Tepat seperti perkiraanku. Sejak menangani kasus ini, aku, Sahat dan Anto tidak pernah santai lagi. Selain kasus Sion yang butuh perhatian ekstra, kasus-kasus lain berdatangan laiknya gelombang. Kami benar benar kelimpungan.
Ironisnya, honorariumnya belum mampu mencukupi menutup biaya operasional kantor.
Aku melirik arlojiku yang tergeletak di atas meja. Pukul lima sore. Hampir seharian Johan pergi dan belum kembali. Aku ingin pulang ke apartemenku. Tetapi aku juga tidak enak meninggalkan Johan tanpa pamit lebih dulu.
Aku duduk sendiri di sofa. Bi Uni entah kemana. Sambil tiduran, aku mendengarkan berkali-kali rekaman dari ponselku. Belum juga sepuluh menit, mataku kembali terasa berat. Aku jatuh terlelap. Obat bekerja dengan keras.
Entah berapa lama aku tertidur. Manakala kelopak mataku terbuka, sinar lampu di atap menyeruak menghujam bola mataku. Kukerjapkan kelopak mata beberapa kali. Kudapati sosok tubuh yang sedari tadi kurindukan duduk di depanku. Di sebelahnya terdapat bungkusan plastik besar bertuliskan nama sebuah Mall.
Johan menatapku lekat, seolah menikmati wajahku seindah dia menikmati lukisan sang penari. Pandangannya dialihkan ke arah lain ketika mata kami bersirobok. Rasa hangat menjalar dari leher hingga ke pipiku.
"Kau tidur seperti bayi," kata Johan mengusir kejengahan.
"Jam berapa sekarang?" tanyaku.
Johan menunjuk arlojiku di atas meja dengan anggukannya.
Reflek aku meraih arlojiku. Pukul tujuh malam. Aku harus pulang. Tidak enak berlama-lama di rumah lelaki yang baru kukenal. Sialnya, perutku kembali mengeluarkan rintihan.
Johan tertawa. "Kau belum makan siang. Makan malam, yuk," ajaknya.
Hatiku langsung mengiyakan. Namun bibirku terucap lain. "Maaf, aku harus pulang. Aku tidak ingin menggangu waktumu."
"Ini hari minggu, Sylvi. Lagi pula, aku tidak punya agenda lain. Aku tahu tempat makan yang enak di dekat sini. Setelah makan, aku akan antar kau pulang. Bagaimana?"
Sorot mata itu berharap, sesuai dengan kata hatiku. Lagi pula, aku tak tega menolak ajakan orang yang telah mempertaruhkan nyawanya untukku. Aku pura-pura menerima ajakannya dengan berat.
"Tapi jangan terlalu lama, ya. Aku harus menyelesaikan laporan untuk rapat besok senin dengan teman-temanku."
"Nggak. Paling cuma satu jam saja. Kita naik motorku, ya?"
Aku teringat akan nasib motorku. Pastilah sudah hilang setelah kutinggal semalaman. Seolah tahu apa yang kupikirkan, Johan memberi kepastian nasib motor kesayanganku.
"Jangan khawatir, motormu aman. Temanku akan mengantarnya ke apartemenmu."
Kembali aku berterima kasih padanya. "Bagaimana caranya kau bisa mengamankan motorku?"
"Aku akan menjelaskannya nanti sambil makan."
Senyum manis itu membuatku semakin penasaran.
Aku melirik Jaket bomber compang-camping di sebelahku, wajahku bersemu merah mendapati tubuhku hanya terbalut daster kekecilan. Johan menarik bibirnya lebar. Pria itu menyerahkan bungkusan plastik di sampingnya.
"Pakaianmu sudah tak layak pakai. Tapi aku tidak tahu secara pasti ukuran celana jeans dan kaosmu."
Sebelum aku menyampaikan ucapan terima kasih, dia sudah menyusulnya dengan kalimat yang membuat wajahku memerah seperti kepiting rebus.
"Untuk bra dan celana dalamnya, kau beli sendiri, ya."
Johan tekekeh melihat aku menerima bungkusan itu dengan wajah belepotan malu.
Aku bergegas bangkit, mengambil ponsel yang tadi kuletakkan diatas meja, berlalu cepat ke kamar mandi. Tanpa mematut diri di depan kaca, aku keluar dengan celana jeans, kaos polo putih dan jaket bomber warna biru. Tidak lupa sepatu sneaker putih yang tadi tergeletak di sudut kamar telah menghias kakiku.
"Berapa? Aku akan menggantinya."
Johan tidak menjawab. Pemuda itu meneliti penampilanku dari kaki hingga kepala. Celana jeans terasa pas di tubuh bawahku, kaos polo membuat tubuhku terlihat sintal.
"Tidak usah. Anggap saja hadiah dariku sebagai salam perkenalan."
Aku menggeleng. "Aku tidak mau menerima hadiah dari laki-laki. Terutama laki-laki yang baru kukenal."
