Kami berlari secepat kekuatan kaki membawa tubuh melaju. Tiga orang berpenampilan kasar terkejut melihat dua sosok hitam memapak dari depan. Mereka tidak menyangka kami nekat menyerang tanpa bantuan pihak lain. Mereka memegang gagang golok mereka, bersiap menyambut kedatangan kami.
Tenaga dalam yang mengalir ke kaki membuat langkah kami seperti melayang di udara, hingga belum sempat golok mereka tercabut dari rangkanya, tongkat di tangan kanan Johan menggebuk leher, sedangkan tongkat yang kiri menimpa dahi. Dua orang penjaga dempal itu mendelik, kemudian memeram. Tubuh keduanya ambruk ke lantai dengan otak terguncang. Mereka tidak mati. Tapi tertidur lama dengan otak terguncang.
Trisulaku pun secepat tongkat milik Johan. Menggeprak kepala seorangnya lagi dengan keprakan tidak dilambari tenaga penuh. Seperti dua temannya, dia menggelepar. Pingsan hingga esok hari.
Seolah debur gelombang membelah karang, belasan laki-laki dengan pedang di tangan merangsek maju dari dalam rumah. Kami saling memunggungi, bergerak masuk ke dalam rumah sambil menghadapi terkaman puluhan senjata tajam yang mengurung. Ruang dalam rumah yang sangat luas diisi guci, kursi, sofa, meja, almari, berubah tumpang tindih akibat terjangan tubuh-tubuh musuh kami yang bergelimpangan sambil memegang bagian-bagian tubuhnya. Puluhan batang pedang tanpa henti berdentang melawan sepasang tongkat dan sepasang trisula.
Aku meminta Johan untuk tidak membunuh jika keadaan tidak sangat memaksa. Membuat mereka pingsan, atau kesakitan dan tak bisa meneruskan perlawanan, adalah tujuan kami menyerang mereka. Trisulaku seolah mempunyai mata. Setiap sabetan atau tusukan senjata tajam yang datang bisa kutangkis. Kemudian menyusulnya dengan jurus-jurus yang mengarah ke bagian lemah di tubuh meraka.
Belum juga napasku ngos-ngosan, sebelas penyerang kami bergelimpangan pingsan. Banyak dari mereka berteriak kesakitan dengan mendekap tulang kering, tulang punggung, dan tulang pinggang yang patah.
"Waow, hebat. Kalian layak dapat bintang!" teriak Xevier histeris dari alat komunikasi yang terpasang di telinga.
"Jangan bercanda! Di mana para sandera?"
"Sebentar."
Kami bergerak pelan mengelilingi seluruh ruang rumah sementara drone Xavier berkeliling di atas rumah.
"Dua orang dalam keadaan terikat di kursi di lantai tiga. Dijaga lima pengawal. Hati-hati, guys, aku menghitung termasuk begundal yang tergeletak pingsan di lantai bawah, ada sekira tiga puluh tiga titik panas tubuh yang bisa kutangkap. Tiga di halaman depan dan sebelas di lantai satu, sisanya menyebar di lantai dua dan lantai tiga. Beberapa di antaranya membawa pistol berperedam."
"Xavier, matikan lampunya!"
Xavier beberapa detik terdiam. Kemudian berteriak kegirangan. "Ini yang kusuka dari rumah-rumah orang kaya. Semuanya menggunakan system yang tersambung elektrik."
Johan memberi isyarat padaku untuk memakai kaca mata infra red.
"Matikan lampunya. Sekarang!"
"Done!"
Rumah berubah menjadi layar hitam putih dalam kaca mataku. Panas yang dipantulkan dari tubuh dan benda-benda di sekeliling kami menunjukkan kemana sebaiknya kami melangkah. Johan menunjuk lantai berikutnya.
"Awas! Lima orang di anak tangga. Semuanya memegang pistol!" Nada Xavier berubah panik. "Tunggu! Mereka juga mengenakan kaca mata infra merah!"
Kami tidak peduli lagi dengan pemuda yang terus berteriak memberi peringatan kala dari lantai dua suara pistol berperedam menyalak. Kami bergulingan. Bersembunyi di balik sofa, kemudian meloncat dari satu kursi ke kursi lain menghidari setiap butir timah panas yang mengejar.
"Xavier, mereka menggunakan pistol jenis apa?" teriak Johan di sela desingan peluru.
Alat komunikasi terdiam sebentar, kemudian terdengar sahutan dari Xavier. "Glock 19 berperedam!"
"Sylvi, ikuti arahanku. Magazen di pistol mereka berisi lima belas butir peluru. Tunggu hingga mereka mengisi ulang."
"Baik!"
Lima pistol terus menyalak menghamburkan peluru. Kami berjumpalitan menghindar, kadang menangkis butir timah panas dengan memutar senjata bila tak ada kesempatan mengelak. Beberapa detik kemudian hujan peluru berhenti. Suara magazen berjatuhan di lantai terdengar nyaring.
