Chereads / Lady Advocate / Chapter 26 - Chapter 25; Dunia Realita

Chapter 26 - Chapter 25; Dunia Realita

Ada yang aneh pada makan malam kali ini. Tidak seperti malam-malam sebelumnya yang penuh canda tawa, Pak Asep dan Johan lebih banyak diam. Berkali-kali kucoba melempar candaan dan godaan pada Johan, tapi pemuda itu hanya membalasnya dengan senyum, kemudian tenggelam lagi dalam pikirannya. Aku yakin ada hal yang menganggu benaknya. Aku tak tahan melihat kebekuan yang mendera kami.

"Kau lebih banyak diam. Ada yang mengganggumu?"

Sengaja kutunggu semua orang sudah selesai makan sebelum kuajukan pertanyaan. Alih-alih menjawab, Johan masuk ke kamarnya, keluar dengan membawa setumpuk koran nasional. Di halaman depan koran yang bertanggal setelah penyerangan di apartemenku, wajahku termuat besar menghiasinya. Johan memilah setiap tanggal koran berdasarkan urutan tanggal terbitnya. Seiring waktu berjalan, beritaku di kolom semakin mengecil, namun tetap menjadi bahan pembicaraan.

"Aku tadi turun ke kota kecamatan terdekat, memborong beberapa koran, dan berselancar di warnet untuk memantau berita terbaru tentangmu."

"Mereka sudah menangkap penjahatnya?" tanyaku.

Aku malas membaca berita yang sudah kuketahui detailnya, karena akulah yang mengalami peristiwa itu.

"Belum. Apartemenmu masih diberi garis polisi. Menurut berita yang kudapat, mereka sedang mencarimu saat ini."

"Kenapa kita tidak lapor Polisi? Aku punya kenalan, namanya Om Sandi. Kita bisa lapor ke mereka."

Johan menggeleng. "Kita berhadapan dengan penjahat yang kuat, Syl. Saat ini aku tidak mempercayai siapa pun, termasuk Polisi. Aku khawatir ada oknum yang juga ikut bermain di dalamnya. Keselamatanmu dan keselamatan orang tua angkatku menjadi taruhannya. Pun, aku saat ini tidak berani mengaktifkan ponselku, walaupun di sini tidak ada sinyal."

Aku bisa memahami kekhawatiran Johan. Di saat kami masih belum bisa memilah siapa lawan dan siapa kawan, mempercayai diri sendiri lebih tepat daripada menggantungkan keselamatan kepada orang lain.

"Bagaimana dengan kasusku?"

"Partnermu, Anto dan sahat, telah mengajukan Eksepsi, dan ditolak."

"Kapan agenda sidang berikutnya?"

"Kalau tidak salah, tiga hari lagi. Pemeriksaan saksi."

Aku tercenung. Alat bukti yang kami miliki tidak cukup kuat untuk membantah dakwaan Penuntut Umum. Saksi-saksi yang kami punya juga belum tentu meringankan terdakwa.

"Kami hanya punya Bang Rud, dan mungkin Dorsi juga bisa kami panggil untuk menguatkan," desisku.

Johan menatapku dengan pandangan aneh. Dia membuka halaman kriminal di koran bertanggal lima hari lalu, menunjukkan padaku kolom kecil tentang pembunuhan. "Dua lelaki diketemukan tewas di lantai dasar sebuah apartemen. Polisi sedang menyelidiki apakah kasus ini pembunuhan atau murni kasus bunuh diri. Di kamar apartemen korban banyak ditemukan obat-obat terlarang."

Demikian sekelumit penjelasan di koran itu. Foto dua korban mirip dengan wajah Bang Rud dan Dorsi!

Aku menggeram keras. Kami tidak punya alat bukti lagi. Tidak ada saksi yang meringankan. Kami akan tampil seperti pengacara bodoh yang akan jadi bulan-bulanan Penuntut Umum, padahal sidang akan disiarkan langsung oleh televisi nasional.

"Aku berencana ke Jakarta setelah makan malam ini. Sendirian."

"Tidak. Aku ikut!" potongku.

Johan menatap langsung bola mataku. Sklera putih dan pupilnya yang selalu menghipnotis membuat aku terjerat di dalamnya.

