Pagi merekah di balik lereng Gunung Gede telah mengajarkanku menerima sebuah perpisahan dengan harapan akan ada pertemuan bahagia di kemudian hari. Sembilan hari bersama orang-orang yang mengasihi dengan tulus membuatku takut kembali ke dunia yang penuh kekejaman dan nafsu keserakahan. Kalau saja elusan lembut mama, senyum Anto, dan perhatian Sahat tidak terbayang di pelupuk mata, ingin kuhabiskan sisa hidupku berteman wangi daun teh dan dengus sapi di sini.
Kucium punggung tangan Pak Asep. Dia membalas dengan ciuman di dahi. Aku dan guruku berpelukan erat laiknya ibu yang tak ingin melepas anaknya yang pamit merantau. Diciuminya pipi, dan dahiku, disesapnya air mata yang mengalir di mataku. Kebersamaan kami selama sembilan hari telah menyintas waktu berpuluh tahun. Bukan saja wanita anggun ini telah berbagi dalam ilmu bela diri, tetapi juga menyatu denganku dalam untaian puisi.
"Saya pasti kembali. Tubuh dan jiwa saya telah menyatu dengan rumah ini dan penghuninya," bisikku.
Bu Asep melepas pelukannya, berlari ke dalam rumah. Tidak lebih dari tiga puluh detik, dia sudah berdiri di depanku sambil membawa buntalan putih. Guruku mengangkat benda pusaka itu dengan kedua tangannya di depan dahi, menciumnya, kemudian mengasurkan pusaka itu ke tanganku.
"Setelah puluhan tahun tertidur, Trisula ini terbangun dan mengenali pemiliknya. Gunakan sebaik-baiknya untuk kebajikan."
Bibirku tak bisa kugerakkan. Trisula yang menemaniku berhari-hari serasa menggeliat dalam genggamanku, seolah berkata padaku untuk memperlakukannya seperti harapan si pemberinya. Bagiku, menerima anugerah benda pusaka milik keluarga yang sangat diagungkan beserta jurus penggunaanya ini melebihi emas permata.
"Terima kasih, Guru," kataku sendu.
Digenggamnya kedua tanganku. Ditatapnya mataku. "Berhati-hatilah, Anakku. Jadikan tubuhmu menara yang kokoh kala diterpa badai. Tegakkan dirimu bagaikan prajurit di depan musuh dan senjata. Jika kau terbunuh, kau akan mati sebagai syahida. Dan jika kau menang, kau akan hidup sebagai pahlawan. Gagah berani mengatasi halangan dan penderitaan lebih mulia daripada mundur mencari ketenangan."
Kutarik senyum indah mengisi pekik histeri tonggeret di pagi hari. "Tunggu saya kembali, Bu. Bersama, kita akan kuliti puisi-puisi Kahlil Gibran."
Guruku tersenyum mendengar janjiku. Johan memeluk ibu angkatnya, kemudian mencium punggung tangannya. Bu Asep berderai air mata, bahunya bergetar, pipinya yang putih memerah ranum.
"Hati-hati, Nak. Jaga dirimu dan muridku."
Johan mengangguk pelan. Dia beranjak menghampiri bapak angkatnya, memeluknya, mencium ke dua pipi orang tua itu.
"Doakan saya, Pak," bisiknya.
"Kau masih punya hutang pada kami, Nak."
Johan menatap ayah angkatnya dengan pandangan tak mengerti.
"Aku telah bertaruh. Aku berharap kau memenangkan keinginanku untuk bisa makan seminggu penuh sesuai seleraku, plus dekapan sayang dari ibumu."
Istri Pak Asep yang berdiri di sampingnya mencubit perut suaminya.
"Kembalilah kalian dengan selamat, itu saja harapan kami!" kata Pak Asep.
Diiringi lambaian tangan penghuni rumah gedong, mobil SUV buatan Jepang milik Johan melaju pelan. Aku memaksa untuk mengambil kemudi agar Johan sejenak beristirahat. Kubuka jendela mobil, kunikmati oksigen pagi beserta kicau burung.
Untuk pertama kalinya kulewati jalan berkerikil dari rumah ini dengan mobil. Entah siapa yang membikin jalan ini, jalan sempit berkerikil yang cukup untuk satu mobil ini diapit rimbun semak dan rindangnya pepohonan, memberi informasi padaku kalau jalan ini jarang dilewati masyarakat umum.
