"Kenapa kamu terlihat tidak semangat, Nak?"
Kuhembuskan napasku bersama tekanan di dada. "Saya tidak ingin pulang, Bu," kataku merajuk laiknya anak kecil yang tak ingin pulang ke rumah setelah pariwisata panjang yang membuatnya terlena.
Kulit wanita yang duduk di depanku ini memerah setelah bergerak seharian penuh. Peluh di dahi dan di sekujur tubuhnya membuat baju hitamnya basah kuyup. Dipegangnya kedua tanganku, diremasnya pelan jemariku.
"Kami juga tak ingin berpisah denganmu. Tapi, setiap ada pertemuan pasti akan ada perpisahan. Kita tak perlu menangisi perpisahan, kita hanya perlu mengenang indahnya pertemuan."
Kutundukkan kepalaku. Tak sanggup aku menatap wajah bijak ibu di depanku ini. Bayang mama yang khawatir akan keselamatanku menyekap batinku, meniupkan kelembutan dan kasih sayang dua wanita yang mencintaiku.
"Kenapa, Bu?"
"Apanya yang kenapa, Nak?"
"Kasih sayang, perhatian, pertolongan, pelajaran Ibu dan Bapak kepada saya?"
"Kami melakukannya dengan ikhlas, Nak. Ketika muda, aku dan suamiku bertemu dan bersentuhan dengan banyak sifat manusia. Keserakahan, kebencian, pun ada juga kebaikan dari sifat mereka. Insting kami mengatakan kamu anak yang baik. Gadis yang akan mengubah dunia ini menjadi lebih damai."
"Harapan Bapak dan Ibu terlalu tinggi untuk gadis yang belum banyak mengenyam pahitnya dunia," kataku sendu.
"Yakinlah, Nak, seperti keyakinan kami padamu."
"Selama saya di sini, saya tidak banyak mengenal masa lalu Pak Asep dan Ibu. Saya ingin mengenal lebih jauh."
Kepala Bu Asep tengadah. Ditatapnya semburat pelangi di ufuk barat. Kepedihan terpancar dari sorot matanya, memagut udara kebersamaan yang telah kami ciptakan selama ini.
"Suamiku, Kang Asep, hanya dua bersaudara. Dia anak paling bungsu. Keluarga Kang Asep adalah keluarga saudagar kaya di Kota Bogor, terpandang, dihormati karena turunan bangsawan. Tidak seperti kakaknya yang meneruskan menggeluti bisnis ayahnya, Kang Asep lebih suka menuntut ilmu kanuragan sejak kecil. Dia menentang habis-habisan kehendak ayah dan ibunya untuk turut berkecimpung di dunia bisnis. Darah kakek buyutnya sebagai mantan pasukan Pangeran Diponegoro membuat Kang Asep tidak ingin melanjutkan sekolahnya setelah SMP. Dia memilih berkelana dari padepokan ke padepokan, pondok ke pondok, menjelajahi semua ilmu bela diri di tanah jawa, hingga nasib membawanya ke padepokan ayahku."
"Jadi, Bapak dan Ibu saudara seperguruan?"
Bu Asep tersenyum, kilas di matanya memancarkan kenangan kemesraan cinta akan saudara seperguruan.
"Tiga puluh tahun lebih berlalu, tapi awal perjumpaan kami masih tersimpan rapat di kenanganku."
"Ah, Guru romantis juga, ya," godaku.
"Kau mau menggodaku atau ingin mendengar lanjutan ceritanya?" Pipi Bu Asep yang menggelembung membuatku meminta maaf telah menyela ceritanya.
"Lima tahun kami habiskan bersama di perguruan silat ayahku. Setelah kami yakin cinta kami tak akan terpisahkan, Kang Asep melamarku. Orang tua Kang Asep menentang pernikahan kami. Aku adalah gadis desa, anak guru silat yang miskin, bibit bebet bobot kami berbeda jauh. Tanpa restu orang tua Kang Asep, kami tetap menikah secara sederhana. Setelah menikah, Kang Asep membawaku ke Kota Cirebon untuk hidup bertani dan berdagang. Walaupun Tuhan tidak menganugerahi kami anak, pernikahan kami berlangsung bahagia. Kami saling mencinta, dan dengan cinta itu menghadapi segala rintangan kehidupan yang turun naik.
Setelah lima tahun pernikahan kami, suatu hari lelaki tua sambil menggandeng anak kecil berumur lima tahun muncul di depan rumah. Laki-laki tua itu adalah ayah Kang Asep, sedangkan anak itu adalah cucunya. Sekelompok perampok menyatroni anak tertuanya, membunuh sepasang suami istri itu, meninggalkan anak itu sebagai yatim piatu."
Kegeraman meliputi hatiku. Kugenggam gagang trisula erat, kusalurkan kemarahanku ke senjata itu.
"Sadis sekali…." Bisikku lemah.
