"Gila kau Syl!" semprot Sahat.
"Kau bertindak berlebihan, Sylvi. Itu membahayakan!" tukas Anto.
Tepat seperti dugaanku. Setelah kuceritakan petualangan akhir pekanku, kedua temanku ini menatap wajahku dengan pandangan marah yang tak ditutupi lagi. Aku diam tak membalas. Aku sadar, seharusnya aku meminta ijin dulu kepada Sahat dan Anto. Minimal menelepon dulu sebelum bergerak. Tapi aku yakin, mereka tak akan membiarkan aku pergi sendiri.
"Maaf. Aku tak sabar lagi ingin mendapatkan alat bukti," jawabku berusaha menutupi rasa bersalahku.
"Bah! Apa pula yang kau katakan itu?! Apa jadinya kalau mereka melukaimu? Bagaimana aku bisa bilang sama mama kamu!" teriak Sahat. Matanya mendelik keluar.
Aku memahami kemarahan dua sahabatku ini. Mereka merasa ikut bertanggung jawab akan keselamatanku, karena kalau saja Sahat dan Anto tidak memohon sendiri ke mama agar beliau mengijinkan aku ke Jakarta untuk bergabung dalam Law Firm ini, mama tak akan pernah melepasku.
"Sahat benar, Syl. Tak seharusnya kau bergerak sendirian." Kalimat Anto terdengar lebih dewasa. Terdengar lebih manis dibanding Sahat yang dibuai kemarahan. "Sudahlah. Tolong jangan diulangi, ya, Syl," pinta Anto laiknya seorang kakak meminta adiknya untuk tidak menyentuh narkoba.
Aku mengangguk lemah. Sahat masih terlihat bersungut-sungut. Suasana berubah hening. Udara dipenuhi kemampatan. Anto duduk di seberangku. Tangannya diletakkan bertelakan diatas meja, menopang dagunya yang pagi ini terasa kelihatan lebih berat. Sahat menghempaskan tubuhnya di sofa panjang, bersungut sungut. Beberapa kali dia bicara sendiri dalam Bahasa daerah yang tak kumengerti.
Kopi yang tadi kusuguhkan sudah tak mengepul lagi. Kekagetan akan kenekatanku membuat kopi yang tadinya panas menjadi tak tersentuh. Kuangkat gelas kopiku, menyesapnya perlahan takut mengeluarkan suara. Kukeluarkan ponselku.
"Aku punya alat bukti dari hasilku tadi malam," kataku tenang.
"Apa maksudmu?" tanya Anto masih dalam posisi tangan menopang dagu.
"Aku merekam percakapanku dengan Bang Rud tanpa diketahui mereka."
Aku menyembunyikan kebodohanku dengan tidak mengatakan kalau aku juga memperlihatkannya ke Bang Rud setelah aku merekam pembicaraannya. Sahat melompat dari sofanya. Dengan sekali gerakan dia sudah berada disampingku. Anto meletakkan telekan tangannya dari dagu, menarik kursinya mendekat.
"Cepat putar. Aku tak sabar lagi mendengarkannya," kata Sahat. Kemarahan yang tadi hinggap entah kemana lenyapnya.
Anto menunggu dengan sabar hingga aku menekan tanda `On` di ponsel.
Suara Bang Rud jelas terdengar. Sebagai bukti permulaan untuk membuka kasus yang akan meringankan Sion, rekaman ini adalah pintunya. Rekaman suara tidak lebih dari lima belas menit. Setelah selesai, wajah Sahat terlihat sumringah, kepala Anto manggut-manggut.
Hari-hari berjalan semakin berat. Hujan beberapa hari tidak turun. Kota Jakarta seolah dibakar matahari. Detik-detik kulalui dalam gersang berisi kekalutan yang mencapai ektase. Ditengah panas menyengat, aku harus bolak balik antara kantor, kepolisian dan kantor pengadilan. Selain mengurus kasus Sion, tentu saja kami juga harus mengurus berkas-berkas masalah klien lain. Namun yang paling menyita energi adalah saat kunjungan ke Sion.
