Amarahku memuncak. Laki-laki yang aku Dewa-Dewakan ini ternyata tak lebih dari seorang penjahat.
"Keluar kamu sekarang juga!" teriakku membahana. Aku yakin suaraku bisa ditangkap penghuni lain bila dia sedang menunggu elevator di lantai yang sama.
Tubuh Johan bergetar mendengar suara kerasku. Dia mematung. Tetap duduk diatas kursi, tak bergeming sedikit pun.
"Kau penjahat! Keluar dari kamarku sekarang juga!" teriakku sekali lagi.
Isi kepalaku memutih, dadaku terasa sesak. Segala amarah dan stress dari tekanan akan kasus Sion meledak dalam dada. Mataku menyala menatap laki laki dihadapanku ini. "Aku akan melaporkanmu ke polisi. Aku akan membuatmu membusuk di penjara!"
"Sekali lagi, maafkan aku. Tolong dengar penjelasanku dulu," pinta Johan memelas.
"Perlu kau ketahui! Meretas Sistem Keamanan adalah kejahatan! Pasal 30 Undang Undang Informasi dan Elektronika Tahun 2008, ayat 3, menyatakan bahwa setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum mengakses komputer dan atau sistem elektronika dengan cara apapun dengan melanggar, menerobos, melampaui, atau menjebol system pengamanan dikenakan pidana penjara paling lama delapan tahun dan atau denda paling banyak delapan ratus juta rupiah!"
Kala Advokat marah, Pasal dan Ayat di Undang-Undang beserta ancaman hukuman pidananya berhamburan di luar kepala. Aku mendengus keras, napasku memburu setelah mengingat pasal yang bisa kukenakan kepadanya.
Lelaki itu tetap mematung. Matanya melirik amplop yang masih teronggok diatas meja. Diraihnya perlahan meraih amplop itu, disorongkannya ke arahku. "Ini. Coba kau buka. Akulah yang mengantar Amplop ini ke satpam tadi pagi."
Pengantar yang tadi tak dikenali Pak Udin ternyata Johan. Rasa keinginantahuku akan isi amplop ini membuat amarahku sedikit tertahan.
"Apa hubungannya antara meretas sistem keamanan apartemenku dengan isi amplop ini?" tanyaku ketus.
Keenganan merayapi dada. Batinku berperang hebat antara hukum yang harus ditegakkan dan rasa penasaran sebagai manusia. Naluriku mengatakan, membuka amplop ini seperti membuka kotak Pandora.
Di kala aku gamang, nasehat Om Sandi melintas; hukum bukan hanya yang tertulis di atas buku-buku perkuliahan.
"Bukalah dulu. Setelah kau melihatnya, aku akan menerima apapun keputusanmu. Walaupun untuk itu aku harus masuk penjara."
Johan menatap mataku dalam-dalam. Skleranya memintaku untuk percaya padanya. Aku tak kuat membalas tatapan mata yang langsung menusuk relung hati itu. Aku mengalihkan pandangan ke amplop ditangan Johan. Gemetar kuterima amplop yang diangsurkan ke tanganku. Kuputuskan untuk membuka kotak Pandora.
Sebuah print copy dokumen berupa rincian transaksi keuangan sebuah perusahaan, faktur pajak, dan beberapa dokumen lain yang susah kupahami artinya. Dan beberapa lembar foto. Aku bukanlah akuntan yang terlalu paham dengan angka-angka. Lebih baik aku bergelut dengan menghapal pasal-pasal daripada harus berkutat dengan matematika dan angka.
Aku melirik Johan, memastikan bahwa dia tidak sedang mempermainkan aku. Dia menatapku balik. Berharap aku berusaha sekuat tenaga mencerna isi dokumen itu. Sorot matanya yang penuh harap membuatku menuruti keinginannya. Kuteliti lagi dokumen itu. Kukerahkan daya nalarku untuk mencari beberapa ruang kosong dalam otakku yang masih tersisa pelajaran ekonomi atau akuntansi yang pernah kudapat ketika SMA. Semakin kukerahkan konsentrasi, kepalaku semakin pening. Hatiku berbisik untuk menyerah. Namun, bayangan wajah Sion dan ibunya terbayang.
Ditemani senyum dan harapan wajah klien, dikemas oleh keberadaan pria yang telah membuatku kelimpungan, sedikit demi sedikit aku mulai terbiasa dengan angka-angka yang tertera di dokumen. Semakin aku konsentrasi memilah dan menguliti isinya, mataku semakin terbelalak mendapatkan apa yang tersaji.
