Telingaku serasa disambar geledek. Dadaku memanas tak percaya, membaur dalam kesangsian yang rapuh. Kutatap Johan dengan pandangan beribu pertanyaan dan kepiluan, memohon padanya bahwa apa yang dikatakan lelaki di depanku ini tak lebih dari kabar fitnah. Aku yakin lelaki itu berbohong.
Berusaha kukendalikan otakku. Kubisikkan ke dalamnya bahwa apa yang diucapkannya adalah bagian dari strategi yang membuatku dengan mudah menyerahkan apa yang diinginkannya. Tetapi, tindakan berikutnya yang diambil Johan meneguhkan pernyataan lelaki paruh baya itu.
"Berikan padanya, Sylvi. Atau aku harus membunuhmu," desisnya.
Glock 19 yang tadi di ambilnya mengacung ke arahku. Logam peredamnya terasa dingin ketika menempel tepat di dahiku. Tekanan berat di dada merayap naik ke atas, melewati tenggorokan, melewati hidung, meledak di kedua mataku. Air mataku yang mengambang sejak melihat keadaan dua sahabatku menderita tak mampu lagi kubendung. Pandanganku terhalang butiran air mata kala menatap wajah lelaki yang telah membuatku jatuh bangun merengkuh cinta pertama.
Kualihkan tatapanku dari bola mata ke pistol yang digenggamnya. Aku berharap dia menarik pelatuknya, mengirimku ke dunia di mana tak kutemukan kepalsuan dan kebohongan. Aku tidak takut mati. Karena mati bagiku adalah perjalanan berikutnya yang harus ditempuh semua manusia.
Aku menggeleng pelan. Jelas sudah apa yang terpampang di depanku. Lelaki ini telah mengelabuhiku. Johan menggunakan daya tarik dan cintaku padanya untuk kepentingan diri dan kelompoknya. Perlakuannya, rayuannya, dan ciuman pertama yang diberikannya tak lebih dari tipu muslihatnya. Cinta baginya tak lebih dari sekedar uang dan kehormatan belaka.
"Aku tak takut mati! Bunuh aku sekarang juga!" kataku di tengah isak tangis.
Johan menegang. Tangan yang mengacungkan senjata ke dahiku bergetar. Bibirnya bergerak tak beraturan. Akhirnya bibir itu terbuka bersama kalimat permohonan semu.
"Jangan buat aku terpaksa melakukannya, Sylvi."
Kepedihan yang meretas pilu di pembuluh darahku berubah menjadi kemarahan. Kulepas trisula di tanganku. Sepasang senjata itu jatuh ke lantai. Gemuruh dentang logam bertemu keramik membelah kemampatan udara di sekelilingnya. Kupegang tangan Johan yang memegang senjata. Jari telunjukku mencari lobang pelatuk yang terisi jari telunjuknya. Kemarahanku meledak bersama teriakanku yang tinggi melengking.
"Bunuh aku, Bajingan! Kenapa kau diam saja?! Bunuh aku sekarang juga! Kau lelaki pengkhianat! Tak sudi aku memberikan benda itu padamu!"
Mata Johan mengerjap. Dahinya melipat. Tangannya menyentak kedua tanganku yang menggengam tangannya. Acungan pistol di dahiku berubah arah.
"Kau memang perempuan keras kepala!"
Johan berjalan cepat ke depan melewati lelaki paruh baya di depan kami yang tersenyum sinis penuh kemenangan. Lelaki yang telah mengharu-birukan hatiku itu berhenti dengan mengacungkan senjatanya ke kepala Anto. Kemudian ke kepala sahat, bergantian.
"Akan kubunuh mereka jika kau tetap keras kepala!"
Hatiku semakin ngilu. Aku tak mengira lelaki yang pernah kuharapkan akan menjadi ayah dari anak-anakku ini bisa berbuat keji seperti itu. Sekian lama bersama melintasi waktu berdua dalam kenangan indah, dia tahu kelemahanku. Aku tak takut mati. Tapi aku tak tahan melihat orang-orang yang kukasihi mati karenaku.
