Langit malam yang mulai kelam, di jembatan merah yang tak bertuan. Ya, seperti ini, tepatnya saat aku bertemu dengannya dulu. Seharusnya, Tuhan tak membiarkanku bertemu dengannya, seharusnya takdir tak mempertemukanku dengannya, karena setelah pertemuanku itu, aku yang awalnya begitu membencinya, kemudian mulai takut dengannya, dan hal buruk setelah itu semua, tanpa sadar aku telah jatuh hati padanya.
Tapi entah kenapa, seandainya bisa lebih baik ku urungkan saja rasa cintaku ini padanya, rasa cinta yang seolah meremas hati, yang membuatku sulit bernafas karenanya. Jujur, awalnya aku fikir, dia adalah lelaki yang sangat menyebalkan. Menyebalkan karena di balik kelakukan buruknya di sekolah, nilainya selalu sempurna, di balik semua gelak tawanya, seolah ada duka yang tak mampu dia pendam. Dan itu semakin membuatku tersiksa, untuk ingin selalu dekat dengannya, atau pergi menjauh dari sisinya. Dia adalah, sosok yang tak akan pernah termaafkan, dalam hidupku, selamanya.
Aku ingat dulu, saat pertama kali kami bertemu. Sebelumnya, satu tahun yang aku lakukan hanya menjadi seorang pengintai, tapi tahun berikutnya aku mulai mengenal sosoknya secara nyata, tepat di hari itu,
Prrrrrrrrt!!!!!
"Berhenti!!!"
Teriakku, saat ini aku sedang berada di tengah-tengah dua kubu yang akan tawuran, kubu SMAku, dan kubu SMA sebelah. Kata seniorku dulu, kedua SMA ini memang tidak pernah bisa akur, dan dendam itu sudah dibawa sampai turun temurun.
Aku bisa melihat dengan jelas, puluhan preman yang berpakaian putih abu-abu itu memandangku dengan galak, preman-preman sekolah yang sudah membawa senjata mereka, untuk siap bertempur.
"Kalau kalian nggak bubar, gue akan panggil polisi!" ancamku saat itu,
Aku seperti orang bodoh.
Berdiri di antara mereka, sendiri. Sementara anggota OSIS yang lainnya, hanya berani, bersembunyi di balik semak-semak yang jaraknya terlalu jauh dariku.
Seharusnya aku tak melakukan ini.
Aku memang bodoh, mau saja dijadikan kambing hitam atas semua tugas yang mengerikan. Di saat semuanya lepas tangan, aku yang dipaksa maju di barisan paling depan. Jujur, aku memang seorang siswi yang menyedihkan.
"Siapa sih cewek aneh ini?! Pergi lo!"
Cowok bertubuh besar itu datang mendekat, kemudian membentakku. Matanya yang mulai memerah terlihat garang, alis tebalnya bertaut menakutkan. Jujur, tubuhku gemetar, karena takut. Tapi, mau bagaimana lagi, ini adalah tugas dari sekolah, andai saja mereka tidak berkelahi, andai.
"Elo cewek aneh yang ada di kelas itu, kan?" mata coklat itu menatap ke arahku dengan dingin, mata coklat yang selalu aku benci, mata coklat yang pemiliknya selalu mengalahkanku.
Mengapa?
"G..gue ---"
BUUUKKKK!!!
"Nilam! Mau sampai kapan kamu tidur? Sudah jam berapa sekarang ini? Buruan bangun, cepat berangkat sekolah!"
Mimpi?
Aku membuka mata sambil terengah, nafasku terasa sudah habis. Kenapa? Bagaimana bisa ingatan tentang kejadian seminggu lalu masih saja menghantuiku dalam mimpi? Ingatan tentang kejadian yang membuatku takut dengan lelaki itu, lelaki yang awalnya ku benci.
Sejak insiden pemukulan anak SMA Harapan Bangsa, lelaki itu kabarnya dibawa oleh polisi. Bahkan, sudah seminggu ini, dia tidak masuk sekolah, dia tidak ada di kelas. Aku yakin, dia mendapatkan skorsing dari Pak Mahmud. Guru BP sekolahku.
Aku bangkit, buru-buru aku masuk ke dalam kamar mandi. Aku bahkan lupa, jam berapa semalam aku tertidur. Karena, aku sibuk belajar untuk ulangan hari ini. Bukan, rasanya belajar adalah kegiatan wajibku setiap hari selain sekolah, dan membantu Tante Rosi menjaga tokonya.
Tante Rosi, adalah Adik dari Ibuku, lebih tepatnya, Almarhum Ibuku. Kedua orang tuaku telah wafat. Karena kecelakaan mobil saat aku kecil dulu, dan mulai saat itu, aku diasuh dan dibesarkan oleh Tanteku, yang aku tak tahu kenapa, sampai sekarang dia lebih memilih hidup sendiri tanpa suami, padahal usianya, sudah terbilang tak muda lagi.
