Chereads / Lady Advocate / Chapter 19 - Chapter 18; Rumah Misteri

Chapter 19 - Chapter 18; Rumah Misteri

"Dari mana kau tahu?"

"Seperti yang aku bilang tadi, temanku meretas email dan ponsel salah satu direktur PT. Adiguna. Mereka ingin menyelenyapkanmu bersama barang bukti yang kau miliki."

"Kenapa? Untuk Apa?"

"Tidak ada jalan lain, Sylvi. Kau yang paling banyak tahu. Pun, kau pula yang menyimpan rekaman itu. Mereka mempertaruhkan segalanya untuk itu."

"Kita harus lapor polisi," bisikku lemah.

"Kusarankan jangan dulu. Yang kita hadapi adalah sebuah korporasi yang sangat kuat dan berkuasa. Bukannya aku tidak percaya pada aparat Kepolisian, tapi di setiap organisasi dan departemen, kadang ada oknum yang ingin bermain untuk keuntungan mereka sendiri. Alangkah baiknya jika kita mencari alat bukti yang lebih banyak tanpa melibatkan mereka dulu."

Aku tak menjawab analisa Johan. Dalam hati kecilku mengiyakan apa yang dipikirnya. Kami belum tahu siapa lawan siapa kawan. Untuk saat ini, lebih baik mempercayai siapa yang sudah jelas memihak kami.

"Kau bilang tadi 'Kita'. Maksudmu aku dan kamu?" Suku kata yang tadi diucapkannya menggelitik pikiranku.

"Ya. Aku dan kamu."

"Kenapa? Bukan kah ini kasusku? Kau tak seharusnya menceburkan diri dengan persoalan yang tidak ada hubungannya denganmu."

Johan menelan ludahnya. Pandangannya tertumbuk ke depan. Umam yang duduk di samping Sadil sudah terlelap dalam dengkuran.

"Sejak pertama kali aku menolongmu dari keroyokan tiga lelaki itu, dan membawamu ke rumahku, sebenarnya saat itu pula aku sudah menceburkan diri ke dalam masalahmu. Terlebih, aku telah meretas data yang menuntunmu pada mereka. Ah, sudahlah. Lebih baik kau istirahat. Lukamu masih lumayan parah." Dia mengelak meneruskan.

Otakku masih terbebat banyak pertanyaan yang belum puas kudapatkan. Tetapi, seperti apa yang dikatakan Johan, obat yang kutelan setelah makan mulai kehilangan daya jangkaunya. Dadaku serasa sesak, persendianku mengeras minta istirahat. Aku mencoba bertahan dengan mengigit bibir bawahku, namun kala gigitan di bahu dan pinggangku tak mampu kutahan, aku mengaduh. Johan yang duduk di sebelahku sigap. Dia mengeluarkan obat lagi untuk membuatku kembali bertahan.

Pria ini tidak berbohong. Lukaku masih butuh penyembuhan. Setelah menelan empat butir pil yang tak kuketahui siapa pembikinnya, kepalaku menjadi berat. Kelopak mataku tak sanggup lagi terbuka. Johan duduk bergeser mepet ke pintu, memintaku merebahkan kepalaku di pangkuannya. Tidak ada nada kurang ajar dalam permintaanya, dan aku dengan senang hati melakukannya.

Kulepas topiku, kutengadahkan kepalaku di atas pahanya. Kubiarkan anak-anak rambutku tergerai. Sebentar kemudian aku terlelap dalam dekapan pangkuannya. Antara sadar dan tidak, aku merasa tangan Johan membelai rambutku, membetulkan letak anak rambutku yang menutupi dahi dan kedua mataku. Dalam buaian deru mesin mobil, kutemukan kedamaian yang menuntunku pada kenikmatan hakiki.

