"Kebiasaan, Pak. Bapak juga mekorok." jawabnya,
"Kamu ini! Kamu tahu peraturan sekolah, kan?"
"Bapak juga tahu, kan?" tantangnya, aku tidak berani berbuat apa-apa, saat Pak Hamdan hendak memukulnya lagi, Ricky menunduk. "Peraturan dibuat, seharusnya untuk dipatuhi bersama, jika guru saja merorok di sekolah, masak siswanya gak boleh, Pak?"
"Ricky!"
"Maaf, Pak Hamdan. Saya yang mengajak Ricky ke sini. Maafkan saya, saya akan segera mengajaknya pergi. Permisi."
Ku tarik lengan kekar itu untuk keluar, Ricky tidak menolak. Sentuhan pertama yang ku buat dengan Ricky, sentuhan yang aku sendiri tidak tahu, kenapa aku merasa harus melakukannya.
"Maaf."
"Ya."
Dia langsung pergi begitu saja, sambil mengacak rambutnya yang panjang. Seharusnya, bukan maaf yang aku ucapkan padanya saat ini, tapi kata terimakasih.
Apakah aku salah?
@@@
"Elo tadi ama Ricky di ruang guru? Elo gak salah, kan Lam?" tanya Lala seolah kaget, jujur, aku juga kaget, dan masih tak percaya.
Saat ini kami tengah makan di warung Mang Ujang, letaknya di sebelah kantin sekolah, tempat paling belakang gedung sekolahan.
"Elo pasti dikerjain lagi kayak kemaren, kan?" kali ini giliran Genta yang bertanya, pertanyaan dengan suara nyaring yang aku yakin, siempunya nama mendengar dengan jelas pertanyaan Lala dan Genta karena dia, ada di sini, duduk di pojokan bersama teman-temannya, anak IPS.
"Enggak kok, dia bantuin gue tadi."
"Serius? Dia? Ricky? Si biang kerok sok playboy itu?"
Imagenya memang sudah hancur lama, jadi, jika dia berbuat baik, mungkin tidak akan ada yang percaya, selain para siswi-siswi yang mengejarnya. Aku saja tidak mengerti, kenapa sampai mereka jatuh hati dengan Ricky. Tampan bukanlah satu-satunya jawaban atas pertanyaanku itu, kan?
"Ta, kecilin suara elo, nanti dia bisa denger." bisikku,
"Awas aja kalau dia ngapa-ngapain elo, gue akan buat perhitungan ama dia."
"Sok jagoan lo Ta, palingan elo nanti kabur." sindir Lala. Dan semoga, mereka tidak bertengkar lagi seperti biasa.
"Rick, elo ditantangin lagi tuh ama anak Harapan Bangsa, gimana? Terima gak nih?"
Olan, si tubuh besar datang dengan nafas ngos-ngosan. Seolah Ricky adalah ketua geng mereka yang menerima laporan dari anak buahnya. Sementara Ricky? Masih santai dengan gayanya sambil menghisap batang rokok, entah sudah keberapa.
"Banci lo Rick kalau gak terima."
"Bener tuh kata Rendy, Rick. Ini pertaruhan harga diri."
Aku hanya jadi pendengar, berusaha tidak mengurusi orang-orang itu, tapi aku tidak akan tahu, bagaimana jadinya jika salah satu OSIS tahu, yang jelas OSIS itu bukan aku, karena aku paling tidak suka mengadu.
"Gue ke perpus aja deh, nanti ketemu di kelas." putusku, sebelum geng Ricky menangkap sosokku dan menjadikan bahan bullyan, lebih baik aku menyingkir.
"Yaelah apes banget kita, ada si anak aneh lagi. Yakin deh, gagal lagi, dan dia akan lapor polisi buat nangkep kita."
Ternyata, mereka sudah tahu keberadaanku.
"Bener tuh Lan, benci banget gue ama anggota OSIS. Sok banget."
"Biarkan aja, di jaman ini kan emang gitu, banyak orang yang sok suci, suka ngadilin seenaknya, sementara tugas kita, berperan jadi setan. Hukum alam, agar dunia seimbang."
Entah kenapa, ucapan Ricky menyakitiku di titik yang tak pernah aku tahu, dan luka itu, aku tak tahu bagaimana untuk melihat bahkan menyembuhkannya.
Pengadu? Aku bukan seperti itu.