"Lebih baik kau tunggu di sini dulu. Aku pergi tak akan lama, paling banter cuma tiga hari. Setelah mendapat berita yang valid, aku secepatnya kembali kemari."

"Tapi, bagaimana dengan partner-ku? Kehadiranku paling tidak bisa membuat Anto dan Sahat sedikit lebih tenang dalam menghadapi sidang berikutnya."

"Benar kata Johan, Neng. Lebih baik Neng Sylvi tenang dulu di sini. Biar Johan bisa konsentrasi mendapat data yang diinginkan," timpal Pak Asep.

Pendirianku semakin gamang. Guruku ikut menimpali, "Percayalah pada Johan, Nak. Seperti kami percaya padamu."

Keluarga ini telah mempertaruhkan segalanya untukku. Menolong nyawaku, mengajariku ilmu bela diri yang tinggi, menganggap aku seperti anaknya. Aku mengalah. Kuturuti keinginan mereka.

"Baiklah, tapi cepat kembali," pintaku melas.

Johan mengangguk. Bibirnya merekah lebar. Makan malam cepat selesai tanpa banyak tukar kata. Setelah bersiap diri, Johan berpamitan denganku di halaman belakang. Pak Asep akan mengantar ponakannya hingga kecamatan terdekat, dari situ Johan akan memakai jasa mobil carteran untuk mengantarnya ke Jakarta. Dadaku panas, mataku mengambang air mata saat melepasnya. Dia menggenggam erat kedua tanganku, membisikkan kalimat penentram hatiku untuk mempercayainya.

"Satu permintaanku. Jika kau mendapatkan telepon umum, tolong kau telepon nomer ini."

Kuberikan secarik kertas bertuliskan nomer telepon. Johan menyimpannya di dompet.

"Ini adalah nomer telepon tante Yanti, tetanggaku sebelah rumah. Minta dia mengabari mama kalau aku sehat-sehat saja, dan masih belum bisa mengirim kabar."

Dia mengangguk. Mesin mobil pick up sudah menderu, Pak Asep sudah siap di depan kemudi. Sebuah tarikan ke bahuku membuat tubuhku bergetar. Johan memelukku erat. Belum juga aku tersadar dan masih ingin berbagi sentuhan kulit dengannya, dia mendekatkan bibirnya ke pipiku, menciumnya lembut.

"Aku tak akan lama. Doakan aku," bisiknya.

Tersandra jerat cinta yang tak mau lepas, aku hanya bisa mengangguk. Dia melepas pelukannya sebelum aku menggapainya. Johan mencium punggung tangan Bu Asep, meminta doa untuk keselamatannya. Seiring deru mesin mobil yang hilang ditelan gelapnya hutan lereng Gunung Gede, aku merasa sepi menghimpit hatiku yang membara.

Aroma wangi parfum Johan masih melekat di bajuku, membuatku tak rela meninggalkan halaman belakang. Dan, berharap dia kembali tuk merubah pendiriannya: mengajakku turut serta.

Baru juga tiga menit Johan meninggalkanku, angin yang bertiup dari lereng Gunung Gede membelitku dalam kerinduan yang akut.

"Udara semakin dingin. Kita masuk, Nak."

"Saya di sini dulu, Bu." Aku masih berharap Johan segera kembali.

"Oalah, Nak. Kan cuma ditinggal tiga hari saja."

Kutatap Bu Asep yang tersenyum menggoda melihat wajahku dibekap pilu. "Ibu kayak nggak pernah jatuh cinta saja. Tiga hari itu serasa sewindu, Bu."

"Lebay, ah, Neng!"

Kami tertawa bersama. Bu Asep mengelus pundakku, berlalu ke dalam rumah, meninggalkan aku termangu ditemani jeritan tonggeret dan dinginnya malam.

Semalaman sulit bagi mataku terpejam barang sejenak. Otakku berkelindan mencari akal sehat untuk tidak membayangkan hal-hal buruk yang akan menimpa Johan. Kokok ayam bersahutan mengantarkan aku pada kenangan perjalanan yang selama ini kulalui, mengubah aroma pagi sepahit kopi tanpa gula. Membuat napasku tersedak. Kubuka jendela, kucari wajah lelaki yang telah meretas kebekuan hatiku selama ini di segala cakrawala. Kutemukannya dia dia semburat pelangi yang melukis detail lekuk wajahnya.

