Upacara pagi ini, dengan tugas yang tidak masuk akal diberikan oleh Kak Aldi. Saat upacara, anggota OSIS berdiri di belakang siswa-siswa, ada yang betugas mengatur jalannya upacara sampai menjaga gerbang depan dan belakang. Seharusnya, bagian menjaga gerbang bagian belakang itu OSIS cowok, kan? Karena, gerbang ini rawan siswa-siswa badung yang telat sebagai tempat untuk melompat. Tapi, bagaimana bisa aku yang disuruh menjaganya? Itupun sendiri. Dan lagi-lagi, aku tidak bisa menolak, ku turuti saja perintah Kak Aldi dengan bodoh. Aku tahu, aku bodoh.
"Semoga tidak ada yang telat." gumamku, semoga Tuhan mau mengabulkan. Aku tidak mau jadi kambing hitam lagi, atas perlakuan OSIS, kepada anak-anak badung itu. Terutama, komplotannya dia, ya dia.
HUPP!!!
Setengah melompat saat aku mendengar ada sesuatu yang jatuh tepat di sampingku. Oh, sialnya aku, rupanya takdir, lagi-lagi tidak memihakku. Dan lagi, takdir mempertemukanku dengan dia, dengan keadaan yang seperti ini. Aku yakin, dia akan salah faham lagi, dan semakin mengerjaiku setelah ini.
"Ssssst.. jangan ngadu, oke." katanya, mata coklatnya terlihat sendu, seolah menginterupsiku.
Tanpa sadar aku mundur darinya, kemudian mengangguk takut. Jujur, aku takut jika aku dikerjain lagi seperti beberapa waktu yang lalu.
Aku sempat bingung, apakah menjadi anak badung itu sesuatu yang menyenangkan? Ketika memilih datang telat dan melompati pagar setinggi ini? Apakah bagi mereka itu suatu pencapaian? Seperti sebuh prestasi berharga bagi anak-anak pintar?
Aku melirik bagian lengan Ricky, seragamnya sedikit terkoyak, ada goresan di lengan putihnya. Aku yakin, kawat di atas pagar telah melukainya.
"Maaf." ucapku, dia menarik sebelah alisnya, menatapku dengan bingung.
Ku rogoh plester dari saku rokku, kemudian ku ulurkan padanya. Seharusnya, aku tidak bersikap seperti ini. Seharusnya aku diam saja dan tidak perduli, andai saja bisa, lebih baik aku bersikap seperti itu.
"Apa?"
"Lengan lo."
"Oh." Jawabnya, mengambil plester dari tanganku kemudian berlari pergi.
Aku baru sadar sekarang, dia berubah, ada yang berbeda dari dia yang dulu. Ya, rambutnya, rambut panjang yang dulu sekarang lebih pendek dan rapi. Aku tidak tahu, bagaimana bisa siswa badung menuruti perintah kepala sekolah? Aku fikir, mereka hanya akan memasukkan ucapan orang-orang dari telinga kanan kemudian mengeluarkannya ke telinga kiri begitu saja. Apakah, Ricky itu beda?
Ah, tidak mungkin.
@@@
"Elo pasti capek? Gue gak tega lo jadi anggota OSIS deh, pengen gue samperin aja mereka! Enak aja sahabat gue diginiin coba! Untung tuh si kepala preman lagi baik, coba kalau enggak, elo pasti udah disakitin ama dia Nilaaam!!!"
Andai saja aku tak membutuhkan kegiatan OSIS untuk penunjang beasiswaku. Pastilah aku dengan senang hati keluar dari sana, dan benar-benar fokus belajar dari pada harus jadi babu mereka. Tapi, mau bagaimana lagi. Syarat mutlak dari SMA Pelita Mulya untuk anak yang menerima beasiswa adalah mengikuti salah satu kegiatan organisasi. Dan menurutku, kegiatan organisasi yang bermanfaat adalah OSIS ini.
"Elo harus tegas, Lam. Mau sampai kapan sih elo kayak gini?"
"Gue gak mau ribut La, Gen... jadi menurut gue, itu cara satu-satunya biar gak memperpanjang urusan, gue males ribut."
"Bukan males tapi ini tentang hak elo."
"Udah deh sayang, kalau Nilam bilang gitu kita bisa apa? Biarin aja, ntar kalau udah nggak sanggup paling nangis ke kita."
"Eh apa? Sayang? Sejak kapan gue jadi sayangnya elo?!" pasti bertengkar lagi, sudah kebiasaan.
"Kalian pulang dulu ya, gue ada piket hari ini. Setelah itu mau ke toko buku."
"Kami temenin!" semangat Lala, tapi aku tidak mau meropotkan mereka.
Genta ngangguk semangat, sambil ngerangkul bahu Lala, tapi Lala langsung melepaskan rangkulan Genta.
"Gak usah deh, kalian balik dulu aja."
"Tapi nanti kalau lo diapa-apain gengnya Ricky gimana?"
"Gak kok tenang aja." Sok tenang, itulah aku, sok jagoan, itu juga aku.
"Yakin?" tanya Genta ragu, aku mengangguk lagi.
Mungkin....
"Nilam, Mama gue sakit nih, sorry gue gak bisa paket hari ini ya?" untuk kesekian kalianya Salma beralasan Mamanya, apakah dia benar-benar ingin Mamanya sakit?
"Tapi Ma, Echa gak masuk hari ini. Hanya ada kita dan Rian."
"Tuh ada Ricky, kan?" aku lupa, jika teman sepiketku ada Ricky, tapi bukankah dia tidak masuk daftar hitungan? Maksudku, sejak kapan dia ada saat piket? Ada yang berani memarahinya? Atau menyuruhnya? Tidak akan ada.
"Tapi kan ---"
"Thanks ya, Lam." lagi-lagi seperti ini. Tidak apa-apa, masih ada Rian, paling tidak dia membantu, bukan kabur sembarangan. Tapi, kenapa dia juga masih tinggal? Bukankah pelajaran sudah usai dari dua jam yang lalu?
"Elo nyapu aja ya Lam, gue bagian bersihin kaca ama nata bangku."
"Cupu!" seru Ricky, aku yakin, panggilan itu ditujukan pada Rian.
Rian menoleh takut-takut, sambil menyikut bahuku, aku tahu dia ingin minta tolong. Tapi aku pun takut dengan Ricky, apalagi kami hanya bertiga saat ini.