Chereads / Lady Advocate / Chapter 21 - Chapter 20; Pengobatan Alternatif

Chapter 21 - Chapter 20; Pengobatan Alternatif

Johan tersentak. "Kita lakukan sekarang, Pak?" tanyanya khawatir.

"Ya, lebih cepat lebih baik," tegas Bu Asep.

Pak Asep mencari mataku, menegaskan bahwa aku siap dengan tindakan berikutnya. "Neng Sylvi bersedia?"

Kuanggukkan kepalaku tegas. Tidak ada gunanya menunggu. Sekarang, atau matahari tak akan pernah lagi muncul di mataku esok pagi.

"Baiklah." Pak Asep mengarahkan instruksinya ke Johan, "Antar Neng Sylvi ke ruang pengobatan. Aku dan Ibumu akan bersiap. Tapi, sebelumnya, kita berdoa dulu. Semoga Yang Maha Kuasa memberi kita keselamatan."

"Kau tidak apa-apa? Wajahmu pucat pasi, nafasmu menderu. Jangan khawatir, Bapak akan berhasil menyembuhkanmu."

Kugelengan kepalaku. "Saya hanya tegang saja, Pak. Tidak sakit kan?" tanyaku naif.

Bapak tua itu tersenyum lebar. "Tidak sakit. Mungkin serasa digigit semut kecil," balasnya sambil mendempetkan jari telunjuk dan ibu jarinya. Aku merasa diperlakukan seperti anak kecil yang ketakutan sebelum imunisasi.

"Antar Neng Sylvi, Nak. Kami akan bersiap dulu," perintah Pak Asep pada anak angkatnya.

Johan menuntun lenganku ke dalam ruang tertutup. Ruangan itu dua kali luas ruang kamar yang kutempati. Dibagi menjadi dua ruang dengan sekat papan yang tinggi. Aku tak tahu apa dan bagaimana keadaan ruang yang terdapat di balik papan itu, karena lampu yang menerangi hanya satu bohlam yang sangat temaram.

Perlahan, dan lembut dia mendudukkanku di sebuah karpet tebal. Kain beludru berumbai langsung menelanku. Hawa dingin nan lembab meruap, menusuk seluruh pori-pori kulitku. Telapak tanganku basah oleh keringat kala bau wangi ribuan macam bunga merasuk hidungku, membuat suasana ruangan berubah mistis. Bulu kudukku kembali merinding. Bayangan film-film horror yang pernah kulihat menyatu di otakku.

Otakku berkelindan resah. Jangan-jangan Pak Asep sedang mengasah golok, dan Bu Asep sedang menyiapkan dupa dan menyan untuk ritual persembahan korban pada Lucifer? Kalau saja tadi Pak Asep tidak mengajakku berdoa aku akan melarikan diri dari rumah ini.

Ketukan ringan di pintu dibarengi tertariknya gagang pintu dari luar. Pak Asep dan istrinya muncul dengan penampilan lain. Baju koko khas betawi dan kebaya berikut jarik yang sehari-hari dikenakan sepasang suami istri ini sudah berganti dengan seragam pencak silat warna hitam. Keduanya berubah menjadi sepasang pendekar.

Rambut Bu Asep dibiarkan tergerai hingga punggung, tali putih mengikat kepalanya. Pak Asep mengenakan topi hitam dan sabuk besar khas jawara, di lehernya terselempang secarik kain putih. Keduanya tersenyum melihat aku melongo.

"Sini, duduk di depan kami, Neng," kata Pak Asep setelah mengambil tempat di karpet tebal yang menyalurkan kehangatannya ke tubuh.

Aku duduk di samping Johan menghadap Pak Asep yang duduk di samping istrinya. Kami laiknya dua pendekar muda yang akan menerima titah dari sepasang guru silat untuk bersiap turun gunung.

"Ini bukan mistis, atau bukan tahayul. Neng Sylvi jangan khawatir. Apa yang akan kami lakukan bukan untuk menyekutukan Tuhan."

Aku terdiam tak menanggapi. Yang kutahu, banyak manusia yang sudah menyekutukan Tuhan dengan menyembah harta dan kekuasaan, memperolehnya dengan menghalalkan segala cara.

