Chereads / Lady Advocate / Chapter 32 - Chapter 31; Kembalinya Sang Kekasih

Chapter 32 - Chapter 31; Kembalinya Sang Kekasih

Herman mengalihkan arah pistol ke samping kanan. Glock 19 berperedam menyalak. Xavier ambruk sambil memegangi pahanya yang tertembus peluru. Sebelum semua orang yang menyadari apa yang diperbuatnya, dia melompat tepat ke sebelah Xavier yang terus mengaduh sambil memegangi pahanya yang berdarah-darah. Lelaki jahanam itu meletakkan ujung Glock ke pelipis sahabat Johan.

"Kalau kau tidak menembak gadis sialan itu, aku akan membunuh temanmu ini!"

Wajah Johan pucat pasi. Pistol di genggamannya bergetar. Dia harus memilih aku atau Xavier. Wanita yang mencintainya atau teman dunia maya-nya. Hatiku meranggas perih. Akan kah Johan lebih memilih pria kurus kering, tonggos, berambut panjang itu daripada wanita cantik, pintar, nan sexy seperti aku?

Jarak kami terpisah sekitar tiga meter. Johan mengarahkan pistolnya tepat ke jantungku. Mungkin dia berharap jantungku yang selalu berdegup menjerit pernyataan cinta kepadanya segera berhenti. Agar tak membuat hidupnya merana karena memikirkannya.

��Maafkan, aku…." Kalimat yang keluar dari bibirnya yang kering lebih tepat disebut keluhan daripada permintaan.

"Tunggu! Jangan bunuh putriku!"

Tuan Kusuma melompat dari duduk simpuhnya, berdiri tepat di antara kami. Pria yang mengaku ayahku itu menghadap Johan dengan merentangkan kedua tangannya.

"Aku akan membayarmu lebih daripada yang mereka bayar. Please, jangan bununh putriku," rengeknya.

Desir aneh merayapi seluruh persendianku. Untuk pertama kali dalam hidupku seorang pria memangilku "Putriku".

"Kusuma! Apa yang kau lakukan?" teriak Herman.

Tanpa melihat sahabat bisnisnya itu, lelaki yang menyebut dirinya ayahku itu terus menatap mata Johan sambil memohon.

"Mataku selama ini telah dibutakan harta. Hari ini aku bisa melihat apa yang selama ini tertutupi. Walau cuma sebentar, aku bangga dengan apa yang dilakukan anakku. Ryan, kau boleh ambil seluruh hartaku, bahkan kupersilahkan kau mengambil nyawaku sebagai ganti nyawa anakku. Tolonglah, jangan bunuh anakku."

"Bangsat kau Kusuma! Ryan! Bunuh perempuan itu sekarang juga, atau dia akan mati!"

Ujung peredam di tangan Herman semakin menekan pelipis Xavier. Jari telunjuknya bergerak pelan di pelatuknya.

"Terlambat, Tuan. Aku harus menyelesaikan apa yang telah kujanjikan."

Lelaki yang mengarahkan pistolnya ke depan itu bukanlah lelaki yang selama ini bisa membuatku tertawa bahagia. Wajahnya dingin tanpa senyum. Kalimat-kalimat yang keluar dari bibirnya terasa dingin tak berperasaan.

Alih-alih menuruti permintaan Tuan Kusuma, dia memutar tubuhnya dengan kaki kanan, sementara kaki kirinya terangkat naik. Kaki itu berputar mengikuti putaran tubuh, mendarat tepat di dada pria paruh baya yang menghalangi arah pistolnya. Tubuh salah satu pendiri PT. Adiguna itu terjengkang ke belakang. Roboh di sisi kiriku.

Ketika dada orang tua ini tertendang, seolah dadaku juga ikut menahan hentakannya. Dan hentakan itu mengeras tatkala pistol di tangan Johan menyalak. Peluru yang keluar dari Glock 19 tepat mengenai dadaku.

