Persidangan awal kasus Sion dimulai seminggu yang lalu dengan agenda pembacaan dakwaan dari Penuntut Umum. Seperti yang kami perkirakan, Penuntut Umum menggunakan Pasal 340 KUHP dengan ancaman maksimal pidana mati terhadap pemuda itu. Tidak ada yang meringankan kecuali dia masih berumur muda. Sikap Sion yang seolah tanpa penyesalan membuat geram banyak pihak.
Hari Selasa depan akan diagendakan pembacaan eksepsi. Mulai pagi hingga malam kami bertiga berkutat dengan pasal-pasal. Berbagai Undang-Undang kami bongkar, kami tinjau dari perspektif hukum. Segala teori hukum milik Hans Kelsen, Jeremy Bentham, Roscou Pound, kami kupas habis. Namun, semuanya menemui jalan buntu. Setelah berjam-jam terlempar dalam kubangan kekalutan dan terhempas menghantam riak kegundahan yang tak kunjung terurai, kutinggalkan Sahat dan Anto termangu di kantor.
Daripada berkutat dengan pesimisme yang berujung kekacauan, aku memutuskan menyusun daftar saksi yang akan kami hadirkan, dan membuat pertanyaan-pertanyaan yang sanggup menggali kebohongan yang mereka sembunyikan.
Di kamar apartemenku, penat menuntun mataku tak sanggup bertahan walau tiga gelas kopi kental tanpa gula sudah menghangatkan perutku. Kafein tak mampu mencegah detak jantungku yang melambat. Setelah mengguyur badanku dengan air panas, aku memasukkan tubuhku ke dalam pelukan selimut. Pendingin ruangan menderu membuatku terlelap seketika. Pintu kamar kubiarkan terbuka.
Otak yang terus berputar ditambah tekanan kasus yang semakin menekan membuat tidurku tak pulas. Mulanya, suara kunci pintu luar yang bergelotak kukira adalah bagian mimpi yang sering menyambangi. Aku yakin, sebelum tidur, pintu luar dalam keadaan terkunci. Namun, suara perlahan itu diikuti pergeseran letak gagang pintu yang didorong perlahan. Daun pintu itu tertahan rantai pengait. Seseorang ingin membobol masuk ruang apartemenku.
Seluruh ruangan tetap gulita seperti kebiasaanku sebelum tidur. Jantungku berdegup kencang berpacu dengan detak urat nadiku. Kutarik napasku perlahan, kutenangkan adrenalinku yang mengalami puncak ekstase. Kupaksa otakku mengambil tindakan yang diperlukan.
Suara kelotakan rantai putus memberi isyarat padaku untuk bergerak. Aku turun dari tempat tidurku tanpa suara. Sebelum berjingkat meninggalkan ruang kamarku, kuatur bantal, guling dan selimut sedemikian rupa seolah aku sedang terlelap.
Jarum jam di dinding yang berlapis fosfor menunjuk angka satu dini hari. Tidak ada petugas sekuriti atau orang baik-baik yang mengendap-endap di kamar gadis dengan merusak kunci kamar sekalian rantainya, kemudian menyapanya ramah. Tubuhku hanya terbalut daster tipis. Tanpa bisa kutahan peluh merambah ke seluruh bagian. Dalam hidupku, untuk pertama kalinya aku mengamali ketakutan yang mencekat.
Walaupun aku tidak meminta mati cepat, namun aku tak takut menghadapi kematian bila itu memang waktuku. Yang kutakutkan hanyalah bila kehormatanku diambil paksa. Membayangkan aku mengalami trauma yang membayangi selama hidupku, tanpa sadar kedua tanganku meraba badanku. Sial! Aku tidak memakai bra.
Setelah terbiasa dengan gelap ruangan, napasku semakin tercekat melihat bayangan tubuh tinggi besar dalam balutan pakaian serba hitam melangkah masuk dengan cara mengendap. Kepalanya yang tertutup kain hitam tak mampu memberi sinyal akan jenis kelaminnya. Tapi kupastikan dia laki-laki.
Setelah mataku terbiasa dengan kegelapan, hatiku semain mencelos. Di tangan kanannya benda hitam mengarah ke depan. Moncong benda hitam mengarah pelan ke segala arah, mencari sasaran yang diinginkannya. Penjahat itu memegang pistol!