Tidak banyak yang bisa kulakukan di kala bayangan Johan tak ingin beranjak pergi dari pelupuk mata. Sepasang suami istri penghuni rumah klasik di lereng Gunung Gede ini tahu apa yang sedang membekap hatiku. Mereka membiarkanku terpuruk dalam kesibukan yang kucari-cari.

Selepas membantu Bu Asep memasak, aku minta ijin meminjam trisula, berlari masuk ke hutan menuju tempat latihan kemarin, kemudian tenggelam dalam jurus-jurus yang kupelajari hingga tubuhku tak mampu lagi berdiri. Tatkala hari mulai gelap, baju dan celana olah ragaku basah oleh peluh, air putih dua botol ludes, perutku berteriak minta diisi. Baru kusadari, aku sudah melewatkan makan siangku.

Meja makan yang biasanya ramai dengan canda, malam ini ikut terpasung. Kami bertiga makan cepat tanpa banyak bertukar kata. Setelah makan malam aku meminta ijin untuk ke kamar. Kurang tidur, tubuh penat, suasana batin yang tidak menentu, membuat mataku berat. Aku tertidur tanpa peduli perutku belum juga mencerna makanan yang sepuluh menit lalu memenuhinya.

Entah berapa lama aku tertidur, ketukan di pintu membuat jiwaku yang melayang menyusup kembali ke tubuhku. Kupaksa badanku bangkit. Remang lampu lima wat di tembok memberiku informasi posisi jarum jam yang menempel di dinding. Pukul tiga dini hari. Ketukan di pintu berbarengan dengan suara Bu Asep yang berulang kali memanggil namaku dengan nada kalut, membuat kesadaranku pulih.

"Ada apa, Bu?"

Wajah setengah tua yang masih menyisakan kecantikan khas wanita Indonesia itu menyembul di depanku. Tanpa banyak kata dia menarik tanganku ke ruang tamu. Sosok yang kurindukan selama ini duduk di kursi ditemani bapak angkatnya. Dia berdiri menyambutku yang tampil awut-awutan. Wajahnya kuyu, matanya merah terlihat kurang tidur, namun tetap tampan dalam balutan celana jeans dan jaket kulit coklat.

"Kenapa? Ada apa? Katanya tiga hari?"

Aku memberondongnya dengan pertanyaan yang membelit kekhawatiranku.

"Duduklah di sini, Syl. Ada berita penting yang membuatku harus cepat kembali ke sini."

"Ibu bikin kopi dan teh, ya." Bu Asep berlalu ke dapur, suara gelas dan cerek yang terisi air membuat rasa penasaran di hatiku membuncah. Pak Asep menggeser letak duduknya di sofa, memberiku tempat untuk menghempaskan pantatku.

"Aku tiba di Jakarta kemarin dini hari, langsung menuju tempat tinggalku. Tapi, rumahku seperti kapal pecah, Bi Uni juga tidak ada di tempat. Pembantuku itu seolah tergesa-gesa meninggalkan rumah. Baju dan barang-barangnya ditinggalkan begitu saja. Seharian kutelusuri seluruh informasi yang bisa kudapatkan. Kukunjungi temanku yang ahli dalam peretasan, ternyata di dunia komunitas hacker sudah tersebar pesan untukmu, dan untukku."

"Pesan apa?" tanyaku tak sabar.

"Mereka tahu akulah yang telah menyuplai data untukmu. Mereka menangkap dua temanmu, dan memaksa kita untuk mendatangi tempat yang mereka tetapkan."

Serasa disambar geledek, aku seolah tak mempercayai berita yang keluar dari mulut Johan. "Kapan? Siapa mereka?!"

"Kalau dugaanku tidak salah, mereka adalah orang-orang dari perusahaan yang kapan hari kau satroni. Mereka pulalah yang membunuh dua saksimu."

"Apa yang mereka inginkan? Bagaimana mereka bisa tahu kamu terlibat?"

"Mereka menginginkan rekaman percakapanmu dengan dua saksimu yang tewas itu. Aku juga tidak tahu bagaimana mereka bisa menelusuri keberadaanku yang membantumu."

"Bukan kah rekaman itu tidak terlalu kuat sebagai alat bukti?"