Anak itu terlihat tanpa ekspresi apa pun. Tidak ada bayang ketakutan sama sekali tentang sisa hidupnya yang akan terancam. Pemuda kribo itu akan berubah sikap hanya ketika bertemu ibunya. Bibirnya bergetar, matanya terlihat berkaca-kaca. Namun, diluar itu, pertanyaanku dan pertanyaan Sahat hanya dijawabnya dengan kalimat-kalimat pendek, atau anggukan dan gelengan. Sahat yang semakin suntuk sempat terlecut amarahnya. Beberapa kali dia membentak dan menggebrak meja di depan Sion. Tetapi, apa yang diperbuatnya tidak merubah keadaan. Tetap saja tak ada jawaban memuaskan yang dapat kami peroleh.
Hawa panas terasa semakin membakar manakala kami menyadari masih belum mempunyai alat bukti yang bisa diandalkan.
Aku tidak perlu menunggu lama agar motorku kembali. Keesokan pagi setelah kejadian malam itu, kunci motorku sudah berada di tempat petugas keamanan yang berjaga di lobi. Pun, sudah berada di tempat parkir dalam keadaan bersih tercuci dengan helmetku menggantung di tempatnya. Entah bagaimana cara Johan, seorang pegawai IT perusahaan, bisa mengurus motorku hingga secepat itu. Laki-laki itu semakin diliputi misteri. Dipenuhi tanda tanya yang membaur dengan gurat kerinduanku yang rapuh.
Gas motor kutekan semakin kencang. Ditengah teriknya matahari kota Jakarta, motorku meliuk-liuk melewati satu dua mobil yang berjalan seperti siput. Kadang motorku berhenti beberapa waktu dengan menyemburkan gas monoksida yang semakin tak terkendali. Akhir pekan kota Jakarta Pusat membuat motor pun enggan bergerak. Tubuhku basah kuyup oleh keringat. Jaket kulit yang membungkus baju putihku membuatku susah tarik napas. Anak-anak kecil yang bermain air di sungai membuatku iri. Mereka terasa damai dan segar ditengah teriknya suasana seperti ini.
Aku semakin cepat memacu motorku, berharap cepat tiba di apartemen dan mengguyur tubuhku dengan air dingin. Matahari belum juga tenggelam ketika motorku mencapai parkiran. Hari ini tidak banyak yang bisa kulakukan. Hari Jumat aktifitas pegawai kantor pemerintahan tidak seperti hari biasa. Bayangan hari libur membuat semua pegawai enggan menyelesaikan pekerjaan tepat waktu.
Lobi apartemen terasa sejuk. Pendingin ruangan berkerja keras agar penghuni apartemen ini tidak pindah ke tempat lain. Bau harum penyegar ruangan membuat hidungku terasa memasuki taman indah setelah sebelumnya dihajar bau buangan gas knalpot. Lantai bersih mengkilat, beberapa bunga segar tertata rapi di samping sofa mewah dalam balutan kain jagard yang mahal. Frame sofa yang terbuat dari kayu mahogani bercahaya tertimpa lampu yang menerangi semua sudut ruangan. Kolam kecil buatan ditengah lobi dengan air mancur yang tak henti-hentinya memancarkan debit air, gemericik berpadu dengan alunan musik instrumental lembut yang mengalir tenang. Dalam hati aku berterima kasih pada mama yang telah membayari tempat tinggalku, yang untuk saat ini belum mampu kubayar sendiri dari kantong seorang advokat muda.
Masih jam tiga sore, lobi apartemenku terlihat hening. Senyum pak Udin, sekuriti apartemen yang hangat dan familiar menyambut langkahku yang terasa berat.
"Selamat sore, Bu Sylvi."
"Selamat sore Pak," Jawabku lemah tanpa senyum. Sedikit terpaksa meladeni salam petugas keamanan yang menyapa ramah.
"Ada titipan dari seseorang untuk Ibu," kata Pak Udin. Laki laki setengah baya itu tetap tersenyum ramah walaupun aku telah bersikap dingin.