Aku menghentikan sementara meneliti dokumen ini, beralih meneliti foto foto yang terpampang di tanganku. Aku terkejut mendapati wajah yang tak asing lagi di foto itu.
"Bagaimana mungkin … kau … bisa mendapatkan ini?" tanyaku terbata-bata.
"Aku meretas transaksi perusahaan beserta rekaman cctv-nya," jawab Johan pelan. Dia takut amarahku akan meledak lagi.
"Bagaimana caranya?"
"Seperti yang pernah kubilang, aku bekerja di sebuah perusahaan IT. Peretasan bagiku bukanlah hal yang baru dan susah. Aku mencari segala informasi lewat internet dan bertanya banyak hal tentang kasusmu. Tidak semua informasi tampak di permukaan seperti yang ditulis oleh media atau diketahui orang umum. Dari informasi yang kudapatkan, nama perusahaan itu muncul. Dibantu temanku di dunia maya, aku meretas data transaksi perusahaan tersebut."
"Bukan kah data-data perusahaan itu juga dilengkapi system sekuriti?"
Johan mengiyakan. "Perusahaan itu juga dilindungi oleh keamanan sistem informasi yang canggih. Orang-orang yang bekerja menangani keamanan sistem informasi perusahaan itu juga bukan orang-orang sembarangan. Untuk saat ini, hanya itu yang bisa kudapatkan untuk membantu kasusmu. Aku tidak ingin ketahuan jika terlalu lama dan terlalu dalam masuk ke dalam peretasan sistem informasi mereka."
"Tapi, tetap saja itu melanggar hukum." Kali ini nada suaraku sudah tak seketus tadi.
"Dalam dunia cyber, kami mempunyai komunitas yang lebih banyak tahu daripada orang kebanyakan. Tentang apa pun. Bukan hanya di Indonesia, tetapi seluruh Negara. Meretas sebuah sistem informasi memang melanggar hukum, tetapi jika tindakan melanggar hukum itu untuk menegakkan hukum dan keadilan, dan bermanfaat bagi orang lain, bukan kah itu masih bisa ditolerir?" Kata kata Johan menohok.
"Maksud analogimu, kau mencuri dari orang kaya untuk membantu orang miskin? Berlagak seperti Robin Hood?"
Dia menunduk. Perasaanku tak tentu arah. Merangkak naik sekejap, kemudian turun drastis dengan kecepatan tinggi. "Melanggar hukum untuk menegakkan hukum, sama dengan main hakim sendiri. Kau tak bisa menegakkan keadilan dengan melanggar privasi orang lain," kilahku.
"Baiklah, aku mengaku salah. Aku hanya ingin membantumu. Itu saja."
Johan terlihat enggan berdebat denganku. Dia yakin tak akan menang mendebat advokat yang mempunyai beribu alasan untuk berkelit.
Kekesalan dan kemarahan yang tadi menyesak dada hilang entah kemana. "Terima kasih kau sudah membantuku. Data ini susah kupergunakan sebagai alat bukti di pengadilan. Disamping aku mendapatkannya karena melanggar hukum, data ini belum tentu valid. Bila pihak perusahaan mengingkari data ini, dan menyerahkan data yang lebih akurat, kemudian diyakini kebenarannya oleh hakim, aku akan kalah."
Sebelum lelaki itu berkilah, kulanjutkan kalimatku dengan ucapan terima kasih. "But, thanks anyway. Dengan data ini, aku sangat terbantu untuk meneliti lebih dalam lagi. Aku tahu harus kemana untuk menggalinya."
Kami terdiam. Keheningan bertaut dengan waktu. "Boleh aku meminta sesuatu?" tanya Johan mengusir kebuntuan.
Sebelum aku bertanya tentang permintaannya, dia sudah menyusulnya, "Aku ingin kamu menemaniku makan malam."
Aku tergelak. "Kau tidak ikhlas membantuku," kataku menggoda.
Johan ikut tersenyum lebar. "Bukan begitu. Jujur saja, aku tidak tahu alasan apa yang bisa kupakai untuk mengajakmu keluar. Jujur aku ingin bertemu lagi denganmu. Kupikir, sambil makan aku bisa menerangkan lebih detail tentang isi dokumen itu."
