"Surga meletakkan pada tanganku sebuah cangkir, penuh dengan cuka dan empedu. Kupaksa diriku meminumnya agar dapat merasakan seutuhnya kepahitan di bagian terbawah hingga tak ada yang tersisa. Tertinggal beberapa tetes, dan aku akan meminumnya dengan sabar. Aku tidak cukup berharga atas sebuah kehidupan dengan cinta dan kedamaian."
Penggalan puisi Khalil Gibran yang berjudul "Perpisahan" menggema dalam otakku, mengisi kisi-kisi hatiku yang kosong, memaksa jiwaku kembali. Bau alkohol dan obat-obatan yang menusuk hidung bergulat dengan sengatan di urat nadi sebelah kiri, membuat kelopak mataku terbuka.
Kucoba menggerakkan kepala. Tapi yang kutemui kunang-kunang di seluruh pengelihatan. Sekilas aku menangkap jam dinding di tembok yang searah dengan mataku, pukul sepuluh. Entah pukul sepuluh ke berapa dalam selang waktu pingsanku.
"Jangan banyak bergerak, Bu Sylvi." Sebuah suara parau menyadarkan aku akan kehadiran orang lain.
"Di … mana … saya," kataku serak.
"Bu Sylvi di rumah saya, Bu Udin."
Kupaksa ingatanku menggali peristiwa yang telah menempatkan aku di kasur ini. Semua kengerian berkelindan di benakku. Beribu rasa membaur dalam gurat yang rapuh, membelit hidupku yang ringkih. Dua tetes air mataku mengalir. Untuk sebuah keadilan yang kuperjuangkan, aku harus berdarah-darah menjauhi kematian.
"Siapa yang mengobati saya?" tanyaku lemah.
"Saya yang mengganti pakaian dan membersihkan tubuh Ibu, tapi Pak Johan yang membersihkan luka dan menjahitnya. Infus ini pun Pak Johan yang memasang."
"Di mana Pak Johan?"
"Di ruang depan, sedang bicara dengan Pak Udin dan Umam."
Kupaksa bibirku merekah. "Bagaimana kabar Umam?"
Wajah istri Pak Udin yang bergurat keriput keletihan akibat kehidupan berubah cerah. Tangannya memegang tangan kananku yang bebas. Kapalan di buku-buku jemarinya mengirimkan pesan akan kerasnya kehidupan yang telah dijalaninya.
"Setelah kejadian itu, Umam berubah menjadi anak baik. Sekarang kerja sebagai kenek angkot. Sebagian hasilnya disisihkan untuk kami. Terima kasih telah menyelamatkan kehidupan anak saya."
Kutapaksa bibirku merekah. Namun urat pipiku menahannya. Sakit. Kuremas telapak tangan di genggaman itu lembut. "Saya juga berterima kasih … pada Pak Udin … Bu Udin yang telah … menyelamatkan … hidup … saya," kataku terengah memaksa diri.
"Saya panggilkan Pak Johan, ya, Bu?"
Kuanggukan kepalaku lemah. Bu Udin beranjak meningalkan aku sambil menyeka air matanya dengan lengan baju. Kutelisik tubuhku yang terbaring lemah. Tubuhku bersih tanpa noda darah, dasterku sudah berganti piyama, luka dibaku tertutup perban, jarum infus menancap di pergelangan tangan kiri.
Mataku bergerak menguliti kamar sekira dua kali dua setengah meter itu. Tidak ada yang istimewa di kamar ini. Dipan untuk satu orang dan satu kursi kosong. Dindingnya bercat warna biru muda mengelupas penuh jamur, lembab. Tidak ada daun pintu. Pembatas antar ruangan disekat oleh kain panjang sebagai tirai.
Johan menyibak tirai itu, muncul bersama senyum manisnya. "Bagaimana keadaanmu?"
Aku memaksa kepalaku mengangguk lemah. "Terima kasih."
"Kau banyak kehilangan darah. Untunglah temanku yang bertugas di poliklinik punya jenis darah yang sama denganmu. Dia memberikannya padaku bersama infus dan peralatannya setelah aku mengemis memintanya. Aku pula yang menjahit lukamu. Untung sayatan pisau itu tidak membuat luka terlalu dalam."
