Chereads / Lady Advocate / Chapter 29 - Chapter 28: Perpisahan Yang Menyakitkan

Chapter 29 - Chapter 28: Perpisahan Yang Menyakitkan

"Ambil jalan ke kiri, pacu secepatnya!" teriak Xavier.

Punggungku berpeluh. Jam digital yang bersatu dengan meter motor menunjukkan angka 11:40 menit. Aku terus melafalkan doa-doa pendek yang kuhapal. Berharap jalanan tersibak seperti Nabi Musa membelah laut dengan tongkatnya. Doaku terkabul. Motor kami melaju tanpa halangan.

Di depan kami, gedung berlantai tiga yang dimaksud Johan terlihat atapnya. Tetapi, satu halangan lagi menanti: Xavier masih terjebak macet. Tanpa drone sebagai penunjuk, kami seperti memasuki gua gelap dengan puluhan monster yang siap menerkam. Namun, tidak ada kata mundur. Sepuluh menit lagi permainan Russian Roulette akan berakhir. Jika kami tidak tepat waktu, maka polisi akan menemukan dua tubuh manusia yang tak berbentuk.

Johan menarik gas, kemudian mematikan mesin motor, membiarkan motor melaju tanpa suara. Motor memasuki area gedung yang kami incar. Gedung itu lebih tepat disebut sebuah rumah mewah nan besar bergaya klasik Eropa. Lantai satu tertutup sempurna oleh pagar tembok setinggi tiga meter dengan kawat berduri yang melingkar di atasnya. Pintu pagarnya adalah pintu besi bersayap yang bisa dibuka dengan dorongan tenaga penuh.

Di lantai dua dan lantai tiga, terdapat balkoni dengan pintu tertutup rapat. Puluhan lampu yang ditata dengan sinar temaram membuat rumah mewah ini seolah tertidur di tengah peliknya kehidupan Kota Jakarta. Puluhan kamera pengintai kecil terpasang di setiap bagian tembok.

Tidak ada jalan untuk menyatroni rumah mewah ini tanpa ketahuan. Sementara kekuatan tambahan dari Xavier masih terlalu jauh. Menunggu drone yang akan diluncurkan Xavier membuat waktu kami habis terbelit time limit yang telah ditetapkan para bajingan itu.

"Xavier, masih jauh kah?"

"Lumayan. Mobilku tak bisa gerak!" jawab Xavier panik.

"Tidak ada cara lain. Kami akan masuk tanpa pantauanmu."

"Terlalu berbahaya!"

"Apa boleh buat. Menunggu drone yang akan kamu luncurkan terlalu riskan. Kami hanya punya waktu sepuluh menit lagi!"

"Bagaimana kau bisa melewati pantauan cctv dan tembok setinggi tiga meter tanpa diketahui?"

"Menetak dua cctv, kemudian terbang melewati tembok."

"Jangan bercanda, Joy! Mereka akan tahu saat mendapatkan kamera mereka tak berfungsi."

"Itulah yang kuharapkan. Aku berharap dengan menyatroni mereka terang-terangan, menunjukkan bahwa kami sudah datang. Semoga mereka mau menunda eksekusinya barang tiga lima menit!"

"Terserah kaulah. Berhati-hatilah. Begitu aku sampai, akan kuhubungi kalian!"

"Oke, buddy! Terima kasih!" kata Johan menutup pembicaraan.

Johan memberi instruksi padaku dengan tangan kanannya untuk merendahkan tubuh. Kami megendap-endap mendekati kamera terdekat. Suara di earphone kembali rebut. Suara Xavier menahan gerakan kami. "Sylvi, senang berkenalan denganmu."

"Terima kasih, Topan, eh, Xavier. Aku juga senang berkenalan denganmu."

"Sudah?" dengus Johan.

"Oke. Good luck, guys!"

Dahi Johan melipat, matanya mencorong mengamati tembok di depannya.

"Sudah dapat caranya?" tanyaku berbisik.

Dia mengangguk. "Pertama, rusak dua kamera di bagian samping itu dengan trisulamu. Aku akan melemparkan tubuhmu untuk bisa menggapainya. Kedua, aku akan memintamu untuk melempar tubuhku melewati tembok itu. Kemudian, gunakan sepasang trisulamu untuk memanjat dengan menusukkannya ke tembok."

Tangannya bergerak-gerak memperagakan strategi yang dimaksudnya. "Mengerti?"

Kuanggukkan kepala. "Apa senjata ini sanggup menembus batu bata tanpa merusaknya?" tanyaku gamang.

Sayang sekali trisula mengkilap pemberian guruku terpaksa cowel ujungnya bila tak sanggup menahan kerasanya semen dan batu bata.

Bibir Johan terbuka separuh. Dia menatapku geli. "Jangankan tembok, logam pun tembus bila kau gunakan dengan melambarinya tenaga dalam."

"Satu lagi," bisiknya.

"Apa?"

Kami dalam posisi merunduk bersisihan, tubuh kami berdempetan hingga bisa kudengar tarikan napas Johan tanpa bantuan earphone. Lelaki yang telah membuat hatiku disekap getar-getar indah sejak pertama bertemu ini membalikkan badannya ke arahku. Menubrukku, mendekapku erat.

Tubuhku tersentak. Aku bisa merasakan detak jantung yang tertutup baju berlapis rompi anti peluru dan jaket bomber hitam itu mengalir bersama dengus napasnya yang menyentuh anak-anak rambut di telingaku. Dia berbisik di telingaku.

"Aku mencintaimu, Sylvi Wulandari. Mencintaimu adalah anugerah terbesar dari Tuhan untukku. Hanya cintaku yang tidak akan bisa diambil oleh mereka. Cinta ini terbaring dalam jiwaku, tidak dalam tubuhku. Kegelepan bisa menyembunyikan bunga-bunga dari pengelihatanku, tetapi tidak bisa menyembunyikan cintaku padamu."