Aku menarik napas panjang pura-pura keberatan dengan alasannya. Langsung mengiyakan ajakannya serasa membuat harga diriku terkesan murah di matanya.
"Baiklah. Aku yang traktir. Anggap saja bentuk rasa terima kasihku atas bantuanmu."
Johan menggeleng. "Kapan hari kan kamu yang sudah mentraktirku."
"Kapan hari itu untuk rasa terima kasihku karena kau telah menyelamatkan nyawaku, untuk pakaian yang kau belikan. Kali ini, aku yang bayar untuk dokumen ini."
Johan menyerah. Dia mengangguk senang.
"Tapi…."
"Tapi, apa?" tanyanya khawatir aku merubahnya.
"Kalau ingin mengajakku makan malam, jangan lagi mencari alasan yang melanggar hukum," jawabku.
Johan tersenyum. Dia menundukkan tubuhnya sembilan puluh derajat seperti kesatria yang meminta sang putri untuk menikahinya. "Aku yang menentukan tempatnya. Lebih baik tempat di mana kita bebas membicarakan dokumen rahasia ini."
"Deal. Tapi jangan yang mahal, ya. Hasil kerjaku sebagai advokat masih belum seberapa saat ini."
Lelaki itu terkekeh. "Aku tahu tempat yang sederhana dan enak. Kau pasti akan suka."
Aku mengiyakan tanpa tanya. Kekakuan yang tadi membeku perlahan mencair. Johan menatapku aneh, kemudian melengos. Tatapannya beralih ke rak buku di sampingku. Keheningan yang aneh membuatku jengah. Ada yang salah.
"Boleh aku tunggu di sini sambil menikmati koleksi bacaanmu?"
Tanpa meminta persetujuanku Johan bangkit dari duduknya. Ia berjalan pelan ke rak buku di dekat sofa. Dibukanya kaca penutup rak. Satu demi satu judul buku yang ada dilihatnya seksama. Koleksiku kebanyakan buku tentang hukum. Kalau pun ada novel, kebanyakan novel hukum karya John Grisham dan novel misteri karya Sidney Sheldon.
Keheningan semakin terasa kaku. Ketika menyadari apa yang salah, kumemaki diriku berkali-kali. Kaos yang kukenakan tipis. Cahaya lampu dari atas membuat silhuet tubuhku nampak jelas di matanya.
"Aku mandi dulu!" kataku pendek.
Setengah berlari aku meninggalkan Johan yang asyik "tenggelam" dalam bacaannya.
Aku sudah mengganti kaosku dengan kemeja putih. Sepatu sniker putih membalut kakiku. Rambutku yang biasa tergerai kuikat kebelakang. Memberi angin segar meniup bulu bulu halus di tengkukku. Sapuhan tipis gincu merah muda tanpa bedak dan alat make up lainnya membuat ajakan makan malam Johan kali ini tidaklah terasa spesial dan formal.
Berbeda dengan penampilanku, pria yang membuat jantungku berdebar itu memakai celana pantalon hitam dan kemeja biru. Gespernya terlihat mengkilat kala cahaya mengenainya. Blazer hitam membungkus tubuhnya yang semampai. Johan mungkin berharap mengajakku ke tempat yang mewah di sebuah restoran mahal, atau tempat makan kelas atas di hotel berbintang lima. Aku merusak penampilan Johan dengan mengajaknya ke tempat yang lebih bersahaja.
Saat meninggalkan apartemen, tatapan Pak Udin membuatku kikuk. Dia termangu keheranan. Bagimana mungkin aku bisa keluar dengan laki-laki yang dia tidak tahu kapan masuk ke apartemennya. Walau begitu salam petugas sekuriti itu tulus tanpa cibiran. Pancaran matanya menyiratkan kebahagiaan melihat aku kali ini berjalan bersisihan dengan seorang laki laki di akhir pekan. Setelah sekian lama melihatku sendiri melewati akhir minggu sendiri.
Rasa senang berkelindan dengan kekecewaan karena Johan mengganti motor sportnya dengan mobil SUV pabrikan Jepang. Kecewa karena aku tidak bisa mendekap pinggangnya yang kekar, senang karena aku tidak perlu berjibaku menentramkan degup jantungku tatkala kulit kami bersentuhan.
