Johan menghadapi pembunuh itu dengan satu tangan kiri menggenggam tongkat pemukul. Tangan kanannya yang terluka sepanjang bahu tak bisa difungsikan maksimal dalam menghadapi sabetan dan tusukan mematikan dari penyerangnya.
Aku masih diliputi kebingungan akan sikap Johan yang berubah-rubah. Beberapa menit yang lalu dia berniat membunuhku dan dua sahabatku dengan tangan dingin, kini dia beralih pihak menyerang kelompoknya sendiri. Kusimpan kebimbanganku. Yang terbaik saat ini adalah membantunya mengalahkan yakuza itu, setelahnya, aku akan beralih menjadi Penuntut Umum untuk menguliti sikap angin-anginnya.
Sebelum ikut menerjang, aku melompat ke arah Herman yang masih menggeletak tak sadar diri. Kucabut sepasang trisulaku dari tangan dan pahanya, kubersihkan darah yang melekat di batang trisulaku dengan jas yang dipakainya.
Xavier menyeringai kesakitan, menatapku takjub.
"Bagaimana lukamu?"
"Tolong beri aku kain itu," kata Xavier sambil menunjuk potongan jaket bomberku. Aku beranjak mengambil beberapa helai kain yang belum kupilin menjadi kain pengikat. Xavier meminta potongan kain itu sebelum aku memilinnya.
"Cepat kau bantu Joy. Aku sempat menelpon kepolisian sebelum dua penjahat bangsat itu menangkapku. Aku yakin saat ini tim Kepolisian sudah bergerak ke sini."
"Bukan kah lebih baik bila kita mengulur waktu sambil menunggu mereka datang?"
"Tidak, Syl. Aku dan Joy harus meninggalkan tempat ini sebelum mereka datang. Kami bukan seperti orang-orang biasa yang kau kenal."
Aku tersenyum pahit. Mataku sekarang terbuka lebar. Otakku bisa mengenali jenis macam apa Xavier dan Johan di dunia ini.
"Baiklah. Aku akan berusaha cepat menyelesaikannya."
"Oh ya, bagaimana bila bandot tua ini bangun?" Xavier menunjuk Herman yang masih tak sadar.
"Tendang lagi kepalanya!" jawabku tegas.
"Asyeeek!" Pemuda aneh ini tertawa kegirangan. Dengan cepat dia membebat luka di paha kanannya yang tertembak si bandot tua itu sambil sesekali matanya melirik kepala Herman. Xavier sangat menikmati momen melesakkan sepatunya yang bau ke hidung Direktur Utama sebuah perusahaan multi internasional.
Johan semakin keteteran. Tongkat di tangan kiri Johan tak mampu lagi menahan laju pedang itu. Darah mengalir dari luka di bahu, tangan, paha akibat sayatan pedang panjang yang digunakan samurai dalam peperangan abad-abad awal.
Kuterjang pembunuh bayaran itu dengan dua trisulaku. Kekuatan tenaga dalam kukerahkan sepenuhnya, menggempurnya dari sisi kiri. Sementara Johan menahan serangannya dari sisi kanan. Johan tersenyum senang melihat aku membantunya.
Kubalas senyum itu dengan dengusan kesal. Dia tidak peduli. Melihatku membantu, membuat ia semakin bersemangat menggempur pembunuh Jepang itu dengan pukulan-pukulan membahayakan mengarah ke kepalanya.
"Kita tidak banyak waktu. Xavier telah menelepon polisi, mereka sebentar lagi tiba," kataku di sela bentakan dalam Bahasa Jepang yang tak kumengerti artinya.
"Gunakan jurus pamungkas!" teriaknya.
"Tapi aku belum bisa menguasainya!"
Aku tahu apa yang dimaksud pria ini. Jurus itu memang sangat mematikan. Tapi ajaran Bu Asep itu belum kuserap sempurna. Untuk menggunakan jurus itu, aku harus mengerahkan seluruh tenaga dalam, dan membaginya ke seluruh bagian tubuh. Di saat konsentrasi penuh pada tenaga dalam yang mengalir, aku harus melompat menyerang dengan mensejajarkan tubuhku, memutarnya cepat seperti mata bor.
Saat latihan dulu berulang kali aku mencobanya. Namun berulang kali pula tubuhku jatuh berdebum tak mampu berputar.
"Tidak ada waktu, Syl. Sekarang atau tidak sama sekali!"