Ku sisir rambutku di depan cermin, hari ini adalah musim penghujan. Dan rambutku ini akan semakin mengembang, sebaiknya, aku kuncir. Rambutku bukanlah rambut keriting ataupun kribo. Hanya ikal, rambut ikal yang benar-benar ikal dengan volume cukup besar, yang kadang anak-anak sering menyebutku 'anak singa' karenanya.
Mungkin ku kuncir?
Apakah itu pilhan yang bagus? Mengingat selama ini aku tidak pernah sama sekali menguncir rambutku. Apa tidak akan terlihat aneh? Jika nanti anak-anak melihatku?
Tentu saja tidak.
Karena aku yakin, aku adalah bagian yang tak terpenting di sekolah. Aku adalah bagian yang tak mungkin dilihat oleh semua orang.
Itu benar.
@@@
"Nilam!"
Aku terhenti, menutup bukuku yang sedari tadi ku baca. Lala dan Genta datang. Lala dan Genta, adalah sahabat yang aku punya, hanya mereka yang mampu melihatku, dari sisi yang berbeda dari lainnya.
"Ulangan biolgi, kan?" tanya Lala, gadis cantik yang menjadi salah satu buruan siswa di sekolah. Aku tidak mengerti, mengapa dia mau bersahabat denganku.
"Elo nggak belajar emang? Masih nanya aja kalau hari ini ulangan."
Genta, tidak jauh beda dengan Lala, dia adalah Lala versi laki-laki, meski bersahabat, tapi aku fikir mereka adalah pasangan yang serasi.
"Gue nyontek elo, ya?" mohon Lala, Genta menggeleng. Keduanya ini tidak bodoh, bahkan keduanya salah satu anak pintar di kelas, tapi memang sifat Genta yang selalu mengalah, membuat Lala bersemangat untuk menjadikan Genta, 'kacung'-nya.
"Ogah, elo tahu sendiri, kan. Bagaimana galaknya Pak Warto, gue nggak mau dikeluarkan dari kelas gara-gara elo."
"Gentaaaa --" Lala merengek dengan tampang lucu, wajah imutnya terlihat semakin imut.
"Udah jangan ribut, ayok masuk sebelum Pak Warto mendahului kita." ajakku,
Pak Warto, Guru biologi di sekolahku. Guru yang akan datang sepuluh menit sebelum bel masuk sekolah, apalagi di semeseter ini, jadwal Pak Warto adalah di jam pertama pelajaran hari sabtu. Musibah bagi murid-murid yang malas, karena, jika telat sedikit, nilai mereka akan dikurangi, sesempurna apapun nilai tugas dan ulangannya. Begitu pun dia, yang lebih memilih telat meski berangkat pagi, lebih memilih nongkrong di warung, daripada masuk ke dalam kelas, ya dia.
@@@
"Lam, gue nyontek elo, ya?"
"Maaf, tapi ini kan ulangan."
"Gaya banget sih lo, pokoknya gue nyontek!"
"Emang boleh gitu ama gue? Jadi anak itu belajar biar pinter, Ma! Bukan nyontek!"
Lala selalu seperti ini, jika ada teman-teman lainnya mendekatiku, bukan untuk berteman, tapi untuk ku bagi jawaban.
Salma, teman sekelas yang selalu bersikap seperti itu, dan bodohnya aku tidak pernah bisa menolak setiap dia meminta sesuatu. Aku fikir dulu, tidak apa-apa. Tapi pada akhirnya aku mulai merasa, ini apa-apa. Saat Pak Nanang, guru matematika kami mengetahui jawaban kami sama, dan berakhir, nilaiku dikurangi 10 poin, Salma yang mendapatkan nilai tertinggi.
Mungkin, resiko menjadi siswa cupu.
"Rese banget sih lo, La! Ih!" Salma pergi, menuju bangkunya kembali, dan dengan tatapan itu, dia melihatku.
Bukan, bukan hanya Salma, tapi semuanya, mereka memandangku dengan tatapan itu. Tatapan menghina dan merendahkan, seolah ingin menunjukkan jika aku di sini, bukanlah siapa-siapa.
"Nggak usah diladenin, La. Salma emang udah kayak gitu." kataku, Lala mendengus kemudian dia menggenggam pundakku,
"Nggak boleh dong. Dia itu ngerugiin elo! Jadi, dia harus dikasih pelajaran biar kapok! Apa elo lupa pas ulangan matematika dulu?" aku mengangguk, meng-iya-kan ucapan Lala, aku tidak akan pernah lupa masalah itu.