"Baiklah, kau bisa menggantinya dengan membayar makan malam."
"Deal!"
Setelah berpamitan dan berterima kasih pada Bi Uni, pantatku sudah bertelekan di jok belakang motornya. Knalpot motor 250 cc meraung. Sebenarnya kikuk juga tatkala meletakkan duduk di boncengan ini. Lekuknya yang menjorok ke depan membuat tubuhku harus merapat pada tubuh Johan. Kala aroma vanilla membuar dari tubuh itu, tanpa ragu lagi kupeluk pinggangnya dari belakang. Walau dibatasi oleh jaket, aku merasakan otot pinggang dan otot perutnya yang keras. Aku menikmati momen ini.
Motor melesat seperti anak panah dengan bunyi knalpot meraung. Johan meliuk membelah Kota Jakarta.
Teman-temanku sering mencelaku karena aku termasuk cewek yang dingin dalam soal asmara. Wanita mandiri yang tidak butuh laki laki. Kuakui, sampai saat ini aku belum pernah pacaran. Kulit kuning langsat, rambut hitam mengkilat, bola mata coklat dengan kelopak mata teduh, hidung mancung, dan dagu lancip, ditunjang berat badan dan tinggi yang ideal, berkali-kali sahabatku menyuruhku untuk mengikuti lomba kecantikan, atau peragaan busana.
Aku menolak mentah-mentah usul mereka. Duniaku bukan berlenggak-lenggok diatas panggung dan ditonton banyak mata dengan kekaguman. Duniaku adalah pentas yang ditonton penuh kekaguman akan tendangan dan pukulan.
Tidak sedikit pemuda yang ingin mendekatiku. Berlomba-lomba menarik perhatianku. Aku hanya menanggapi semua itu dengan dingin. Menyambut uluran tangan mereka hanya sebatas teman. Capek tak berbalas, mereka mundur teratur. Terlebih setelah tahu hobiku.
Dari dulu duniaku sepi dari kehangatan atau deburan rasa yang sering dipuja-puja sahabatku. Aku tidak menyesali keputusanku. Biarlah sepi ini kunikmati sendiri seraya mencecap keterasingan yang menjulurkan kedamaian semu.
Tidak lebih dari setengah jam berkendara, motor memasuki restoran lumayan besar, chinese food. Setelah memarkir motor, aku mengikuti Johan ke dalam restoran. Dia memilih meja di pojok, tersembunyi dari tamu-tamu lain. Seperti laiknya pria berbudi halus, Johan menarik kursi untukku. Mempersilahkanku duduk laiknya ratu, sebelum dia menduduki kursinya sendiri.
Pelayan mendekati kami dan mengangsurkan menu makanan. Johan menawariku untuk memilih, namun aku menyerahkan makanan apa pun yang ingin dipesan padanya. Selama menunggu masakan datang, hening meruap sepanjang angan kami menyesap lintasan peristiwa yang telah lewat.
"Tentu kau akan memberondongku dengan banyak pertanyaan. Silahkan, aku akan berusaha menjawab apa yang aku tahu," katanya memecah suasana.
Mata itu mengerjap. Bibirnya ditarik lebar berusaha mencairkan kekakuan yang membekap.
"Bagaimana kau tahu aku ingin bertanya banyak hal padamu?" jawabku penuh selidik.
"Bukan kah advokat ingin tahu banyak hal?"
Aku tertawa pahit. Dia membalasnya dengan tawa lepas. Sepasang muda-mudi yang duduk tidak jauh dari meja kami mengarahkan pandangannya pada kami.
"Wajahmu beberapa hari ini menghiasi televisi. Sebuah kehormatan bagiku bisa bertemu dan menolong Advokat yang sedang naik daun."
Senyum lebar mengembang dari mulutnya yang seksi. Giginya yang putih dan rata bak mutiara membuat wajahku bersemu merah. Sialan! Aku kikuk mendapat pujian layaknya remaja tanggung yang tak berkutik dihadapan pria dewasa. Dia tahu banyak tentang aku. Tetapi, aku tidak tahu apa pun tentangnya. Jiwa advokatku tertantang. Tanpa basa-basi lagi, aku memberondong Johan dengan banyak pertanyaan.
Johan berasal dari Bandung, dua tahun lebih tua dari aku. Selepas SMA dia kuliah di salah satu perguruan tinggi negeri di Jakarta. Menyelesaikannya tepat waktu, kemudian bekerja di sebuah perusahaan multi internasional sebagai supervisor IT. Itu saja. selebihnya Johan enggan untuk bicara terlalu jauh, dan aku pun tak ingin mencecarnya. Saat bicara tentang pekerjaannya yang berkutat dengan angka dan komputer, mata Johan bersinar. Jelas laki-laki dengan mata indah ini sangat mencintai pekerjaannya. Sejak kecil Johan menyukai olah raga beladiri, sebuah hobi yang sama denganku.