Telingaku yang selama ini akrab dengan lagu Bahasa Johan menangkap nada suaranya yang telah kembali seperti semula. Menggantikan nada dingin penuh kebengisan beberapa menit lalu. Tapi, rasa sangsi di hatiku masih belum pupus.
"Enak saja kau main perintah! Memang aku apamu, hah?!" bentakku.
"Kau adalah cintaku, dan aku adalah cintamu," balasnya enteng tanpa rasa bersalah.
"Cuh! Laki-laki pembohong! Pengkhianat! Pendusta! Pen…."
Johan memotong kalimatku. "Ayolah, Sylvi. Nanti saja umpatannya setelah si jahanam ini meregang nyawa."
Aku mendengus kesal. Tak urung kuturuti permintaanya. Kami melompat ke belakang sekira tiga meter, bersiap dengan kuda-kuda serangan mematikan. Si Jepang sepertinya tahu kami akan mengadu nyawa. Dia mengikuti tantangan kami untuk secepatnya mengakhiri pertempuran ini.
Kumajukan kaki kananku menekuk membentuk sudut sembilan puluh derajat, kaki kiriku lurus ke belakang. tangan kanan di atas kepala mengacungkan trisula ke depan, sementara tangan kiriku menekuk di bawah tangan kanan. Kulirik Johan yang bersikap sama denganku tapi dengan hanya satu tongkat di tangan kiri. Tangan kanannya yang terluka dibiarkan menggantung ke bawah.
Pembunuh bayaran itu memegang pedang panjangnya dengan dua tangan menggenggam erat gagangnya, mengacungkan batang pedang di atas kepala. Kedua kakinya lurus dengan kaki kanan di depan. Bibirnya yang merah dirapatkan. Gigi gerahamnya dikatupkan. Matanya yang sipit menyorot tajam mengamati gerakan yang akan kami lakukan. Dia menunggu kami membuat gebrakan terlebih dahulu.
"Kau serang bagian bawah tubuhnya, aku menyerang kepalanya!"
"Tapi…."
"Sekarang!" teriaknya sambil menghentakkan kaki kanan sebagai penopang tubuhnya.
Sebelum kuhentakkan kaki kananku, kuserap seluruh daya tenaga dalam dari bawah pusarku, kusalurkan ke tangan, kaki, pinggang, dada, leher, hingga kepala. Aku dan Johan melompat bersama.
Pembunuh bayaran Jepang itu memapak kami setengah berlari. Tubuhku maju ke depan, berputar cepat seperti gasing dengan dua tangan di depan kepala membentuk ujung mata bor yang akan melobangi obyek serangannya. Aku tidak bisa melihat apa yang dilakukan Johan dengan kepala musuhku, sebab seluruh konsentrasi kukerahkan menyerang bagian perut pembunuh ini. Bukan di bagian bawah perutnya.
Sebenarnya aku ingin memprotes kebijakan yang ditawarkannya untukku. Menyerang bagian bawah tubuh si Jepang ini memerahkan wajahku karena harus berhadapan dengan organ tubuh laki-laki. Tetapi Johan tidak memberikan pilihan. Terpaksa kuikuti gerakannya.
Pembunuh bayaran dari golongan yakuza ini harus memilih: melindungi bagian tubuh bawah atau atas. Kecepatan gerakan kami tidak bisa membuatnya memilih dua-duanya. Ternyata dia memilih melindungi kepalanya dengan menahan serangan Johan.
Dentang logam beradu di atasku seolah alunan orchestra yang mengiringi sepasang trisulaku membuat lobang di perut musuh kami. Sepasang trisulaku berputar menusuk, merusak obyek di depannya. Hanya butuh lima detik dalam melakukan serangan mematikan, tetapi bagiku itu adalah waktu yang sangat lama untuk terus memutar seluruh bagian tubuhku dengan tenaga dan kecepatan penuh.
Hasilnya sungguh di luar dugaan. Musuh kami terjengkang ke belakang kala bertabrakan dengan sepasang trisulaku. Tubuh kami yang masih berputar terus melaju mengenai udara kosong. Jatuh menggelinding di atas keramik yang keras.
Napasku memburu. Jantungku berdetak cepat. Persendian di seluruh tubuhku berteriak minta istirahat. Aku menarik tubuhku mendekat ke tembok, menyandarkan punggungku bersisihan dengan Johan yang terlebih dulu bersandar di sana. Musuh kami menelungkup. Dari kepalanya mengalir darah segar.
