Chereads / Lady Advocate / Chapter 23 - Chapter 22; Kundalini

Chapter 23 - Chapter 22; Kundalini

"Neng Sylvi ingin istirahat dulu atau ingin menjajal tenaga baru?" tanya Pak Asep setelah sarapan.

"Biar dia istirahat dulu, Pak. Neng Sylvi pasti kelelahan setelah tidak tidur semalaman dan mengeluarkan tenaga besar."

Kuberikan senyum indah ke Bu Asep atas keprihatinan dan perhatiannya padaku. "Saya masih kuat kok, Bu. Sebaliknya, saya merasa sangat segar. Seolah dilahirkan kembali."

"Iya, warna kulit muka dan lehermu sudah kembali seperti semula," timpal Johan. Matanya lekat menatapku.

"Oh ya? Sejak kapan kau memperhatikan wajah dan leherku?"

Lelaki yang sedang memegang pisang ini tersipu, dan aku masih ingin mengerjainya. "Ternyata selama ini kamu punya perhatian lebih padaku."

Johan mendelik. Dia semakin salah tingkah di hadapan orang tua angkatnya. Pak Asep dan Bu Asep tergelak.

"Awas, kau!" desisnya saat melewati tempat dudukku untuk mencuci tangan di wastafel.

Cakrawala menyembulkan warna-warni. Semburat indah mencumbui terangnya langit. Halaman di belakang rumah lumayan luas dengan rumput dipangkas pendek. Telapak kakiku telanjang menyerap embun pagi. Kabut menggantung mendekap sisa beku dini hari. Aku berdiri berhadapan dengan Pak Asep yang sudah berganti baju dengan pakaian silat hitam.

Beliau meregangkan persendiannya dengan kembangan jurus silat dan olah pernapasan. Kedua kakinya yang tak beralas bergeser ke segala arah menyerap tenaga yang disalurkan rumput basah. Tidak mau kalah dengan Pak Asep, otot-otot leher, kaki, dan tangan kugerakkan sesuai latihan dasar pemanasan karate dan tae kwon do seperti sebelum melakukan kumite.

Burung bercuit riuh rendah berlomba dengan kokok ayam bersahutan, seolah memberi semangat kepada kami. Di sisi kanan, di tempat yang terkena sinar matahari langsung, Johan dan Bu Asep berdiri bersisihan sambil bersedekap. Seperti suaminya, Bu Asep telah mengganti jarik dan kebayanya dengan celana dan baju silat hitam berlambang kepala harimau mengaum di bagian dada. Rambut sepanjang punggung diikatnya dengan kain hitam di kepala.

Nyai Dasima yang lembut dan anggun telah berubah menjadi pendekar wanita yang cantik dan mematikan.

"Siap, Neng?"

"Silahkan, Pak."

Pak Asep mengawali serangan langsung dengan menjejakkan kedua kakinya ke rumput sembari tangan kanannya ke depan membentuk cakar. Serangannya mengarah ke leherku. Hatiku bergidik. Orang tua ini tidak ingin main-main. Angin serangan yang dihasikan dari tenaga yang diluncurkan tiba terlebih dahulu menerpa wajahku. Kumiringkan tubuhku dengan kedua kaki membentuk kuda-kuda karate, kutebas cakarnya dengan kepalan tangan kanan. Dua tangan berbenturan keras.

Apa lacur? Tanganku seolah menghantam besi. Dan cakar Pak Asep terus meluncur. Cakar itu berhenti setelah kerongkonganku ada dalam genggamannya. Wajahku pucat pasi. Aku belum pernah bertanding dengan lawan yang berumur dua kali lipat dari umurku, dan dengan mudah membuatku bertekuk lutut dalam sekali serang.

"Ba—ba … gaimana mungkin?"

Kalimat terbata yang keluar dari bibirku hilang ditelan gelak tawa Johan dan ibu angkatnya.

Bibir Pak Asep terbuka lebar mengunjukkan gigi depannya yang masih utuh. "Itulah kundalini, Neng."

Otakku diliputi kebingungan. Aku yakin kepalanku bukan kepalan milik wanita biasa, karena aku pernah memecahkan lima batu bata dalam sekali pukul waktu eksibisi karate. Sebelum kebingunganku terpecahkan, Pak Asep menyusulnya dengan kalimat yang membuatku menganga.

