"Bagaimana kamu kenal anak itu?" tanyaku di sela matanya menatap layar monitor yang kembali menampilkan konfigurasi yang memusingkan.
"Biasa, komunitas hacker," jawabnya enteng.
"Kenapa dia menurut dengan perintahmu?"
"Aku pernah menolongnya saat dia hampir saja tertangkap polisi karena meretas situs Kepolisian."
"Untuk apa?"
"Main-main saja."
Kusibakkan belakang rambutku yang lengket di tengkuk akibat kerja pendingin udara tak mampu mengalahkan panas mesin-mesin computer yang menyala. Kugelengkan kepala tak percaya akan dunia maya yang penuh orang-orang aneh. Termasuk Johan.
"Kenapa dia memanggilmu 'Joy'?"
Johan tertawa lirih sambil tetap menatap layar monitor, sementara sepuluh jemarinya bergerak lincah di panel keyboard.
"Nama dunia maya-ku," jawabnya singkat.
Lelaki ini sudah tertular "Penyakit" Xavier. Dia lebih memilih tenggelam dalam dunianya daripada bercengkerama dengan wanita yang mencintainya. Atau, bisa jadi dia lebih mencintai mesin daripada manusia.
"Aku istirahat dulu," kataku kesal.
Seperti Xavier, sahabat dunia maya-nya, tanpa berkata apa pun, Johan menunjuk ruangan di belakang. Kutinggalkan dia sendiri. Kamar yang ditunjuk hanya terisi springbed single lapuk. Kuhempaskan tubuhku yang masih diliputi kekesalan. Kalau suatu hari nanti dia menjadi suamiku, akan kubuang semua komputer yang ada di rumah kami. Penat dan kesal membuatku cepat terlelap. Aku bermimpi Johan dan Xavier berubah menjadi mouse.
Tepukan ringan di kedua pipiku membuat mataku terbuka. Wajah tampan seorang lelaki sejenak membuatku lupa akan keberadaanku. Johan duduk di samping tempat tidur. Sklera-nya yang putih jernih memerah. Mungkin karena terlalu banyak menghabiskan waktu di depan layar komputer.
Aku bangkit dari dipan. Kubenahi rambutku yang awut-awutan. Dia tersenyum melihat aku gelagapan membetulkan penampilan.
"Jangan khawatir, kamu masih terlihat cantik walau habis tidur sekali pun."
Aku pura-pura mendengus kesal. Padahal hatiku berbunga-bunga mendapat pujian.
"Kami menunggumu," katanya lembut.
Dia beranjak meninggalkanku. Secepat kilat aku berlari ke kamar mandi. Setelah mematut sekedarnya di depan kaca, kuturuti perintah lelaki itu. Johan dan sahabatnya duduk menghadap layar komputer yang memunculkan denah sebuah bangunan.
Lelaki tampan yang masih diliputi misteri itu menarik kursi kosong disampingnya. Xavier yang sudah kembali dengan dua buntalan plastik besar bergeser memberiku jalan. Johan menunjuk denah sebuah rumah besar dalam gambar hitam putih.
"Gedung berlantai tiga yang dikelilingi tembok tinggi inilah tempat dua temanmu disekap. Di sebuah kawasan industri berjarak sekitar satu jam dari sini bila jalanan tidak macet."
"Bagaimana cara kita ke sana?" tanyaku penasaran.
Jam sport yang melilit tanganku menunjukkan angka delapan malam. Kami hanya punya waktu maksimal empat jam. Padahal aku memaksa untuk mampir dulu ke apartemenku, yang entah bagaimana caranya kami bisa masuk tanpa ketahuan petugas keamanan. Ponsel dan beberapa alat bukti yang mereka minta sebagai sarat pertukaran harus kami bawa.
"Kita pakai motor berboncengan. Xavier akan membantu kita. Dia akan naik mobilku."
Kulirik pemuda tanggung yang duduk di sebelahku ini. Dia terlihat sangat antusias untuk ikut membantu. Kesangsian merebak menyelimuti hatiku. Untuk apa pemuda kurus ringkih berkaca mata tebal, yang lebih mencintai dunia maya dibanding realita kehidupan ini ikut serta? Johan tersenyum membaca keraguan yang terpancar dari sorot mataku.
