"Aku ingin bertemu Dorsi!"
"Apa?"
"Dorsi! Pemilik diskotek ini!" teriakku diantara kerasnya lagu regea.
Pemuda bartender itu menghentikan kocokan minumannya, melengos, menggedikkan bahunya. Dia berbeda dengan bartender culun saat pertama kali aku dan Sahat menyatroni diskotek ini. Tubuh pemuda ini kerempeng, bahunya melengkung saat mengocok minuman. Wajahnya terlihat pucat jarang terkena sinar matahari dengan kantung mata hitam menggantung.
"Aku pengacara Sion. Katakan ke Dorsi, aku ingin bertemu!" teriakku lebih keras.
Dentum sound system menelan suaraku, membuat telingaku pekak sebelum tua. Beberapa orang yang duduk di sebelah merasa terganggu dengan kehadiranku. Mereka menggeser kursinya menjauh.
Rambuku yang sebahu sengaja kuikat bentuk ekor kuda, kusembunyikan dibalik krah kemeja yang kuluruskan. Aku tampil tanpa riasan. Celana jeans dan sepatu sneaker dibalut jaket bomber hitam membalut tubuhku. Ditambah lampu disko warna warni yang berputar, penampilanku menutupi jejak jenis kelaminku dengan sempurna.
"Aku kesini dalam rangka tugas negara. Aku penegak hukum. Beritahu dimana aku bisa menemui Dorsi."
Pemuda bartender itu bergeming. Aku yakin suaraku sampai di telinganya. Kecuali dia tuna rungu. Alih-alih mengabulkan permohonanku, bartender itu menarik bibirnya mengejek.
Hawa panas di perut mengalir menekan dada, membuat kemarahanku meledak.
"Prang!"
Botol minuman bersoda yang belum separuh habis kulempar ke lantai. Beberapa tamu bergeser menjauh. Bartender itu mendelik marah.
Dia meloncati meja bar yang lumayan tinggi menggunakan bantuan kursi rendah untuk menopang gerakannya. Tanpa ba-bi-bu pemuda itu menarik lengan bajuku, mendekatkan mukaku ke mukanya. Deru napasnya menyemburkan aroma alkohol.
Aku mendelik menatap langsung matanya. "Jangan pernah menyentuhku!"
"Pergi! Atau kurobek mulutmu!" bentaknya.
"Apa yang akan kau lakukan jika aku tak mau pergi?" kataku sinis.
"Anjiing!"
Pemuda itu tak lagi bisa menahan marah. Aku sengaja memancing dia untuk membuat gerakan. Dengan sedikit bermain keringat meladeni pemuda ini, aku yakin bisa menarik perhatian para penjaga. Sekaligus pemiliknya.
Aku melirik kamera pengintai yang ada di belakang rack minuman keras. Kedipan merah dibalik lensa itu mengawasi segala gerakanku.
Sambil tersenyum mengejek ke arah kamera, aku menunduk ringan menghindari pukulan bartender yang melayang tepat ke kepala. Sambil masih tetap melihat kamera, dengan kecepatan penuh, kulayangkan pukulan ke ulu hatinya. Kepalanku membuat pemuda itu membungkuk terbatuk.
Belum juga dia berdiri tegap, lututku melesak ke selangkangannya. Pemuda itu ambruk ke lantai. Mengerang kesakitan. Tangannya bingung mendekap antara ulu hati, perut, atau kah kemaluannya.
Para tamu semburat menghindar. Mereka tidak ingin terlibat dengan masalah yang mereka tak tahu juntrungannya. Perhatianku menemui sasaran. Tiga tukang pukul berbadan dempal mendekat.
Satu orang pendek berwajah klimis, satunya lagi tinggi besar dengan berewok menutup hampir seluruh wajahnya. Dalam pandanganku dia mirip pemimpin pasukan kera dalam film planet of the apes. Lelaki yang berikutnya lumayan rapi. Berwajah indo bak "Bugsy Siegel". Tampan tapi penuh seringai kekejaman. Mereka berwajah tegang. Bersiap menerkamku.
Aku mengatur detak jantungku. Jurus-jurus beladiri yang selama ini kupelajari bergelayut satu persatu dalam otak. Menimbang gerakan apa yang akan kulakukan untuk meng-counter gerakan mereka. Tukang pukul pendek dempal meloncat mendahului rekannya. Sambil berteriak keras dia mengayukan pukulannya ke kepalaku. Seringai lebar menghias mulutnya. Ia terlihat yakin dengan sekali pukul akan membuatku tumbang.