Mulutku berkecumik ingin memuntahkan ribuan ucapan terima kasih. Tapi yang keluar hanya erangan dan sebulir air mata. Aku berhutang nyawa pada lelaki ini. Sekaligus berhutang kehormatan yang tak ternoda.
"Tidak usah menangis. Jangan khawatir, kulitmu akan kembali sempurna setelah beberapa saat," godanya dengan bibir terkembang.
Senyum itu adalah senyum paling indah dari lelaki yang pernah kunikmati. Senyum itu entah kenapa, membuat kekuatanku bergelora naik. Aku harus cepat sehat, harus cepat pulih, batinku berkali-kali. Semakin lama aku terbaring, musuh-musuh jahanam itu akan semakin bebas berpesta pora tanpa penghalang.
Kuminta botol di tangan Johan. Apa pun isi cairan itu, aku ingin mereguknya.
Malaikat penolong yang penuh misteri itu mengerti keinginanku. Dia menarik kursi, mendekatkan botol itu ke arahku. "Jamu kuning buatan Bu Udin," katanya pelan.
Kuterima botol itu. Kureguk isinya seolah berhari-hari kerongkonganku tak pernah dialiri cairan.
"Terima kasih," kataku lega.
Cairan dingin, manis, kecut itu membuat tenagaku semakin menguat. Memberi tenaga di perutku untuk memberondong Johan dengan pertanyaan-pertanyaan yang berkelindan di otakku.
"Apa yang terjadi? Bagaimana kau bisa muncul di saat yang tepat? Siapa orang yang ingin membunuhku?"
Johan menyentuh tangan kananku, memintaku lebih tenang. Lelaki di hadapanku itu menarik panjang napasnya, kemudian menghembuskannya bersama nada yang tertekan. "Jujur saja, menurutku, mungkin berkenaan dengan kasusmu."
"Kalau itu aku tahu!" batinku.
Sebelum kusemprot dia dengan kata pedas dia sudah mendahuluinya.
"Tapi, aku tidak punya bukti yang valid. Temanku yang ahli IT memberi tahu aku setelah meretas sebuah informasi yang mengarah ke keselamatanmu."
"Apa yang dia retas?"
"Email milik Direktur PT. Adiguna."
"Bagaimana bisa?" tanyaku meyakinkan diriku.
Johan menarik napas panjang, menghembuskannya perlahan seolah takut mencederaiku. "Entahlah…."
Sebelum aku menyusulnya dengan pertanyaan lain dia membuat keputusan sepihak.
"Lebih baik kau istirahat dulu. Bu Udin sudah membalurkan obat oles. Setelah makan, kamu minum obat anti nyeri dan obat penutup luka. Kemudian, istirahat yang cukup."
Aku melirik buntalan plastik yang teronggok di dekat kakiku: sebotol air putih, roti dan obat.
"Perjalanan kita masih jauh. Kita harus bergerak meninggalkan rumah ini sebelum mereka tahu. Di samping aku tidak ingin mempertaruhkan keselamatanmu, aku juga tidak ingin membahayakan keluarga Pak Udin."
"Kemana kita?"
"Ke sebuah tempat yang aman. Di lereng Gunung Gede."
"Ha? Kenapa ke sana?"
"Aku akan menjelaskannya nanti."
Kubiarkan pertanyaan bergelayut di kepalaku. Semakin aku mengenal laki-laki ini, semakin besar misteri yang melingkupinya.
"Sebaiknya kau makan dulu, kemudian minum obat."
Aku mengangguk tipis. Johan tersenyum menggoda," Kau ingin kusuapi?"
Aku meringis kesakitan. Bahuku terasa digigit kala berguncang menahan tawa. Johan melihat seringaiku itu.
"Maaf, maaf. Beristirahatlah dulu. Aku keluar sebentar mencari informasi."
Sebelum aku menahannya, Johan sudah beranjak meninggalkan aku. Sebelum tirai yang dibukanya tertutup dengan sempurna, kupaksakan kerongkonganku meneriakkan pertanyaan yang sedari tadi menggantung.
