Chereads / Lady Advocate / Chapter 34 - Chapter 33: Shall We Dance?

Chapter 34 - Chapter 33: Shall We Dance?

Lobi hotel bintang lima di kawasan bundaran HI itu terang benderang. Sinar menyilaukan memancar dari lampu gantung besar, bersekutu dengan cahaya matahari yang menerobos kaca pembatas ruang dalam dan halaman. Granit mengkilat berukuran raksasa memantulkan bayang pilar nuansa Eropa klasik yang menyanggah atap hotel. Sembilan karpet lembut nan mewah dengan sofa set empuk di atasnya membuat para tamu yang duduk enggan berdiri.

Pegawai hotel dengan seragam batik berkeliling, tersenyum ramah menyapa setiap tamu yang datang. Dua petugas keamanan yang menggenggam alat detektor sibuk memeriksa setiap tamu yang masuk, sementara lima petugas lainnya di bantu tiga aparat Kepolisian riuh membuat pagar betis berkeliling. Awak media keluar masuk menyerbu lobi bergegas memasuki sebuah ruangan yang telah disiapkan. Menunggu kami melakukan konferensi pers.

Aku bangkit berdiri dari sofa kala dua lelaki tertatih-tatih memasuki lobi setelah menerobos kepungan wartawan, melewati pemeriksaan petugas keamanan. Mereka memakai baju yang sama dengan pakaian yang saat ini kukenakan, toga hitam dengan dasi kain putih di tengah, baju kebesaran Advokat Indonesia.

Satu pria duduk di kursi roda, mengerakkan dua roda itu dengan tangannya yang terbalut perban. Satunya lagi berjalan timpang dengan satu tongkat kruk menyanggah beban tubuhnya. Perban membebat tangan mereka, plester kecil menghias dahi dan pelipis mereka.

Tatkala mata dua lelaki itu menemukan sosokku, senyum mereka mengembang. Kusambut keduanya dengan tangan terbentang. Aku mendekati kursi roda itu. Mendorongnya pelan dari belakang, mengajak keduanya berkumpul di sebuah sofa set di pojokan.

"Bagaimana keadaan kalian? Kalau masih belum kuat jangan dipaksakan."

"Bah, enak saja. Kau ingin berpesta sendiri tanpa mengajak kami? Macam mana pula kau ini," kata Sahat. Dia pura-pura mengerucutkan bibirnya. Sisa memar di beberapa tempat masih terlihat membekas di wajahnya

"Aku tidak akan melewatkan penampilanku yang akan disiarkan media nasional," timpal Anto. Senyum licik dan penuh hitungan untung rugi menghias bibirnya yang menebal dari aslinya.

Aku tertawa lepas. Seminggu setelah berkutat dengan pengobatan akibat luka penganiayaan, mereka telah kembali menemukan jati dirinya. Anto mendapat lima jahitan di area bibir dan dahi, memar di lengan dan dada. Yang lumayan parah adalah tulang pahanya yang retak akibat pukulan benda tumpul.

Sahat tidak terlalu parah dibanding Anto. Sahabatku yang tak sabaran itu cepat recovery. Pukulan dan siksaan penganiayanya tidak mampu mengalahkan semangatnya untuk cepat sembuh, dan menghajar balik mereka di persidangan.

"Bagaimana dengan lukamu?" tanya Anto.

"Luka yang kuderita tidak terlalu serius. Hanya luka sayat dan pukulan ringan. Aku merasa sangat sehat sekarang."

Luka di bahuku yang sempat tersayat pedang telah mongering. Walau kadang menggigit bila terlalu banyak bergerak.

Sahat menatapku lekat. Sorot matanya menembus bola mataku, mencari diriku yang dulu. "Bagaimana luka di di hatimu?"

Kutarik napas panjang, kuberi dia senyum pahit. "It's fine. Sakit. Tapi masih bisa kutahan."

"Laki-laki itu?" susulnya.

Kugedikkan bahuku. Banyangan lelaki berwajah tampan yang penuh misteri meniupkan kepiluan di hatiku, memeram ribuan rasa yang susah untuk diungkapkan.

"Entahlah," bisikku lirih.

"Kalau saja aku bisa menyembuhkan luka itu," susulnya dengan mimik serius.

Kupukul pelan lengannya yang terbebat perban. "Jangan bercanda!"

Dia mengaduh, kemudian mengganti aura wajahnya dengan tawa sengau.

"Lebih baik kita fokus akan sidang hari ini," kataku.

"Betul! Kalau kita bisa menunjukkan kemampuan terbaik kita, aku yakin permasalahan yang membelit Law Firm kita bisa teratasi," tandas Anto.