Kurogoh kantong celanaku, kuambil flash disk laknat itu. Aku melemparkannya ke lelaki separuh baya yang sedang menatap kami. Dia mengambil flash disk yang terjatuh setelah menimpa dadanya, kemudian terbahak memuakkan. Lelaki separuh baya itu mendatangi salah satu orang asing bermata sipit berkulit kuning yang sudah tak sabaran melihat adegan di depannya.
Ia memberikan flash disk itu kepada lelaki asing itu sambil membungkukkan tubuhnya sembilan puluh derajat ke depan.
"Omatase itashimashita[1]."
Orang Jepang dari golongan yakuza itu mendengus kesal, membentak lelaki di depannya. "Osoi yo omaera! Sassa to yare[2]!"
Aku tak tahu apa arti kalimat yang diucapkan dalam Bahasa ibunya. Setelah mendapatkan benda yang diinginkan, yakuza itu memberi instruksi kepada anak buahnya yang sejak tadi berdiri mematung. Penjahat yang hampir memperkosaku itu mengangguk-angguk sambil menunduk dalam-dalam.
Tanpa pamit pada lelaki paruh baya yang juga sejak tadi termangu, bos yakuza itu meninggalkan kami lewat pintu belakang. Tidak lama kemudian, mesin helikopter beserta baling-balingnya menderu bersahutan. Angin yang dihasilkan dari putarannya merasuk melalui pintu yang menghubungkan lantai tiga dan halaman luas yang berfungsi sebagai helipad. Seiring deru mesin yang menghilang, udara di sekeliling kami berubah beku.
"Nah, Ryan. Bunuh mereka semua sekarang!"
Aku bisa menerka perintah apa yang akan keluar dari mulut busuknya. Tidak ada jalan keluar bagi kami. Aku memilih mati bersama dua sahabatku di tangan lelaki yang telah mencuri hatiku, daripada hidup menanggung semua beban sendirian. Johan mengokang senjatanya, kemudian mengarahkannya ke kepala Anto.
"Tunggu!"
Aku berteriak menahannya. Tangan Johan menggantung di udara.
"Johan, Ryan, atau siapa pun namamu, tolong turuti keinginan terakhirku. Demi kenangan yang telah kita rajut bersama walau itu palsu," pintaku memelas.
Johan menatapku. Sklera dan pupilnya berubah-ubah warna. Lelaki paruh baya di depanku menggeram sengit melihat Johan menghentikan jemarinya menarik pelatuk.
"Tolong, bunuh aku terlebih dahulu sebelum membunuh mereka. Karena, aku tak sanggup menahan kesedihan melihat dua sahabatku menderita akibat ulahku."
"Cepat! Turuti perintah wanita sundal ini!" bentak sang bos.
Johan tertawa lirih. Dalam pandanganku dia telah berubah menjadi monster ganas. Tak ada lagi ketampanannya, tak ada lagi senyumnya yang menawan. Pun, tak ada lagi tatapannya yang sanggup meluluh lantakan hatiku.
"Sabar sebentar, Tuan Herman. Aku akan melaksanakan tugasku setelah bercerita sedikit tentang hal yang menarik."
Aku terperanjat mendengar nama "Herman" disebut. Tanpa bisa kutahan naluri Advokatku mencuat.
"Kau adalah Herman W? Pemilik saham terbesar perusahaan PT. Adiguna?"
Lelaki separuh baya yang sedari tadi tak kuketahui namanya ini mendengus kesal.
"Ya! Akulah Herman Widan, pemilik perusahaan seperti yang kau maksud. Aku sudah memperingatkanmu dan partnermu, jauhi kasus ini! Tapi kau keras kepala. Sekarang, terima sendiri akibatnya!"
"Aku yakin kau tak bisa melenggang bebas setelah membunuh kami. Polisi pasti akan menyelidiki kasus ini. Wajah kami sudah banyak dikenal. Kau tak mungkin lolos!" hujatku.