"Xavier akan menjadi 'Mata' kita, Syl. Selagi kau tidur tadi, aku dan Xavier telah memodifikasi ruang dalam mobil, menjadikannya stasiun pengintai. Nanti kau bisa melihatnya. Dia akan mengikuti kita dari jarak yang tepat. Meretas sistem keamanan apartemenmu agar kita bisa masuk tanpa ketahuan. Mengambil rekamanmu, dan secepatnya pergi dari sana.
Setelah tidak ada halangan, kita bersama menuju gedung tempat dua temanmu itu ditahan. Mobil yang dikemudikan Xavier akan parkir di tempat yang tak jauh dari gedung itu. Dia akan menerbangkan drone dengan fasilitas kamera penembus tembok, memantau kita saat kita memasukinya. Dengan bantuannya, kita akan mudah melabrak keamanan gedung itu, menemukan dua temanmu, kemudian melepasnya."
"Semudah itu kah?"
"Ya, as simple as that!"
"Seperti di film-film spionase?" tanyaku.
Pemuda kurus kumal itu terlihat sangat menikmati arahan Johan. Tanpa dicegah Xavier nerocos tak karuan. "Yeah! You know … like Bourne Trilogy, Zero Zero Seven, Mission Imposible, Burn After Reading, Argo, Spy Game, Red Sparrow, The Kingsman, The Raid…."
"Xavier, Xavier, cukup, cukup," kata Johan.
Pemuda aneh itu terengah-engah menyebutkan seluruh film action yang terkenal. Kalau saja Johan tidak menghentikannya, aku yakin malam ini kami bertiga akan bercengkerama ditemani popcorn, sebotol soft drink, dan sebuah film action.
"Kapan kita mulai?"
Adrenalinku merambat naik, kundaliniku yang beberapa hari ini terlelap di tempatnya mulai bergejolak.
Johan mengeluarkan sebuah rompi tebal, mengasurkannya ke tanganku: rompi warna hitam dengan berat mencapai sepuluh kilo-an. Dia juga memperlihatkan alat perekam beserta pentul earphone kecil tanpa kabel yang akan kami rekatkan di lubang telinga.
"Setelah mengganti pakaianmu dengan pakaian petugas keamanan ini, pakai jaket anti peluru ini sebelum memaki jaket bombermu. Untuk komunikasi, selalu rekatkan earphone ini di telingamu."
Kengerian merebak menggantikan adrenalin yang tadi sempat memuncak. "Ada adegan tembak menembaknya?" tanyaku sangsi.
"Mantaaap!!" Celetuk Xavier. Giginya yang tonggos semakin maju kala dia tersenyum rekah. Kalau saja dia tidak menjadi bagian penting dari misi ini, akan kurontokkan gigi itu. Dia tipe manusia yang bahagia di atas penderitaan orang lain.
"Untuk jaga-jaga saja. Tapi, jujur saja, menurut hasil retasanku tadi, gedung itu dijaga puluhan orang dengan senjata tajam. Mungkin juga senjata api. Kita berhadapan dengan sebuah organisasi kejahatan yang berlindung dibalik nama sebuah perusahaan, Syl."
"Tidak cukup kah tenaga Kundalini melindungi tubuh dari peluru? Membuatku kebal akan senjata tajam?" tanyaku lugu.
Johan tersenyum lebar. "Kamu ketularan Xavier. Tenaga itu bukan tameng yang terbuat dari metal. Tentu saja masih tak cukup kuat."
Aku kecewa. "Ya … kukira aku sudah berubah jadi wonder woman."
Johan tergelak. Xavier melongo tak mengerti arti percakapan kami tentang kundalini. Penggalan puisi Khalil Gibran yang dilantunkan indah oleh Bu Asep sebelum perpisahan kami terngiang kembali di benakku. "Gagah berani mengatasi halangan dan penderitaan lebih mulia daripada mundur mencari ketenangan."
"Let's do it!" teriakku terbakar semangat.
"Yeah! Shall we dance?" timpal Xavier ikut terbakar semangat.
"Shut up!" bentak Johan.
Tubuh Xavier menciut seperti tikus terjerembab di selokan.
Angin malam menyelinap melalui celah jendela yang terbuka, membantu deru pendingin udara yang tak lagi menyejukkan. Setelah mengecek kembali segala persiapan, dan melakukan testing alat komunikasi yang terpasang di tubuh kami, pantatku sudah duduk manis di jok motor belakang.
