Seolah larut ke dalam dunia lain, aku betul-betul melupakan duniaku yang lama. Lereng Gunung Gede beserta isinya menghipnotisku, membuatku tak tahu lagi tujuan hidupku selanjutnya. Aku tersedot dalam hari-hari kebahagian, mendekap malam-malam kudus tanpa mimpi buruk yang menghujam. Terhisap semakin jauh dalam pusaran harmoni. Johan dan sepasang suami istri yang baru kukenal ini telah membuat wangi kedamaian meruap sepanjang kebersamaan yang kami reguk.
Ritme kehidupanku diawali dengan bangun pagi sebelum ufuk matahari meledak di timur, kemudian menyiapkan makan pagi, setelah itu berlatih jurus-jurus baru pencak silat milik keluarga Bu Asep. Dalam beberapa kali latihan guruku itu membuatku memantapkan penggunaan tenaga dalam, melatih bagaimana menggunakan trisula. Seharian itu akan berakhir dengan makan malam penuh canda tawa.
Menggunakan senjata adalah pengalaman pertama bagiku. Terutama senjata trisula. Gagang trisula berbetuk bulat rata dengan fungsi mengetok bagian tubuh lawan yang lemah. Tanduk sula berfungsi sebagai pengait dan melucuti senjata lawan. Ujung tanduk dan sula yang pepak membuat pergerakan tiga jari yang digunakan tidak mengalami luka saat memutarnya. Guru melatihku dengan keras menggunakan jari tengah, jari telunjuk dan ibu jari tangan kanan dan kiriku agar bisa memutar lincah pegangan menghadap depan menjadi pegangan balik ke belakang, kemudian menusuk, menyabet, dan memukul dari berbagai sisi.
Bu Asep menunjukkan padaku bagaimana bergerak lincah memutar-mutar trisula, dan bagaimana memaksimalkan penggunaan tanduknya dalam rotasi penuh. Angin yang dihasilkan dari putarannya menderu. Tubuhnya yang sintal berputar dalam tarian berseni namun berbahaya. Trisula adalah exotic weapon, cara bermainnya cocok untuk wanita. Sepasang jemari yang berputar santai, tubuh lentur dengan tenaga dalam yang terbagi ke seluruh bagian, membuat penggunanya seperti terlihat menari daripada bertempur.
Di sela latihan, kami tidak lupa menyiapkan masakan untuk makan siang dan makan malam. Kesempatan itu kugunakan untuk belajar bagaimana memasak beberapa macam masakan yang lezat darinya, yang bisa membuat lidah Johan tak akan berpaling ke masakan wanita lain.
Daya tarik pria itu semakin memasung hatiku, menghasut cintaku untuk berontak menemukan cintanya yang belum tercetuskan. Angin sejuk yang bertiup dari lembah Gunung Gede memagut seluruh rasa sepi akan getar kerinduan yang tak pernah kumiliki, menghembuskannya hilang bersama kemunculan sosoknya.
Selama aku belajar, Johan berkutat membantu Pak Asep di peternakan dan perkebunan teh, memberi kami kesempatan untuk lebih konsentrasi berlatih. Berbekal makan siang yang dibungkus daun pisang, dua lelaki itu terkadang tidak pulang hingga lereng Gunung Gede dilingkupi temaram. Hidupku semakin terbenam, dan berharap waktu berhenti ditempatnya, sehingga aku bisa terus mereguk bahagia ini selamanya.
Entah di pagi yang ke berapa, karena aku tak ingin mengingat jumlah pagi yang telah kulalui, setelah sarapan pagi dan Pak Asep beserta anaknya telah pergi dengan bekal makan siang di tangan, Bu Asep mengajakku memasuki salah satu kamar yang selalu terkunci. Mulutku terngaga kala lampu di dinding dihidupkan. Hawa dingin yang tidak biasa menusuk pembuluh darah, aroma wangi taburan bunga merebak menusuk hidung, membuat bulu kudukku merinding kala mendapati puluhan berbagai senjata tajam berjejer rapi.
Tombak panjang, tombak pendek, pedang, keris, busur beserta puluhan anak panah, belati, sangkur, semua senjata tersarung rapi dalam rangkanya. Kalau saja pihak berwenang mengetahuinya, keluarga ini bisa dijerat dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1951, Pasal 2 ayat (1) dengan ancaman hukuman maksimal sepuluh tahun penjara.