"Semua orang pada dasarnya punya tenaga dalam yang tersimpan di tempat kundalini berada. Tinggal apakah tenaga itu sudah dibangkitan atau belum. Dan, tenaga dalam Neng Sylvi sudah terbangkitkan kemarin malam."

"Maksud Bapak, hawa hangat yang melingkar-lingkar di sini?" Tanganku menekan bagian bawah perut.

"Ya, dari tempat itu kita bisa mengerahkannya ke bagian tubuh yang kita inginkan."

"Bagaimana caranya?"

"Konsentrasi, tarik napas panjang cepat, bawa oksigen yang Neng Sylvi serap ke bagian itu. Selanjutnya hawa itu akan mengikuti keinginan majikannya. Neng Sylvi bisa salurkan ke bagian tubuh mana saja yang Neng inginkan. Cobalah."

Kutarik napas seperti yang diajarkan Pak Asep, kubawa oksigen ke bagian bawah perut di atas kemaluan, kutarik kundalini. Hawa hangat yang tadinya melingkar-lingkar seperti mendapat inspeksi mendadak dari atasannya, tunduk dan diam menunggu perintah selanjutnya. Kuperintahkan hawa hangat itu mengalir ke tanganku. Ia ikut mengalir. Dari tangan kubawa ke kaki. Seperti ular kobra mendengar nada seruling, hawa hangat itu menjulur cepat mengalir ke kaki. Perasaan geli dan senang berbaur, membuatku terbahak-bahak.

"Mengerti, Neng?" tanya Pak Asep senang.

"Hebat. Saya merasa seperti punya hewan piaraan di dalam tubuh, Pak."

"Ha ha ha. Nah, sekarang kita coba lagi. Gunakan piaraan itu."

Tanpa menungguku yang masih terkesima dengan mainan baru, Pak Asep menyerangku sekali lagi dalam gerakan yang sama seperti tadi. Aku pun mencoba menangkis dalam gerakan yang sama. Dan, hasilnya luar biasa. Tangan Pak Asep yang membentuk cakar berubah seperti kayu akasia, padat namun lembek. Dengan mudah aku bisa menangkisnya dalam sekali pukul.

"Bagus! Kita lanjutkan!"

Udara dingin lereng Gunung Gede berubah hangat dengan teriakan dan deru napas kami. Kami bergelut dalam gerakan saling pukul, saling tendang, saling tangkis. Hawa hangat di dalam tubuh membantuku melompat lebih tinggi kala kukerahkan ke kaki. Batang pohon Mahoni berdiameter dua puluh senti-an sempal seperempat bagian ketika pukulanku yang dilambari tenaga dalam dielakkan Pak Asep, dan terus meluncur mengenainya.

Aku berteriak kegirangan sambil terus melancarkan serangan tanpa henti. Tubuhku menjadi ringan, deru napasku tak ngos-ngosan lagi. Kekuatan pandangan dan pendengaranku berlipat-lipat. Seluruh organ tubuhku seolah punya mata dan telinga sehingga setiap angin serangan yang mendekat bisa kuantisipasi segera. Aku seolah berubah menjadi super woman, dan berharap semoga Marvel Pictures menjadikanku sebagai salah satu bintangnya bersanding dengan Tony Stark, sang Iron Man.

Harapanku menjadi super hero berubah kala Pak Asep mulai meningkatkan penetrasi serangannya. Tenaga dalamnya yang nyaris sempurna menggempurku dari segala sisi dengan tendangan dan pukulan. Gerakannya semakin cepat. Tenaganya dilipat gandakan sehingga saat tulang kami berbenturan, tulang tangan dan kakiku seolah dihantam besi keras. Pak Tua itu terus mendesakku, tak memberiku kesempatan sedikit pun untuk membalas.

Aku semakin keteteran. Hingga sebuah tendangan yang tak dapat kuelakkan tepat menerpa bahu kiriku. Aku bergulingan, mengaduh sambil memegang bahu kiriku. Bu Asep meloncat, memapahku berdiri, menghadiahi suaminya dengan delikan dan semburan kemarahan.