Mataku terbuka sempurna kala semburat di ufuk timur menerobos kaca mobil. Jalan mobil berkelok mendaki, menurun, kemudian mendaki lagi. Umam masih mendengkur di sebelah Sadil yang masih tetap fokus dengan jalan di depannya. Kepalaku masih terbaring tengadah di atas pangkuan Johan, kubiarkan sejenak menikmati empuk daging pahanya yang terbalut otot kaki yang melingkar. Tak ingin keterusan, kutegakkan tubuhku.

Mataku mencari jam digital yang ada di dashboard. Pukul enam pagi. Laki-laki itu tidak menggeser kedua pahanya selama enam jam hanya untuk memberiku kenyamanan. Kalau bukan karena cinta, untuk apa dia melakukannya? Kuusir kelindan asmara yang melintas di otakku. Tanpa sadar aku menghela napas panjang kala menyadari aku adalah cewek amatiran bila bersentuhan dengan dunia cinta.

"Kenapa kau menarik napasmu seolah ada beban berat yang menindih hatimu?"

Pertanyaan Johan membuat gurat merah di wajahku mengalahkan semburat warna-warni ufuk timur yang semakin memecah. "Aku merasa tidak enak saja. Kau tidak bergerak selama enam jam hanya untuk membuatku tertidur pulas."

Johan memperlihatkan deretan giginya yang putih. "Jangankan hanya enam jam, seharian pun aku bersedia asal kesehatanmu kembali pulih."

Aku kecewa, bukan itu jawaban yang kunginkan. Kalau saja dia menjawab, "Jangankan enam jam, seluruh waktu dalam hidupku sanggup kutukar untuk mendapatkan cintamu." Tentu aku akan bahagia mendengarnya.

"Ambil jalan kecil itu, Sadil."

"Iya, Om."

Mobil sejuta umat itu berbelok memasuki jalan berkerikil, terus mendaki sampai berteriak tak kuat lagi. Kami membuka seluruh jendela. Bau asap knalpot dan kampas rem menyerbu ke dalam mobil bersama udara dingin. Setelah berkelok di jalan yang sempit, Sadil menyerah.

"Tidak kuat lagi, Om."

"Tidak apa-apa. Memang seharusnya berhenti sejak belokan tadi. Kami akan melanjutkan dengan ojek motor. Kalian kembali lagi sekarang juga. Masih kuat kan?"

Sadil mengangkat tangannya sambil mengepal. Umam terbangun, megucek kedua matanya.

"Sudah sampai, ya?" tanyanya tanpa merasa berdosa.

"Ah! Kau molor saja sejak dari Jakarta. Kita berhenti sejenak, terus balik lagu, cuy!" kata Sadil dengan mimik menarik.

"Ingat Umam, Sadil. Hati-hati," pesan Johan sekali lagi.

"Kalian ada uang bensin?" tanyaku, kemudian kukutuk pertanyaan itu. Dompetku dan isinya masih ada di apartemen, itu pun jika penjahat itu tidak menjarahnya. Kulirik Johan yang tersenyum menyadari kebebalanku.

"Jangan khawatir. Mereka sudah penuh dengan amunisi. Iya, kan, Dil? Mam?" Johan menegaskan pertanyaanku pada mereka.

"Iya, Tante. Om Johan ngasihnya banyak, lebih dari cukup untuk kembali ke Jakarta."

"Ya sudah. Hati-hati di jalan, ya."

Johan menurunkan dua ransel dari bagasi. Sadil dan Umam menjabat tangan kami, kemudian memacu mobilnya menuruni jalan berkerikil. Sebentar kemudia deru knalpot mobil sudah menghilang. Dalam hati kami berdoa semoga dua pemuda tanggung itu bisa kembali ke Jakarta tanpa menemui halangan apa pun.

Aku mengamati suasana keliling yang sepi. Rumah kecil bertembok papan kayu beratap rumbai berderet terpisah. Tidak ada orang lalu-lalang yang kami temui. Belum juga lama menunggu, dua sepeda motor yang entah dari mana datangnya mendekat.

"Ojek, Pak?"

Johan mengangguk. "Ketipan, Bang."