Sahabatku yang duduk di kursi roda ini tak pernah berubah. Otaknya selalu dipenuhi angka-angka. Kutundukkan tubuhku, kudekatkan bibirku di telinganya.

"Anto, sayang. Jangan pernah lagi bicara tentang pengeluaran. Ada dana besar yang akan meng-cover biaya-biaya itu. Kedepan, kita fokus saja pada kepentingan masyarakat yang membutuhkan bantuan hukum."

Dia menengadahkan kepalanya, mencari kebenaran ucapanku. "Maksudmu … Ayahmu?"

Sahat menatapku ganjil. Dua sahabatku ini tahu setengahnya saja tentang ayah dan keterlibatan beliau dalam kejahatan korporasi di perusahaannya. Mereka tidak tahu bahwa di dalam mini disk yang tersimpan di bandul itu, tidak hanya berisi bukti-bukti asli tentang transaksi kejahatan perusahaanya, juga berisi dana besar simpanan ayah yang bisa kucairkan. Dana itu tersimpan rapi di sebuah negera yang tak punya kerja sama perbankan maupun kerjasama kejahatan menangani korporasi dengan Indonesia. Nomor rekening, specimen, password, dan data yang kubutuhkan untuk mencairkan dana itu terletak di dalam mini disk yang diberikan papa padaku menjelang kematiannya.

Canda tawa kami terputus oleh kedatangan Om Sandi yang berpenampilan formal. Dasi merah melilit bajunya yang putih bersih. Sepatunya mengkilat tertimpa sinar lampu dari atas. Posturnya yang tinggi dan gagah terlihat lebih muda dari umurnya. Senyumnya mengembang melihat kami terlelap dalam tawa.

"Kalian sudah siap?" sapanya.

"Siap, Om," jawab keponakannya.

"Bagaimana kakimu?"

"Membaik. Tinggal rehabilitasi saja,"

"Sukurlah. Bisa aku pinjam wanita kalian sebentar?" kata Ajun Komisaris Polisi Sandi. Senyumnya yang menawan mengarah kepadaku.

"Silahkan, Om. Kami juga mulai jengah dengan kecerewatannya."

Canda Sahat dibalas Om Sandi dengan deretan giginya yang putih rapi. Om Sandi memberiku kode untuk mengikutinya. Dia mengajakku ke pojokan, terpisah beberapa meter dari kerumunan tamu lain, membiarkan aku berdiri.

"Tidak lama, Syl," katanya.

"Tentang apa, Om?"

Aparat Kepolian yang bertugas di bagian Reserse dan Kriminal Umum ini menatap langsung ke mataku. Bola matanya bagai mata elang, menguliti setiap perubahan dari alih pandanganku. Dia menunggu sejenak sebelum mengutarakan pertanyaannya ketika seorang tamu melintas.

"Dari beberapa tukang pukul yang terluka, kami mendapat informasi bahwa mereka diserang dua orang yang menggunakan topi dan penutup wajah. Ditengarai seorang laki-laki dan seorang wanita. Kau tahu siapa mereka?"

Jantungku berdegup kencang. "Bukan kah Om Sandi lebih tahu? Saya sudah memberikan seluruh keterangan yang diminta penyidik," kataku membalik pertanyaannya.

Dahi Om Sandi berlipat. "Aku merasa masih ada yang janggal," katanya lebih kepada dirinya sendiri.

"Mereka menangkap saya setelah menahan Sahat dan Anto terlebih dahulu. Menyiksa kami. Di tengah penyiksaan itu, entah bagaimana, salah satu pendiri perusahaan itu mengetahui bahwa salah satu dari yang ditangkapnya adalah anak perempuannya. Timbul perpecahan di antara mereka, dan mereka saling pukul dan saling bunuh. Itu saja yang saya ketahui. Bukan kah pihak penyidik sudah mengorek keterangan dari mereka?"

"Itulah masalahnya. Mereka yang masih hidup tidak bisa memberikan keterangan yang pasti siapa penyerangnya. Ketika tim kepolisan tiba, mereka hanya mendapatkan puluhan preman bayaran terluka, dua mayat preman, satu mayat orang Jepang penuh tato, dan Direktur Utama PT. Adiguna dengan tubuh penuh luka yang sampai sekarang tak mau buka mulut."

Lelaki paruh baya ini memberi jeda, kemudian melanjutkan, "Plus, mayat salah satu komisarisnya, ayahmu. Oh ya, aku turut berduka cita."

"Terima kasih, Om," bisikku lirih.