Johan memberi arahan kemana aku harus membelokkan kemudi, kemana harus menurun, kemudian naik sedikit, menurun lagi hingga membawa kami keluar dari kepungan pohon-pohon rindang. Setelah keluar dari area Dusun Ketipan, jalanan berubah menjadi jalan beraspal.
Kupaksa Johan untuk menutup matanya, mengistirahatkan seluruh beban yang membelit otaknya. Ketegangan dan keheningan yang membekap membuat suasana terasa mampat untuk bicara tentang perasaan kami. Johan menyerah. Dia merebahkan sandaran kursinya, sebentar kemudian dengkur halus terdengar dari hidungnya yang mancung.
Duduk di belakang kemudi membuat otakku tak juga lancar mencerna misteri yang melingkupi kasusku, termasuk misteri latar belakang pemuda ini yang terlalu sedikit kuketahui. Selain keterangan dari Bu Asep tentang masa kecilnya, kelana dia semenjak lulus SMA tak bisa kukorek keterangannya.
Sesekali pandanganku mendarat di wajahnya, menikmati lekuk ketampanannya dari samping, menyesap suara dengkurnya bak suara bayi tidur yang tak punya dosa. Walau belum terungkap lewat kata, sejak pertemuan pertama, debar cintaku pada lelaki ini telah menggunung. Dan itu sangat menakutkan. Karena aku tak tahu apakah cintanya padaku menyamai besarnya cintaku padanya.
Kala sang surya tepat bertengger di atas kepala, mobil melaju pelan memasuki Kota Jakarta. Seperti saat Umam mengantar kami meninggalkan Ibu Kota, kali ini pun kami tidak menggunakan jalan tol, atau jalan umum untuk mengantisipasi pencegatan atau geliat kami yang bisa dipantau aparat Kepolisian.
Berbekal navigasi google map, kutelusuri jalan-jalan kecil, gang-gang sempit hingga membawaku ke pintu gerbang Jakarta. Setelah empat jam tertidur ditemani lagu-lagu lama dari radio di dashboard, Johan menggeliat bangun. Pertama yang ditangkapnya adalah arloji sport yang melilit pergelangan tangan kirinya.
"Maaf, aku tertidur layaknya bayi. Kau tidak capek?"
Tentu saja pantat dan punggungku sudah panas, tapi aku membalasnya dengan senyum cantik. "Aku masih kuat."
"Menepihlah, aku akan menggantikanmu."
Kubawa ban mobil ke luar dari jalan beraspal. Kami keluar dari mobil, meregangkan pinggul, meluruskan punggung, kemudian bertukar posisi.
"Kau ingin makan apa?" tanya Johan. Matanya terpaku melanjutkan laju kendaraan.
"Kita punya waktu untuk makan siang? Bukan kah lebih baik langsung ke tempat tujuan?"
"Kita memang dikejar waktu. Aku harus mengunjungi temanku yang ahli peretasan untuk minta bantuan menemukan lokasi mereka."
"Kalau begitu kita mampir di mini market saja. Beli roti dan kopi kaleng," usulku.
"Oke."
Memasuki Jalan Pemuda, kendaraan semakin padat. Johan membawa mobilnya menyisir pelan menghindari polisi dan cctv yang terpasang di penjuru trafic light. Dia menghentikan mobilnya terpisah beberapa mobil di depan ketika lampu berubah merah, menginjak gas manakala lampu berubah kuning. Seperti adegan di film-film spionase, pria ini mengerti betul bagaimana cara keluar dari kepadatan yang monoton, bagaimana membelokkan mobilnya ketika polisi yang berdiri di perempatan jalan menatap satu persatu mobil yang melintas di depannya. Kadang kala pandangannya beralih dari jalan raya ke spion tengah, ke samping, untuk memastikan tidak ada mobil lain yang menguntitnya.
Menurutku, laki-laki ini tidak tepat memilih pekerjaan. Kemampuannya menguasai tehnologi, penguasaan bela diri yang hebat, kepiawaiannya berkendara, ketampanannya yang sanggup meluluhkan hati wanita, membuatnya layak disebut "Agen 007" daripada seorang supervisor di perusahaan IT.