@@@
Aku memang harus meluruskan semua ini, aku yakin Kak Aldi tahu semua, karena dia adalah ketua OSIS, dia yang menyuruh anak-anak OSIS kemarin untuk melerai tawuran antar sekolah. Atau, apakah memang mereka sengaja menjadikanku kambing hitam atas semuanya?
Aku mengurungkan langkahku menuju perpus, tujuanku sekarang ruang OSIS, ruang yang beberapa hari ini sepi, entah kenapa.
"Hay, Lam." sapa Sekar, teman sekelas sekaligus teman OSISku. Sudah sepuluh hari ini dia tidak masuk karena sakit, dokter yang merawatnya mengatakan jika Sekar terlalu banyak fikiran. Dan aku tahu, apa sebabnya dia seperti itu, ya sekolah ini, dan seluruh penghuninya.
"Di mana Kak Aldi? Lo tahu?" Sekar menoleh, menunjuk ruang bersekat di ujung ruang OSIS.
"Rapat, ama Maya." jawabnya.
"Elo?"
"Gue harus ngetik ini."
"Biar gue bantu, ya."
Mana mungkin aku tega, membiarkan Sekar mengetik tumpukan berkas itu sendiri? Sekar baru sembuh, dan Kak Aldi sudah tega memberikan tugas begitu banyak. Aku tahu, perilaku buruk ini bukan hanya Kak Aldi saja yang melakukannya, tapi semua, karena Sekar, tak ubahnya sepertiku, juga Rian. Menjadi korban bully-an dan dimanfaatkan orang-orang.
"Nilam, elo dateng?!" Maya terkejut, melihatku duduk bersama Sekar, seharusnya dia tak menampilkan ekspresi seperti itu. Meski aku tahu, siapa orang yang meninggalkanku sendiri waktu itu.
Ya, aku dijebak mereka.
"Kak Aldi, Maya, bisa bantu kami? Dokumennya banyak yang harus diurus."
"Tapi gue repot, Lam. Gue harus ngurus yang lainnya."
Alasan.
"Gue juga sama kayak Kak Aldi. Gue harus meriksa gedung olahraga."
Aku tak percaya.
"Tapi ini –"
"Yaudah ya Kak, gue pergi dulu."
Belum sempat aku melanjutkan ucapanku, Maya seolah menghindar, bahkan dia tak mau bertatap mata denganku. Aku tahu, dalam lubuk hatinya dia menyesal, atau merasa bersalah, mungkin.
"Kak Aldi."
"Ada apa lagi sih? Lo manggil mulu!" tanyanya marah,
Pantaskah dia marah?
"Soal insiden itu, apakah Kakak yang memanggil polisi?"
Dia diam, tidak menanggapi pertanyaanku, seolah ucapanku hanyalah angin lalu, dan jujur, itu membuatku sedikit kecewa. "Apa Kak Aldi yang jadiin gue kambing hitam waktu itu? Maksud gue, kalian sengaja nyuruh gue kemudian bersembunyi? Apa itu –"
"Bukan! Kenapa sih lo masih ngebahas hal ini?!"
Bohong! Aku tahu dia berbohong,
Bahkan matanya tidak bisa menampik jika dia tengah berbohong, bagaimana bisa, dia mengorbankan satu anggotanya untuk jadi bulan-bulanan preman sekolah karena hal seperti ini?
"Gue gak percaya, gue yakin Kak Aldi –"
"Kalau iya kenapa sih, Lam? Masalah banget buat elo?!"
Ya tentu, karena semenjak saat itu mereka lebih membenciku dari sebelumnya.
"Gak usah ribet deh, lagi pula, gue yakin kok. Mereka gak akan ngapa-ngapain elo, karena elo itu cewek! Jadi, cukup terima nasib aja kalau mereka ngeledekin elo, gak bakal berani mereka mukul elo, karena gue yakin, mereka gak akan mau disebut banci, ngerti?! Ganggu aja!"
Dia pergi, sambil membanting pintu dari luar. Sementara Sekar, dia menguatkanku dengan menggenggam erat pundakku. Mana mungkin dia akan membelaku seperti Lala? Karena aku tahu, Sekar tak ubahnya sepertiku, manusia yang tak akan pernah bisa membela haknya.
"Gue denger kabar itu, dan gue gak percaya mereka ngelakuin ini, Lam. Elo yang sabar ya, gue yakin kok, Ricky dan teman-temannya gak akan lama gangguin elo, percaya deh."
Ya, semoga, meski aku tidak yakin apakah itu benar atau tidak. Meski aku tidak yakin, mereka akan dengan cepat melupakan masalah ini atau tidak.