"Apa hubungannya tragedi itu dengan keluarga Ibu?" tanyaku tak mampu menahan gelora hati.
"Hutang darah dibayar darah, hutang nyawa ditukar nyawa. Ayah Kang Asep memohon agar anaknya bisa membalaskan hutang itu," bisik Bu Asep pelan.
"Bukan kah Polisi yang menangani?"
"Ya. Aparat Kepolisian bisa mengungkap kasus itu. Lima orang tertangkap dan dipenjara. Tapi, alat bukti yang lemah dan koneksi orang kuat yang dimiliki pelaku kejahatan membuat mereka hanya dihukum ringan. Jaman itu, hukum masih berpihak pada siapa yang kuat, Nak. Persaingan bisnis dibalik kasus itu berhenti di tengah jalan. Orang tua Kang Asep tidak puas, mereka ingin mencari keadilan lewat cara mereka sendiri."
"Bapak mengiyakan?" tanyaku khawatir.
Kekhawatiranku akan main hakim sendiri terjawab oleh anggukan Bu Asep.
"Malam itu, adalah malam terpanjang dalam hidupku. Aku menunggu dalam ketakutan yang amat sangat. Dini hari, Kang Asep muncul dari belakang halaman rumah dengan tubuh bersimbah darah. Bukan darahnya, melainkan darah lima penjahat yang dikirimnya ke neraka."
Membayangkan laki-laki tua yang terlihat sangat sabar dan bijaksana itu sanggup menghabisi lima nyawa dengan tangan dingin, membuat tubuhku bergidik. Lanjutan narasi mirip kisah "Api di Bukit Menoreh" karya S.H. Mintardja ini membuat keinginantahuku membeludak. Tak kupedulikan lagi tubuhku yang mengigil terpapar dinginnya angin lereng Gunung Gede. Kutahan dengan permohonan yang menghiba agar Bu Asep melanjutkan ceritanya walau suasana sekitar berubah menjadi gelap. Tongget dan serangga ikut berceloteh menyemarakkan kisah tragis ini.
"Setelah menghabisi nyawa lima orang itu, kami terus berpindah tempat, melanglang buana dari satu kota ke kota lain, dari satu pulau ke pulau lain. Persediaan keuangan kami tidak pernah menipis, karena ayah Kang Asep lewat orang kepercayaannya selalu mengirimkan uang berlebih selama kami dalam pelarian. Lima tahun kami melarikan diri, berganti identitas, memalsukan dokumen kependudukan, hingga suatu hari orang tua Kang Asep mengusulkan untuk tidak berpindah tempat lagi.
Keluarga itu menyerahkan rumah gedung ini beserta lahannya. Sejak itu kami menghilang dari keramaian, bercocok tanam sambil beternak. Sesekali secara sembuyi-sembunyi orang tua Kang Asep mengunjungi kami sambil mengajak cucunya yang mulai besar. Ponakan kami itu bersekolah di Kota Bogor, dan setiap liburan sekolah yang panjang dihabiskannya di tempat ini bersama kami. Anak itu pintar dan sangat berbakat dalam ilmu kanuragan. Ilmu Kang Asep dilahapnya dengan cepat."
Kulontarkan tebakanku sebagai seorang Advokat sebelum cerita guruku selesai. "Anak itu adalah Johan?"
"Tepat! Johanlah anak yatim piatu itu," jawab Bu Asep sambil tertawa.
Bayangan sosok pemuda tampan yang penuh misteri bergelayut di pohon-pohon yang mendingin. Rantingnya yang dipenuhi dedaunan menggapai anganku akan kepedihan anak yang sudah ditinggal ayah dan ibunya sejak belia. Ganti aku bercerita tentang pertemuan awalku dengan pemuda itu, tentang kasus yang kutangani, tentang keahlian Johan di IT.
"Ibu tahu tentang pekerjaan Johan?" tanyaku berusaha menyelidik dengan nada ramah.
"Setelah menamatkan SMA, anak itu sudah jarang berkunjung ke rumah. Dia bercerita tentang banyak hal. Namun tak pernah menyinggung tentang pekerjaan dan profesinya. Kami pun menghormati privasi Johan, dan tak pernah lagi bertanya apa yang sedang dikerjakannya. Kecuali dia berinisiatif menceritakannya sendiri."
Matahari telah tenggelam sempurna. Gelap membekap seluruh area. Jerit serangga hutan berteriak tak henti-henti. Waktu berjalan cepat mengikuti desir angin, sedangkan pertanyaan terahir yang membelit hatiku belum juga kuajukan.
"Hari sudah gelap, ayo kita kembali ke rumah," ajak guruku.