Johan membelokkan mobilnya ke sebuah perumahan kelas menengah. Tanpa berusaha membuat petugas keamanan perumahan mencurigai mobil yang kami tumpangi, dia mengemudi pelan menyusuri jalan perumahan dua arah. Berhenti tepat di sebuah rumah kecil tipe lima puluh empat berpagar tinggi. Dari luar, rumah ini lebih tepat disebut kandang ayam dibanding rumah tetangganya yang bertaman asri.
Pemilik rumah sepertinya tahu akan kedatangan kami. Sebelum Johan mematikan mesin mobil, pintu pagar bergeser terbuka. Tanpa permisi dia memajukan mobilnya memasuki halaman. Mataku menangkap motor sport 250 cc warna hitam milik Johan bertengger di samping tembok garasi. Pintu pagar bergeser menutup otomatis. Johan memintaku turun dari mobil.
Seperti halnya pintu pagar, pintu rumah itu juga terbuka sendiri menyambut kedatangan kami. Sistem elektronik yang ribet membuat rumah ini layak disebut markas besar sebuah operasi intelejen. Kalau pun bukan, maka pemiliknya adalah orang yang malas bergerak, atau dia seorang disfabel yang menghabiskan hidupnya dengan duduk di kursi roda.
Dengung pendingin ruangan yang menderu berlomba dengan gegap gempita lima monitor layar besar yang menampilkan perang game on line. Enam laptop berbaur dengan tekanan tuts keyboard menyapa kami. Semua jendela ruangan tertutup korden. Suram. Mata kami hanya dipandu oleh cahaya warna biru, merah, dan berbagai warna bergantian yang terpancar dari layar monitor.
Seorang pemuda kurus berambut panjang sebahu asyik memainkan mouse dengan tangan kanannya, sementara tangan kirinya sibuk dengan pizza. Kaca mata tebal bertengger di atas hidungnya yang bengkok. Gigi depannya yang sedikit tonggos asyik mengunyah makanan Itali itu. Dia memakai kaos panjang di dalam, dilapisi kaos pendek di luarnya. Di punggung tangan kanannya yang memegang mouse, terdapat tato gambar seperangkat komputer.
"Kalau mau, ambil sendiri," katanya tanpa menoleh sedikit pun akan kehadiran kami. Suaranya kecil, melengking seperti suara wanita.
Johan meraih sepotong pizza di meja, memberikannya padaku. Dia mengambil untuk dirinya sendiri sepotong yang lebih besar.
"PUBG, hah? Level berapa?" tanya Johan dengan mulut penuh.
Anak muda yang kutaksir belum juga memasuki umur dua puluh tahun itu tidak menjawab. Dia menunjuk tiga layar monitor yang menampilkan game peperangan.
"Wah, hebat! Solo, Duo, Squad, semuanya rangking teratas! Kau tidak curang, kan?"
Remaja itu menelan potongan terakhir pizza di mulutnya. Tekanan di tuts keyboard berhenti. Ia menoleh pada Johan, memicingkan matanya yang sipit ke arah pemuda itu. Pemuda kurus itu kelihatannya tersinggung.
"Untuk apa mencapai level tertinggi bila curang?"
Johan menggedikkan bahunya. Pandangan pemuda kurus dan tonggos itu kembali ke layar monitor, sementara tangannya kirinya bergerak mendekati sepotong pizza yang tersisa. Sebelum tangan itu meraihnya, Johan memperkenalkan aku.
"Ini pengacara yang kubilang itu. Sylvi, kenalkan, dia master of hacker, Topan Sanjaya. Atau lebih dikenal dengan nama Xavier dalam dunia maya. Lebih baik kau panggil dia Xavier saja."
"Sylvi Wulandari," kataku, menyorongkan tangan kanan.
Pemuda itu tidak mengacuhkannya. Geram, kualihkan tanganku yang sudah tersorong ke potongan pizza yang tadi mau diambilnya. Perutku lagi kosong, pizza pemberian Johan tadi sudah amblas ke perut. Dia mendelik. Tak kupedulikan. Aku mengunyah pelan pizza yang sudah dingin itu. Sengaja kukeluarkan kecapan keras mengiminya.
Mimik mukanya yang terpapar warna biru dari layar monitor telihat kesal. Johan tersenyum lebar, gigi putihnya berubah kuning mengikuti pergantian warna layar monitor di depannya. "Apa mau kalian?"