"Cukup, Pak! Jangan berlebihan begitu! Sylvi kan baru saja sembuh, kalau dia kambuh lagi bagaimana? Aku tak sudi memasak makanan kesukaanmu lagi kalau dia cedera! Laki-laki memang mau menangnya sendiri. Kenapa tidak mengasihani makhluk lemah separti kami?"

Pendekar tua yang telah menendangku itu berdiri menundukkan kepala seperti murid sekolah dasar yang ketahuan mencontek saat ulangan. Kalau saja aku tidak menghentikan semprotan Bu Asep, aku yakin Pak Asep malam ini akan tidur di depan pintu kamarnya.

"Saya baik-baik saja, Bu. Terima kasih."

"Untunglah. Untuk berikutnya, biar Ibu saja yang melatih kamu. Mau?"

Seperti dalam film-film kungfu yang dimainkan Jacky Chan, aku menjatuhkan diri di hadapan Bu Asep, memeluk kedua kakinya.

"Ajari saya, Guru. Saya siap belajar keras menyerap ilmu Guru."

Bu Asep tergelak. Amarahnya yang sempat mencuat hilang entah kemana. "Lebai, ah!"

Otak advokatku mencium ketidakberesan. Tanpa televisi dan jaringan internet, bagaimana mungkin wanita yang berumur lima puluh tahun lebih ini tahu kosa kata anak muda milenial?

"Johan, kau temani Bapakmu berlatih. Biar aku mengurus murid baruku ini."

"Iya, Bu."

Dia menggapai lengan Pak Asep yang masih menunduk merasa bersalah. "Mari Pak, kita berlatih di tempat lain."

Bapak angkat Johan itu mengangguk berkali-kali tanpa suara. Berjalan tanpa pamit mengikuti langkah anaknya. Tidak lama, aku mendengar suara embikan kambing dan lenguhan sapi bersahutan. Jangan-jangan, suami takut istri itu menyalurkan kegeramannya ke binatang ternaknya.

"Nah, Neng Sylvi akan saya ajari bagaimana mengoptimalkan tenaga dalam itu. Harus sabar, dan berlatih keras."

"Siap. Oh ya, Guru. Tolong jangan panggil saya dengan panggilan 'Neng'. Cukup Sylvi saja."

Bu Asep tertawa lirih. "Baik. Dan jangan panggil aku 'Guru'. Membuatku merasa tua. Aku tidak mau kau samakan dengan si 'Sinto Gendeng', gurunya si 'Wiro sableng' itu."

Kami tertawa bersama. Kupeluk Bu Asep yang menyemburkan aroma wangi melati dari tubuhnya. Wanita ini masih memiliki tubuh padat dan kecang untuk ukuran wanita berumur lanjut. Aku akan berguru pada Bu Asep bukan hanya ilmu bela diri, juga ilmu bagaimana merawat tubuh.

Tanpa jedah, Bu Asep mengajariku bagaimana mengoptimalkan tenaga dalam, serta bagaimana menyalurkannya ke bagian tubuh yang kuinginkan. Kusalurkan tenaga dalam ke kaki, maka loncatanku semakin tinggi, lompatanku semakin jauh. Kusalurkan tenaga dalam ke tangan, batu gunung pecah terkena pukulanku. Kami terlalu asyik berlatih hingga Pak Asep bermuka masam mendapatkan makan siangnya hanya nasi sisa sarapan pagi dan telur goreng saja.

Kami terus berlatih hingga matahari tenggelam di ufuk barat. Setelah mandi air dingin, kami berpindah tempat duduk. Saat di meja makan, aku duduk di samping Bu Asep sambil membumbui acara makan malam dengan evaluasi kekurangan dan kelebihanku. Sementara Johan dan Pak Asep asyik dengan masakan yang sama dengan yang dimakan siang tadi: nasi putih, telur goreng, dan sambal bawang.

"Pak, Nak Sylvi hebat, ya. Jurus-jurus yang kuajarkan dikuasainya dengan cepat." Bu Asep membanggakan kemajuanku pada suaminya yang dijawab dengan dengusan pelan.

"Ah, belum juga sempurna, Bu. Mungkin karena sejak kecil saya sudah punya dasar-dasar ilmu bela diri," kataku merendah.