Pembunuh Jepang itu memang hebat. Dalam keadaan setengah mati, dia beringsut bangkit. Pedang panjangnya masih di tangan kanan. Darah deras mengucur membalut kepala dan wajahnya akibat lobang di batok kepalanya terkena bor senjata Johan. Wajah itu terlihat sangat mengerikan. Jas hitam dan baju putih yang dikenakannya berantakan di bagian perut. Tetapi, seranganku tak membuat isi perutnya berhamburan karena terlindung rompi anti peluru.
Tusukan sepasang trisulaku hanya merusak rompi itu, membuat kapas dan serat isi rompi berhamburan keluar. Kalau saja aku mengarahkan seranganku di bagian alat kelaminnya, aku yakin "barang" milik satu-satunya penjahat itu yang akan berantakan.
Si Jepang kembali berdiri kokoh dengan pedang mengarah ke Johan. Menyerang Johan yang sudah kehabisan napas dan mulai kehilangan banyak darah adalah pilihan terbaiknya. Kuhembuskan napasku yang tersenggal. Kujadikan tembok sandaran sebagai penumpu kaki, membawa tubuhku berdiri. Pertempuran belum usai.
"Bangkit! Aku tak akan memaafkanmu bila kau mati dulu sebelum menjelaskan pengkhianatanmu!" bentakku padanya.
"Sialan, kau, Syl!"
Johan berteriak menahan sakit sembari memerintah tenaga dalamnya yang sudah letih untuk tetap semangat. Seperti aku, kakinya mendorong tubuhnya bersandar ke tembok, beringsut naik dengan bertumpu padanya.
"Dia akan menyerangmu, dan aku akan menahan serangannya. Kala itu, kau gebuk dia!"
Johan mendengus keras. "Sejak kapan kau mulai mengaturku?"
"Sejak kau menembakku!"
Sebelum Johan membalas makianku, pembunuh bayaran itu merangsek maju. Dia melompat tinggi, berteriak sambil pedangnya terangkat ke atas kepala mengarah ke kepala Johan. Pria yang tersenggal di sampingku ini menunggu hingga batang pedang mendekati kepalanya. Ketika batang pedang sudah berjarak beberapa senti, dia menjatuhkan tubuhnya ke samping. Aku bergerak sebat melakukan tugas bagianku.
Sepasang trisula di genggamanku memapak batang pedang dengan posisi menyilang, melesakkan batang pedang hingga mendekati gagang trisula, kemudian kucapit pedang itu dengan dua pasang cula. Anggota yakuza itu tak menyangka serangannya bisa dielakkan dengan mudah oleh Johan. Dia pun mendelik melihat batang pedangnya tercapit kuat sepasang trisula.
Anggota yakuza pembunuh itu berusaha menarik pedangnya. Menekannya, menariknya lagi berkali-kali. Tapi aku tetap bertahan. Tak kuhiraukan bahuku yang sempat tersayat ketika ia menekan kemudian menarik pedangnya. Kukerahkan seluruh kekuatan tenaga dalamku mengalir di kedua tangan. Pedang yang terapit dua pasang cula itu seperti beku. Tak mampu ditariknya lagi.
Kini giliran Johan yang akan menyerang. Pria itu berteriak sambil melompat tinggi. Tubuhnya turun cepat tertarik gaya gravitasi bumi sembari tongkat di tangan kirinya menghujam deras di kepala si Jepang. Pertemuan antara logam dan tengkorak kepala mengeluarkan bunyi berderak.
Sebelum pembunuh itu menyadari apa yang terjadi, Johan menyusulnya dengan tendangan berputar ke arah dada. Gaya sentripetal yang dihasilkan dari putaran kaki Johan membuat lelaki kejam itu terjengkang beberapa meter ke belakang. Tangannya melepas pedang yang masih tercapit cula trisulaku.
Seluruh tenaga yang terkuras habis membuat aku dan Johan tak kuat lagi menahan berat tubuh. Kami beringsut turun, duduk bersandar ke tembok. Paru-paru kami bekerja keras menghirup oksigen, mengeluarkannya dengan tersenggal. Lengan baju Johan basah oleh darah dan peluh. Dia menyeringai menahan sakit. Dikeluarkannya obat nyeri mujarab dari kantong celananya. Dia menelan dua pil langsung tanpa air, dan memberikan dua pil lagi untukku.
