—ku … Sylvi. Advokat, eh, pengacara, eh, Advokat perempuan, eh…."
Kalimat yang keluar dari bibirku berlepotan tak tentu arah. Telapak tangan itu terasa lembut dalam genggamanku. Kalau saja dia tak menarik tangannya, aku ingin menggenggam telapak tangan lembut itu selamanya. Kampungan! Kukutuk diriku. Secepatnya aku menguasai diri.
"Terima kasih atas pertolongan dan kebaikanmu."
"Sama-sama. Apa yang terjadi denganmu semalam?"
"Aku sedang dalam tugas profesi mencari data dan informasi untuk membela klienku, ketika tiga penjahat itu mengurung dan menyerangku."
Tanpa diminta, kuceritakan kronologi mulai dari jejak kakiku pertama menginjak diskotek itu hingga dia muncul menolongku. Selama menjelaskan, aku berusaha untuk tidak sesering mungkin bertatap mata dengan Johan. Aku takut tak dapat menahan diri. Aku takut semakin tenggelam dalam telaga sklera-nya.
"Bagaimana kau bisa muncul di saat yang tepat?" tanyaku penuh perhatian.
"Aku kebetulan lewat dalam perjalanan pulang kerja tadi malam. Daerah itu memang tidak aman dan penuh kriminalitas. Melihat cewek dikeroyok, adalah kewajibanku menolong sesama manusia."
Kami terdiam sesaat. "Untuk apa kau ke diskotek itu?" Tanya Johan melanjutkan.
Alih alih menjawab pertanyaan itu, aku melirik sisa roti dan jus jeruk diatas meja. Kubiarkan dulu pertanyaan itu mengambang di udara. Selain perutku tak mau diajak kompromi, aku enggan membicarakan kasusku dengan orang yang baru kukenal, sekalipun dia malaikat penolong yang telah menggetarkan hati.
Johan tidak mendesak lebih lanjut.
"Silahkan makan dulu, kemudian minum obat anti nyeri ini."
Perhatiannya padaku membuatku melambung. "Terima kasih atas kebaikanmu."
"Kau beristirahat dulu, aku pergi ke luar sebentar. Gak usah sungkan, anggap saja rumah sendiri."
Dia menepuk punggung tanganku, beranjak dari tempat duduknya.
"Bi Uni!" Johan memanggil ibu tua yang telah mengurusku selama aku pingsan.
Ibu tua bergelung konde dan berdaster muncul itu dari balik pintu.
"Tolong bantu ya, Bi" lanjut Johan sebelum meninggalkan kami berdua.
Bi Uni tersenyum ramah melihatku. Hatiku tentram melihat wajah tulus itu.
"Kita belum berkenalan. Nama saya Sylvi. Terima kasih Bi Uni telah menolong saya."
"Sama-sama, Non. Semoga Non Sylvi cepat sembuh."
Bi Uni memegang tangan kananku, meremas pelan telapak tanganku. Kapalan di buku jemarinya menahbiskan tanggung jawab yang telah diembannya dengan baik.
"Ini obat gosok yang ampuh. Setelah makan dan minum obat, biar Bi Uni mengoleskan obat gosok ini ke seluruh luka di tubuh Non Sylvi."
Aku mengangguk. Tanpa diminta lagi kulahap roti bakar jus jeruk yang tersedia. Tak lupa obat penghilang rasa nyeri dan infeksi sebagai dessert-nya.
Aku teringat barang berharga yang kusimpan di jaket bomberku, berharap Bi Uni tidak mencucinya atau membuangnya bersama pakaianku.
"Bi Uni tahu di mana pakaian saya? Ada ponsel saya di dalam saku jaket."
"Jangan khwatir, Non. Pak Johan menyimpannya. Dompet Non Sylvi juga disimpan beliau."