Hatiku kelepek-kelepek mendengar penggalan puisi Kahlil Gibran yang dimodifikasi oleh Johan. Aku tak kuasa lagi menahan letupan-letupan yang selama ini kutahan. Tak kupedulikan lagi kalimat-kalimat indah untuk membalas cintanya. Kuhempaskan seluruh isi hatiku kala bibir Johan menyentuh bibirku, memagutnya lembut penuh rasa.

Aku terbuai bersama gelora cintanya. Bibirku hangat dalam dekap kerinduan yang membara laiknya embun delusi. Untuk pertama kali dalam tarikan napasku selama dua puluh enam tahun, kurasakan nikmatnya ciuman lelaki. Dan, aku tak ingin melepasnya.

Napas kami memburu kala lelaki yang telah menanamkan benih cintanya ini melepas pagutannya. Mata kami beradu dalam jarak lima senti. Dengus segar karbon dioksida yang keluar dari hidung Johan menjadi oksigen segar yang kuhirup. Sklera-nya yang putih laiknya danau berair jernih. Mengajakku berenang di dalamnya. Pupilnya yang hitam pekat menjelma menjadi pulau terpencil yang mengajakku untuk menghabiskan masa tua bersamanya.

"Sylvi, sebelum kita menentukan masa depan menghadapi apa yang akan kita lakukan, aku ingin kau berjanji."

"Aku adalah budakmu. Kau bebas menyuruhku apa saja untukmu," kataku tak mau kalah dengan puisi cintanya.

Johan tertawa lirih melihat mataku sayu. Membuat suasana romantis yang tercipta hancur karenanya. "Apa pun yang terjadi di dalam rumah itu, berjanjilah bahwa kau percaya padaku. Percaya akan cinta kita."

Tak perlu ribuan kata untuk memberikan kepercayaanku padanya. Karena aku telah dibutakan cintanya. "Aku berjanji, sayangku."

Deheman Xavier membuat suasana romantis yang coba kubangun lagi semakin berantakan. "Come on, guys … setiap detik kalian berasyik masyuk, setiap detik itu pula nyawa teman kalian berkurang. Now or never, lovers!"

Kami tertawa bersama, saling mengecup pipi, berdiri sambil bergandengan tangan.

"Siap?"

"Any time, Babe."

Kulolosi sepasang trisula dari rangka di punggungku. Kutarik napas panjang. Kuperintahkan kundalini yang tadi melingkar malu kala aku bercumbu menyebar di kedua kakiku. Johan merunduk, menengadahkan kedua telapak tangannya. Aku melompat ke tangannya. Kugenjot kakiku bersama tarikan kundalini. Tubuhku melanting ke atas, dua trisulaku menetak kamera cctv hingga berantakan.

Kini gilaran Johan beraksi. Kusimpan trisulaku kepunggung. Kutengadahkan tapak tanganku. Johan melolosi dua tongkat logam pemukul dari balik jaketnya, menggenggam erat tongkat itu. Dia menarik napas pendek, kemudian melompat ke telapak tanganku. Berbarengan dengan tenaga lontar tapak tanganku, tubuh Johan melanting tinggi, berputar sekali di udara, kemudian lenyap di balik tembok.

Kutarik lagi trisulaku. Kuperintahkan kundalini menyalur ke tanganku. Aku mendorong sepasang trisula dengan seperempat tenaga dalam. Hasilnya sungguh luar biasa. Tembok batu berubah menjadi lembek. Cepat kukerahkan tenagaku ke tangan kanan, kuangkat tubuhku dengan mengganduli trisulaku. Aku melakukan lagi gerakan sama dengan tangan kiri. Demikian berulang kali kulakukan dengan kecepatan penuh hingga tembok setinggi tiga meter terlampaui hanya dalam tiga kali gerakan beruntun.

Di balik tembok, Johan sudah menungguku. Kedua tangannya memegang tongkat pemukul. Matanya nyalang memperhatikan keadaan sekeliling. Rumah mewah berlantai tiga yang hanya terlihat bagian lantai tingkat dua dan tiga ini terlihat jelas di hadapan kami.

Seperti lantai di atasnya, lantai satu bernuansa klasik Eropa. Berhalaman luas dengan taman asri ditumbuhi berbagai bunga. Air mancur berdiri anggun di tengah kolam ikan, memancurkan air berkelipan hasil pantulan lampu led di sekitarnya. Menjorok ke depan mendekati pintu utama, tiga orang berperawakan tinggi besar mengenakan kaos tanpa lengan berdiri sigap di depannya. Lengan mereka menyembulkan daging dengan otot besar, mengkilat tertimpa sinar lampu yang menempel di atap. Golok panjang terbungkus rangka kulit tersampir di pinggang masing-masing.

Tinggal lima menit lagi dari waktu yang ditetapkan. Tidak ada cara untuk mengulurnya kecuali menyerang mereka dari depan. Menimbulkan keonaran, menarik perhatian orang-orang di dalam dengan harapan mereka sejenak menunda eksekusi.

"Xavier, kau sudah siap di tempat?"

"Sudah. Sebentar lagi mengudara," balas Xavier.

Kami menarik napas lega. Tapi, menyiapkan drone dengan segala tetek bengeknya membutuhkan waktu.

"Tidak ada waktu lagi, kami akan menyerang. Bila sudah sampai, cepat kau pandu kami."

"Oke, Bos!"

Johan mengalihkan pandangannya ke arahku. Nada lembut mengalun dari bibirnya, "Bisa kita mulai, Honey?"

Kuanggukan kepalaku tegas.

"Sekarang!" perintahnya.