Dia tertawa sengau. Kepercayaan dirinya yang berlebihan membuat perutku mual.
"Kau kira kami bodoh? Melalui sebuah akun yang rahasia, kami sudah mentransfer ke rekening dua manusia tolol ini masing-masing satu milyar. Kami juga sudah mendapatkan paspor mereka."
"Untuk apa?" tanyaku tak tahan untuk memotong.
Herman Wildan tergelak. "Kami akan menguliti sidik jari mereka, menyuruh dua orang anak buah kami yang berpostur mirip dengan mereka untuk operasi plastik, sekaligus merekatkan sidik jari bangkai kedua sahabatmu ini ke jari mereka. Dengan paspor di tangan, dua orang anak buahku akan terbang berputar-putar ke beberapa Negara, kemudian menghilang.
Aku yakin polisi dan awak media mengira dua Advokat ini telah meninggalkan Indonesia untuk bersenang-senang setelah mendapat dana besar yang entah dari mana datangnya. Klienmu akan dihukum mati, dua sahabatmu mati, kantor pengacaramu tutup, dan kami akan kembali tetap berbisnis seperti sedia kala."
"Bagaimana denganku?"
Lelaki separuh baya yang kejam itu berjalan mendekat, memepetkan tubuhnya ke tubuhku hingga kepalanya hanya berjarak sepuluh senti dari kepalaku. Dia menyeringai, melongok langsung ke bola motaku. Tangannya menyentuh daguku. Kutepis keras jemarinya.
"Kau, hemh, tubuhmu akan menemani dua tubuh mereka di pondasi beton cor sebuah gedung apartemen yang sedang aku bangun. Tentu saja, tidak dalam keadaan utuh. Ya … mungkin beberapa bagian saja."
Kalau saja pistol di tangan Johan tidak sedang mengarah ke kepala Sahat dan Anto, sudah kuterkam pria jahanam ini. Dengan senang hati akan kubenamkan sepasang trisulaku ke jatungnya. Aku yang selama ini selalu menentang hukuman mati-karena bagiku manusia tidak berhak mengambil nyawa manusia lain walaupun itu dibungkus sebuah aturan-namun kali ini aku akan berbesar hati melakukannya. Bagiku, manusia di hapadanku ini tak layak lagi bercokol di dunia.
"Tuan Herman. Sudilah kiranya Tuan mendengarkan cerita saya. Saya yakin Tuan akan senang mengetahuinya." Teguran Johan membuat Herman memalingkan wajahnya. Dia mundur beberapa tapak. Berdiri di antara aku dan Johan.
"Ceritakan. Cepat!" bentaknya dingin.
"Gadis ini, sang Lady Advocate, adalah anak satu-satunya dari Tuan Kusuma!" Kalimat yang meluncur dari bibir Johan membuat tubuh Herman Wildan mematung.
Perubahan mimik Herman berubah cepat. Dari sebuah wajah yang penuh kemenangan berubah menjadi wajah yang penuh kepanikan. Kedua tangannya mengepal keras, bibirnya berkecumik tak karuan.
Aku tak tahu mengapa, namun lelaki paruh baya yang sedari diam menonton bereaksi mendengar cerita Johan. Dia melompat gesit ke arah Johan, mencengkeram kerah baju hitam petugas keamanan yang dikenakannya. Johan membiarkan bajunya tertarik ke depan. Balik menantang tatapan pria paruh baya yang sedari tadi mengetarkan hatiku.
"Apa katamu?!"
"Ya! Dia adalah anak Tuan. Anak yang Tuan tinggalkan berdua dengan ibunya sejak kecil."
Kalimat Johan membuat hatiku bergemuruh tak karuan. Segala rasa mendekapku. Rindu, pedih, senang, sangsi, perih, sepi, bersahutan saling mengisi kekosongan di relung hatiku yang paling dalam. Kutatap lelaki yang cengkeramannya di kerah baju Johan semakin melemah.
"Apa buktimu?" tanyanya mendesis.