"Neng Sylvi percaya ada kekuatan atau pengobatan yang secara nalar tidak masuk akal manusia biasa?"

Pertanyaan Pak Asep kubiarkan tergatung di udara. Aku pernah melihat di televisi atau media sosial tentang pesulap yang bisa terbang melewati lembah grandcanyon, menembus tembok besar di China. Atau seorang pesulap yang bisa membekukan air menjadi es dalam sekali sentuh. Tetapi, aku tidak melihatnya dengan mata kepala sendiri, bisa saja itu hanya trik kamera.

Alih-alih menjawab pertanyaan Pak Asep, aku memberi perkuliahan berdasarkan keahlianku.

"Ehm, saya belum pernah mendengar, melihat dan mengalaminya sendiri, Pak. Kalau dalam persidangan, saya bisa disebut saksi Testimonium de auditu. Pada prinsipnya, persaksian saya tidak dapat diterima sebagai alat bukti."

Pak Asep dan Bu Asep tertawa lirih, sementara di Johan yang duduk di sebelahku terlihat keki.

"Sylvi, please, seriuslah sedikit. Ini masalah hidup matimu," bisiknya sambil menekan tanganku yang masih dalam genggamannya.

"Begini, Neng. Saya dibantu istri akan menyalurkan tenaga prana yang kami miliki ke tubuh Neng Sylvi. Tenaga ini dapat memancarkan medan biomagnetik dengan frekuensi tiga puluh hetz, yang bisa dideteksi melalui dua kumparan lebih dari delapan puluh ribu putaran lilin. Pada dasarnya, manusia memiliki unsur kimia tubuh yang bernama Adenosin Tri Phospahet, atau ATP, yang mana ATP ini bisa dirubah menjadi energy. Berdasarkan olah kanuragan yang telah kami jalani, kami sekarang mampu meningkatkan kekuatan kami dari nol koma tiga persen menjadi tiga persen. Artinya, dengan kekuatan kami saat ini, kami bisa membunuh seekor kerbau dalam sekali pukul, atau kami bisa memecahkan batu gunung dengan kepalan tangan. Nah, kali ini kami akan salurkan energy ini untuk kesembuhan, Neng Sylvi."

Penjelasan Pak Asep tentang Bahasa ilmiah mengenai tenaga dalam malah membuatku puyeng. Kuumpat diriku yang sok pintar mengeluarkan istilah asing dalam Bahasa hukum, yang dibayar kontan dengan istilah kimia dan fisika yang tak kumengerti. Pak Asep benar-benar pendekar pilih tanding, tidak hanya bisa menguasai tenaga dalam dan pengobatan, dia bisa mengalahkan aku yang lulus Magister Hukum.

"Silahkan dimulai, Pak. Saya siap," kataku menyerah kalah.

Mereka bertiga terkekeh melihatku gelagapan.

"Saya dan Johan akan keluar dulu, silahkan Neng Sylvi berganti baju dulu dibantu Ibu."

Pak Asep memberi isyarat Johan meninggalkan ruangan. Setelah pintu ditutup rapat, Bu Asep memintaku untuk melepas seluruh kain yang melingkupi tubuhku, digantinya dengan sehelai jarik untuk menutup tubuhku dari bagian dada hingga betis. Setelah itu, beliau mematikan satu-satunya penerangan yang ada di kamar.

Dalam gulap gulita, dia memanggil suaminya untuk masuk. Pintu terbuka separuh. Pak Asep membiarkannya sebentar terbuka agar matanya terbiasa dengan kegelapan. Setelah dirasa cukup dia memberi instruksi pada Johan untuk keluar ruangan.

"Kamu tahu apa yang harus dilakukan, Nak. Keselamatan kami bertiga ada di tanganmu."

"Iya, Pak. Saya akan menjaganya dengan nyawa saya."

"Doakan kami."

Pendekar setengah tua itu menutup pintu rapat. Menguncinya dari dalam. Aku duduk bersila menghadap Bu Asep dengan hanya terbebat sehelai jarik. Pak Asep mengambil tempat di belakangku.

"Sebelum kami mulai, tolong Neng Sylvi pasrah menerima apa yang akan terjadi. Jangan ditolak. Sesakit apa pun tolong ditahan. Mengerti, Neng?"

