Aku tengadah tanpa daya di lubang menganga seukuran tubuh orang dewasa, hanya kepalaku yang berada di luar lubang. Bu Asep mengambil batu bata di sampingnya, menggunakannya untuk mengganjal kepalaku.
"Apa yang akan Bapak dan Ibu lakukan?" tanyaku lemah.
"Kami akan mengubur tubuhmu dengan tanah."
"Maksud Pak Asep, aku akan dikubur hidup-hidup?"
"Ya. Tapi, tidak sampai kepala Neng. Hanya sebatas leher bawah saja."
"Untuk apa, Pak? Apa kah harus seperti ini cara pengobatannya?"
"Tanah ini bukan sembarang tanah, Nak. Aku telah membudidayakan tanah yang akan menguburmu ini menjadi tanah humus yang mempunyai kandungan mineral yang tinggi. Tanah ini banyak mengandung fenol, asam karboksilat, hidroksida dan alifatik, yang berfungsi mengikat toksik ke air. Jadi Tanah ini…."
"Silahkan, Pak. Saya siap."
Kupotong kuliahnya tentang zat kimia dan botanical sebelum berlanjut jauh. Lebih baik berkalang tanah humus dari pada terkekang mendengar ceramah yang tak kumengerti.
Pak Asep mengambil sekop yang bersandar di triplek. Sesendok demi sesendok dia menumpahkan tanah hitam berbau menusuk itu menguruk tubuhku dari kaki merayap naik ke atas. Tanah lembab, hitam, kotor itu sedikit demi sedikit menumpuk menutup kulitku yang kuning langsat. Bu Asep bertugas menjaga agar tumpahan tanah tidak sampai mengenai mukaku.
Tidak lama, seluruh tubuhku terbalut tanah hitam. Sendokan terakhir menyisakan setengah dadaku yang terbuka sedikit. Dengan hati-hati mulut sekop mencurahkan gundukan hitam menutupnya. Bu Asep menutup mata, hidung dan telingaku agar tidak terciprat tanah.
"Ha! Akhirnya selesai sudah," dengus Pak Asep.
"Berapa lama saya akan terkubur seperti ini, Pak?"
"Sampai mendekati adzan Shubuh, Neng. Sabar, ya."
Mataku mendelik. Tidak ada jam di ruangan ini, arlojiku pun telah kulepas di kamar. Tapi kalau tidak salah, sejak aku memasuki kamar ini dan melakukan pengobatan, waktu bergulir baru sekitar dua atau tiga jam-an. Jadi, sekarang masih sekitar pukul sepuluh malam. Aku akan terkubur berkalang tanah humus selama enam jam!
"Ketika terkubur, Neng Sylvi harus tetap dalam keadaan sadar. Tidak boleh tertidur."
Sebelum aku bertanya, Pak Asep sudah menerangkannya terlebih dahulu. "Saat kita tertidur dalam udara dingin, bagian di otak kita yang bernama hipotalamus mengatur suhu tubuh kita menjadi dingin. Neng Sylvi telah mengeluarkan tenaga banyak. Pun, tenaga dalam yang terdapat di salah satu bagian tubuh Neng Sulvi, yaitu kundalini, telah ikut terbangkitkan. Untuk tetap menahan agar tenaga dalam yang sudah terbangkitkan tetap menjalar di tubuh, maka tanah humus dan suhu tubuh yang tetap terjaga akan berperan menahannya."
Keterangan Pak Asep tentang tenaga dalam, kundalini, dan hubungannya dengan suhu tubuh membuat kepalaku pening. Untuk kesekian kalinya, pak tua ini membuatku seperti anak yang baru lulus sekolah dasar.
"Apa itu kundalini, Pak?"
"Kundalini adalah bagian dari tubuh manusia yang berbentuk tiga setengah lingkaran, yang terdapat di antara tulang ekor dan kemaluan di bawah pusar. Bentuknya seperti ular yang sedang bergulung."
Aku manggut-manggut tidak mengerti mendengar keterangan Pak Asep. Sejak aku taman kanak-kanak hingga lulus Magister Hukum, baru kali ini aku mendengar bagian tubuh manusia yang disebut kundalini. Waktu SMA aku memang mengambil jurusan sosial, tapi waktu SMP aku juga belajar biologi. Tapi, aku tak pernah mendengar yang namanya kundalini, atau, mungkin waktu pelajaran tentang bagian tubuh manusia itu aku sedang bolos. Mungkin saat itu aku tertidur.