"Minum cepat, sebelum nyeri bahumu membuatmu pingsan," katanya di tengah napasnya yang memburu.
Dia menunjuk kain baju di bahuku yang basah oleh darah. Sengatan panas dan perih di bahu membuatku tersadar. Tanpa diminta dua kali, dua pil pemberiannya sudah masuk ke perutku sekali telan. Dalam hitungan detik, tubuhku menjadi ringan. Perih di beberapa tempat di bagian tubuhku merayap hilang. Namun, geliat tubuh bajingan yang tak mau menyerah itu mengusik perhatian kami.
Harus kuakui, lelaki Jepang ini pantang menyerah. Dia seolah tak punya batas ketahanan. Luka di kepala, memar di tubuh, patah di beberapa bagian tulangnya tidak menyurutkan tugas yang diembannya.
Dia menggeliat bangkit, menyeret tubuhnya yang penuh luka ke arah dinding di dekatnya, duduk menatap kami dengan pandangan penuh kebencian. Dilepas jas dan rompi anti pelurunya, mulutnya meracau dalam Bahasa yang tak kumengerti sembari tangannya gemetar menunjuk ke Johan. Johan mendelik, membalasnya dalam Bahasa yang sama dengan Bahasa pembunuh bayaran itu.
Geram, sedih, marah, pilu campur aduk menjadi satu mengingat Johan adalah lelaki sejenis dengan pembunuh itu. Kalbuku dibebat keterasingan yang mencengkeram. Aku tak mengenal lagi siapa sebenarnya lelaki yang telah membuat malam-malamku berisi mimpi indah ini. Kala derita meniupkan kepiluan merebak, membuat pandanganku tertutup air mata, pria jahanam yang kukira sekarat itu mengeluarkan benda hitam berperedam dari pinggang belakangnya.
Dia mengarahkan benda di tangannya itu ke arahku, menarik pelatuknya. Lidah kematian yang berulang kali ingin menjilat ruhku membuatku pasrah menerima keputusan-Nya.
"Kusso yaro!" teriak Johan.
Aku tak tahu apa arti ucapannya. Mungkin dia mengumpat jalan hidup yang akan memisahkan kami. Yang membuatku tersentak, dia membalikkan tubuhnya, mendekapku, menerima salakan pistol dengan punggungnya. Pada saat letusan ke dua, tangan kananku bereaksi.
Segala kepiluan dan kemarahan membuat seluruh tenagaku terpusat di tangan yang menggenggam trisula. Bersaing dengan letusan berikutnya, trisulaku bergerak cepat meluncur ke kepala pembunuh bayaran itu. Kepala itu terhentak ke belakang. Trisulaku menembus batoknya, terus melaju menancapkan kepala itu ke tembok.
Aku ternganga melihat mata pembunuh bayaran itu mendelik. Mulutnya terbuka seolah tak percaya wanita yang dianggapnya tak mampu mencabut nyawa manusia itu sanggup melakukan kengerian kepadanya.
Lenguhan Johan membuatku tak punya waktu untuk mengeluh karena telah melanggar janjiku sendiri untuk tidak membunuh. Kudekap Johan. Kupeluk erat lelaki yang telah menembakku sekaligus memayungiku dengan tubuhnya dari timah panas. Tubuh Johan yang menelungkup merosot perlahan. Tubuhnya mengejang. Dia sekarat.
"Tidak … tidak … Jangan tinggalkan aku!" teriakku panik.
Kutengadahkan tubuhnya di atas lantai, kuciumi mata, hidung, pipinya. Bibirku berhenti di bibirnya yang terkatup rapat. Kemudian bibir yang pecah dan berdarah itu terbuka perlahan.
"Aku akan selalu disini. Di hatimu," bisiknya mesra. Tangannya menunjuk dadaku.
Kekalutan membuat otakku tak bisa berpikir jernih. Aku lupa dia mengenakan rompi anti peluru, dan menahan butir-butir timah panas itu dengan pungungnya yang terlapisi rompi. Hawa hangat menjalar dari perutku, memerahkan pipiku. Kujauhkan wajahku dari pesona ketampanannya.
"Sialan! Kupikir kau akan mati!"
"Aku rela mati berkali-kali demi melindungimu."
Aku mendengus kesal. "Gombal! Buktinya kau telah menembakku!"