"Lima puluh ribu perak sekali naik, ya?"

Tanpa menawar, Johan mengiyakan. "Kau masih kuat?" tanya Johan ke padaku. Aku membalasnya dengan anggukan tipis.

Sebentar kemudia tubuhku berderak di atas jok motor. Tenagaku kembali terlolosi. Pil yang tadi kuminum kembali hilang keperkasaanya. Setiap gundukan yang kulewati membuat luka di bahuku menjerit. Dada dan pinggangku mengaduh. Aku membutuhkan obat penghilang nyeri itu lagi. Motor tetap bergerak mendaki tak peduli jeritan lukaku yang menganga.

Di sisi kanan dan kiri jalan dipenuhi pohon sengon dan mahoni yang rimbun. Semakin naik ke atas, suara ngengat dan kumbang penghuni hutan rakyat terdengar semakin jelas di sela matahari yang naik sepenggalah. Di depanku, gelap hutan siap menelan motor yang kami tumpangi.

Semakin masuk ke dalam, jalan semakin menyempit. Entah dari mana datangnya, kabut tipis bergumpal turun. Aku seolah sedang menembus dunia lain. Hatiku sedikit tentram kala mendapati tiang listrik kecil bertengger sepanjang jalan. Paling tidak, saat malam aku masih bisa melihat televisi untuk mendapat informasi terbaru. Setelah melewati jalan kecil layaknya pematang sawah yang mendaki, kami disambut gapura kecil berkayu lapuk bertuliskan "Dusun Ketipan".

Motor berhenti di ujung jalan menanjak. Joha membayar ongkos ojek. Derum dua mesin motor membawa jiwaku ikut bersama ke bawah. Aku tak tahu apa yang akan kuhadapi, dunia apa yang akan kumasuki. Kalau saja tidak kutekankan bahwa lelaki di sampingku ini sekutuku satu-satunya yang bisa kupercaya saat ini, ingin aku ikut turun kembali bersama tukang ojek itu.

"Kamu masih kuat?"

Kuanggukkan kepalaku. Aku tak ingin merepotkan Johan walau aku ingin lelaki itu menggendongku.

Perjalanan selanjutnya kami lakukan dengan jalan kaki. Kupaksa kakiku terseok-seok mendaki jalan berkerikil. Udara dingin menyapa dari sela-sela pepohonan yang rindang. Napasku semakin tersenggal. Sepuluh menit mendaki, sebuah rumah di ujung jalan menyapa kami.

Rumah itu cukup besar. Bertembok bata tebal menjulang tinggi dengan gaya eropa, empat pilar menopang atap gentingnya. Pada bagian tembok paling tinggi tertulis angka 1930. Halamannya luas dan asri. Tanahnya tersapu bersih dipenuhi bunga warna-warni. Di samping kanan, taman kecil dipenuh sayur mayur dan puluhan pohon rempah-rempah siap dipetik.

Udara segar lereng Gunung Gede merasuki paru-paru tanpa kusuruh, hinggap lama di dalamnya, keluar dalam bentuk karbon diosida yang langsung diserap oleh pohon rindang di samping rumah. Aku mengalami transendan. Seolah diriku berada dalam suatu lukisan pemandangan yang sering kutatap waktu kecil. Sayup dari belakang rumah, terdengar kokok ayam bersahutan bersama embik kambing dan lenguhan sapi. Bau kotoran ternak membuat jiwaku masih menetap di tubuh, menyampaikan pesan bahwa aku sedang tidak berada di Eden.

Sepasang pria dan wanita paruh baya menyongsong kami. Wajah mereka segar tanpa keriput. Rambutnya pun belum memutih. Si pria berpakaian celana tiga perempat dan baju khas penduduk Jawa Barat, yang wanita berbaju kebaya dan berjarik batik. Keduanya menyambut kami dengan senyum sumeringah. Setelah memeluk Johan, bapak itu menyorongkan tangan kanannya.

"Kenalkan, Syl, ini Pak Asep dan Bu Asep," terang Johan.