"Bau apa ini pak?" tanyaku sebelum kuliah tentang kundalini membuatku kepalaku semakin pening.
"Campuran tanah hutan, tanaman yang membusuk, dan kotoran hewan ternak," jawab Pak Asep enteng.
Dia berlalu tanpa peduli mataku yang terpejam setengah jijik, tidak peduli dengan mimik mukaku yang ingin muntah. Pak tua serba bisa itu kudengar membuka pintu. Pak Asep memanggil Johan masuk ke dalam ruangan.
Bukannya senang dengan kehadirannya, teriakan pelan pemuda yang muncul itu malah membuatku kesal. "Waow, kau seperti tunas tanaman. Besok pagi, dari kaki dan ketiakmu akan muncul kecambah," candanya.
"Sekali lagi kau mengejekku, aku akan menarikmu berkubang tahi sapi bersamaku!"
Johan tergelak melihat aku sudah bisa bercanda. Dia mengambil tempat duduk di samping Bu Asep yang sejak tadi menahan kelelahan. Dari bawah, aku bisa melihat jelmaan Nyai Dasima itu berkutat dengan rambutnya yang menggumpal terkena darah muntahanku.
"Nah, Neng Sylvi akan ditemani Nak Johan semalaman. Seperti yang tadi dibilang Bapak, jangan tertidur," kata Bu Asep.
Bu Asep sudah tak tahan lagi, aku yakin dia ingin mandi, membersihkan tubuh hingga wangi, dan kembali menjadi wanita cantik yang anggun.
"Iya, Bu. Terima kasih atas segalanya."
Dia mencium kedua pipiku sebelum mengikuti suaminya yang duluan keluar kamar. Tinggal aku dan Johan di ruang ini ditemani bau muntahan darah, tumbuhan busuk, tahi sapi, tahi kambing dan tahi ayam.
Kunikmati senyap udara kala kebisuan berpadu dengan lampu temaram. Johan bergerser mengelilingiku, memastikan tidak ada semut atau binatang melata yang mendekat. Dia mengambil tempat duduk di sampingku. Aku bisa melihat wajah tampannya yang tersungging senyum melihatku tak bisa mencak-mencak seperti biasanya.
"Ada waktu enam jam. Kita mau bicara apa?" tanya Johan memecah keheningan.
"Aku ingin tahu misteri yang melingkupi hidupmu."
"Misteri apa?"
"Bagaimana seorang pekerja di perusahaan IT bisa mengerti banyak hal, bisa menguasai ilmu bela diri yang hebat? Kisah pertemuanmu dengan orang tua angkatmu? Tentang apa saja yang berhubungan dengan kisah hidupmu."
Johan menggeleng pelan. "Tidak ada yang menarik tentang kehidupanku. Seperti yang pernah kubilang, aku tahu banyak hal tentang kasusmu karena dikelilingi para hacker. Tentang Pak Asep dan istrinya, aku sudah mengenalnya sejak kecil. Aku anak yatim piatu, mereka menyangiku layaknya anak kandung. Tidak ada yang menarik dari hidupku. Justru aku ingin kamu bicara banyak agar kamu tidak tertidur."
Aku mengalah. Percuma mendedas seseorang yang tidak ingin bercerita kecuali dia sedang duduk di kursi sebagai saksi atau terdakwa.
"Apa yang kau ingin ketahui tentang aku?"
"Semuanya," jawabnya singkat.
"Aku dilahirkan di Kota Surabaya. Papa meninggalkan kami tatkala aku berusia dua tahun, dan sejak itu aku dibesarkan oleh mama hingga kuliah. Kuselesaikan masa belajarku tepat waktu. Sambil kuliah Magister Hukum di kota yang sama, aku mengambil Pendidikan Khusus Profesi Advokat, lulus ujian Advokat, magang di kantor Law Firm di Surabaya. Setelah sumpah jabatan di Pengadilan Tinggi Jawa Timur, Anto mengajak bergabung mendirikan kantor Advokat. Sudah. Itu saja. Tidak ada yang menarik dalam kehidupanku."