Johan yang duduk di depanku tak peduli. Pria itu asyik mengorek sisa sambal yang sebagian besar dihabiskan lelaki yang duduk di sampingnya. Aku yang sedang terbawa keceriaan guruku mengusik konsentrasinya dengan pertanyaan.

"Johan, menurutmu apa yang kurang dari aku?"

Johan gelagapan, mulutnya kemerahan setelah bertempur dengan pedasnya sambal. "Apa? Maaf aku nggak dengar."

Kumonyongkan mulutku. "Apa kurangnya aku?"

Johan mendelik, menelan suapan besar nasi terakhirnya beserta sambal. Setelah menyorongnya dengan air putih, dia menatapku. Dahinya berkerut. "Menurutku … Kau sempurna sebagai wanita. Cantik, pandai, bisa menghadapi laki-laki yang ingin mengganggumu."

Kalau saja tidak ada Pak Asep dan Istrinya, akan kurebahkan kepalaku di dadanya yang bidang. Alih-alih bermanja ria, kutekuk mukaku pura-pura marah.

"Maksudku bukan penampilanku! Huh, laki-laki mata keranjang!"

Pak Asep yang sedari tadi bermuka masam tertawa diikuti istrinya. Suasana mulai mencair tatkala mereka melihat Johan kebingungan. "Lalu apanya, dong?"

"Kemampuan bela diriku! Apa yang kurang menurutmu!"

"Oooo, itu."

Dia berpikir sejenak, kemudian meneruskan, "Kau lemah bila menghadapi lawan yang memegang senjata. Mungkin karena ilmu bela dirimu selama ini hanya untuk turnamen, bukan untuk bertarung di jalanan."

Kuanggukkan kepala tegas. "Ya! Itu juga menurutku."

Kualihkan pandanganku ke Bu Asep. "Bagaimana, Guru?"

Guruku yang sudah mandi dan berganti baju kebaya dan jarik ini terlihat lebih cantik daripada Nyai Dasima. Rambutnya yang siang tadi dibiarkan terurai sebatas punggung kini disanggulnya. Wajahnya memerah akibat banyak mengeluarkan keringat seharian.

Dia menarik bibirnya lebar, sehingga deretan giginya yang putih seperti biji timun mengkilat tertimpa lampu klasik yang tergantung di atap tepat di atas meja makan.

"Jangan khawatir, Muridku. Kau tunggu di sini dulu."

Wanita yang terlihat lebih mudah lima belas tahun dari umurnya ini beranjak dari kursi, berjalan cepat masuk ke sebuah kamar. Tak lama kemudian, kembali lagi dengan buntalan kain putih di tangan. Pak Asep yang sudah bisa menebak apa isinya terkesima. Aku dan Johan penasaran. Penuh kelembutan dan penghormatan, Bu Asep meletakkan benda di tangannya itu di atas meja.

Seolah ingin membuat aku dan Johan mati penasaran, dia membuka satu demi satu simpul yang mengikat kain putih itu. Aroma bunga melati menusuk hidung. Suara tonggeret yang bernyanyi riang dari hutan lereng Gunung Gede menjadi lagu pengiring adegan Bu Asep membuka benda pusakanya.

"Benda pusaka ini milik nenek buyutku. Aku menjaga dan merawatnya seperti aku merawat bayi yang tak pernah kukandung."

Sepasang trisula keperakan berada di genggaman Bu Asep. Pantulan lampu dari ruang makan, halaman, dan dapur membuat trisula dengan ujung dua sisinya yang pepak memancarkan cahaya putih menyilaukan mata. Bu Asep mengalihkan tatapannya dari senjata yang dipegangnya ke arahku.

"Kau pernah menggunakan senjata ini?"

"Tidak pernah, Bu."

"Coba pegang pusaka ini."

Guruku menyorongkan sepasang trisula ke kedua telapak tanganku yang menengadah. Dingin logam berikut aura dan beratnya membuatku mengerahkan sedikit hawa hangat dari kundaliniku untuk membantu menahannya. Di batang trisula terukir huruf jawa kuno, sedang di dua tanduk di kanan kiri tertulis huruf arab pegon. Aku tak tahu apa arti dua tulisan itu, tapi kalimat yang terukir di senjata itu seolah hidup. Membuat hatiku menciut. Bulu romaku berdiri tegang diliputi rasa bergidik terdesak aroma dan aura senjata pusaka yang menyatu.