Johan menggedikkan bahunya. "Mungkin itu cuma alasan mereka saja untuk bertemu dengan kita."

"Kapan mereka ingin bertemu? Di mana?"

"Malam ini. Sebelum pukul dua belas malam. Di sebuah tempat yang masih dirahasiakan."

"Apa yang akan mereka lalukan dengan dua temanku jika aku tidak menemui mereka?"

"Kupastikan mereka akan membunuhnya."

"Mana ponselmu. Aku akan lapor polisi!"

Johan menggeleng. "Jangan, Syl. Selain pihak Kepolisian belum tentu bisa memecahkan letak posisi mereka, aku khawatir kemunculan Polisi bisa berakibat fatal pada dua temanmu."

Desakan di dada yang sedari tadi kutahan kuhempaskan keras seiring napas yang keluar dari hidungku. Bayang Anto dan Sahat meregang nyawa, tangisan istri dan anak-anak Anto, ratapan orang tua Sahat, membuatku panik dan tak bisa berpikir jernih. Akulah yang bersikeras meneruskan menangani masalah ini walau Anto sudah menenentangnya keras. Jikalau hal buruk terjadi pada mereka, aku yang harus menanggung akibatnya. Bulir air mata deras mengalir di pipiku. Aku terisak keras.

"Kenapa mereka membutuhkan rekaman itu? Bukan kah orang yang terekam suaranya itu sudah tewas?" tanyaku lebih pada diri sendiri.

"Kelihatannya mereka ingin menutup jejak sesempurna mungkin. Mereka ingin barang bukti yang bisa mengarah ke mereka hilang sama sekali. Plus, mereka juga ingin memaksa kalian mundur dari kasus ini."

"Taruhlah mereka sudah mendapatkan rekaman itu, tidak menutup kemungkinan mereka tetap akan membunuh kami juga?"

Pria berpenampilan kuyu di depanku ini menatapku lurus, bibirnya bergetar. "Ya, mereka bisa jadi akan membunuh kalian, membunuhku. Tapi, kalau kita tidak mencoba menyelamatkan dua temanmu itu, mereka akan tetap mendapatkanmu juga."

Bu Asep datang dengan nampan berisi dua kopi untuk suaminya dan Johan, dan dua teh hangat untukku dan untuknya. Setelah meletakkan nampannya di atas meja, guruku itu ikut duduk di kursi yang masih kosong. Pak Asep yang sejak tadi hanya menjadi pendengar berdehem, meminta ijin untuk urun pendapat. Sebelum menyampaikannya, disereput terlebih dahulu kopi pahit yang disedu dengan cinta istrinya.

"Benar apa yang dikatakan, Johan. Manakala waktu mendesak, dan dirasa melibatkan aparat kepolisian bukan menjadi solusi yang tepat, maka tidak ada kata lain kecuali bertindak sendiri."

"Tapi, Pak. Itu namanya main hakim sendiri," jelasku enggan.

Pak Asep menatapku tajam. Senyum simpul menghias bibirnya. Aku tahu apa yang pernah dilakukan lelaki ini di masa lalunya. Main hakim sendiri!

"Misal, temanmu bergelantungan di dahan yang akan patah, yang mana di dasarnya jurang terjal berbatu tajam menanti. Apakah kita harus menunggu anggota SAR untuk menolongnya? Sementara kita mampu menyelamatkan nyawanya?"

Analogi Pak Asep memenangkan pergulatan di hatiku. Satu sisi, sebagai Advokat aku harus tunduk pada aturan dan Undang-Undang, namun di sisi lain nyawa temanku sedang menunggu uluran tanganku.

"Baiklah. Kapan kita berangkat?"

"Sekarang juga, Syl," jawab Johan.

Pak Asep tersenyum penuh kemenangan. Dia merasa telah mendapat sekutu yang memahami apa yang telah dilakukan di masa lalunya.

Bu Asep menahan Johan. "Istirahatlah sejenak, kemudian sarapan. Kau kelihatan sangat capek, Nak."

Johan mengalah. Bu Asep menuntun anak angkatnya ke kamarnya, kemudian berkutat dengan persiapan sarapan. Kusadari aku tidak mandi seharian dari kemarin sore walau tubuhku sudah bermandi peluh. "Aku mandi dulu!"