Kurendahku tubuhku setara lantai. Layaknya pelatihan merayap yang pernah kuterima tatkala menjadi pramuka di sekolah, aku bergerak perlahan menuju dapur. Tatapanku tak sedetik pun melepas gerakan tamu tak diundang. Selagi dia bergerak ke kanan, aku merayap ke sebelah kiri.
Tepat seperti dugaanku, dia bergerak ke kamarku, mengendap tanpa suara. Kala tangan kirinya membuka pintu kamarku, aku berdiri perlahan, tanganku menggapai pisau dapur yang kuhapal betul letaknya. Seiring suara tembakan yang berperedam menghancurkan bantal dan guling yang tertutup selimut, gagang pisau dapur sepanjang dua puluh senti terasa dingin dalam genggaman telapak tanganku.
Umpatan dalam Bahasa yang tak kumengerti meluncur deras dari mulut terbekap kain hitam itu kala mengetahui yang ditembaknya hanyalah bantal dan guling. Tepat ketika dia membalikkan tubuh untuk mencariku, kuterjang ia dengan teriakan keras. Separuh maksudku untuk minta tolong, separuh lagi untuk memberiku keberanian.
Pisau di tangan kananku bergerak cepat mengarah ke tangan kanannya yang menggenggam pistol. Pria tak tahu diri itu berteriak tertahan ketika ujung pisau dapurku tepat menusuk punggung telapak tangannya. Pistol di genggamannya terlepas bersama satu peluru yang meluncur menembus lantai kayu kamarku. Kucabut pisauku, dan kutikamkan berkali-kali tanpa arah ke tubuhnya.
Satu dua kali, ujung pisau sempat mematuk lengan kanan dan lengan kirinya yang digunakan untuk menangkis serangan. Tetapi, seranganku yang brutal dan dibalut kepanikan hanya menghasilkan luka sayatan kecil. Pada tusukan yang entah ke berapa, pria itu memukul tanganku dengan keras. Pukulannya seolah palu, membuat genggamanku pada pisau terlepas. Tanpa sungkan lagi dia meneruskan serangannya dengan tendangan tepat ke perutku.
Seperti ditabrak becak, tubuhku terjengkang ke belakang. Menabrak pintu yang setengah terbuka, keluar dari kamarku, berhenti ketika menabrak tembok dapur. Tulang punggungku serasa remuk, perutku laiknya dicengkeram kekuatan yang menyakitkan. Sisa makan malam dan kopi yang belum tercerna tak bisa lagi kupertahankan. Aku memuntahkan semuanya; makanan dan ketakutanku.
Aku memilih mati daripada ternoda. Kukumpulkan seluruh kekuatan. Kukerahkan kemampuan bela diri yang pernah kupelajari ke seluruh sendi. Dengan menggeram hebat aku meloncat menubruk musuhku. Dibantu sedikit cahaya dari peralatan elektronik yang masih hidup, matanya yang sipit dibalik penutup kepala itu tertangkap pengelihatanku. Kelopak mata itu menebal ke bawah, dia memicingkan mata melihat kenekatanku. Laki-laki itu mengangkat kakinya memapak seranganku dengan tendangan.
Tubuhku kembali terpental ke belakang. Kali ini tendangan laki-laki itu tepat mengenai dadaku, membuat paru-paruku tak sanggup memompa oksigen ke dalam dan ke luar. Kepalaku berdenyut keras. Pandanganku tak lagi focus. Aku tak mampu lagi bisa mencerna mana realita mana halusinasi tatkala sebuah kilat putih mengkilat bergerak cepat menuju jantungku.
Aku tak ingin memilih dua pilihan semu antara kenyataan dan bayangan belaka. Sebelum sinar putih mengkilat itu membelah dadaku, kugelindingkan tubuhku ke ruang kosong. Tapi gerakanku sedikit lemah, ujung sinar itu menusuk bahu kananku, membuat ribuan kalajengking bersekutu dengan semut merah menggigit bahuku berdarah-darah. Daster yang kupakai robek di bahu kanan, kulitku yang kuning langsat menyembul bersama sedikit gundukan dagingnya. Dan, yang kutakutkan benar-benar terjadi.
Laki-laki itu meloncat menubruk tubuhku yang tengkurap. Tangan kanannya memegang pisau, tangan kirinya menarik tubuhku agar terlentang. Tubuhnya yang berat menindih perutku.
Aku meronta, mencakar, menggigit, berusaha berteriak keras. Namun tak ada suara yang keluar dari kerongkonganku. Tangan kiri lelaki itu membekap mulutku, sementara tangan kananya yang memegang pisau direkatkan ke pipiku. Kugigit tangan kirinya, dia menghadiahiku sebuah sodokan dengan siku kanannya di bahuku. Aku melenguh panjang. Darah mengalir deras dari lukaku yang menganga.