Bibir Pak Asep terbuka lebar. Demikian pula dengan istrinya saat menyambut uluran tanganku. Laki-laki berwajah tenang itu meremas pelan telapak tanganku, terasa hawa hangat mengalir lewat gurat telapak tangannya.

"Sylvi Wulandari. Terima kasih telah berkenan menerima kami," kataku. Bergantian aku menyalami Pak Asep dan istrinya. Bu Asep berwajah cerah menyambutku.

Pak Asep tersenyum lebar, sisa ketampanan masa muda masih tersisa di wajahnya. Dia mengajak kami memasuki rumahnya. Belum juga menginjak undakan tangga menuju ruang depan, Pak Asep menatap raut mukaku seksama.

"Maaf. Boleh saya melihat telapak tangan, Neng Sylvi?"

"Nanti saja, Pak. Neng Sylvi masih capek setelah melakukan perjalanan panjang." Bu Asep mencibir keinginan suaminya yang tak sabaran.

"Tidak apa-apa, Bu. Saya masih kuat, kok."

Aku mengalihkan pandangan ke Johan, meminta pendapatnya. Dia mengangguk menyetujui.

"Silahkan, Pak." Kuulurkan tangan kananku.

"Agak sedikit sakit. Tahan, ya, Neng."

Sebelum aku mengiyakan, Pak Asep meraba telapak tanganku. Ujung jari telunjuknya menekan seluruh ujung jemariku. Saat ujung jari telunjuk dan ibu jari pria ini menekannya, ada desakan kuat menghentak dadaku. Jemarinya berpindah ke bagian jariku yang lain. Aku terbatuk saat ujung jari tengahku ditekannya. Pinggang bagian kananku meronta ketika ujung jari telunjuk Pak Asep menekan ruas kedua jari kelingkingku. Aku menggelinjang kesakitan.

Tanpa mempedulikan kesakitan yang menghias seluruh wajahku, jemari Pak Asep semakin lincah bergerak menusuk seluruh bagian telapak tanganku. Setiap tusukannya membuatku merintih, mengaduh. Belum juga satu menit, tubuhku bermandi peluh. Udara dingin lereng gunung tak sanggup mendinginkan lagi. Setiap tekanan di seluruh jemari dan telapak tanganku, sensasi menyakitkan tak kunjung hilang. Tiga menit berjalan lama. Pak Asep akhirnya menghentikan tekanan jemarinya.

"Neng Sylvi terluka dalam. Sebaiknya cepat diobati sebelum memburuk." Kalimat yang meluncur dari bibir hitam bekas nikotin itu membuat tubuhku merinding.

"Kalau Neng mau, kami akan mencoba mengobatinya."

Aku tak kuat lagi. Tak ada yang bisa kulakukan untuk menyembuhkan lukaku kecuali menyerahkannya pengobatannya pada keluarga ini. "Tolong saya, Pak," pintaku melas.

"Jangan khawatir. Tapi, Neng harus bersabar dengan prosesnya."

Tanpa bantahan aku mengangguk lemah. Logikaku yang masih terbekap pengobatan modern merebak kesangsian akan pengobatan tradisional. Seharusnya aku ke rumah sakit, opname, cek darah, cek rontgen, kemudian menyerahkan cara pengobatannya ke dokter yang sudah menghabiskan umurnya bertahun-tahun mendalami dunia medis.

"Percayalah, Syl, Pak Asep ini tidak kalah dengan dokter, kok. Yang kau butuhkan adalah menerima dan melakukan apa pun proses pengobatannya dengan sepenuh hati."

Sejak bertemu denganku, urat otak Johan seolah menyambung dengan urat otakku. Apa pun yang terlintas di benakku seolah terkoneksi ke benaknya. Apakah dia juga bisa membaca hatiku yang semakin luruh oleh pesonanya?

"Kita makan dulu saja. Ibu sudah menyiapkan masakan kesukaan Nak Johan. Ayo Neng Sylvi juga ikut makan."

