Setelah membersihkan wajah, tangan dan menyeka tubuhku di kamar mandi yang tak kalau luasnya dengan kamar tidur apartemenku, tiga anggota keluarga ini telah menunggu di meja makan. Peralatan makan terbuat dari perak, piringnya bercorak keramik china. Meja kotak dan empat kursi dari kayu jati dipenuhi lekuk ukiran menghiasi bagian tangan dan sandaran. Aku merasa sedang menikmati sarapan pagi bersama keluarga bangsawan kolonial.
"Ini daging ayam, semua halal di sini, Neng," kata Pak Asep menahan tawa ketika melihat aku ragu mengigit daging paha.
"Eh, ah, bukan, eh, rasanya enak sekali Pak. Makanya saya menggigitnya perlahan. Ingin merasakan serat dagingnya yang lembut," jawabku mencari alibi.
Bu Asep dan Johan tersenyum melihatku salah tingkah. Meja makan dipenuhi berbagai masakan yang dimasak sendiri oleh Bu Asep. Opor ayam, tongseng kambing, cah kangkung, tumis taoge, sop ayam, lodeh, dan sambal korek beserta krupuk udang. Keraguan yang masih melilit membuatku hanya menatap masakan di depanku penuh kesangsian. Kulirik sang pemasaknya. Jujur hati kecilku berteriak cemburu akan kemampuannya mengelola rumah tangga dibalut kecantikan yang nyaris sempurna.
Rambut Bu Asep disanggul ke belakang. Tubuhnya yang sintal terbalut kebaya dan jarik batik warna hijau cerah, membuat kulitnya yang kuning langsat terlihat segar. Hidung mancung bertengger bersama dua mata besar dan bulu mata lentik menghias wajahnya. Bibir wanita yang menurutku belum juga menginjak umur lima puluh tahun ini berbentuk tipis disangga dagu lancip. Gaya bicara dan lenggoknya kala melayani kami mengambilkan nasi dan lauk penuh keanggunan. Mengingatkan aku pada Nyai Dasima, istri simpanan Edward William yang terbujuk rayuan Samiun dalam karya sastra karangan Gijsbert Francis a.ir.
"Pasti Neng Sylvi penuh pertanyaan tentang rumah ini dan penghuninya, kan?" kata Bu Asep menyela tatapan kesangsianku.
"Tidak, eh, iya, eh tidak, Bu," jawabku belepotan, seolah maling ayam tertangkap pak RT. "Maafkan kekurangsopanan saya."
Otakku yang masih berkutat dengan segala pertanyaan membuat bibirku yang biasanya manjur saat menguliti saksi dari pihak lawan berubah kebas.
Pak Asep dan istrinya tersenyum lebar. Johan tertawa terbahak. Giginya putihnya mengkilat tertimpa sinar matahari pagi yang menerobos dari jendela. Daun hidungnya yang mancung mengembang seksi. Rahangnya yang kokoh ikut melebar bersama tarikan bibirnya yang terbuka penuh. Kalau saja lelaki itu bukan malaikat penolongku, sudah kubekap bibirnya yang sedang terbuka lebar itu dengan bibirku.
Sebelum pesona pemuda itu semakin membuat hatiku tak karuan, Pak Asep menerangkan riwayat rumah. "Rumah ini dulunya tempat peristirahatan orang Belanda. Orang Belanda itu memberikannya pada kakekku sebelum dia meninggalkan Indonesia saat tentara Jepang menyerang. Kakek memberikannya pada Ayah, terus turun ke aku."
Aku mengangguk-angguk. Membayangkan Samiun mendapatkan hadiah dari si Edward William berupa rumah bagus beserta istri simpanannya, Nyai Dasima.
"Rumah dan lahannya besar sekali. Bagus, penuh bunga dan sayuran, juga berbagai macam hewan peliharaan," pujiku sekenanya. Otakku berkelindan mencari cara bertanya agar mereka tidak curiga. Kesangsian masih belum hilang. Bayang-bayang akan menjadi korban persembahan masih berkutat di hatiku.
"Kata Kakek, orang Belanda itu mempunyai jabatan yang cukup terhormat di Buitenzorg, sekarang Kota Bogor. Dia merasa berhutang budi karena kakek telah menyelamatkan nyawanya dari tentara Jepang tatkala dia berusaha meloloskan diri."
"Kakek Pak Asep tinggal di sini bersama anak cucunya?"