"Ini adalah ruang tempat penyimpanan senjata milik leluhur kami. Setiap Malam Suro, kami memandikannya. Itulah kenapa hawa di ruangan ini terasa lebih dingin dan membuatmu merinding."
Aku diam termangu. Membayangkan puluhan, mungkin ratusan nyawa yang melayang akibat senjata-senjata ini membuat kengerian membekap hatiku. Ingin secepatnya kutinggalkan kamar ini, tapi guruku tak menggubrisnya.
"Kini aku akan menguji kemampuanmu menggunakan trisula dengan senjata-senjata ini."
Ludahku mengering. Dalam temaram lampu aku yakin wajahku pucat pasi.
"Bukan kah berbahaya, Guru?"
Bu Asep tertawa lirih. "Kau ingin memakai pedang mainan?" dengusnya.
Tanpa mempedulikan kekhawatiranku Bu Asep berkata tegas, "Lebih baik kau terluka sekarang sehingga kami bisa mengobatimu lagi, daripada di kemudian hari nyawamu melayang."
Diambilnya pedang, belati, tombak panjang, busur panjang beserta lima anak panah. Semua senjata dibebankan ke pundakku sementara guruku itu menutup dan mengunci pintunya. Aku mengikuti langkah guru yang setengah berlari mendaki lereng gunung. Halaman belakang tempat kami berlatih jurus tangan kosong dilewatinya. Mobil pick up dobel kabin yang yang biasa teronggok di belakang rumah tak kelihatan batang hidungnya. Bapak dan anak itu sedang turun ke bawah untuk membeli persedian makan berikut pupuk dan barang keperluan lainnya.
Guru terus berlari mendaki menuju hutan lebat. Kuikuti dia dengan langkah terseok. Kala napasku mulai menderu, pendekar wanita itu berhenti di sebuah padang kecil di kelilingi pohon mahoni yang berjarak pekat. Beberapa batang pohon terlihat berlubang dan sempal. Dahan dan ranting patah di beberapa bagian. Rumput di tanah rubuh bekas tergilas tapak kaki. Ilalang yang mengelilingi tercerabut, terhempas begitu saja di sekitar. Sebelum aku mengatur napasku karena mendaki bersama memanggul beratnya senjata tajam, Bu Asep sudah memulai dengan instruksi berikutnya.
"Ini tempat kita berlatih dengan menggunakan senjata tajam. Bersiaplah!"
Alih-alih menggerutu, kuletakkan pedang, belati, tombak, dan busur beserta anak panahnya, di bawah pohon tak jauh dari tempat guruku berdiri. Aku beringsut mundur sambil menggenggam sepasang trisula di tangan kanan dan kiri. Kutarik kakiku membentuk kuda-kuda. Kuputar dua trisula di tangan dengan tiga jemari. Gerakanku mantap menapak rumput. Mataku tanpa berkedip mengamati pendekar wanita itu mempersiapkan serangan dengan beberapa senjata tajam yang sudah dilepas dari rangkanya.
Diiringi pekik burung yang terbang membuyar, guruku yang terbebat baju hitam celana hitam khas perguruan silatnya ini mengurungku dengan serangan-serangan mematikan. Dimulai dari belati, pedang, kemudian berganti senjata yang lebih panjang: tombak. Aku harus mengerahkan seluruh konsentrasiku karena Bu Asep sedang tidak ingin bermain-main. Setiap serangannya menuju ke bagian-bagian tubuhku yang rawan.
Tenaga dalamku berkembang pesat beberapa hari ini. Seolah ular yang melingkar di seluruh tubuh, kundaliniku kadang kala bergerak mengumpul pada satu bagian, kemudian memecah menjadi beberapa ular kecil bila kuperintah menyelusup ke lengan, jemari dan kaki. Setelah semua senjata yang dicoba tak mampu menembus pertahananku, kami mengakhiri setengah hari latihan dengan senyum penuh kepuasan.