"Aku tahu tembakanku tak akan melukaimu. Rompi anti peluru dan tenaga dalammu akan melindungi"
"Kau telah berbohong padaku. Menipuku, memperalatku!"
Ingatan tentang laki-laki yang tak kuketahui latar belakangnya ini membuatku sendu. Mengantarkan kepiluan membelitku. Johan bangkit, menengadahkan kepalaku, diusapnya bulir air mata yang mengambang di mataku dengan jemarinya.
"Maafkan aku yang telah banyak berbohong padamu. Kau ingat apa yang kuucapkan sebelum kita masuk ke rumah ini?"
Kilasan ciuman kami yang mesra dan menggebu melintas di otakku. "Ya. Apa pun yang terjadi, kau minta aku percaya padamu. Tapi, apa yang kau perbuat…."
Aku tak mampu melanjutkan kalimatku. Adegan membingungkan yang berubah cepat silih berganti membuatku tak tahu lagi apa dan siapa yang harus kupercaya,
"Percayalah. Cintaku padamu bukan cinta palsu. Kasihku yang tercurah adalah kasih suci."
Kucari bola matanya yang sanggup meluruhkan hatiku itu. Kutelusuri kejujuran ucapannya melalui bola mata itu. Aku menemukannya bersemayam di sana.
"Kesalahanku adalah aku tidak berani jujur padamu sejak awal kita berjumpa. Untuk saat ini pun aku tidak bisa menceritakan padamu siapa aku sesungguhnya. Karena aku telah terikat dengan sumpahku. Suatu saat nanti, jika semua ini berakhir, aku akan mengatakan semuanya padamu."
Hatiku meranggas. "Ini bukan episode terakhir?" helaku.
"Aku juga berharap ini sudah berakhir. Tapi sayang sekali, aku merasa ini justru sebuah permulaan," bisiknya lirih.
"Mereka…." Kutunjuk pria yang terduduk kaku dengan trisulaku menancap di kepala.
"Ya, mereka tak akan diam setelah kejadian ini."
Kupatahkan argumennya. "Kasus ini sudah terpecahkan. Para penjahatnya akan mempertanggungjawabkan perbuatannya. Polisi akan memaksa mereka untuk bicara mengungkap kejahatan lain di baliknya."
Johan menggelengkan kepalanya. "Tidak semudah itu, Sylvi."
"Ini kejahatan internasional, ada hukum yang mengaturnya."
"Come on, Syl, tidak semua kejahatan bisa diselesaikan di meja pengadilan."
"Semua kejahatan seharusnya bisa diselesaikan di meja pengadilan!"
Semangatku sebagai Advokat sedang menggelegak. Johan menarik bibirnya lebar, telunjuknya mengarah ke atas, menunjuk angin yang membawa suara beberapa sirine sayup bersahutan
"Sementara aparat Kepolisan mendekat, kau ingin kita menghabiskan waktu semalaman di sini berdebat tentang teori hukum?"
"Apa yang akan kau lakukan? Kita masih bisa bertemu lagi?"
Pria yang menarik kembali cintaku yang sejenak meruap entah kemana itu menghela napasnya panjang. "Aku akan menghilang beberapa waktu. Aku akan menemuimu manakala huru-hara ini mereda."
Sendu memagut batinku. "Kapan? Kapan aku bisa merajut kenangan manis lagi bersamamu?"
"Aku tak tahu…."
Kalimat yang keluar dari bibir Johan penuh rasa tak percaya diri.
Suara sirine ambulan dan mobil patroli mengeras, mengabarkan waktu perpisahan semakin mencekik. Batuk keras dan lenguhan panjang Tuan Kusuma membuatku tersadar bahwa ada jarak lebar terbentang di antara kami. Aku beringsut mendekati orang tua yang kutemukan kala perpisahan mengantarkan kami ke persimpangan kehidupan.
Johan mendekati mayat sang pembunuh, menarik trisula yang menancap di kepalanya, membuat tubuh yang tadi duduk itu rubuh ke samping. Dia membersihkan darah yang menempel di batang trisulaku dengan kain sobekan jas pembunuh itu, kemudian mengambil trisulaku satunya yang tergeletak di lantai.
Johan memasukkan sepasang senjata itu ke balik jaket bombernya yang bagian punggungnya terdapat obang bekas tembakan.