Keseriusan yang termuat dalam nada kalimat Pak Aseb membuatku tak berani membantah lagi. "Iya, Pak."

"Percaya ya, Neng."

Aku mengangguk tegas. Aku tidak bisa melihat apa yang dilakukan Pak Asep, tapi kukira sama dengan gerakan yang dilakukan istrinya yang duduk bersila dalam posisi tegap di hadapanku. Wanita secantik Nyai Dasima ini menutup matanya rapat. Dua telapak tangannya ditangkupkan di depan dada. Dia menarik napas panjang, kemudian menghembuskannya lewat mulut dengan mengejangkan tubuh. Bu Asep berulang kali melakukan gerakan yang sama.

Perlahan tapi pasti tubuhnya bergetar. Mulanya perlahan, kemudian mengeras. Dari telapak tangan yang ditangkupkan itu perlahan keluar uap hangat yang mengepul. Mulanya tipis semakin lama semakin membesar. Dari arah belakang, suara Pak Asep saat menarik napas dan mengeluarkannya terdengar bersahutan seperti suara peluit. Kira-kira setelah sepuluh kali tarikan napas, uap hangat dari depan dan belakang membalut tubuhku

"Sekarang tutup mata, Neng. Pusatkan perhatian pada tenaga di sekitar ulu hati," bisik Pak Asep.

Kututup mataku perlahan. Kupusatkan segala panca indra yang masih bisa kugunakan ke ulu hati. Dua telapak tangan Pak Asep menyentuh punggungku yang dilapisi jarik, sementara itu dua telapak tangan Bu Asep melekat di dadaku. Kucoba untuk tidak menggunakan logikaku. Kuterima apa pun yang masuk ke tubuhku dengan pasrah.

Awalnya ada hawa hangat masuk ke punggung dan dada melalui pori-pori, mengusir kebekuan di seluruh urat nadiku, memberikan rasa kenyamanan yang membuai. Semakin lama, suara napas sepasang suami istri ini membaur dengan deru napasku yang kegerahan. Hawa hangat berubah menjadi hawa panas, membuat sekujur tubuhku bermandi peluh. Seiring dengan itu, kurasakan ulu hatiku memanas, melonjak-lonjak tak karuan seolah ada sesuatu yang tadinya tidur dibangkitkan. Hawa hasil penyaluran tenaga Pak Asep dan istrinya menghentak ulu hatiku, menusuknya, mengajaknya bangkit. Kemudian hawa itu beredar ke seluruh tubuhku.

Jantungku berdetak lebih kencang. Tarikan napasku semakin sesak. Pinggang dan luka jahitan di bahuku berkedut keras menyakitkan. Mulanya masih bisa kutahan, namun semakin lama rasa sakit yang tak terkira itu membuat tubuhku bergetar tak karuan. Posisi dudukku sudah tak beraturan lagi walau aku terus berusaha mempertahankannya. Setiap mili dari bagian tubuhku seolah ada yang mencubit keras, menggigiti hingga berdarah-darah. Aku merintih pilu.

Segala lintasan babak hidupku dari bayi hingga dewasa berkelindan dengan derita dan kesedihan. Kepiluan itu berjabat mesra dengan keharuan dan kebahagian yang datang silih berganti mengisi. Air mataku tumpah ruah bersama peluh. Aku tak sanggup lagi.

"Tahan, Nak, tahan sekejap," bisik suara perempuan di sela-sela napasnya yang memburu.

Suara itu terdengar percis seperti suara mama ketika memberiku kekuatan kala aku berduka. Suara yang mendamaikanku itu membaur dalam pembuluh darahku yang rapuh. Telingaku berdengung keras. Rindu hebat akan mama mengganti seluruh rasa sakit itu, membuatku berteriak meracau. "Mama! Mama! Tolong anakmu, Ma!"

"Sabar, Nak. Sebentar lagi," dengus suara parau dari belakang.

Suara itu sering menyapaku lewat mimpi, mengharu-birukan keinginanku sejak kecil yang tak terpenuhi. Kenangan akan sosok pria muda yang menggendong anak kecil yang mengembangkan tangannya yang polos, membuatku semakin mengoceh tak karuan.

"Papa … di mana kah dirimu … aku ingin bertemu…."