Lega mendengar ponsel berikut rekaman Bang Rudd dan Dorsi berada di tangan yang aman. Kulepas piyama, kubaringkan tubuhku di atas tempat tidur. Bi Uni membuka tutup botol. Campuran antara minyak sereh, minyak kayu putih dan berbagai macam rempah yang tak kuketahui namanya merebak ke seluruh ruangan.
Dengan lembut ibu tua baik hati itu mengoleskan sedikit demi sedikit minyak ke bagian tubuhku yang luka diiringi pijatan lembut di pundak dan dada. Rasa hangat menjalari sekujur tubuh. Aroma wangi rempah-rempah menyebar ke seluruh ruangan. Jiwa dan tubuhku mengalami kenikmtan transendan yang tak bisa kulukiskan dengan kata-kata.
Obat nyeri bereaksi menghentikan zat prostaglandin, zat kimia yang mengakibatkan peradangan. Tubuhku terasa ringan. Luka dan perih yang terus menggigit bahu dan sekujur tubuhku menghilang perlahan. Tak lama kemudian kelopak mataku terasa berat. Aku menguap.
"Silahkan Non Sylvi istirahat dulu."
Aku mengangguk. Bi Uni menepuk tanganku lembut, kemudian meninggalkanku sendiri. Tak menunggu lama, tubuhku tenggelam kembali ditelan bantal dan kasur yang empuk. Kali ini pria yang dalam mimpiku itu berubah menjadi sosok Johan. Malaikat penolongku yang tampan.
Tenagaku kembali penuh seperti bateri setelah mendapat isi ulang. Luka di sekujur tubuhku hanya menyisakan sedikit memar, tidak terlalu sakit seperti pertama kali kakiku menginjakkan rumah ini. Entah obat apa yang kuminum dan dibalurkan ke seluruh tubuhku itu. Dalam hitungan jam, energi yang kemarin terbuang telah kembali. Saat kubuka mataku, kesadaran merebak sempurna.
Kamar yang kutempati tidak seberapa luas. Hanya dihuni satu tempat tidur single, dua kursi dan satu meja dari kayu jati. Warna hijau muda membalut seluruh wajah tembok. Lukisan wanita Penari Bali berlatar belakang puluhan pria duduk berkecak ria terbungkus dalam bingkai indah.
Aku turun dari tempat tidur. Kakiku menapak kokoh di lantai granit yang dingin ukuran delapan puluh senti meter persegi. Aku berjalan mengendap, membuka pintu. Tanpa tertatih sedikit pun kususuri seluruh sudut-sudut rumah. Bi Uni entah kemana, begitu juga penolongku yang penuh misteri itu.
Sinar matahari menuntunku menuju halaman depan. Di ruang tamu, hanya berisi sofa set kecil terbuat dari anyaman water hyacinth. Mataku menatap beberapa lukisan wanita dalam berbagai pose menari. Lukisan-lukisan itu memberi sinyal bahwa pria penolongku ini memiliki hobi yang tidak seperti pria pada umumnya.
Teras depan ditempati dua kursi dan satu meja rotan anyaman warna putih solid. Pagar depan tinggi menjulang membuat halaman rumah tidak nampak dari luar. Dibalik pagar itu terdapat taman kecil diisi berbagai macam bunga terawat rapi. Entah pemilik rumah atau kah Bi Uni yang merawat, berbagai macam bunga terlihat segar.
Tanganku tidak terlilit arloji. Namun dari letak posisi matahari, kupastikan hari menjelang sore. Itu berarti aku tidur seharian.
Sapaan dari belakang membuatku terkesiap. "Bagaimana keadaan Non?"
Kutengok pemilik suara. Bi Uni.
"Sudah enakan, Bi. Terima kasih."
"Sukurlah. Obat Pak Johan memang sangat ampuh. Beberapa temannya yang terluka juga langsung sembuh setelah minum dan dibalut obat itu."
Aku tersentak. "Maksud Bi Uni, selain saya, juga pernah ada teman Pak Johan yang terluka dan dibawa kemari?"