"Di senjata ini banyak sidik jarimu. Akan menjadi petunjuk bagi penyidik untuk menguak kisah tentang kita. Aku akan membawanya pergi. Kamu bisa mengambilnya di tempat kamu mendapatkannya."
Kuanggukkkan kepalaku lemah.
Di depanku, tubuh ayah mengejang. Dadanya turun naik seiring dengan napasnya yang memburu. Denyut nadinya semakin melemah. Kuelus anak rambut yang jatuh di dahinya. Kuusap pelan wajahnya yang penuh peluh. Keriput di dahinya melipat. Ayah sedang berjuang meregang nyawa.
"Ayah … bertahanlah. Pertolongan sudah tiba," bisikku di telinganya.
Kelopak ayah membuka. Bibirnya penuh darah. Di kedua sudut matanya mengalir pelan dua bulir air mata.
"Maafkan … aku…." katanya pelan.
Kuanggukkan kepalaku berkali-kali. Air mataku tumpah tak tertahan lagi. Deburan di dadaku menghentak-hentak. Ayah meraih tanganku, membimbingnya ke balik baju putihnya. Sebuah kalung dengan bandul logam terasa dingin dalam genggamanku. Ayah menganggukkan kepala, memintaku untuk membuka bandul kalung itu. Kuturuti kemauannya. Dua foto kecil menampakkan wajah wanita dan anak kecil mencuat bersama sebuah mini disk. Kututup bandul itu bersama mini disk di dalamnya. Kumasukkan ke dalam saku celana. Ayah meminta kepalaku mendekat, berbisik lirih di telingaku. "Kamu … dan ibumu … selalu ada di hatiku."
Tangisku mengeras. Pandanganku kabur terhalang air mata. "Aku merindukanmu. Aku selalu mencintaimu apa pun yang terjadi."
Kelopak mata ayah menutup. Senyum lebar mengembang di bibirnya. Air mataku berderai membasahi seluruh wajahnya. Sebuah tarikan keras dari hidung mengantarkan napas terakhirnya. Kudekap kepala ayah ke dadaku. Tubuhnya mengejang. Denyut nadinya melemah, kemudian berhenti sama sekali.
Sementara itu, suara dobrakan pintu di lantai bawah terdengar keras bersama lenguh kesakitan dan bentakan perintah.
"Jangan bergerak!"
"Telungkup!"
Sentuhan lembut di bahu menyadarkanku. Tangisku semakin pecah. Johan membopong tubuh Xavier dengan bahu kirinya. Mereka berdiri di sisiku.
"Aku akan merindukanmu, Sylvi Wulandari. Semoga Tuhan akan mempertemukan kita lagi," bisiknya.
"Senang berkenalan denganmu, Lady Advocate!" timpal Xavier.
Kuanggukkan kepalaku. Bibirku tak mampu lagi menjawab kalimat perpisahan beruntun.
"Aku mencintaimu! Aku akan menunggumu!" teriakku tertahan.
Lelaki yang kembali mencuri hatiku itu tak menjawab. Bibirnya terbuka lebar. Langkah sepatu laras panjang berderap menaiki anak tangga lantai dua. Johan memapah Xavier, bergegas dengan langkah tertatih melalui pintu belakang lantai tiga tanpa menjawab pernyataan cintaku.
Pintu terbuka yang menelan tubuh dua orang itu mempersilahkan hembusan angin melewatinya. Udara dingin menerpa kulitku, meretas sepi di sekujur persendianku. Dalam kurun waktu berbarengan, dua pria yang kucintai meninggalkanku. Aku butuh pertolongan. Bukan untuk jasmaniku, tapi untuk jiwaku.
Setiap detak jantungku bergetar penuh kepiluan. Aku menjerit, melolong, kuteriakkan duka yang menekan hatiku.
"Tolooong! Toloong!"
Puluhan teriakan dan hentakan sepatu menaiki tangga lantai. Puluhan aparat dan petugas medis berbaur diiringi suara panggilan di radio. Masih sempat kulihat petugas medis membopong tubuh Anto dan Sahat setelah mereka melepas borgol yang membelit tangannya. Pun, masih bisa kutangkap bayang dua polisi menarik tubuh Herman berdiri, setengah menyeretnya ke lantai bawah dengan tangan terborgol.
Namun ketika dua petugas polisi menarikku menjauh dari jasad ayahku, telingaku berdengung keras. Hatiku meronta. Kesepian yang getir dan satir membuat jiwaku melayang lepas tak tentu arah.