"Nenek buyutku pendekar wanita yang hebat. Dengan trisula ini di tangannya, dia sanggup mengalahkan puluhan lawannya. Memang Trisula ini tumpul di ujung dan kedua sisinya, tapi, tidak berarti senjata ini tidak bisa membunuh musuh."

"Justru saya tidak ingin membunuh manusia, Bu. Sejahat apa pun dia, saya merasa tak berhak mengambil nyawanya tanpa diadili terlebih dahulu. Dibalik kejahatan yang dilakukannya, dia adalah anak dari seorang ibu, atau orang tua dari seorang anak yang mengharapkan kedatangannya."

"Hatimu memang lembut, Nak. Aku pun begitu adanya. Nenek buyutku menurunkan ilmu menggunakan senjata ini pada nenek, terus pada ibuku, dan berlanjut hingga ke aku. Ibuku dan aku tak pernah mengambil nyawa manusia sejahat apa pun ia, tidak dengan trisula ini, tidak pula dengan tangan kosong. Tapi, seperti yang dikatakan Johan tadi, kala musuh menggunakan senjata dan kita keteteran, trisula ini bisa sebagai alternatif untuk pertahanan diri."

Kugenggam erat dua gagang trisula di kedua tanganku. Rasa aneh menjalar memasuki permukaan kulit telapak tanganku. Jantungku berdetak keras. Senjata ini bicara langsung padaku, mengajakku untuk berkelana.

"Boleh kah saya mempelajari jurus menggunakan trisula ini, Guru?"

Elusan lembut Bu Asep di lenganku terasa menentramkan. "Tentu saja, Muridku. Besok pagi akan kuajarkan menggunakan senjata ini berikut seluruh kemampuan bela diri yang kupunya."

"Terima kasih, Guru," balasku takzim.

"Dia tak akan mampu menguasainya dalam jangka waktu pendek." Suara Pak Asep yang sedari tadi termangu menyeruak, membuat istrinya menatapnya tajam.

Perang dingin yang sedari tadi mencuat membuat Bu Asep mendengus kesal. "Aku akan membuatnya cepat menguasainya."

"Berapa lama? Butuh waktu bertahun-tahun untuk menguasai jurus itu."

"Muridku sudah punya dasar yang kuat. Aku yakin dia bisa menguasainya dalam waktu seminggu."

Lelaki yang berumur lebih dari separuh abad itu tertawa sengau. "Mau bertaruh?"

"Boleh."

"Yakin?"

"Ayo!" jawab Bu Asep tegas.

Pak Asep menyeringai senang. Pancingannya berhasil digondol istrinya. Guruku yang cantik ini sedang dalam euphoria mendapat murid baru.

"Kalau dalam seminggu ini Neng Sylvi bisa menguasai jurus trisula sakti itu, dan bisa menghadapi Johan dalam sepuluh jurus, maka Diajeng harus memanjakan aku dengan kasih sayang, dan memasak apa pun yang kuinginkan selama seminggu penuh."

"Kalau aku yang menang?"

"Kakang yang akan memasak dan memanjakanmu, Diajeng," katanya sambil menyeringai mesra.

"Setuju!"

Johan yang duduk di samping bapak angkatnya terlihat tertekan. Dia terhimpit buah simalakama.

"Eee … apa harus saya yang menguji?" tanyanya dengan nada berhati-hati.

"Harus!" bentak Bapak dan Ibu angkatnya berbarengan.

"Baik, Pak, Bu…."

Kubekap mulutku dengan tangan kanan. Aku tak bisa menahan tawa melihat Johan kalut. Wajahnya memerah, matanya mendelik ke arahku. Aku yakin, bila disuruh memilih antara mengujiku dan memasak seminggu penuh untuk Pak Asep dan istrinya, aku yakin dia akan memilih pilihan yang terakhir. Kalau perlu, dia sanggup diberi tambahan pekerjaan membersihkan kandang ternaknya sekalian.