Kami bangkit dari batu gunung yang mulai basah oleh kabut yang turun dari lereng. Wanita yang telah mengecap ribuan pahit getirnya hidup ini menggandeng tanganku laiknya seorang ibu menggandeng anak perempuannya yang takut tersesat di keramaian. Busur beserta lima batang anak panahnya diselempangkan di punggung, tangan kirinya yang bebas menggenggam tombak sambil dipergunakan untuk menyangga berat tubuhnya. Trisula sudah terbungkus dalam kain putih. Di pinggangku pedang dan belati terselip bersama rangkanya.
"Apakah Johan pernah membawa orang lain kemari selain saya?" tanyaku hati-hati.
Aku tak ingin Bu Asep bisa membaca kegalauan hatiku yang terus merebak. Dia mengeleng tegas. "Hanya, Nak Sylvi."
Aku pura-pura terheran. "Kenapa, ya, Bu?"
Bu Asep mencubit lenganku yang ada dalam lingkaran lengannya. Dalam keremangan masih bisa kutangkap senyumnya yang penuh arti.
"Tidak tahu atau pura-pura tidak tahu?"
Bibirku mengeluarkan desahan pelan. "Lelaki itu penuh misteri. Dia layaknya sebuah karya sastra, bisa dibaca tapi susah untuk dipahami."
Guruku terbahak mendengar kalimat puitisku. Dia menuntunku mendekati halaman belakang rumah. Mobil pick up double cabin sudah bertengger di halaman belakang rumah. Sinar lampu dari beberapa titik menyorot terang, membuat wajahku menyala terbakar cahayanya.
"Anak itu mencintaimu, Neng!"
Lenganku menegang. Kalau saja kundaliniku tidak kutahan melingkar di tempatnya, pasti tenaga dalam itu akan mengaliri kakiku, membuatku melompat kegirangan. Alih-alih bersorak, kutekan nada kalimatku agar terdengar pilu.
"Tapi, dia sepertinya tidak memandang saya seperti itu, Guru. Johan tidak pernah mengungkapkan isi hatinya pada saya."
"Aduh, Nak. Kamu memang pintar dalam bidang akademis dan olah kanuragan, tapi terlalu bodoh kalau berurusan dengan cinta."
"Iya, sih, Bu. Saya memang tidak pernah jatuh cinta selama ini…."
"Cinta itu tidak harus diungkapkan, Nak. Johan telah mempertaruhkan nyawanya untukmu, mempertaruhkan kehidupan kami. Lebih dari ribuan ucapan cinta untuk membuat pria melakukan itu. Cinta tak memberikan apa-apa kecuali dirinya sendiri, dan tiada pula mengambil apa pun kecuali dari dirinya sendiri. Cinta tiada memiliki, pun tiada ingin dimiliki, karena cinta cukup bagi cinta."
Gendang telingaku berdesing. Jantungku berdetak cepat. Bagaimana mungkin wanita cantik berumur lebih dari lima puluh tahun yang telah menghabiskan sebagian besar umurnya di sebuah lereng gunung yang sepi ini bisa melantunkan penggalan puisi kesayanganku?
"Puisi Khalil Gibran. Kenapa Ibu bisa tahu?"
Suara Bu Asep tergelak nyaring mengalahkan jerit tonggeret yang sedang berkawin dengan pasangannya. "Hidup di tempat terpencil tidak berarti aku harus ketinggalan jaman, Neng," katanya sambil melanjutkan tawanya.
Dia menunjuk dua lelaki yang berdiri menunggu di halaman belakang. "Tuh! Pangeranmu sudah menyambut kita dengan wajah tegang. Pasti dia sedang kelaparan. Ayo, bantu Ibu menyiapkan makan malam."
Pak Asep dan Johan berdiri bersisihan sambil mengerutkan dahinya kala melihat dua wanita bergandengan tangan melangkah gemulai, tak mempedulikan gelap malam yang telah ranum.
"Kenapa kalian terlihat gembira sekali?" tanya Pak Asep sambil memicingkan mata.
"Ah, Akang pingin tahu urusan wanita saja," balas istrinya.
Bu Asep mengedipkan sebelah matanya pada suami tercinta. Pak Asep tergelak membaca kode yang dilontarkan. Kulepas pedang dan belati dari pinggangku, kuminta tombak, busur dan perlengkapannya dari guruku, kuserahkan ke tangan Johan sebelum dia ikut bertanya macam-macam tentang kode mata bibinya.
"Tolong simpan ini untukku. Kami para wanita mandi dulu, setelah itu kita akan siapkan makan malam. Mau kan?"
Johan menerima semua senjata tajam itu dariku. Memanggulnya sambil melirik dua orang tua angkatnya. Dia menatap Pak Asep, menuntut penjelasan.
"Sudah, jangan banyak tanya, bawa masuk ke kamar!" bentak Pak Asep.
Kami tertawa melihat Johan gelagapan. Laki-laki yang telah mencuri hatiku sejak pertama kali bertemu itu bersungut membuka pintu kamar senjata, masuk ke dalamnya dan tidak keluar lagi hingga makan malam siap di meja