"Saya mendapatkan contoh darah anak Tuan setelah saya menolongnya ketika dikeroyok anak buah Dorsi. Darah Sylvi, saya cocokkan dengan contoh darah Tuan yang saya curi dari rumah sakit di mana Tuan pernah dirawat akibat Tipus dua minggu sebelumnya. Hasilnya? Sembilan puluh sembilan persen DNA Sylvi cocok dengan DNA Anda."
Aku tak tahu lagi bagaimana harus bersikap. Tubuh Tuan Kusuma, salah satu pendiri perusahaan PT. Adiguna ini bergetar tak menentu. Dia mengangkat wajahnya, mencari wajahku yang sudah dipenuhi air mata. Ia menatap lama dengan pandangan yang tak bisa kumengerti.
"Tolong … perlihatkan lengan kananmu," pintanya dengan nada mengemis.
Jiwaku serasa terhisap kekuatan hipnotis yang memancar dari permintaannya. Kuturuti kemauannya. Kugelung kain lengan panjang baju petugas keamanan yang kukenakan hingga lengan. Sebuah tanda lahir berbentuk noktah biru sebesar uang koin, yang selama ini kuanggap aib karena mencederai pemandangan kulitku yang mulus, menyembul jelas.
Pria yang dipanggil Tuan Kusuma itu luruh. Tubuhnya jatuh terduduk bertumpu di kedua lutut. Tangannya menutupi wajahnya.
"Oh, anakku … ampuni aku…." Dari sela-sela jemarinya suara isak tangis terdengar memilukan.
Air mataku terus berderai membuat dua anak sungai di pipiku. Ribuan kenangan masa kecil akan harapan hadirnya sosok seorang ayah menyorongkan suasana pilu. Aku telah menemukan lelaki yang selama ini kuimpikan, namun aku menjumpainya dalam sosok tangan seorang ayah yang akan bergelimang darah putrinya.
Suasana mencekam dihuni dua isak tangis menuntun kami pada kenisbian.
Keadaan hening tanpa kata dipecahkan derap tiga pasang kaki yang sedang menaiki anak tangga. Xavier berjalan tertatih dengan mulut berdarah-darah. Di belakangnya, dua pria kekar memegang pistol terarah ke tengkuknya. Rambut Xavier meriap tak karuan. Kakinya berjalan terseok seolah tak mampu lagi menahan beban tubuhnya yang ringkih.
"Sorry, Guys. Aku ketahuan," katanya lirih.
Baik aku dan Johan tak membalas permintaan maafnya. Aku tak tahu apakah Xavier mengerti posisi kami sekarang berseberangan. Tepuk tangan Herman menggema. Bibirnya terbuka lebar melihat reuni dadakan.
"Bagus! Sekali dayung tiga empat pulau terlampaui!"
"Apa yang akan Kau lakukan? Membunuh kami semua?" teriakku mengalahkan gelak tawanya.
"Tentu saja! Nah, Ryan, turuti keinginan gadis ini dulu. Agaknya dia tak sabar pergi dulu membuka jalan bagi teman-temannya!"
Johan bergeming. Dia menatap kami yang hadir bergantian. Matanya bertemu dengan mata Xavier, berpindah ke Herman, Anto, Sahat, dan berakhir di mataku. Detik-detik berlalu lambat. Detak jantung kami berlomba dalam debur ketidakpastian.
"Baiklah kalau kau masih ragu. Aku yang akan memulai."
Herman mengeluarkan pistol dari balik jasnya, kemudian meraih alat peredam dari kantong celananya. Putaran logam yang beradu antara ujung pistol dan alat peredam terdengar nyaring kala kami tak mampu bersuara. Dia berjalan pelan dengan pistol berperedam yang kunci pengamannya sudah dilepas ke arahku. Mengarahkan pistol itu ke dadaku. Irama jantungku semakin tak menentu.
[1] Maaf membuat Anda menunggu.
[2] Lambat sekali Kalian. Cepat selesaikan.