"Sekarang!" teriak Johan.
Kami berlari cepat sambil mengeluarkan pekikan perang. Menaiki tiga anak tangga sekaligus, menggunakan pagar tangga di kedua sisi untuk tumpuan kaki melompat ke atas. Johan jumpalitan ke sisi kiri, aku ke sisi sebaliknya. Lima penembak yang sibuk mengisi ulang magazen-nya tak menyangka kami bisa bergerak laiknya burung sriti. Terbang cepat ke atas, kemudian turun ke bawah membawa hawa kesakitan.
Tiga orang di sisi kiri mengeluh berberengan ketika tongkat di tangan Johan menerpa tangan dan kepala mereka. Duanya lagi di sisi kanan mendekap bahu dan kepalanya terterpa pukulan logam trisulaku.
Belum juga kami bernapas, delapan orang dari lantai tiga merangsek maju menggunakan pedang panjang khas samurai Jepang. Johan meladeni lima penyerang, tiga lainnya kulayani dengan trisulaku. Luas lantai dua lebih sempit dibanding lantai satu, membuat gerakan kami tidak sebebas sebelumnya. Namun, pedang panjang khas samurai Jepang di tangan mereka memberi keuntungan tersendiri kepada kami. Di ruang sempit dipenuhi sepuluh orang yang sedang bertarung, membuat pedang panjang mereka tidak bebas bergerak.
Sepasang tanduk trisula di tangan kananku dengan gampang mengapit batang pedang mereka, mengungkitnya dengan sentakan, melepasnya dari genggaman. Sebelum mereka menyadari, trisula di tangan kiriku bergerak menyabet dan mengetok. Dalam sebuah serangan yang hampir bersamaan dengan teriakan Johan, satu penyerangku yang tersisa berkelejotan di lantai dengan kepala retak.
Kalau saja kugunakan semua tenaga dalamku, aku yakin otak yang terlindung batok kepalanya akan ikut beguguran. Delapan tubuh bergelimpangan. Rintihan dan teriakan semburat dari mulut mereka.
"Good job, Guys!" Suara tepukan tangan mengiringi kalimatnya saat menyaksikan jagoannya bisa mengalahkan lawan-lawannya. "Hebat. Kalian seperti Dare Devil dan Electra," lanjut Xavier.
Johan mendengus tersinggung. "Kau pikir mataku buta! Kenapa gak sekalian si Buta Dari Gua Hantu?!"
"Iya juga sih, Bro."
"Sudah. Nanti saja bercandanya!" bentakku.
"Tuh, kan. Pasti cepat marah. Bisa cepat tua, Bu Advokat," dengus Xavier.
Tak urung aku ikut menikmati canda mereka di tengah kegentingan yang mencekam. Sedikit senyum bisa meredakan kepanikan dan ketegangan.
"Kamu, sih. Bukan Johan yang Dare Devil, tapi aku!" timpalku pura-pura kesal.
"Kenapa?" tanya Johan dalam nada rendah. Tanpa berbisik pun suaranya jelas merasuki gendang telingaku lewat earphone yang tak pernah lepas di daun telinga.
"Karena … Karena, aku telah buta. Cintamu membutakan mata hatiku," bisikku mesra.
"Cihuuy … Masok Pak Eko!" teriak Xavier hingga membuat telinga kami berdenging.
Kalau saja kaca mata infra merah yang kupakai bisa menembus tubuh manusia, aku ingin melihat seberapa hebat detak jantung Johan mendengar rayuanku. Kucari bola matanya, tapi yang kucari tersembunyi di balik kaca mata hitamnya.
"Stay focus, Guys. Xavier, tinggal berapa lagi?" kata Johan mengalihkan pembicaraan.
"Tinggal dua sandera dan empat orang lagi di lantai tiga."
Seiring Xavier selesai memberi informasi, sebuah suara dua benda saling bertabrakan terdengar keras. Itulah kalimat terakhir yang kutangkap dari alat komunikasi di earphone. Tidak lama berselang, ruangan berubah menjadi terang. Lampu-lampu yang tadi dimatikan Xavier telah menyala kembali. Johan berulang kali memanggil nama Xavier, namun tak ada jawaban. Johan melepas kaca mata infra merah dan earphone di telinganya.
"Xavier ketahuan, Syl. Semoga dia punya kesempatan melarikan diri."
Nada sendu dibalik kalimatnya menunjukkan kami harus mengatasi empat orang di lantai atas tanpa bantuannya lagi. Johan menyarungkan sepasang tongkatnya di punggung, melirik pistol-pistol yang tergeletak di lantai. Memungut satu, memastikan magazennya terisi.
"Kau akan membunuh mereka dengan senjata itu?" tanyaku ngeri.
"Kalau perlu," jawabnya dingin.