"Kenapa kau peduli denganku?"
Tangannya tegang. Tanpa menjawab pertanyaanku dia menutup turai itu, berlalu meninggalkan aku yang harus mencari sendiri jawabannya.
Aku tertidur laiknya bayi dalam dekapan ibu yang mengasihinya. Di rentang waktu itu, entah sudah berapa kali infusku diganti, entah berapa banyak obat disuntikkan melalui selang yang menancap di pergelanganku. Yang pasti, tatkala kelopak mataku terbuka, aku seolah dilahirkan kembali. Tulang dan otot persendianku tak lagi kaku. Hanya luka dibahu yang terbebat perban yang masih mengigit. Kepalaku tak lagi berdenyut saat aku duduk dari pembaringan. Mataku tak lagi nanar.
Ketika tirai tersingkap, Johan mendekatiku dengan wajah cerah. Tubuhnya yang tinggi dan tegap terbalut jaket bomber hitam dan celana jeans. Sepatu sport membalut kakinya. Di tangannya tergenggam buntalan plastik besar.
"Kita harus berangkat, Sylvi. Ini aku bawakan pakaianmu. Jangan khawatir, pakaian dalammu Bu Udin yang membelikannya."
Aku tertawa sengau. Dua tas ransel penuh pakaian teronggok di dekat tirai pintu.
"Aku hutang padamu makan malam lagi, ya?"
Dia tergelak. "Ya. Sepuluh kali makan malam untuk beberapa lembar baju, celana beserta dalamannya."
Aku tak menggubris candaannya. Kuusir dia dari ruanganku setelah selang infus dicabutnya. Telapak kakiku terasa dingin kala menginjak lantai yang terbuat dari ubin. Tubuhku tak bergoyang sedikit pun. Entah obat apa yang telah menjejali tubuhku sehingga dalam kurun waktu singkat, tenagaku yang terlolosi kembali penuh.
Kulangkahkan kakiku keluar dari ruangan setelah berganti baju dan pakaian dalam. Seperti pakaian yang dikenakan Johan, celana jeans, sepatu sniker putih, baju longgar di luarnya tertutup jaket bomber warna hitam membalut tubuhku. Topi baseball menyembunyikan rambutku di baliknya.
Di ruang tengah, Johan, Pak Udin, Umam dan satu pria yang tak kukenali duduk melingkar di atas tikar. Di tengahnya, sebakul nasi mengepul, ayam bakar dan urap-urap menunggu. Mereka tersenyum ramah menyambutku.
"Kita makan dulu. Setelah itu melanjutkan perjalanan. Kau harus makan banyak, Sylvi, tubuhmu memerlukan protein dan karbohidrat untuk mengembalikan tenagamu," kata Johan.
Malaikat penolongku berubah menjadi wanita nyinyir, tapi, aku suka itu.
"Entah obat apa yang kau masukkan ke tubuhku, tenagaku sudah kembali seperti sedia kala. Setelah makan, sebetulnya aku bisa kembali bertugas."
Johan menggelengkan kepalanya sambil tersenyum. "Coba kau tarik napas panjang."
Kuturuti kehendaknya. Kala kutari napasku, dadaku seperti dihantam palu berat. Belum juga aku tersadar dengan apa yang menimpa tubuhku, Johan melanjutkan, "Gerakkan pinggangmu ke kanan dan ke kiri. Tapi perlahan saja."
Kugoyangkan perlahan pinggulku. Suara tulang berderak diikuti tusukan puluhan paku yang menyakitkan menghujam. Membuatku mengaduh kesakitan.
"Kau menderita luka dalam yang lumayan berat. Kalau saja kekuatan tubuhmu tak kuat menahan, dengan terpaksa aku akan membawamu ke rumah sakit dengan segala resikonya. Untungnya tubuhmu perkasa. Ketahanan tubuhmu menghadapi deraan luka mengagumkan. Itulah kenapa aku hanya akan membawamu sejenak untuk beristirahat, memulihkan kesehatanmu di suatu tempat. Cukup seminggu, kau akan sehat seperti sedia kala."