Sepasang trisula bertengger di rangka yang terbuat dari kulit sapi dengan tali melilit punggungku. Jaket bomber menutup penampakannya. Johan mempersenjatai dirinya dengan Tactical baton, atau tongkat besi yang bisa memanjang. Xavierlah yang menyediakan semua peralatan yang kami gunakan. Jaman telah berubah drastis, mempunyai teman di dunia maya lebih praktis dibanding teman di dunia realita.
Tanpa diminta, kulingkarkan tanganku ke pinggang lelaki ini. Kupepetkan tubuhku ke tubuhnya. Aku berharap detak jantungku yang berdebar keras saat ini bisa tersampaikan lewat gesekan tubuh kami. Motor sport 250 cc warna hitam keluar perlahan melewati area perumahan, melewati pos penjagaan satpam, menderu keras membelah Jalan Pemuda. Johan memperlambat laju motornya ketika kemacetan mulai tampak di depan mata. Dari kaca spion dia menunggu mobil yang dikemudikan Xavier menyusulnya.
"Hallo, Syl, kau bisa mendengarku?" teriak Johan.
"Tanpa earphone ini pun aku bisa mendengar suaramu dari balik helm."
"Jangan lupa, Xavier di belakang juga bisa mendengar percakapan kita."
"Memang kenapa?"
"Ya … Siapa tahu kamu sedang meracau tentang puisi-puisi cinta milik Khalil Gibran kala jenuh di tengah kemacetan."
Kucubit pahanya yang terbalut pakaian sekuriti warna hitam.
"Bagaimana Xavier bisa mendapatkan semua barang yang kita butuhkan? Rompi anti peluru, senjatamu, rangka kulit trisulaku?"
"Jaman telah berubah, Syl. Mempunyai teman di dunia maya lebih praktis dibanding teman di dunia realita. Tidak banyak tanya, ada uang ada barang. Bahkan aku bisa mendapatkan pistol, M-16, bahkan RPG jika mau."
"Aku juga bisa mendapatkan T-14 beserta Meriam smoothbore 125mm dan senapan mesin 7.62mm yang dipasang di atas turetnya!" timpal Xavier dari dalam mobil yang dikemudikannya. Dia juga tenggelam dalam kemacetan.
"Apa itu?" tanyaku antusias.
"Tank canggih generasi kelima dari Rusia," balas Johan.
"Gila kalian!"
Johan tertawa dibalik helmnya. Jalanan semakin macet tak karuan. Jeritan klakson berbaur dengan lampu mobil yang menyorot. Tiga puluh menit kami telah meninggalkan kawasan perumahan, namun tidak lebih dari dua kilo meter jarak yang bisa kami tempuh. Waktu berputar cepat sedang nyawa dua sahabatku menjadi taruhannya.
Johan memberi instruksi Xavier untuk keluar dari jalan utama. Motornya berbelok ke kanan, masuk ke gang sempit, muncul lagi di jalan beraspal yang rusak. Seperti petugas Dinas Perhubungan yang hapal betul wilayah kekuasaannya, tiga puluh menit kemudian Johan membawa motornya mendekati kawasan apartemenku.
"Kamu di mana, Xavier?"
"Sialan! Aku terjebak macet di Jalan Kemang."
Johan mendengus kesal. "Masih terlalu jauh. Kau cari halaman parkir restoran, pakai drone saja. Terbangkan pesawat kecil itu langsung dari dalam lewat atap mobil."
"Siap, Bos."
Setelah berjibaku dengan kepadatan mobil yang membentu labirin-labirin kecil, apartemenku terlihat di depan mata. Tanpa turun dari motor dan membuka helm, Johan memperlihatkan tanda pengenal penghuni apartemen pada satpam penjaga. Tentu saja tanda pengenal itu palsu. Hasil cetak canggih yang sudah disiapkan Xavier.
Motor Johan memasuki halaman apartemenku, terus melaju ke ruang basement. Cctv yang terpasang di beberapa tempat memantau seluruh aktivitas di area parkir. Johan memarkir motornya tepat dibawah cctv.