Bi Uni terlihat salah tingkah. "Eh, Ah, Maaf, saya tidak tahu, Non…."
Melihat wanita yang telah menolongku telah keceplosan bicara, tidak tega aku menyusulnya dengan pertanyaan yang menentukan laiknya bertanya pada saksi atau terdakwa di persidangan. Masih ada waktu untuk mengkonfirmasi sendiri segala pertanyaan yang mencekat pada yang bersangkutan
"Kamar mandi di mana, Bi?" tanyaku mengalihkan perasaan bersalahnya.
"Mari silahkan, Non. Bibi antar," ujar Bi Uni ramah.
Perasaan bersalahnya lenyap bersama senyum indah yang kuberikan.
"Biar Sylvi jalan sendiri saja, Bi. Sylvi masih kuat kok," kataku geli ketika Bi Uni ingin membimbing tanganku.
Bi Uni kelihatannya sudah terbiasa memperlakukan tamu-tamu majikannya dengan lembut. Ada kah tamu perempuan lain yang juga pernah diperlakukan seperti ini?
Dalam guyuran air hangat yang membalut seluruh bagian tubuhku dari rambut hingga ujung kaki, aku merekonstruksi semua kejadian. Kupilah dan mencari segala petunjuk yang bisa kuingat. Petunjuk itu bisa kugunakan waktu pembelaan Sion di persidangan.
Memikirkan bahwa alat bukti rekaman masih tersimpan di ponsel, aku segera menyudahi guyuran air hangat. Bergegas mengganti piyama pink dengan daster milik Bi Uni. Tentu saja aku tidak ingin mengganti bra dan celana dalamku dengan milik Bi Uni. Celana jeans dan T-Shirtku entah kemana,
Mendapati jaket bomber hitam yang sikunya terkoyak masih teronggok di sofa, hatiku merasa tenang. Kuperiksa saku dalam. Napasku terhembus lega mendapati ponselku masih utuh. Dengan seksama aku meneliti semua fitur-fitur yang ada. Semua masih bagus. Tak ada tanda-tanda seseorang telah mengotak-atiknya.
Kutekan barang bukti yang kupunya. Rekaman suara Dorsi dan Bang Rud masih terdengar jelas. Syukurlah, karena untuk saat ini, hanya rekaman ini yang bisa kujadikan alat bukti.
Aku menekan nomer Sahat. Di seberang, suara Sahat terdengar jengkel "Hallo, Syl. Aku menelponmu dari kemarin, dan ponselmu dalam keadaan mati terus."
"Sorry, aku memang mematikan ponselku. Aku juga pingin libur hari sabtu dan minggu."
Aku tidak ingin membahas apa yang kulakukan tadi malam di telepon.
"Kau libur oke, lah. Tapi handphone jangan dimatikan, dong. Kau tidak sedang liburan dengan seseorang kan?"
Aku tertawa kecil mendengar pertanyaan Sahat. "Hallo, Kawan! Sejak kapan aku punya teman laki-laki lain di Jakarta selain kamu dan Anto?"
Suara tawa kecil di seberang terdengar lega.
"Kau cemburu?" godaku.
"Ah, macam mana pula kau ini. Aku hanya khawatir kau lupa sama tugas kau." Nadanya terdengar sengau dalam kesungutan.
Aku tertawa lepas mendengar gurauanku mengena. "Kita ketemu senin di kantor ya?"
"Oke. Aku juga ada janji malam ini."
"Dengan perempuan?"
"Ha! Sekarang kau yang cemburu kan?"
"Ha ha ha … aku cemburu jika kau menelantarkan kasus ini demi perempuan lain," jawabku sekenanya.
"Bisa saja, kau. Oke, selamat berlibur." Sahat menutup pembicaraan kami.
[1] Kampungan! Seperti tidak pernah lihat cowok tampan saja.