Malam itu, seperti biasanya setelah berkutat dengan angka-angka dalam jam lemburnya, dia melewati jalan yang selalu dilaluinya tiap hari. Pada dasarnya Johan bukanlah orang yang suka mencampuri urusan orang lain, tetapi, melihat seorang wanita dikeroyok tiga laki laki, dia tak bisa tinggal diam. Hanya itu yang bisa kukorek tentang lelaki di depanku ini.
"Apa yang membawamu terlibat dalam masalah seperti itu?"
"Sebenarnya aku tak ingin bicara tentang masalahku padamu. Tapi…."
Dehemen parau terdengar sebelum dia memotong kalimatku. "Kamu tak harus mengatakannya padaku."
"Bukan begitu, aku hanya ragu membicarakan masalahku yang tak ada hubungannya denganmu."
"Oke, kita bicara yang lain saja."
Dari senyumnya kutangkap makna yang tulus untuk tidak menggangguku. Hatiku berontak. Aku tak ingin mengecewakan laki-laki yang telah menyabung nyawa demi aku.
"Kejadian tadi malam berhubungan dengan kasusku. Yah, mereka adalah tukang pukul diskotek Aomora."
Aku menceritakan semuanya pada Johan. Tentang Sion, tentang petunjuk yang aku dapat dari Sion yang mengarahkan aku ke diskotek Aurora, tentang pertemuanku dengan Dorsi dan Bang Rud. Hanya tentang rekaman yang akan kugunakan untuk membela Sion sajalah yang tidak aku ceritakan.
Johan tercenung. Aura di wajahnya berubah kelam. Selama mendengar penjelasanku, air mukanya berubah-ubah. Sorot matanya kadang mencorong tajam, kemudian meredup. Keningnya melipat berpikir keras, kemudian melunak. Aku terlatih dalam melihat ekspresi orang. Terutama saat menanyai saksi-saksi di pengadilan. Perubahan wajahnya tak urung membuatku curiga.
"Kenapa kau bersikap seperti itu? Adakah kau kenal dengan dengan orang-orang yang tadi kusebutkan?"
Pertanyaan bodoh! Tentu saja tanpa dia menjawab pun aku sudah tahu jawabannya. Tak mungkin dia kenal mereka. Namun, naluri advokatku bekerja secara otomatis. Johan tersenyum lepas, aura yang sempat kelam berubah ceria.
"Sylvi, Sylvi … Tentu saja aku tidak kenal, dan tak ingin mengenal mereka."
Aku mengangguk tipis, jawaban penegasan sudah tersampaikan.
"Untuk selanjutnya, aku berharap kamu lebih berhati hati."
Selebihnya Johan memilih diam. Akulah yang mendominasi pembicaraan di sela-sela menyantap makanan yang tersaji. Sebentar saja perutku yang tadi kosong terasa tak muat lagi. Aku tak perlu sungkan dihadapan laki laki ini. Tubuhku sedang membutuhkan nutrisi untuk mengembalikan tenaga yang terperah kemarin malam.
Setelah semua masakan tak bersisa, aku harus mengakhiri pertemuan ini. Besok pagi aku harus ke kantor. Menemui Sahat dan Anto, menceritakan apa yang telah kulakukan. Butuh tenaga baru untuk menghadapi berondongan kemarahan mereka.
Johan memanggil pelayan, meminta bon setelah aku memberi isyarat selesai dengan nafsu makanku. Ketika pelayan itu kembali lagi dengan membawa bon di atas nampan, aku memaksa membayar bon itu sebagai ganti celana dan baju yang dibelikannya. Semula Johan menolak keras, aku terus memaksanya.
Aku lebih memilih naik taksi, menolak tawarannya untuk mengantarku hingga ke apartemen. Sebelum tubuhku tenggelam ke balik pintu taksi, kuulurkan tanganku. Dia menyambutnya.
"Terima kasih atas segalanya," kataku tulus, menggoyangkan telapak hangat dalam genggamanku berkali kali
"Sama sama. Aku juga senang bisa berkenalan denganmu, dan ijinkanlah aku mengajakmu makan malam di lain hari."
Kuggedikkan bahuku. Tidak mengiyakan dan juga tak menolak ajakannya.
"Kau yakin tidak mau kuantar?"
"Tidak, aku tak ingin merepotkanmu lagi."
"Hati hati," ucapnya tulus.
Untuk sementara aku ingin terbebas dari rasa yang mulai menjeratku ini. Sebelum aku menutup pintu belakang taksi, kalimat terakhir Johan membuat rasa itu menguap.
"Tidak kah lebih baik kau lepas saja kasus ini? Menurutku … kasus ini sangat berbahaya."
Johan tak lebih baik dari Om Sandi atau Anto. Lelaki di mana-mana sama saja. Selalu meremehkan kekuatan wanita! Tak kuhiraukan peringatannya. Kututup pintu mobil dengan kasar. Aku kecewa.