Tindakan Johan bisa kumaklumi. Dalam situasi yang tidak menentu seperti ini, hanya ada dua pilihan: membunuh atau terbunuh. Kugenggam erat sepasang trisula di tanganku. Aku tak tahu apakah sanggup mencabut nyawa manusia bila waktu itu datang menghampiriku.
Kami melangkah perlahan menaiki anak tangga menuju lantai tiga. Kala menapak anak tangga terkahir, wajahku pucat melihat Anto dan Sahat duduk terikat di kursi. Tangan mereka tertelikung ke belakang sandaran. Terikat borgol. Wajah tampan keduanya nyaris tak bisa dikenali. Penuh dengan darah dan benjolan besar.
Anto tertunduk pingsan. Sahat mengangkat kepalanya, menatapku dengan dua kelopak mata yang membesar, kemudian menyemburkan darah dari mulutnya. Bibirnya yang penuh berubah tebal. Ia ingin mengucapkan sesuatu padaku, tapi berakhir dengan lenguh kesakitan. Hatiku serasa dicengkeram baja pengait. Dadaku panas membayangkan siksaan yang telah mereka alami.
Mataku nyalang menatap empat orang yang berdiri dengan setelan jas hitam laiknya bos mafia. Aku mendelik. Amarahku meledak sambil menatap empat orang itu bergantian.
"Kalian bajingan! Kejam! Lepaskan mereka!"
Dari empat orang yang menatap sinis kepadaku, aku mengenali salah satu di antara mereka: penjahat asing yang ingin memperkosaku! Satunya lagi kukira orang yang sebangsa dengannya. Dua orang lagi lelaki separuh baya yang tampan.
Seorang dari mereka beraut wajah dingin, berpostur tinggi tegap, bermuka halus tanpa cambang. Rambut keperakan di bagian dua sisi kepalanya mengkilap tertimpa sinar lampu dari atap. Senyum dan tatapan matanya penuh keserakahan dan kekejaman. Menurutku, dia adalah tipe lelaki yang menghalalkan segala cara dalam merebut kekuasaan.
Penampilan pria separuh baya satunya lagi membuat jantungku berdebar keras. Kala mata kami bersirobok, aku merasa ada tatapan kerinduan di bola mata itu saat menikmati wajahku. Walau mata dan senyumnya juga penuh ambisi dan keinginan kuat dalam meraih kekuasaan, namun dia lebih lembut dalam bersikap. Hidungnya mancung penuh percaya diri. Bibirnya tipis bergurat kesan tak banyak bicara. Sorot matanya mencorong menunjukkan kekerasan hatinya.
Dia berdiri mematung menatapku, mengulitiku dari kaki hingga rambut. Beribu pertanyaan terlintas di pancaran sinar matanya. Kutundukkan pandanganku. Jantungku berdetak keras, tak kuat menerima sorot tatapan itu. Aku seperti pernah mengenalnya, tapi entah dimana. Otakku tak bisa mengingat lagi kala lelaki separuh baya di sebelahnya maju mendekati kami sambil tersenyum bengis.
Aku menimbang langkah apa yang akan kulakukan. Jarak yang memisahkan kami sekira tiga meter. Dengan sekali lompat aku yakin bisa merobohkan dua lelaki paruh baya ini, dan aku berharap Johan pun mampu mengatasi dua penjahat bangsa asing itu. Alih-alih menggertak balik, lelaki tampan dalam balutan jas hitam itu bertepuk tangan. Tertawa keras hingga darahku semakin mendidih.
"Hebat! Kau hebat Ryan!" katanya.
Aku tak tahu siapa yang dia maksud. Hanya ada aku dan Johan, tak mungkin dua orang asing itu bernama Ryan. Tidak pula dua sahabatku yang sedang berjuang dengan deru napasnya yang memburu.
"Tak salah aku membayarmu mahal. Nah, sekarang serahkan rekaman itu!" dengusnya dingin.
Johan menatapku. Pandangannya berubah aneh. Skleranya yang putih berubah kemerahan. Pupilnya membesar penuh tatapan ngeri.
"Berikan padanya, Syl," bisiknya parau.
Aku masih tak percaya dengan pendengaranku. Kutatap dia balik. Kupastikan orang yang berdiri di sampingku adalah Johan, lelaki yang memenuhi mimpi-mimpiku dengan pagutan asmara.
"Berikan padanya, Sylvi!" bentaknya dingin.
"Apa maksudmu, Johan?"
Sengaja kupanggil namanya. Meyakinkanku diriku bahwa dia masih lelaki yang kucintai. Harapanku sedikit demi sedikit menguap seiring gelak tawa lelaki di depan kami.
"Kau bodoh sekali, Lady Advocate! Namanya Ryan. Dia salah satu pembunuh bayaran dari Nakano-gumi, salah satu kelompok yakuza rahasia di Jepang!"