Lengan, jemari dan kakiku ngilu, pedih akibat sayatan tipis senjata tajam yang tak sanggup kuelakkan Aku dan guruku beristirahat sejenak untuk makan siang. Kemudian meneruskannya hingga matahari bergeser ke barat. Manakala sinarnya meremang tertutup bilah dedaunan, guruku memberi instruksi berikutnya.
"Sekarang tutup matamu dengan kain ini." Dia menyerahkan kain hitam pengikat rambut di kepala.
"Untuk apa, Guru?"
"Tutup matamu. Aku akan menyerangmu dengan anak panah."
Peluh di dahi dan sekujur tubuhku yang belum juga kunjung menguap mengucur semakin deras.
"Bagaimana bila saya tidak bisa mengelakkan anak panah, atau tak bisa menangkisnya dengan trisula ini?"
Bu Asep gemas melihat keluguanku. "Kamu pikir aku akan membunuhmu? Tentu saja aku akan melepas logam di ujung anak panah ini."
"Tapi … tetap saja sakit, Bu?"
"Kalau enak itu namanya pijit, bukan senjata!"
Aku masih termangu, Bu Asep tak mau menunggu. "Bersiaplah! Aku akan memanahmu terlepas kamu siap atau tidak."
Mau tak mau kubebatkan kain hitam itu ke kepala. Menutup rapat dua mataku. Sekelilingku berubah gelap.
"Atur napasmu, tarik semua kundalini, bagi dan salurkan. Terutama ke indra rasa dan pendengaranmu."
Aku menuruti perintah guruku. Kuhisap semua tenaga dalam yang kupunya, kubagi ke bagian ubuh yang kuperlukan. Telingaku menjadi terbuka sempurna, sanggup mengenali setiap desir angin. Setiap inci kulitku bisa merasakan perubahan yang tak biasa di sekitarku.
Ketika aku sudah bersiap, Bu Asep melepas ujung logam dari batang anak panah, kemudian bergerak menjauh berpindah tempat. Aroma tubuhnya tak lagi tercium. Aku yakin dia bergerak berlawanan dengan tiupan angin.
Desir yang mengujam dari belakang mengarah ke punggung, membuatku tak punya waktu lagi menerka di mana posisi guruku. Sebuah desir angin tidak biasa yang kutangkap dengan telinga dan kulitku mendekat. Sepasang trisula di tangan kanan dan kiri kuputar cepat. Di waktu yang tepat, kubalikkan tubuhku dengan menggerakkan trisula itu menebas angin yang mendekat. Sepasang trisula di tanganku bergetar menetak batang anak panah.
Aku berteriak kegirangan. Segera kututup mulut ketika desir angin yang dihembuskan empat anak panah susul menyusul menyerang. Laiknya gelombang membelah pantai, empat batang angin itu mengarah ke empat bagian tubuh.
Seluruh tubuhku seolah punya mata. Dalam pekat aku melihatnya dengan mata batin. Kugeser kuda-kudaku sambil tetap memutar trisula. Kutundukkan kepalaku menghindari sebatang anak panah yang mengarah ke tengkukku, tiga batang anak panah lainnya yang mengarah ke dada, kaki, dan bahu kanan berguguran dengan tebasan sepasang trisula di tangan.
"Bagus! Cukup. Kau hebat, Nak!" pekik guruku senang.
Dari atas lereng Gunung Gede, Bu Asep turun sambil menenteng busurnya. Senyumnya merekah lebar.
"Kita istirahat dulu." Dia menunjuk dua batu gunung di sampingku.
Kukembalikan kain ikat hitamnya. Kuatur napasku, kujatuhkan tubuhku yang penat ke batu itu. Guruku menepuk bahuku lembut, ikut duduk di depanku.
"Tak kusangka, dalam waktu beberapa hari saja kamu telah bisa menyerap sebagian besar ilmuku."
Pujian tulus yang terlontar dari bibir guru membuatku bangga sekaligus terhenyak. Sembilan hari telah kuhabiskan waktuku di sini. Otakku yang telah berhenti mengingat kenangan duniaku sebelumnya memaksa lintasan peristiwa yang mengantarkanku ke dunia ini menggeliat. Bayang Anto, Sahat, dan Sion merebak naik memenuhi pikiranku, membuatku enggan melanjutkan realita yang ada di depanku.