"Aku ingin kau cari lokasi ini."
Johan menuliskan campuran angka dan abjad yang tak kumengerti. Xavier mendengus geram.
"Aaah, kau selalu menganggu keasyikanku saja!" semprotnya.
"Ayolah … kita kan bersahabat," pinta Johan.
Xavier melirik kotak pizza di hadapannya. Mendapati isi kotak sudah kosong, dialihkan tatapannya ke arahku. Disorongkan tangan kirinya. "Kembalikan pizzaku!"
Johan memberi isyarat padaku untuk memberikan sisa pizza separuh kepadanya. Tanpa rasa sungkan karena bekas gigitanku, dimasukkan sisa potongan besar itu ke mulutnya. Pemuda aneh itu mengunyahnya dengan pelan seolah ingin membalas kelakuanku. Tanganku mengepal menahan gusar. Terpaksa kami harus menunggunya dengan sabar.
Setelah potongan pizza hilang di kerongkongan, dia menggeser kursi beroda ke layar monitor yang tidak dipakai. Sebentar kemudian layar komputer berubah penuh konfigurasi abjad dan angka. Johan ikut larut dalam konfigurasi yang semakin bergerak cepat. Tidak lebih dari lima menit, Xavier berteriak, "Goccha!"
Johan mengangkat kepal tangan kanannya. "Thanks buddy, tolong simpan dulu.
Aku bertepuk tangan mendapat posisi yang kami inginkan. "Semudah itu?" tanyaku penasaran.
"Yup. Bagi Xavier tidak ada yang susah kecuali mendapat pacar di dunia nyata," olok Johan.
Pemuda kurus itu mendengus kesal. "Tidak berterima kasih, malah mengolokku!"
"Terima kasih, Xavier." Kuberikan senyum termanisku. Pemuda itu tak menghiraukannya. Mungkin baginya komputer canggih lebih menarik daripada wanita cantik.
"Nah, aku masih punya permintaan lagi."
Xavier menarik napasnya panjang. Tubuh bagian atasnya yang dilapisi kaos membentuk bayangan dada kerempeng. "Apa lagi?"
"Belikan jaket bomber hitam, topi hitam, masker hitam, kaca mata infra red, sarung tangan, sepatu tentara untukku dan untuk Sylvi, seragam sekuriti warna hitam. Semuanya berjumlah dua. Kau bisa mengingatnya, kan?"
"Kau terlalu meremehkanku, Joy. Otakku masih mampu mengingat seratus kali lipat macam barang yang kau inginkan."
"Berapa ukuran sepatu, celana dan bajumu, Syl?"
Aku mengambil pulpen dan kertas kosong yang tergeletak di atas meja. Kutuliskan semua permintaan Johan, kuserahkan pada Xavier. Sekuat apa pun otak manusia, ia bukan komputer yang bisa menghapal detailnya, terutama pemuda aneh yang baru kukenal ini. Bisa saja di tengah belanja otaknya menjadi hang. Pemuda itu menerimanya enggan.
"Kau pakai mobilku. Tapi, ganti nomernya, hati-hatilah jangan sampai menarik perhatian polisi," perintah Johan.
"Ada lagi?"
"Pizza besar satu kotak! Rasa tuna," celetukku.
Johan mengeluarkan segepok uang seratus ribuan. "Sepuluh juta. Cukup, kan? Sisanya belikan barang sesuai keinginanmu."
Xavier atau Topan malas menerima uang itu dari tangan Johan. Ia menyimpannya di tas pinggang kecil. Mendapati nomer mobil yang masih belum kami ganti, Xavier semakin melenguh.
"Huh! Kau amatiran banget, Joy! Polisi dan mafia itu mengejarmu, kau malah nyantai pakai nomer mobil beneran!"
"Gantiin donk,"
"Arghh!! Menyebalkan sekali kalian!" teriaknya sengau.
Sementara Xavier berkutat mengganti nomer mobil, kami menurunkan dua tas ransel dan trisulaku dari bagasi. Di dalam ruangan yang penuh peralatan elektronik berkedip, aku termangu memandangi Johan yang asyik menekuni layar monitor komputer yang tadi dipakai Xavier mencari lokasi yang kami inginkan. Dari garasi, mesin mobil terdengar meraung, sebentar kemudian suara itu hilang ditelan jalan.