Air mataku berderai hebat, membuat kelopak mataku tak mampu menahan genangannya. Tatkala titik kulminasi kesakitan yang mendera tubuhku sudah tak sanggup lagi kutahan, kucoba merebahkan diri. Namun, aku tak bisa bergerak, dua pasang telapak tangan dari depan dan belakang seolah menjepit erat tubuhku.

Jeritanku semakin keras. Aroma kematian menyeruak lindap di balik jalan penghabisan, lintasannya yang menuju ke arahku terasa lamban. Aku kian lelah berharap keajaiban.

"Bersiaplah, Bu." Sayup. Kalimat perintah yang entah ditujukan pada siapa menelusup gendang telingaku.

"Kita lakukan dalam hitungan yang sama."

Kata sebuah suara menyahut. Dan, aku tak peduli apa yang mereka maksud. Tiba-tiba tenaga yang menyanggahku dari depan dan belakang terlolosi, tubuhku bergoyang-goyang, siap menuju pembaringan. Sebelum aku menghisap hangatnya karpet empuk yang kududuki, dua suara bersamaan menahannya.

"Sekarang!"

Tubuhku kembali tegak tatkala dari arah depan dan belakang tepukan dua pasang telapak tangan kembali menerpa punggung dan dadaku. Kali ini lebih keras, lebih panas. Laiknya gelombang awan berkejaran, dua hawa panas itu menderu memasuki tubuhku, membuat perutku bergolak hebat. Pergolakan itu naik terus ke dada, naik lagi kekerongkongan, berakhir dengan muntahan dari mulut.

Belum juga berhenti di situ, gelombang itu datang lagi. Sama seperti yang pertama, aku muntah lagi. Entah berapa kali aku melakukannya, saat gumpalan terakhir keluar dari mulutku, tubuhku serasa ringan. Napasku tak lagi menderu. Semua rasa sakit dan gigitan derita menghilang bersama muntahan itu.

"Akhirnya…." Bisik suara Bu Asep.

"Buka matamu, Neng Sylvi," perintah halus Pak Asep.

Otakku bisa mencerna lagi. Kesadaran yang sempat hilang kembali menghampiri jasadku. Kubuka mataku. Wajah dan dada Bu Asep bersimbah darah merah kehitaman bercampur peluh. Darahku dan peluhnya. Pakaian hitam yang dikenakannya basah. Darah kental masih melekat di kerahnya. Kain ikat putih di kepalanya sudah tidak putih lagi, merah darahku telah membentuknya menjadi warna merah putih.

"Maafkan saya, Bu."

"Justru ini lebih baik."

Aku tak kuat lagi bertahan, tenagaku mendekati nol persen. Sebelum tubuhku ambruk ke belakang, Bu Asep meraih kedua lenganku, menerima tubuhku dalam dekapannya.

"Pengobatan terkahir, ya, Neng."

"Masih ada lagi kah, Pak?" tanyaku memelas.

"Kali ini tidak sakit, hanya butuh kesabaran. Tapi jangan khawatir, nanti ada yang menemani, kok."

"Terserah Bapak sajalah, yang penting pengobatannya enak."

Bu Asep tertawa lirih. "Kamu memang hebat, Neng. Walaupun tubuhmu baru saja menderita, tapi Neng Sylvi masih punya sense of humor."

Giliranku ingin tertawa. Tapi tak kuasa. Dari mana Bu Asep belajar Bahasa Inggris bila tak ada televisi dan internet di sini. Ibu cantik dan baik hati yang saat ini tidak cantik lagi karena sekujur mukanya berlapis darah dan keringat itu mendorong pelan tubuhku menjauh. Dia membenahi jarik yang kukenakan agar kembali rapi, kemudian memiringkan tubuhku yang tanpa tenaga. Merebahkan ke pangkuannya.

Berdua dengan suaminya, mereka menggotongku ke ruang sebelah yang disekat triplek tinggi. Kepalaku tengadah terantuk-antuk dalam gendongan Bu Asep. Mataku menatap garis plafon yang tak lurus lagi. Tatkala mereka menurunkan tubuhku, kulit bagian atas punggungku yang tak tertutup kain jarik merasakan dinginnya tanah. Lembab, berbau menyengat. Batinku berteriak bahwa aku akan dikubur hidup-hidup di lubang ini.