"Berteriak … aku … rusak!"
Kalimatnya terpotong-potong dengan intonasi Bahasa bukan milik asli orang Indonesia. Aku tak bisa bergerak waktu kedua pahanya mengapit tubuhku bagian bawah, sementara tangan kirinya mencabik dasterku. Tubuhku penat, pandanganku tak lagi bisa melihat atap. Kedua mataku basah. Kulirik pisau di tangan kanannya, ujung pisau itu masih mengarah ke pipiku. Otakku bergerak liar.
Akan kugeser sedikit kepalaku lima senti ke bawah, sebelum dia menyadari. Akan kubenturkan pelipisku dengan ujung pisaunya. Toh, dia juga akan membunuhku setelah memperkosaku. Daripada berkubang dengan kejijikan ketika bagian tubuhnya memasuki tubuhku, lebih baik aku mengakhirinya. Biar dia puas menikmati tubuhku yang sudah tak bernyawa.
Aku pura-pura menyerah. Kutarik napasku dari sela-sela bekapan tangannya, kutekan detak jantungku, kukerahkan sisa tenagaku ke leher dan tubuh bagian atas. Kala bekapan tangan kirinya mulai melonggar, kupejamkan mataku. Wajah mama untuk terakhir kalinya berkelebat memenuhi benakku.
Dua butir air mataku merembes, jatuh bergulir ke lantai. Kematian bukanlah hari penghabisan. Aku akan mendahului mama, menunggunya di sana sambil mempersiapkan tempat yang indah untuk wanita yang kukasihi itu. Sebelum tubuh atasku beringsut ke bawah, sebuah teriakan keras menusuk gendang telingaku.
Bersamaan aku membuka mata, beban yang menindih tubuhku terangkat. Penyerangku terjengkang sambil mendekap dadanya. Sebelum dia sempat bangun, sebuah tendangan kembali merangsek dengan pukulan yang tepat mengenai kepala dan dada lelaki jahanam itu.
"Sylvi, kau tidak apa-apa?"
Aku menggeleng lemah, pandanganku berkunang-kunang, tapi bibirku tersenyum senang. Johan mendekap tubuhku, membisikkan kalimat-kalimat penghibur diri. "Cepat, kita tinggalkan tempat ini."
Sementara penyerangku masih menggeliat sembari berkutat dengan pukulan dan tendangan yang membuatnya hampir pingsan, Johan memapah tubuhku yang setengah telanjang. Selimut yang tercecer disambarnya. Dia membebatku dengan selimut itu, menarik badanku hingga terangkat, menggendongnya dengan kedua tangan. Kutekan sakit di lengan kanan, kupeluk erat tubuh Johan.
Tertatih-tatih kami keluar dari kamar apartemen. Menyusuri lorong di antara kamar-kamar yang terkunci rapat. Johan berhenti di depan pintu elevator, menekan tombol tanda ke bawah berulang kali.
Tepat ketika pintu elevator terbuka, pria asing itu muncul dari pintu kamarku. Pistol berperedam di tangannya yang tadi terlempar ke bawah tempat tidurku menyalak berkali-kali.
Menghindari sebuah peluru yang tepat mengenai tombol yang tadi di tekannya, Johan melemparkan tubuhnya yang menggendongku ke dalam elevator, kemudian cepat menekan tombol lantai tiga. Sukurlah pintu elevator cepat tertutup bersama pertanyaan membekap akan tujuan Johan menuju lantai itu. Kesadaran sedikit demi sedikit meruap dari jiwaku, namun aku berusaha menekannya agar tetap berada di sana.
"Bertahanlah, Svl. Please, bertahanlah sejenak."
Suara Johan semakin menjauh. Tapi aku berusaha membawa suara itu mengendap di telingaku. Aku harus tetap sadar hingga tenaga terakhir yang kupunya menyuruhku untuk terlelap. Pingsan sebelum terhindar dari bahaya akan menjadi beban bagi Johan. Perjalanan dari lantai dua puluh tujuh hingga lantai tiga terasa perjalanan menuju kehidupan lain yang sangat lambat. Setiap lantai yang kami lalui menyisakan tetesan darah yang mengalir dari bahuku. Tusukan pisau jahanam itu lumayan panjang merobeknya.