Di dalam mobil yang membelah kemacetan Jakarta, tidak banyak yang kami bicarakan. Aroma kekakuan yang membelenggu meruap sepanjang jalan. Pertanyaan basa-basi mengenai kabar mengisi kekosongan. Kemudian diam. Beberapa kali aku memainkan tali tas di pangkuanku. Kebosanan merayap. Membuatku sekali dua kali menguap.
Tidak seperti Sahat yang selalu mengisi kekosongan keheningan dengan celotehnya, Johan bukan tipe laki-laki yang banyak bicara. Gaya Sahat yang meledak-ledak sangat berbeda dengan gaya Johan yang cenderung cool. Beberapa kali aku mencuri pandang dari samping. Kalau saja laki-laki yang saat ini duduk disampingku tidak berwajah tampan, keberduaan ini akan terasa sangat melelahkan.
Pandangan Johan lurus ke depan. Sementara tatapanku menikmati hidung mancung diatas bibir tipis itu. Lebih menarik daripada pemandangan kemacetan di luar. Bibir itu sekarang tertarik ke samping.
"Kenapa kau tersenyum sendiri?" tanyaku.
Johan melirik sekilas ke arahku, tangannya tetap pada kemudi. "Membosankan berduaan denganku?"
Sinar mobil yang menerpa dari depan membuat wajahku bersemu merah. Pikiranku dengan mudah ditebaknya.
"Nggak juga. Aku menikmati pemandangan di luar."
"Ceritakan tentang keluargamu?" pinta Johan.
"Tidak ada yang menarik dalam kehidupanku." Aku memang tidak terbiasa berbagi cerita dengan orang lain, apalagi membagi misteri yang melingkupi kehidupanku dengan laki-laki yang baru kukenal.
"Aku hanya ingin tahu lebih banyak tentang Advokat cantik yang gagah berani." Johan tersenyum lebar. Dia membuatku nyaman dan lepas dari kebosanan.
"Aku kira kau pendiam. Ternyata kau juga sama dengan laki laki lain."
"Oh ya. Bagian yang mana?"
"Suka menggombal! Pasti banyak wanita di sekelilingmu."
Johan tertawa lepas. Giginya yang putih dan rapi mengkilat terkena sorot lampu dari luar. "Aku masih belum punya kekasih, Sylvi. Agaknya perempuan memang tidak suka dengan tipe pria pendiam. Mungkin bagi mereka terasa membosankan."
Senyumku mengembang. Aku senang mendengar dia belum punya kekasih.
Sinar bulan menuntunku pada kenisbian. Pemandangan di seputar jalan yang kami lalui memantulkan pemandangan kerja keras pedagang asongan yang berpeluh. Mereka mengejar rejeki yang belum tentu didapatkannya malam ini. Peruntungan adalah urusan Tuhan, semoga Dia membagikannya juga untukku malam ini.
"Dapur lesehan" menyediakan segala masakan Indonesia. Mobil Johan memasuki tempat parker warung itu. Kemudian berhenti tepat di area yang kosong. Tempat makan malam itu tidak terlalu luas. Hanya diisi tiga mobil dan lebih banyak motor yang hilir mudik masuk keluar. Tempat makannya berbentuk panggung lesehan terpisah, berjarak sekira dua meter dari panggung lesehan sebelahnya. Sengaja didesain untuk pasangan muda-mudi yang sedang tidak ingin romantisme mereka terganggu.
Johan memilih tempat yang menjorok ke dalam. Terpisah beberapa kotak dari keramaian. Kami melepas sepatu dan duduk bersimpuh menghadap meja.
"Kamu makan apa?" tanya Johan. Ditangannya daftar menu beberapa kali dibolak-balik.
"Terserah kamu. Aku tidak seberapa makan banyak."
"Diet?"
"Nggak juga. Hanya selera makanku akhir-akhir ini tidak seberapa muncul. Terlalu banyak memikirkan kasus klienku."
"Aku pilihkan makanan favorit di sini, ya?"
Aku mengiyakan. Johan menekan bel di sudut meja. Tidak lama, pelayan datang dengan kertas dan pensil. Johan memilih beberapa makanan. Tidak terlalu banyak, namun cukup mengenyangkan. Sembari mendengar beberapa makanan yang dipesan Johan, otakku kembali mengingat data-data yang diberikannya.
Dokumen itu kusimpan di kamarku. Terlalu riskan bila kubawa dan sampai diketahui umum. Aku mengambil notulen kecil dari tas. Siap menulis apa saja informasi yang kuanggap berarti untuk digali.