"Tidak, Neng. Kakek punya rumah di Bogor, dan kami pun, anak cucunya juga dibesarkan di Bogor. Tetapi, setelah SMA saya memutuskan untuk menyendiri di sini. Kebetulan istri saya ini jatuh cinta pada saya, dan mau saya ajak hidup desa."
Pipi Bu Asep yang masih kencang menggelembung. Dia mencubit lengan suaminya. "Bukannya Akang yang mengejarku?"
Pak Asep pura-pura mengaduh. Dia berdiri, berusaha mengecup pipi istrinya. Bu Asep mengelak. Tawaku berderai melihat keakraban mereka. Sejenak kesangsian dan bayang korban persembahan menguap seketika. Pasangan suami istri ini terlalu baik hati sebagai pasangan pembunuh. Aku berusaha ikut larut dalam canda tawa mereka.
"Bapak dan Ibu mesra sekali, tapi, saya tidak melihat kehadiran orang lain di rumah ini. Anak misalnya."
Celetukkanku membuat suasana berubah. Bu Asep tertunduk. Bebat rasa bersalah membelit. Pak Asep mengalihkan tatapannya ke halaman belakang. Johan sibuk dengan tongseng kambingnya.
"Kami tidak punya anak, Neng. Bertahun-tahun menikah tapi Tuhan belum menganugerahkan kepada kami momongan. Usia saya sekarang sudah mencapai lima puluh tiga tahun, tak mungkin lagi bisa mendapat momongan." Kalimat yang meluncur dari bibir tipis Bu Asep membuatku mematung. Cepat-cepat aku membenahi suasana yang rusak dengan permintaan maaf.
"Tidak usah minta maaf, karena memang begitulah adanya."
"Tapi, Bapak dan Ibu masih kelihatan muda, terutama Ibu masih sangat cantik di usia sekarang."
"Ah, Neng bisa saja. Saya, mah, sudah tua atu, Neng. Beda lima tahun dengan Kang Asep."
Pak Asep beranjak dari kursi, memeluk istrinya, mengecup lembut pipi wanita itu.
"Walaupun kami tidak punya anak, tapi kami sudah cukup bahagia dengan kehidupan kami saat ini, Neng. Kami bersyukur bisa tetap sehat dan menua bersama."
"Saya pernah mengusulkan ke Kang Asep untuk mengambil wanita lain sebagai istri, saya siap dimadu. Tapi, Kang Asep tidak mau."
Pak Asep kembali mencium pipi istrinya, menatap langsung ke matanya. "Aku tidak ingin wanita lain, aku hanya ingin kamu saja, Sulastri bidadariku, belahan jiwaku."
Kulit muka dan leher Bu Asep memerah mendengar rayuan suaminya. Dia mengelus lengan kanan Pak Asep yang masih memeluknya. Johan tak mau tinggal diam, dia berdiri ikut memeluk sepasang suami istri dari belakang.
"Saya kan anak Bapak dan Ibu."
"Ya, kamu adalah anak yang dikirim Tuhan untuk membuat rumah ini berwarna," balas Bu Asep. Tangan kirinya yang bebas menepuk pipi Johan.
Melihat pemandangan di depanku, hilang sudah syak wasangka. Diam-diam aku mengutuk kebebalanku. Keluarga ini lebih bahagia daripada keluargaku. Lebih indah dari masa lalu kami.
"Ayo kita serbu masakan istriku tercinta!"
Kami mengiyakan ajakan Pak Asep.
Mulai kemarin malam perutku seolah tak kenal lelah dimanjakan makanan. Makan sederhana bersama keluarga Pak Udin, kini makan penuh keakraban bersama keluarga Pak Asep. Aku tak peduli lagi dengan diet dan segala macam tetek bengeknya. Kalau memang berat badanku naik seketika, akan kuterima dengan senang hati sebagai pengganti kebahagian.
Masakan lezat itu tak harus mewah, tapi dengan siapa dan dalam suasana bagaimana, itulah yang menentukan rasa.
Selepas makan pagi, Pak Asep mengajakku berkeliling berdua tanpa diikuti Johan. Berdua dengan Bu Asep menyiapkan pengobotan untukku, katanya. Pak Asep membawaku mengelilingi wilayah kekuasaannya dengan naik motor trail. Tubuhku kembali berderak di jok belakang. Sedikit menahan sakit, tapi harga yang sangat pantas untuk pemandangan yang indah dari atas motor.