Menurut informasi yang kuterima dari petugas keamanan lain, Pak Udin sudah bekerja di apartemen ini sejak peletakan batu pertama pembangunan apartemen. Umurnya belum juga lima puluh tahun, tapi kerut ketuaan mendera wajahnya. Anak Pak Udin lima. Dua laki-laki dan tiga perempuan. Semuanya tinggal di perkampungan tidak jauh dari megahnya apartemenku. Gajinya yang tidak seberapa harus dicukup-cukupkan untuk hidup di Jakarta. Untuk menambah penghasilan, Pak Udin kadang menawarkan jasanya membantu penghuni apartemen yang membutuhkan bantuan. Membawa barang belanjaan dari parkiran hingga ke kamar, menjemput anak-anak di sekolah selagi orang tua mereka tak sempat menjemput, dan segala tetek bengek keperluan keluarga lainnya.
"Terima kasih, Pak Udin."
Kutengok belakang amplop. Tanpa nama pengirim. Sedang di sampul depan hanya tertulis "To: Sylvi Wulandari. Advokat."
"Dari siapa, Pak?"
"Saya tidak tahu terlalu memperhatikan, Bu. Wajahnya tidak terlihat jelas karena masih mengenakan helm waktu memberi amplop ini. Dia hanya bilang 'Tolong berikan langsung ke Bu Sylvi, Pengacara' katanya. Dia hanya mengangguk ketika saya tanya apakah pengacara yang sering nongol di televisi akhir-akhir ini?" jawab Pak Udin lugu.
Aku tak kuasa menahan tawa. Pak Udin terlihat bangga saat menyebut namaku. Dia ingin menunjukkan bahwa petugas keamanan itu kenal dengan pengacara yang kali ini dalam sorotan media.
"Pak Udin ada-ada saja. Terima kasih, ya Pak."
Setelah menerima amplop sampul coklat itu, aku menarik dompet dari tas, mengeluarkan selembar ratusan ribu, menyelipkannya ke genggaman Pak Udin. Laki-laki itu menolak. Aku memaksanya. Dia mengangguk berkali-kali mengucapkan terima kasih. Aku yakin tanpa kukasih uang pun, Pak Udin akan tetap tersenyum dan menyampaikan amanah itu dengan baik.
Memasuki kamar, badanku terasa terbuai. Mesin pendingin ruangan kubuat sedingin mungkin. Tanpa memeriksa dulu apa isi di dalamnya, amplop tanpa nama pengirim itu kulempar begitu saja ke atas meja. Rasa ingin tahuku saat ini sedang tak berselera mengetahui segala hal. Bahkan, beberapa dokumen dan majalah yang masih belum sempat kurapikan kubiarkan tergeletak tak tersentuh. Satu minggu ini kamarku kotor tak terjamah.
Aku melepas jaket dan pakaian kerja, berganti dengan daster tipis. Kupatut sebentar tubuhku di depan kaca. Walaupun sudah dua minggu sejak perkelahianku dengan bodyguard diskotik itu, rasa ruam di tulang paha yang terkena pukulan tongkat kadang masih terasa ngilu. Untungnya beberapa bagian tubuhku yang terkena pukulan tangan kosong sembuh seperti sedia kala. Obat oles dari Johan sangat membantu sekali, membuat kulitku yang mulus tidak berbekas luka.
Aku menghempaskan tubuhku di tempat tidur. Sisa keringat yang lengket di daster tak kuhiraukan. Mataku berat, bagian tengkuk dan pundak terasa pegal. Aku harus mengistirahatkan tubuh dan otakku. Entah berapa lama aku tertidur pulas, suara bel menyalak beberapa kali. Membuat mataku mengerjap. Mulanya aku mengira alarm ponselku, tetapi setelah kesadaran mulai membuat otakku bekerja, aku terkesiap mengetahui bel kamarkulah yang mengganggu tidurku.