Kami turun dari motor, mengganti helm dengan topi petugas keamanan yang kami lesakkan menutupi muka dan rambut. Pakaian satpam warna hitam beserta jaket bomber sekilas membuat tubuh kami laiknya petugas keamanan apartemen yang akan melakukan pergantian shift. Aku berharap Pak Udin tidak bertugas malam ini. Kami berjalan menunduk menuju tangga darurat yang akan membawa naik ke lantai tiga.
"Xavier, kau sudah siap?" bisik Johan lewat mic yang terhubung melalui lata di telinganya.
"Sebentar, Drone sedang otewe," balas Xavier.
"Cepatlah, kami tak punya banyak waktu!"
Xavier tak nenjawab. Jam digital sport yang melilit tanganku sudah menunjukkan pukul sembilan tiga puluh. Kami hanya punya waktu dua jam setengah. Mendapatkan rekaman yang kusembunyikan, kemudian melaju ke gedung tempat Anto dan Sahat disekap.
"Got it! Sekarang kalian bisa naik ke lantai tiga," teriak Xavier dari mobilnya.
"Bagaimana situasinya?"
"Clear. Tidak ada seorang pun di tangga darurat."
Johan menarik tanganku untuk mengikuti langkahnya menaiki tangga. Dalam beberapa kali helaan napas, kami sudah berada di depan elevator.
"Elevator?"
"Aman. Kalian bisa naik sampai lantai tertinggi."
Pintu elevator terbuka tanpa kami menyentuh tombol lantai yang kami inginkan. Tanpa bertukar kalimat dan terus menunduk, sambil menghindari delikan cctv yang terus mengintai, kami memasuki elevator yang membawa ke lantai kamar apartemenku.
Sejak melangkah memasuki area apartemen ini, jantungku terus berdetak keras. Kenangan pilu yang hampir saja merengut kehormatan dan nyawaku menggelayut tak mau lepas. Ayunan duka itu semakin menumpuk di kelopak mata tatkala garis polisi masih terpasang di depan pintu kamarku.
"Kenakan kaca mata infra red-mu," bisik Johan.
Perintahnya sekaligus instruksi pada Xavier yang nun jauh di sana untuk meretas pintu elektrik kamarku. Seolah sulap, tanpa kami menyentuhnya, pintu itu terbuka sendiri. Kami mengenakan sarung tangan agar sidik jari kami tidak bertebaran. Bau pengap memantul dari dalam ruangan.
Sekelilingku berubah menjadi film layar hitam putih. Sofa dan kursi terbalik, dapur berantakan, bercak darah yang mengering, tempat tidur yang sobek akibat sayatan senjata tajam. Semua carut marut itu adalah hasil dari perlawanan hebat yang kulakukan.
"Aku akan berjaga di pintu, cepat kau temukan rekaman itu," desis Johan.
Otakku berpikir keras mengingat tempat kusembunyikan flash disk. Aku tak berharap pada ponsel yang sudah dicuri penyerangku. Dengan berjingkat agar kakiku tak menyenggol perabotan yang akan membuat mereka berubah posisi, aku mendapatkan wadah bermacam bumbu dapur yang isinya masih tetap seperti semula. Kuraih wadah kunir bubuk yang isinya masih penuh. Jemariku merogohnya, kudapatkan flash disk-ku masih terkubur di dalamnya.
"Aku mendapatkannya," teriakku pelan.
"Cepat, kita tinggalkan tempat ini." Suara Johan terpantau jelas lewat earphone yang kukenakan. "Xavier, bagaimana di luar?" lanjutnya.
"Aman. Apartemen ini telah memanjakan penghuninya dengan fasilitas mewah. Setelah masuk, mereka enggan keluar."
"Yang pasti mereka di kamarnya sedang tidak tenggelam dalam game on line sepertimu!" semprotku.
"Ah, betapa menjemukan hidup mereka," balas Xavier.
Seperti saat kami naik, begitu pula saat kami turun. Tanpa kami menyentuh tombol apa pun, pintu elevator terbuka sendiri, turun sendiri, menutup sendiri. Kami menggunakan tangga darurat dari lantai tiga ke lantai basement tempat motor Johan terpakir.
"Cepat! Dua orang berjalan cepat mengejar kalian. Jangan sampai tertangkap!" kata Xavier enteng.
Kami berlari turun, undakan tinggal satu tingkat lagi.