Rumah gedong ini menempati area yang sangat luas. Ternyata di belakang rumah, ada jalan tembus berkerikil yang bisa dilewati dua mobil. Pak Asep orang paling kaya di dusun terpencil ini. Dia memperkerjakan puluhan masarakat sekitar untuk mengurus ternak sapi, kambing, dan ayam, beserta hamparan perkebunan teh yang terpisah lima ratus meter dari rumahnya.
Perkebuan dan peternakan, hutan kecil yang dipenuhi beraneka macam pohon, membuat oksigen segar memenuhi area ini. Semua aset itu letaknya terpisah lumayan jauh dari gedung rumah. Itulah yang membuat rumah serasa tak berpenghuni.
Setelah menikmati wisata pemadangan alam, Pak Asep menyuruhku beristirahat di kamar. Aku mengamininya karena obat dari Johan yang kuminum setelah makan memaksaku menguap berkali-kali. Tak kupedulikan lagi Bu Asep dan Johan yang tidak terlihat sosoknya seharian. Otakku tak sanggup lagi mencerna aksi mereka selanjutnya. Aku tertidur pulas dalam balutan selimut tebal.
Goyangan lembut di kakiku membuat mataku terbuka. Benda pertama yang kutangkap adalah sinar mencorong yang dihasilkan lampu klasik yang tergantung di atap. Mataku liar menatap kamar asing tempatku terbaring, tubuhku bermandikan peluh, selimut tebal tersingkap dari tubuhku.
"Neng Sylvi mimpi buruk ya?"
Suara lembut menyadarkanku. Wajah cantik nan segar penuh senyuman memberi kekuatan padaku untuk berontak melawan sisa kekalutan yang terbawa dari mimpi menakutkan. Laki-laki yang sering muncul di mimpiku itu berubah menjadi monster ganas, dan dia ingin membunuhku. Wajah tampan dan pandangan sayangnya padaku berubah mengerikan penuh nafsu membunuh. Aku bersyukur Bu Asep membangunkan aku di saat ujung pisau yang dibawanya bersiap menusuk jantungku.
"Sudah jam berapa, Bu?"
Belum juga Bu Asep menjawab, dentang dari jam besar di ruang dalam menggema sebanyak tujuh kali.
"Jam tujuh…." Bisikku tak percaya dengan pendengaranku. Obat yang kuminum membuatku tertidur selama puluhan jam
"Iya, Neng. Jam tujuh malam."
"Maaf, Bu. Saya tidur terlalu lama."
Bu Asep menggeleng sambil menarik bibirnya lebar. "Tidak apa-apa. Neng Sylvi memang harus banyak istirahat. Kita makan malam dulu, setelah itu kita lakukan pengobatan."
"Di mana Johan?"
"Anak itu sudah menunggu di meja makan," kata Bu Asep sambil tersenyum.
Keringat bercampur parfum yang sudah kering merebak memenuhi hidungku. "Saya mohon ijin mandi dulu."
"Nanti saja, Neng, setelah pengobatan. Sekarang makan dulu saja."
Tidak ada bantahan yang keluar dari mulutku. Aku beranjak dari tempat tidur. Kutekuk sebentar persendianku yang kaku, kemudian meluncur ke kamar mandi yang menyatu dengan kamar tidur.
"Ibu tunggu di meja makan," teriak Bu Asep dari ruang makan.
"Iya, Bu."
Tanpa mematut wajahku di cermin, kubasuh muka dan leherku yang berkeringat. Dengan cepat aku menggosok gigi yang tidak kubersihkan sejak kemarin malam. Air dingin pegunungan yang membuat kulitku mengkerut tak kupedulikan. Perutku berteriak minta diisi. Aku telah melewatkan makan siang.
Johan, Pak Asep dan Bu Asep menghentikan pembicaraannya melihat kemunculanku. Kalimat dengan nada rendah yang mereka ucapkan seolah tak ingin terdengar.
"Wah, kau tidur seperti mati saja. Bagaimana keadaanmu?" tanya Johan.
Wajahnya terlihat segar, rambutnya yang menutup telinga meneteskan air. Bentuk matanya yang sanggup menghipnotisku memancarkan pandangan ramah. Pakaian yang dikenakan Johan kemarin sudah berganti dengan celana jogger training panjang biru dan kaos lengan panjang warna hitam. Sedangkan aku masih tetap memakai baju yang sedari kemarin malam. Kalau saja aku tidak percaya diri dengan kecantikanku walau tanpa riasan, mungkin aku tak ingin menemani mereka makan malam.