"Tapi … bagaimana dengan sidangku? Aku tidak punya waktu seminggu. Sidang berikutnya adalah pemeriksaan saksi-saksi."
"Kan ada dua partner-mu yang menggantikan."
Aku gamang. Memang Anto dan sahat yang akan menghadiri sidang itu. Tapi pemeriksaan saksi-saksi merupakan pertempuran sebenarnya. Dan aku ingin ikut di dalamnya. Lagi pula, aku yakin Anto dan Sahat akan khawatir mengetahui aku tidak muncul tanpa pesan.
"Sidang pemeriksaan saksi-saksi kan tidak hanya diadakan sekali, Syl."
Aku mengiyakan. "Iya, tapi aku ingin hadir."
"Tolonglah, untuk kali ini ikuti nasehatku. Kau harus sehat dulu. Aku yang akan mengantarkanmu ke pengadilan setelah kau sehat."
Johan berubah menjadi pengatur hidupku. Entah kenapa, itu membuat campuran segala rasa meruap tak menentu. Aku menyerah. Kali ini kuikuti keinginannya. Sebagai balasan kejengkelan, kuhajar nasi, lauk dan sayurnya sebanyak kekuatan perutku. Dalam waktu sepuluh menit, aku sudah tak mampu lagi berdiri. Kenyang membuat otakku berpikir jernih. Ada satu benda penting yang selama ini selalu menemani tidak bersamaku. Ponselku.
"Aku pinjam ponselmu. Aku ingin menghubungi Anto dan Sahat."
Johan yang duduk di sebelahku menatapku lekat. Dia seolah berharap aku tidak meledak setelah kekenyangan.
"Maaf, Sylvi. Lebih baik kau tidak menghubungi mereka."
Aku tertegun penuh keheranan. "Kenapa?" tanyaku tak puas.
"Untuk sementara, lebih baik tidak bersentuhan dengan benda yang bisa memancarkan frekuensi. Mereka pasti tahu di mana posisimu. Aku pun tidak akan menggunakan ponselku, karena aku khawatir mereka sudah mengendus keterlibatanku."
"Seserius itu kah?"
Johan mengangguk tegas. Lelaki ini telah menolongku dengan mengorbankan hidupnya. Tak mungkin dia membohongiku.
"Tapi aku tidak ingin membiarkan mereka khawatir," susulku.
"Kamu bisa menulis surat. Biar Umam yang akan mengantar suratmu kepada mereka." Johan mengalihkan pandangannya ke anak tanggung yang dulu pernah menangis ketakutan saat tertangkap. "Kamu bersedia kan, Mam?"
"Siap Om. Saya akan ditemani Bang Sadil. Kami akan memberikannya langsung pada Bapak yang dituju setelah mengantar Om Johan dan Tante Sylvi."
Umam dan teman yang ditunjuknya mengangguk penuh percaya diri. Rasanya baru kemarin aku melihat bulir-bulir air mata membasahi pipinya karena takut di penjara, kini dia telah berubah menjadi remaja yang berani. Panggilannya kepadaku pun telah dirubahnya pula menjadi "Tante".
"Tolong ya, Umam." Kuberikan senyum tercantik yang kupunya.
"Siap Tante."
Setelah berpamitan dengan Pak Udin dan keluarganya, mobil buatan Jepang yang kami sewa membelah jalan-jalan Kota Jakarta. Sadil memegang setir, Umam duduk di sampingnya, aku dan Johan duduk bersisihan. Selama perjalanan tidak ada tukar percakapan.
Mata Johan nyalang menatap spion depan. Terkadang kepalanya melongok ke belakang, mencari bila ada mobil lain yang mengikuti. Sengaja kami tidak mengambil jalan utama, tetapi melingkar-lingkar dulu atas instruksi Johan.
"Ketika bergelut dengan penyerangku, aku merasa dia bukan orang Indonesia. Kau tahu?" Pertanyaan yang masih bergulat di otakku ingin kutuntaskan.
Johan menoleh ke arahku. Erang kegeraman menerobos tenggorokannya. "Orang Jepang. Anggota pembunuh bayaran yang disewa PT. Adiguna!"