"Apa yang kamu ketahui tentang perusahaan itu?" tanyaku memulai interogasi.
Johan terdiam sejenak. Dahinya mengerenyit. Ia berusaha mengingat kembali apa saja informasi yang dia dapat hasil peretasan dan selancar di dunia maya.
"Mulanya aku bingung harus mulai dari mana. Klienmu tidak punya apa pun yang bisa kuretas. Jangankan rekening atau transaksi keuangan, bahkan data kependudukannya pun tidak terekam. Aku menyusuri data-data korban. Aku mulai dengan transaksi keuangan dan rekening yang masih aktif. Tapi tidak ada yang aneh dan patut dicurigai. Kembali aku menyusuri semua hal yang berhubungan dengan aktifitas bisnis dan aktifitas politik korban. Untuk lebih mempercepat, aku minta bantuan teman-temanku yang lebih hebat dalam peretasan. Memang aku mendapati kecurangan, baik dalam bisnis maupun dana sumbangan politik yang tidak jelas sumbernya. Tetapi, tetap saja itu tidak ada hubungannya dengan kasus yang selama ini kau tangani. Lagi pula, tidak ada guna membuka hasil retasan orang yang sudah mati. Karena dia tidak akan bisa menyangkal dan mengiyakan. Semua buntu. Hingga aku mempunyai ide untuk meretas hal lain yang berhubungan dengan dia."
Johan menghentikan keterangannya. Pelayan mengantar minuman dan alat-alat makan. Setelah pelayan meninggalkan kami ganti aku yang bernafsu mengejar informasi selanjutnya.
"Terus?"
"Aku teringat pepatah lama. Tiga 'Ta'. Harta, tahta…."
"Stop. Aku tidak ingin pepatahmu merendahkan kaumku," kataku bersungut.
Johan menghentikan ucapannya. Bibirnya terbuka lebar. Aku tidak suka pepatah lama itu. Kenapa wanita juga diikutsertakan dalam kejatuhan seorang pria. Kalaulah seorang pria hancur karir dan martabatnya karena hubungan gelap di belakang istrinya, bukan karena kesalahan mutlak wanita selingkuhannya. Pepatah itu sangat melukai harga diriku sebagai seorang wanita.
"Maksudku bukan wanita, Syil. Tapi, cinta," kata Johan kalem.
Aku tersenyum. "Kau memang pintar mengelak di saat terdesak."
Johan berdehem. Mengangkat alisnya yang tebal dan indah. "Boleh kulanjutkan?"
Selanjutnya kalimat demi kalimat meluncur dari bibir pria ini. Satu persatu Johan menjelaskan detail isi dokumen. Laiknya seorang guru yang baik, Johan dengan sabar menjawab dan menerangkan tanpa emosi bila pertanyaan-pertanyaanku terdengar bodoh. Aku menulis cepat apa yang kuanggap penting. Beberapa kali kuminta Johan mengulang cerita yang kuanggap masih ambigu.
Kucecar dia untuk lebih berpikir tentang korelasi informasi yang dia dapatkan dengan kasus yang kutangani. Ada rasa curiga dalam hatiku. Bagaimana mungkin seorang staf IT bisa mengerti begitu banyak tentang transaksi finansial, transaksi pajak palsu dan kejahatan korporasi yang terselebung? Pun, bagaimana mungkin laki laki ini tahu banyak dengan kasus yang sedang aku tangani?
Haus informasi dan diburu waktu untuk segera menghadapi Penuntut Umum dalam sidang awal, membuatku mengesampingkan semua rasa curiga itu. Instingku yang selama ini tajam dan sangat bisa diandalkan untuk sementara kututup rapat-rapat. Johan tidak akan pergi jauh. Setelah semua ini selesai, aku akan menyelidiki pria misterius ini. Akan kukupas masa lalunya hingga dia tak bisa lagi bersembunyi bermodal senyumnya yang menawan. Kalau perlu, akan kugunakan segala cara untuk menundukkan hatinya.
Nama perusahaan multi internasional yang menguasai bisnis besar, dan dekat dengan kekuasaan membuat hatiku bergetar. Jika aku berusaha mengutak-atik perusahaan itu, maka para pebisnis, pejabat, politisi, bahkan penegak hukum akan berada di belakangnya. Ketakutan merebak menguasai hatiku. Mengusik perusahaan itu seolah membangunkan singa yang sedang tidur. Nyaliku tepar.