Pak Asep dan Bu Asep seolah tidak mempunyai bentuk pakaian lain selain mode pakaian yang dikenakan sebelumnya. Baju koko dengan celana komprang untuk Pak Asep, kebaya dan jarit batik untuk Bu Asep. Yang membuatnya berbeda, malam ini mereka mengganti warna bajunya dengan warna ungu.
Rasa aneh menyeruak. Pak Asep menatapku lama. Sorot matanya menyiratkan keprihatinan.
"Ayo kita makan dulu," katanya, memutus pertanyaan yang membekap otakku sebelum kuajukan.
Tidak seperti makan pagi yang penuh canda, makan malam ini sedikit terasa hampa. Pak Asep seolah terburu menghabiskan nasi dan lauknya, Johan pun mengikuti cara makan bapak angkatnya itu. Tinggal aku dan Bu Asep yang masih berkutat dengan sisa lauk tadi pagi dan nasi panas.
Wanita setengah tua itu mengunyah dengan seksama nasi yang ada di mulutnya, membuat jangka waktunya lebih lama dari cara makan suaminya. Berbeda dengan aku. Yang kulakukan bukan mengunyah, tapi menelan sebanyak dan secepat mungkin makanan untuk mengisi perutku yang keroncongan.
Selepas menarik napas panjang yang membuat dadaku serasa dihantam godam, aku menyemburkan pertanyaan yang kutahan sepanjang mengisi perut.
��Kenapa Bapak menatap saya seperti itu?"
Suami teladan itu berhenti sebentar mengunyah pisang yang sebagian sudah tertelan. Dibiarkan pertanyaaku menggantung di udara, diteruskannya buah pisang hingga potongan terakhir. Setelah menyorong sisa pisang ditenggorokan dengan teh hangat, Pak Asep lantas memindai parasku lumayan lama. Membuatku tak sabaran. Sebelum aku mengajukan protes, dia menjawab pertanyaanku dengan nada prihatin.
"Luka dalam yang di derita Neng Sylvi sudah menyerang organ lain. Terutama jantung dan liver."
Aku tersentak kaget. Lelaki ini seperti Johan. Penuh misteri dan kejutan. Sebentar menjadi suami yang baik, pengusaha yang sukses, kemudian berubah menjadi paranormal.
"Tapi, saya tidak merasa terlalu sakit, Pak. Memang saat menarik napas panjang, dada saya menghentak sakit, dan tulang pinggang saya ngilu. Tapi saya rasa masih bisa bertahan."
"Itu karena obat yang Neng minum dan olesan salep di luka bahu. Obat itu memang ampuh untuk luka luar, tapi tidak terlalu berdampak buat luka dalam. Ia sekedar meringankan, tidak menyembuhkan."
"Bapak tahu tentang obat yang sering dibawa Johan?"
Pak Asep tertawa kecil, dia menunjuk istrinya kemudia menunjuk hidungnya. "Kami yang meracik obat itu, Neng."
Aku termangu. Setelah menjadi paranormal, kini lelaki di hadapanku ini berubah lagi menjadi apoteker. Entah akan berubah manjadi apa selanjutnya.
"Apa yang terjadi bila saya terlambat melakukan pengobatan?"
"Bisa saya lihat telapak tangan, Neng Slvi. Sekali lagi."
Kuangsurkan telapak tanganku. Seperti saat pertama kali bertemu, jari telunjuk dan ibu jari Pak Asep bergantian menekan beberapa titik di buku jariku, lebih keras. Aku menjerit ketika tulang-tulangku seperti ditusuk besi panas. Menghentak hingga ke seluruh urat nadi, membuat tekanan di dadaku meledak-ledak. Batuk mendera tak bisa berhenti. Nyeri tulang di pinggang dan hantaman di dada tak tertahankan. Tak peduli dengan keluhanku, Pak Asep semakinn mengerakan tekanan jemarinya. Aku menjerit keras hingga tubuhku mengejang. "Hentikan, Kang. Gadis itu tak mampu lagi menahan."
Teriakan tertahan membuat lelaki yang memasuki masa tua itu menghentikan gerakannya. Setelah Pak Asep menghentikan pijatannya, tenagaku menguap. Aku terduduk lemas. Johan duduk di seberang meja, berlawanan dengan tempat dudukku. Cepat dia berdiri mendekatiku, meraih tanganku yang jatuh lunglai, membantuku duduk seperti sedia kala.
"Saya akan berkata terus terang. Jika Neng tidak melakukan pengobatan malam ini juga, saya khawatir Neng Sylvi tidak sanggup melihat matahari terbit esok hari."