"Berhenti kalian!" teriak seorang petugas kemanan.
Dua pasang sepatu berderap ikut turun. Tinggal satu tingkat lagi, Johan tidak menggunakan tangga, dia melompat langsung dari ketinggian sekira empat meter. tubuhnya meluncur dengan kedua kaki lurus ke bawah. Sol sepatunya yang dilapisi logam memantulkan suara menggema ketika menghentak lantai. Aku yakin dia menyalurkan kundalininya ke tubuh bagian bawah agar tulang kaki kuat menahan berat tubuhnya.
Sekali tarikan napas, kuperintahkan kundaliniku bangun dari tidurnya. Ia merayap ke bagian bawah tubuhku, merasuki ke kedua kakiku. Aku melompat mengikuti jejak Johan. Sepatuku mengeluarkan suara nyaring dalam hentakan yang sama seperti sepatu Johan. Dia tersenyum melihatku "Terbang" mengikuti jejaknya.
"Area parkir?" tanya Johan.
"Clear! Cctv juga sudah kuretas," balas Xavier.
Johan memacu motornya melewati palang pembatas sekuriti yang terbuka sendiri. Ban motornya berdecit saat berbelok di tikungan, sekejap kemudian hilang di tengah kerumunan kemacetan. Lenganku memeluk erat pinggangnya, tubuhku bersandar di punggungnya. Dalam himpitan kendaraan yang bergerak pelan, kutemui kedamaian.
"Bagaimana semua pintu otomatis terbuka?" tanyaku di sela deru motornya.
"Xavier meretasnya," balas Johan.
"Kenapa dia tahu suasana di dalam sana aman, padahal terhalang tembok?"
"Mata Drone yang memberitahukannya."
Kusemburkan napas ketidakmengertianku akan tehnologi terbaru. "Berarti film-film action spinonase yang selama ini kutonton bukan trik kamera?"
Lelaki dipelukanku ini tertawa lirih. "Mereka membuat film nggak asal ngawur, Bu Advokat."
"Jadi semua bisa diretas? Terus, untuk apa ada petugas keamanan?"
"Tidak semuanya, Sylvi. Hanya yang tersambung dengan elektrik. Misal pintu kamarmu, elevator, palang pengaman di pos keamanan. Tetapi, pintu darurat yang menggunakan kunci manual tidak bisa diretas."
"Kalian bisa meretas bank?"
Bayang uang miliaran rupiah yang mengisi rekening dengan mudah membayang. Johan tertawa kecil.
"Tentu saja bisa. Tapi, itu mainan anak kecil. Kami sanggup meretas satelit milik Nasa dan menggunakannya untuk memata-matai seluk beluk gedung yang kami inginkan."
"Kenapa kalian tidak meretasnya tadi? Malah menggunakan drone?"
"Terlalu riskan untuk pekerjaan kecil yang bisa dilakukan Drone."
"Dunia semakin aneh…." Lenguhku.
"Ya, seaneh kalian yang bisa melompat dari ketinggian empat meter setengah tanpa patah tulang," timpal Xavier.
"Kau hebat pemuda aneh!" pujiku tulus.
Semakin malam Kota Jakarta makin semarak di akhir pekan. Hari Jumat habis hari gajian membuat jalanan penuh dengan motor dan mobil. Moda transportasi umum tidak kalah sesaknya dengan kendaraan pribadi. Waktu sudah menunjukkan pukul sepuluh tiga puluh, satu setengah jam lagi Sahat dan Anto akan meregang nyawa.
Posisi gedung yang kami tuju sudah terkunci di sistem navigasi di mobil yang dikendarai Xavier. Melalui alat komunikasi yang bertengger di telinga kami, Xavier memberi arah kemana seharusnya motor bergerak. Penunjuk jalan sebagaian besar tergambar warna merah. Kami harus berputar mencari jalan tikus.
Detik-detik berlalu bak permainan Russian Roulette. Setiap motor kami terjebak kemacetan, serasa pelatuk pistol ditekan. Tidak ada peluru yang keluar. Lolos dari satu kemacetan bertemu dengan kemacetan lain. Revolver berisi satu peluru terus berputar. Dan, setengah jam lagi putaran yang membawa satu peluru akan melubangi kepala Sahat dan Anto sekaligus.