Hanya Sahat yang pernah main ke apartemenku. Itu pun dia harus minta ijin dulu ke bagian kemanan lobi bila ingin menemuiku. Tidak sembarang orang bisa nyelonong naik ke lantai yang dituju, kemudian tanpa pemberitahuan petugas keamanan menekan bel pintu kamar. Kali ini, tanpa pemberitahuan terlebih dahulu seseorang menekan bel pintu. Berkali-kali lagi. Kalau bukan petugas keamanan apartemen yang punya informasi penting, aku akan menuntutnya karena menganggu waktu tidurku.
Ketukan dan bel silih berganti mengagetkan. Sambil setengah terpejam, aku melangkah gontai menuju pintu tanpa memastikan dari lubang pintu makhluk apa yang sedang menganggu tidurku. Dengan kasar kulepas kunci, kubuka lebar-lebar daun pintu, siap dengan segala peraturan dan pasal-pasal dalam hukum pidana yang bisa menjeratnya. Mulutku ternganga kala sosok itu berdiri di depanku.
"Maaf, aku datang tiba tiba tanpa pemberitahuan," suara berat itu memelas.
Wajahnya yang tampan dengan tatapan mata bak telaga menyedot kewarasanku, membuatku hanya berdiri termangu tanpa mempersilahkannya masuk. Setelah rasa kantuk dan keterkejutan menghilang sempurna dari jiwa, kutekuk wajahku. Johan merasa bersalah akan kelancangannya. Aku memang merindukan wajahnya, tapi tidak hari ini. Tidak kala penampilanku tak karuan hanya berbalut daster tipis. Tidak pula saat ruanganku sedang berantakan. Namun, sklera yang membalut pupil dan iris-nya membuatku luluh.
Kubiarkan pintu depan terbuka begitu saja. Aku berbalik cepat menuju kamar tidur. Sebelum membereskan ruanganku yang kacau balau, aku harus membereskan dulu penampilanku yang tak kalah berantakannya.
"Masuklah!" teriakku jengkel.
Johan melangkah masuk. Daun pintu ditutupnya perlahan. Dari pintu kamarku yang terbuka sedikit, tanpa perintahku pria itu meghempaskan pantatnya di sofa. Sesekali Johan mencuri pandang mengitari kamar ruang tamu yang berantakan.
Dasterku sudah berganti pakaian kasual dan kaos longgar. Kutarik kursi kecil dari dapur. Kutatap dia lekat menuntut penjelasan. Aku akan melayangkan somasi. Meminta pihak manajemen untuk memecat sekuriti yang bertugas saat ini.
"Maafkan aku. Ini bukan kesalahan pihak sekuriti," katanya seolah bisa membaca jalan pikiranku.
Ingin kusemburkan sumpah serapah karena aku sedang tak ingin bermain sandiwara. "Permintaan maafmu tetap tak akan mengurungkan niatku untuk mensomasi manajemen ini. Karena perbuatanmu, anak kecil akan kehilangan kesempatan sekolah karena ayah mereka dipecat. Seorang istri akan meminta cerai karena suaminya tak juga kunjung bekerja. Dan seorang laki-laki akan kehilangan harga dirinya di mata istri dan anaknya karena tak bekerja! Semuanya karena kamu!" semburku ketus.
Johan menatapku getir. Bola matanya yang indah tak mampu mengusir kekesalan hatiku yang meluap.
"Tolong dengarkan dulu penjelasanku, Sylvi. Seperti yang kubilang tadi, mereka tak bersalah. Akulah yang salah…."
Bagai api disiram minyak, sebelum kalimatnya selesai, aku sudah menyusul dengan hamburan amunisi pedas. "Ya, kaulah aktor utamanya! Mereka adalah peran pembantu! Mereka membuka pintu lobi untukmu, mengijinkanmu naik elevator hingga depan pintu kamarku tanpa meminta ijin aku dulu. Karena kau menyuap mereka, kan?"
"Aku tidak menyuap mereka."
"Oh ya? Apakah kau menggunakan ilmu cecak? Merayap dinding di luar hingga naik sampai lantai dua puluh?" Aku semakin kesal, wajah tampan didepanku berubah menjadi wajah yang memuakkan.
"Aku … meretas sistem sekuriti apartemenmu," Jawabnya.