Pertanyaanku terjawab ketika pintu elevator terbuka. Pak Udin berdiri di depan pintu sambil meremas tangannya, mengusir kegalauan dahsyat yang melanda hatinya.
"Cepat, Pak. Siapkan kendaraan. Saya akan menggotong Sylvi mengikuti Bapak."
Tanpa menyahut, Pak Udin menuju pintu darurat. Tubuhku kembali berderak dalam gendongan Johan tatkala langkahnya membawa kami menuruni anak tangga.
"Polisi … sudah datang … Pak?" tanya Johan di sela napasnya yang memburu. Beban lima puluh kilo gram dalam dekapannya terasa berat disambi menuruni anak tangga.
"Dalam perjalanan, Pak," jawab Pak Udin.
"Bagaimana dengan dua orang satpam di lobi?"
Pak Udin menghela napas panjang. Anak tangga yang menurun terasa lama walaupun dia sudah berusaha memaksa kaki tuanya menapak cepat. "Saya melihat mereka gugur menjalankan tugas."
Johan mendengus keras menekan amarahnya. "Semoga arwah mereka diterima di sisi-Nya."
"Aamiin … Bila saja anak terakhir saya tidak sakit sekarang, tentunya saya yang akan menjadi korban."
"Itulah takdir, Pak. Peruntungan itu milik Tuhan. Kita tidak bisa mengubahnya jika Tuhan sudah memutuskan."
"Betul, Pak."
Percakapan mereka semakin terdengar sayup. Tubuhku serasa mati rasa.
"Sylvi, kau masih bersama kami?"
Aku menggangguk lemah pada suara Johan.
"Cepat, Pak Udin. Bu Sylvi banyak mengeluarkan darah. Kita harus cepat mengobati lukanya."
"Ke rumah sakit, Pak?"
"Jangan. Kita bawa ke rumah Pak Udin saja. Tidak jauh, kan?
"Tidak, Pak. Kenapa tidak ke rumah sakit?"
"Orang yang berniat membunuh Bu Sylvi mempunyai kekuasaan yang besar. Saya khawatir mereka akan mendahului pihak Kepolisian. Lagipula saya tidak percaya dengan siapa pun saat ini kecuali kita."
Satpam apartemen yang lolos dari maut karena takdir Tuhan membuat anaknya malam ini sakit itu tak lagi berucap. Dia membuka pintu darurat di lantai basement. Dua orang laki-laki penolongku ini berhenti sejenak memperhatikan keadaan sekitar. Setelah dirasa tidak ada yang dikhawatirkan, Johan mengikut langkah Pak Udin yang berjalan mengendap ke kantor kecil satpam. Tidak ada sesosok pun manusia terlihat di tengah malam buta di kantor darurat ini. Pak Udin menutup pintu, mengambil dua jaket satpam berikut dua topi yang tergantung di capstok. Memberikannya ke Johan.
"Bapak dan Ibu pakai jaket ini. Saya akan mengambil motor," bisiknya.
Johan menurunkan tubuhku ke bangku panjang, melepas selimut yang bersimbah darah, dan memakaikan jaket ke badanku dengan sangat hati-hati. Setiap gerakan, terutama gerakan di bahu, membuat lukaku menganga dan mengucurkan darah. Aku merasa suhu tubuhku menurun drastis, entah karena dinginnya udara malam, atau karena tak mampu menahan luka. Johan mendekap kepalaku, membisikkan kalimat-kalimat semangat agar jiwaku tidak meninggalkan tubuhku yang sudah letih. Kesepian meletup di hati. Menakutkan.
"Bertahanlah, Sylvi. Sebentar lagi." Suara itu semakin jauh. Suara deru knalpot motor matic pun menjauh.
Samar terdengar suara Johan memberi perintah. "Pak Udin duduk di depan. Saya akan mendudukkan tubuh Bu Sylvi di tengah."
Kulitku tak merasakan pergesekan apa pun kala menyentuh jok motor. Johan mendekapku dari belakang, menahan tubuhku agar tidak ambruk. Rambutku yang panjang digelungnya, dimasukkannya ke dalam topi yang membekap kepalaku. Aku seperti orang mabuk yang sedang digotong dua temannya.
"Cepat, Pak Udin. Bu Sylvi sudah banyak kehilangan darah."
Itulah kalimat terakhir yang menyapa telingaku. Setelah itu, keheningan terasa lamban. Kebekuan menghisap waktu yang memisahkan jasad dengan jiwaku.