"Bagaimana dengan papamu? Apakah kau pernah bertemu dengannya sejak berpisah?"
Membayangkan pria muda yang menggendong anaknya sebelum berpisah membuat mataku panas. Kugelengkan kepalaku perlahan.
"Kau masih ingat wajahnya?"
"Tidak. Aku masih umur dua tahun saat itu. Tapi, ada seorang pria yang kerap muncul dalam mimpiku. Entahlah, apakah dia papaku."
"Kau tidak pernah bertanya tentang papamu pada mamamu?"
Wajah mama yang sedih melintas. Aku tertawa pahit. "Dia tidak pernah menjawab. Air mata mama membuatku tak tega mengejarnya. Sudahlah, kita bicara yang lain saja, yang tidak membuat hatiku sedih."
Johan mengangkat kedua tangannya. "Kita ganti topik."
Kuanggukkan kepalaku menyetujui. Buliran air mata yang kadung mengambang tak mampu kuhapus karena tanganku terkubur kotoran sapi.
"Kau sudah punya pacar?"
Kugelengkan kepalaku. Kuusir air mataku yang mengalir perlahan. Aku nelangsa. Pertanyaan pengalihan dari Johan membuat hatiku menjadi lebih pedih. Menginjak umur dua puluh enam tahun aku masih sendiri dibekap sepi. Tak pernah mengenal rasa cinta.
"Jangankan pacar, jatuh cinta pun aku tak pernah," bisikku perih. "Mungkin saat ini," kataku dalam batin. "Bagaimana denganmu? Ada perempuan yang sekarang mengisi hatimu?" tanyaku balik.
Laki-laki di sampingku itu tidak langsung membalas pertanyaanku. Dia mengibaskan semut hitam yang entah dari mana datangnya ingin mendekat menikmati kedutan manis di wajahku.
"Jujur, aku masih sangsi. Pekerjaanku yang sangat sibuk membuatku melupakan itu."
Rasa kecewa bercampur senang merambati hatiku. Kecewa karena dia tidak merasakan apa yang sedang kurasakan, senang karena masih ada kesempatan bagi hatiku untuk memasuki relung hatinya.
"Kita bicara hal lain saja, ya."
"Kan, kamu sendiri yang mengajak bicara tentang hati."
"Iya, sih. Susah bila dua orang jomblo bicara tentang cinta."
Walau aku ingin tertawa lepas, tapi mulutku hanya kubuka sedikit. Karena aku tak mau saat mulutku terbuka lebar, lipan dan binatang melata ikut masuk ke dalamnya. Kembali kebisuan menghampiri, kami terbelit dalam pertanyaan tentang rasa yang tak terungkapkan.
"Bagaimana pendapatmu tentang teori hukum yang dicetuskan Hans Kelsen? Kau penganut madzhab hukum yang mana?"
Pertanyaan Johan membuatku tersentak. Pengalihan tanya jawab darinya menggelitik otakku, membuat rasa kantuk yang tadi menyergap perlahan menguap. Bagaimana dia tahu tentang teori hukum? Lelaki ini semakin diliputi misteri.
"Kau tahu tentang teori hukum milik Hans Kelsen?" tanyaku mencoba mengetahui sampai sejauh mana pengetahuannya tentang hukum.
"Teori hukum Hans Kelsen lebih dikenal dengan teori hukum positif, di mana teori hukum ini membedakan dengan tegas antara hukun dan moral. Dia, Hans Kelsen, ingin membersihkan hukum dari anasir-anasir yang non yuridis, seperti unsur sosiologis, politis, historis, bahkan etis."
Kalau saja tanganku saat ini tidak terbelenggu tanah humus, aku akan bertepuk tangan keras. Sekaligus memaksanya untuk mengaku bagaimana dia tahu tentang teori hukum.
"Kalau menurutmu bagaimana?" Kukejar dia.
"Aku tidak sependapat dengan Hans Kelsen. Menurutku, hukum itu tidak bisa berdiri sendiri. Ia dipengaruhi oleh sosial, politik, dan moral. Aku lebih cenderung menyukai teori hukum utilitarianisme, terutama pendapat dari Jhon Stuart Mill."
"Apa itu teori hukum utilitarianisme? Kenapa kau memilih madzhab itu?"