Sebelum peluru itu bersarang, tenaga dalam yang melingkar di bawah pusarku bergerak cepat tanpa kusuruh. Ia mengalir ke arah bagian tubuhku yang menerima desir angin peluru yang menerpa terlebih dahulu, menahannya bersama rompi anti peluru. Namun, kekuatan peluru yang ditembakkan dari jarak dekat membuat dadaku serasa dihantam palu. Tubuhku terjengkang. Bergulingan mendekati posisi Tuan Kusuma.

"Anakku! jangan lukai anakku!" teriaknya.

Dia menggapai tubuhku. Mendekapku, memeriksa tanganku yang memegangi dada. Tentu saja tidak ada lubang menganga yang membuat jaket bomberku basah oleh darah. Bukan kundaliniku yang menahan tajamnya ujung timah panas, tetapi rompi tahan peluru yang kukenakan telah bekerja dengan baik. Tuan Kusuma yang mendekapku dari depan membuat luka di tubuhku tak kelihatan oleh Herman. Dia mengira aku sedang meregang nyawa.

Direktur utama PT. Adiguna itu terbahak melihat pembunuh bayaran melakukan tugasnya dengan baik. Selama dia tertawa bahagia, pistol di tangan yang menempel di pelipis Xavier mengendur. Dua penjaga di belakang Xavier juga ikut lalai.

Pistol Johan tidak berhenti setelah menembakku. Dua kali pistol itu menyalak. Dua penjaga di belakang Xavier tumbang dengan dahi berlubang. Herman menghentikan tawanya seketika. Dia mengarahkan ujung glock-nya ke pelipis Xavier, dan berusaha meremas pelatuknya.

Namun, usahanya sia-sia kala pistol di tangan Johan kembali menyalak. Timah panas yang meluncur dari laras glock 19 melaju cepat sambil berputar tanpa bisa di tahan. Tepat mengenai tangan kanan Herman, sekaligus menghancurkan otot persendian di dalamnya.

Pistol di tangan Herman berdentang di keramik. Dia mengaduh sambil memegangi lobang menganga di antara pergelangan tangan dan tulang sikunya. Teriak kesetanan bercampur umpatan kotor yang tak jelas juntrungannya keluar dari mulut busuknya. Umpatan itu berbarengan dengan teriakan Johan.

Pistol di tangan Johan terlepas. Tangan dan bahunya berdarah. Pembunuh bayaran Jepang yang sejak tadi diam mematung, bereaksi dengan menyabetkan pedang panjang di tangannya ke tangan dan bahu Johan. Sebelum sabetan berikutnya yang mengarah ke leher Johan menemui sasaran, lelaki yang telah mengkhianati cintaku itu berguling ke samping kiri.

Kesempatan emas itu tidak disia-siakan Herman. Dia menggulingkan dirinya ke samping kiri kami, tangan kirinya meraih pistolnya yang tergeletak. Penjahat itu mengarahkan moncong pistol itu ke kepalaku.

"Mati kau wanita sundal! Mati kau!" Dia berteriak kesetanan sembari menyeringai penuh kemenangan.

Jari telunjuk pria paruh baya yang penuh kebengisan dalam hidupnya itu meremas pelatuk pistol. Aku tidak menyangka dia bisa bergerak secepat itu. Sementara itu aku masih berkutat dengan hentakan sakit di dada yang mulai melemah. Tak ada waktu untuk menghindar. Kututup mataku. Kuterima peluru yang akan mengantarkanku ke kehidupan berikutnya.

Wajah mama melintas cepat, berkelindan dengan wajah Tuan Kusuma muda kala sebuah suara letupan berperedam mengantar irama kematian yang akan menjemputku.

Namun, letupan itu hanya menghasilkan desir angin melintas beberapa mili dari telingaku, membuat anak-anak rambutku mengembang terhembus. Otomatis tanganku memegangi pelipisku, membuka mataku, dan yang kudapat adalah tubuh lelaki yang tadi mendekapku sudah tergeletak tengadah sambil memegangi dadanya yang berlubang.