"Bukan kah ada cctv yang merekam?" tanyaku penuh sangsi. Kemudian bernapas lega mendengar kalimat jawaban dari Om Sandi yang bernada geram.

"Seseorang telah menghapusnya malam itu. Meretasnya. Kami akan terus menyelidiki kasus ini, dan kami yakin mampu mengungkapnya."

"Xavier…." Bisikku lirih.

"Ada apa, Syl?"

Aku bersukur dia tidak mendengar nama yang terceplos dari mulutku. "Tidak apa-apa, Om."

Kucoba mengalihkan pembicaraan ke lain hal. "Mama titip salam buat Om Sandi. Terima kasih telah mengurus jenazah ayah hingga ke Surabaya."

"Sama-sama. Bagaimana keadaan Beliau?"

Kuhela napas panjang, uhembuskan bersama bayangan mama yang sendu kala mendapati lelaki yang dirindukannya selama ini pulang dalam keadaan tak bernyawa. Aku menemani jasad ayah hingga ke haribaan mama. Menemani mama selama dua hari, kemudian terbang lagi kembali ke Jakarta. Ingin kutemani mama hingga dia merasa tenang, tapi perempuan yang terbiasa menghadapi ribuan beban kehidupan itu mendesakku untuk cepat mengejar ketertinggalan kasusku.

"Mama tabah. Sanggup bertahan. Beliau bersukur bisa menghabiskan masa tuanya berteman dengan lelaki yang dirindukannya. Walau pun hanya dengan bercerita di depan makamnya."

Nada kalimat kubuat sesendu mungkin agar lelaki di depanku ini segera berlalu meninggalkan wanita yang sedang berduka. Harapanku terkabul.

"Baiklah, Sylvi. Untuk sementara cukup ini dulu. Lain kali jika aku ingin bertanya lagi kau mau memberi keterangan, kan?"

"Tentu saja, Om. Sylvi kan juga bagian dari Penegak Hukum."

"Satu lagi. Berhati-hatilah. Kau sedang berhadapan dengan penjahat kelas Internasional."

"Apa ada jalan bagiku untuk mundur?"

Om Sandi tersenyum. Mengangkat tangannya ke depan dahi, berhormat penuh kepadaku sebagai sesama penegak hukum. Kubalas balik hormatnya dengan sikap sempurna.

Aparat Kepolisian yang penuh dedikasi itu berlalu dengan langkah panjang. Sol sepatunya berderap kala menapak granit, menggema hingga ke relung hatiku yang diliputi kengerian yang tak kutampakkan.

Naluriku mengiyakan peringatan yang disampaikan Om Sandi. Aku yakin Sion akan terbebas dari hukuman dengan banyaknya alat bukti yang akan kuajukan dalam agenda sidang hari ini. Pun, aku yakin kasus ini tak akan berhenti sampai di sini. Korban akan berjatuhan, dan aku akan terjerat di dalamnya. Bila hal yang kutakutkan itu terjadi, aku membutuhkan sepasang trisulaku.

Setelah kasus Sion selesai, sesuai arahan Johan sebelum dia meninggalkanku, akan kuambil trisula itu di lereng Gunung Gede. Sukur-sukur jika aku bisa bertemu dengannya di sana. Aroma lembab hutan mahoni, wangi taburan bunga di taman, dinginnya udara pegunungan berkelindan dengan bau kotoran ternak dan daun teh. Menarik hasratku membaur dalam kenangan indah yang pernah kusesap di tempat itu.

"Aku akan kembali, Guru," bisikku kala wajah ayu pendekar wanita itu menyelinap di balik kenanganku.

Aku kembali mendapati Anto dan Sahat yang menungguku di tempat semula. Sahat menyambutku dengan tatapan penuh selidik.

"Apa yang kalian bicarakan?" tanyanya.

Kuangkat bahuku. "Hanya beberapa pertanyaan. Tidak terlalu penting," jawabku enteng.

Untuk saat ini aku tidak ingin membebankan ketakutan dan kengerian yang kurasakan pada mereka.

Teriakan para awak media menggema tak sabar menunggu kami. Setelah mengadakan konferensi pers, kami akan meluncur ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dengan agenda pemeriksaan saksi yang sempat ditunda karena masalah yang membelit kami.

"Siap?" tanya Anto terlihat tak sabar.

"Shall we dance?" kataku, teringat ucapan Xavier menirukan salah satu judul film Holywood.

"Let's do it!" balas Sahat.

"Fiat Justitia ruat caelum! Tegakkan keadilan walaupun langit akan runtuh!" pekik Anto menirukan slogan yang diucapkan Lucius Calpurnius Piso Caesoninus. Ribuan tahun lalu.

#SELESAI#