"Aliran ini meletakkan kemanfaatan atau kebahagiaan sebagai tujuan hukum. Baik buruk atau adil tidaknya suatu hokum bergantung kepada apakah hukum itu memberi kebahagian kepada manusia atau tidak. Karena tujuan manusia adalah kebahagiaan. Semakin banyak kebahagiaan yang bisa diberikan oleh hukum, maka menurutku, hukum sudah berlaku dengan adil."
"Artinya, kau boleh menafikan kebahagiaan individu untuk kebahagiaan banyak orang? Walau pun individu itu benar secara moral dan etika?"
"Ya!"
"Aku tidak setuju."
Pembicaraan kami semakin panas manakala menginjak pembahasan teori hukum lebih mendalam. Berjam-jam kami habiskan untuk menguliti Teori hukum milik Jeremy Bentham, Rudolf von Jhering yang tergabung dalam teori hokum Utilitarianisme yang digandrungi Johan. Dan, berjam-jam lagi kami membahas teori hukum milik Friedrich Karl von Savigny, Henry Summer, hingga Eugen Ehrlich dan Roscoe Pound. Harus kuakui, pria ini semakin menarik hatiku dengan misteri dan chemistry-nya. Dia sanggup mengimbangi pertanyaan-pertanyaan kritisku dengan jawabannya, kemudian mengembalikan pertanyaanku dengan argumen yang membuatku kelabakan menjawabnya. Mata kuliah satu semester di S1 dan satu semester pendalaman di S2 kami lahap dalam waktu enam jam.
Pertanyaan Johan berakhir dengan ketukan di pintu dari luar. Koko ayam terdengar memecah kehingan dini hari. Sesi Tanya jawab tentang hukum sudah selesai, namun Johan masih belum puas juga.
"Kamu belum menjawab pertanyaanku, kau penganut teori hukum milik siapa?"
Tepat saat kepala Pak Asep muncul dari balik pintu, kujawab pertanyaannya yang tergantung. "Teori hukum progresif milik Profesor Satjipto Raharjo!"
Wajah Johan terlihat tidak puas dengan kemunculan Pak Asep. Tapi aku menyambut bapak penolongku itu dengan kegembiraan yang meluap. Aku letih setelah tubuhku berjam-jam terkubur, dan otakku berputar keras mencerna mata kuliah yang telah lama tak kusentuh. Kalau Johan masih penasaran tentang teori hukum itu, kupersilahkan dia mencarinya di toko buku saja.
Bu Asep menyusul sambil membawa jarik baru dan kain basah hangat. Dibantu Johan, Pak Asep mengais tanah humus dengan tangannya, setelah itu meninggalkan aku berdua dengan Bu Asep. Tubuhku dibersihkannya dari tanah yang melekat dengan kain pengelap, jarikku diganti dengan jarik baru, dituntunnya aku keluar ruangan. Prosesi berikutnya adalah mandi air hangat.
Di kamar mandi sudah tersedia satu gentong besar air yang mengepulkan uap. Kubersihkan seluruh tubuhku, kugosok setiap inci kulitku, kubasuh kotoran di rambutku yang menggumpal. Warna air sisa mandi berubah merah kehitaman, campuran antara darah muntahanku dan tanah uruk. Aku mengganti jarikku dengan celana training dan kaos lengan panjang, kemudian membantu Bu Asep.
Sarapan pagi yang biasa dilakukan pukul tujuh dipercepat menjadi pukul enam. Aku berkutat dengan Bu Asep di dapur menyediakan makan pagi cepat saji: nasi putih, telur rebus, tahu tempe dan sambal bawang. Proses pengobatan menunjukkan hasilnya setelah kuisi perutku dengan makanan. Tenagaku pulih, luka jahitan di bahu menyisakan guratan kecil. Pun, dada dan pinggangku tak terasa nyeri lagi. Kala kutarik oksigen lereng Gunung Gede, paru-paruku bekerja dengan sempurna.
Satu hal yang membuatku merasa aneh, seperti ada hawa hangat yang terus berputar melingkar-lingkar di bagian bawah pusar dan di atas kemaluan. Hawa itu tidak mengganggu aktifitas organ tubuhku sama sekali, hanya saja aku merasa belum terbiasa bersamanya. Seolah mengandung calon bayi yang entah siapa bapaknya.