Tuan Kusuma yang tadi mendekapku menerima terpaan peluru itu dengan tubuhnya. Mengeser laju peluru setelah menembus punggungnya. Lelaki ini telah menyelamatkan nyawa putrinya.

Dia tersenyum melihatku. Dari mulutnya mengalir darah segar.

"Kenapa?" tanyaku bergetar.

Dia terbatuk. Darah yang menggumpal menyumbal keluar dari tenggorokannya. Kuberdirikan tubuhnya, kusanggah dengan dadaku.

"Maafkan … aku. Aku … bahagia bisa … menyelamatkan nyawa … putriku…." Katanya terengah-engah.

Aku tak tahu harus berkata apa. Semua kejadian cepat silih berganti. Naluriku bergerak cepat. Sebelum sebutir peluru menerjang lagi, kuhentakkan tumit sepatu kananku ke gagang trisula yang tergeletak di dekatku.

Sebatang trisula melayang terkena terjangan tumit sepatu, berputar sekali di udara, kemudian kutendang gagangnya dengan kekuatan penuh mengarah ke tangan Herman.

Tendangan kakiku dilambari kekuatan penuh tenaga kundalini, sehingga kecepatan trisula yang melayang melebih kecepatan jemari Herman yang sudah siap menarik pelatuk. Dia mengaduh tatkala ujung trisula yang pepak menembuh tangannya, melontarkan pistol itu jauh dari jangkauannya.

Tangan lelaki penembakku itu lumpuh seketika. Dia bangkit. Sambil berteriak kesakitan, menarik tubuhnya menjauhi kami. Aku tahu apa yang akan dilakukannya; bergerak ke arah anak tangga lantai, bersiap melarikan diri.

Aku tak mau menuruti keinginannya. Dia kembali mengaduh. Langkahnya terhambat kala satu trisulaku yang tersisa kembali melayang, melaju tepat menembuh paha kanannya. Kaki kirinya tak sanggup menopang tubuhnya. Ia ambruk di samping Xavier. Pemuda kurus kering itu mengakhiri penderitaan Herman dengan tendangan tepat di kepalanya.

Direktur Utama PT. Adiguna itu melepas kesadarannya untuk sementara waktu.

Pria paruh baya yang telah mengganti nyawaku dengan nyawanya tertelungkup dengan lobang di jas hitamnya. Aku melepas jaket bomber dan rompi tahan peluru. Peluru yang ditembakkan Johan mengoyak rompi itu tepat dibagian dada. Sembari diliputi rasa bergidik membayangkan dadaku hancur terkena terjangan peluru, kulipat rompi itu membentuk sebuah bantal. Jaket bomber kusobek dengan gigi, menjadikannya beberapa helai, kujalin menjadi kain pengikat.

Kubalik tubuh Tuan Kusuma yang bermandikan darah. Kulepas jas dan dasinya, kubebat lobang punggung yang terus mengeluarkan darah itu dengan kain jaket bomberku. Baju putih yang dikenakannya berbaur merah darah. Kepalanya kuganjal dengan bantal rompi. Kedua tangannya kuletakkan mendekap kain jaket bomberku ke lobang yang mengucurkan darah di dadanya.

Tanpa bisa kutahan kata yang selama ini kurindukan meluncur dari bibirku. "Ayah…." bisikku di telinganya.

Ada rasa yang tak bisa kujelaskan kala untuk pertama kalinya kata "Ayah" keluar dari bibirku. Setelah bertahun-tahun merindukan kata itu, aku mengucapkannya di saat pria paruh baya yang layak kupanggil "Ayah" ini terkapar di depanku.

Tuan Kusuma tersenyum. Lelaki itu menggenggam erat tangan kananku. "Terima kasih … Anakku."

"Bertahanlah. Aku akan mencari pertolongan," bisikku kembali.

"Ayah … masih kuat … bertahan."

"Jangan banyak bergerak dulu. Aku akan kembali."

Dia mengangguk, mengantar terjanganku ke pembunuh Jepang itu dengan senyumnya.