Aku mengangguk mengiyakan. Perutku juga sudah lapar setelah menahan beban hujaman rasa sakit yang lama. Bu Asep melingkarkan lengannya ke lengan Johan, menggelayut manja laiknya ibu pada anak yang tidak ditemuinya bertahun-tahun. Pak Asep tertawa masam melihat kelakuan istrinya.

Ruang dalam rumah ini sangat luas. Terbagi beberapa kamar dengan daun pintu tinggi dan tebal layaknya penjara. Sekilas kuhitung ada lima kamar berpintu tertutup. Aku menempati satu kamar seluas kamar tidur apartemenku digabung dengan ruang tamu. Di dalam ruang kamar terdapat dua kursi dan satu meja. Tempat tidur ukuran besar berkelambu, almari selebar dua meter berpintu dua. Semua perabot itu terbuat dari kayu jati dipernish coklat tua. Dinding rumah sekira empat meteran menyangga plafon, dan di tengah plafon itu terdapat lampu klasik bergaya belanda dengan lima cekukan tempat bohlam.

Lantai rumah terbuat dari ubin. Terasa dingin dan lembab kala bersentuhan dengan telapak kakiku. Kubuka jendela kamarku. Pemandangan dari belakang rumah menampilkan lereng gunung dipenuhi ratusan pohon sengon dan mahoni. Matahari bersinar cukup cerah. Namun tubuhku menggigil menerima angin dingin yang berembus dari atas lereng gunung itu.

Sementara Bu Asep menyiapkan makan pagi, Johan mengajakku berkeliling sekitar rumah. Halaman belakang rumah tidak kalah luas dari halaman depan. Dipenuhi segala macam sayuran dan bunga. Tempat parkir beratap seng melindungi mobil pick up double cabin yang terpakir. Suasana hening, sepi, hanya diisi kicau burung dan suara serangga hutan.

"Aku mendengar dengung listrik, tapi tidak ada suara apa pun selain itu. Televisi atau radio missal?"

Johan memunggungiku. Dia sedang asik memetik setangkai bunga melati yang tumbuh di halama belakang, kemudian memberikan bunga itu kepadaku. Kubawa daun bunga itu ke hidungku. Kuhirup sedikit lama agar aromanya memenuhi dadaku yang sesak.

"Maaf, Syl. Di rumah ini tidak ada televisi, radio, atau komputer. Pak Asep dan Bu Asep sengaja ingin hidup tenang tanpa berondongan berita politik, ekonomi, apalagi entertaintment."

Aku tersentak. "Ponsel?"

Johan menggeleng. "Tidak ada sinyal. Kita harus turun ke desa terdekat bila ingin menelpon."

"Ha? Kamu tidak sedang bergurau kan? Bagaimana aku akan memantau kasusku?"

Johan menarik napas panjang. "Sekali lagi maaf, Sylvi. Tolong bersabar seminggu ini. Kita harus konsentrasi menyembuhkan penyakitmu dulu."

"Tapi…."

Kalimatku terpotong. "Please, percayalah padaku."

Aku terdiam. Walau kedongkolan merambat pelan, tak ingin lagi kudebat penjelasan Johan. Terutama ketika hentakan di dadaku semakin menguat. Entah karena lonjakan tekanan penyakitku yang mulai kambuh, atau kah debar di dadaku yang menghebat makanala kutatap mata indah milik lelaki ini.

Waktu berjalan lamban di rumah ini. Serasa terhisap lorong waktu yang melemparkan tubuh dan jiwaku ke masa penjajahan, ribuan misteri melingkupi rumah ini dan penghuninya. Hatiku bergidik kala teringat film horor yang pernah kutonton, dan membayangkan aku telah terperangkap dalam sebuah keluarga yang menakutkan. Jangan-jangan, Pak Asep, istrinya dan Johan adalah penganut aliran sesat? Jangan-jangan Johan mengajakku ke sini untuk dijadikan persembahan setan? Hii…!