Belum juga angin pukulan itu sampai, dengan cepat aku mengangkat kakiku yang sudah siap dengan kuda-kuda. Kuhadiahi dia dengan tendangan lurus ke arah dada. Kaki kananku bergerak penuh tenaga. Tubuh laki-laki pendek dempal itu roboh terjengkang menabrak kursi di belakangnya.
Dengan cepat dia meloncat bangun dibekap rasa malu. Seringai buas menghiasi wajahnya. Dia tak menyangka manusia di depannya yang dia kira lemah, sanggup bergerak cepat membalas pukulannya dengan tendangan.
Sambil berteriak kesetanan, tukang pukul diskotik itu mengambil kursi kosong disebelahnya, mengayunkan kursi itu ke kepalaku.
Aku memiringkan tubuh ke samping kanan tepat ketika ayunan kursi dari atas itu mendekat. Dengan gerakan berputar, aku mengambil botol minuman di meja bar. Kupukulkan botol kaca itu tepat di kepalanya.
"Prak!"
Suara botol dan tulang kepala beradu membuat Bugsy siegel dan pemimpin pasukan kera yang tadi ingin membantu tertegun sejenak. Keduanya terbelalak melihat temannya limbung dan jatuh pingsan dengan kepala bocor berdarah-darah.
Tanpa dikomando dua penjaga diskotek itu merangsek maju. Mereka segera mencecarku dengan pukulan dan tendangan. Kuladeni terjangan mereka dengan senang hati. Aku berkelit, menangkis, kemudian membalasnya dengan memasukkan pukulan dan tendangan kala pertahanan mereka terbuka.
Ruang gerak yang sempit membuatku kesulitan melepaskan tendangan, pukulan dan sikutan. Pun, suasana remang berbaur lampu warna-warni yang meliuk membuat mataku tak seberapa awas menghadapi gerakan dua tukang pukul berbadan tinggi besar itu.
Aku hanya mengandalkan insting untuk jual beli pukulan dan tendangan.
Suasana berubah kacau balau. Para pengunjung berteriak histeris. Mereka berlari ke sana kemari berhamburan menjauh, berlari ke arah pintu keluar. Ada pula beberapa tamu muda yang malah membentuk lingkaran mengelilingi kami. Rambutku sudah terurai seluruhnya. Bentuk tubuhku sudah menunjukkan identitas kelaminku, membuat mereka berteriak memberi semangat kepada satu wanita meladeni dua laki-laki garang.
Musik berhenti menyisakan lampu hologram berputar berkeliling disertai hingar-bingar kekacauan.
Belum juga pergumulan kami menelurkan pemenangnya, suara tinggi kemayu berteriak memerintahkan kami berhenti. Dua penyerangku layaknya robot yang dimatikan switch on-off-nya. Seketika menghentikan gerakan mereka.
Mata kami saling mendelik, napas kami memburu. Jaket bomberku koyak di bagian lengan. Tulang tangan dan tulang keringku ngilu, beberapa pukulan yang sempat mengenai pinggang terasa menyakitkan.
"Lady Advocat, ternyata kau!" bentak Dorsi.
Mukanya merah padam menatapku. Bopeng bekas cacar air di wajahnya terlihat menakutkan ditambah bibir tebalnya menekuk menahan amarah. Matanya yang dikelilingi warna eye shadow biru ingin menelanku bulat-bulat. Rambutnya yang disisir rapi ke samping mengkilat bersemir perpaduan hijau dan merah. Jas merah muda dipadu kemeja warna pink, dan celana pantalon warna sama membalut tubuh feminimnya.
Dua pengawal bertubuh tegap penuh otot berdiri membeku di belakangnya.
"Bubar semua! Show is over! Bubaaarr!" teriaknya melengking.
Tangannya mengibas-ngibas menyuruh penonton membubarkan diri. Dua bodyguard-nya membantu mengusir para penonton.
"Kau!" Jari telunjuknya mengarah ke hidungku. "Ikuti aku!"
Tanpa menunggu persetujuanku, Dorsi balik badan, berjalan jumawa menyibak pengunjung yang membubarkan diri.
Aku melewati beberapa pengunjung yang masih terngaga tak percaya melihat seorang wanita bisa menumbangkan seorang pria. Sekaligus meladeni dua pria lainnya.
Dorsi dan dua pengawalnya memasuki lorong sempit dengan beberapa pintu di kanan kiri. Pintu-pintu itu tertutup rapat. Diatasnya tertulis nomer kamar. Bau asap rokok menyengat berbaur dengan bau aneh yang tak kumengerti.
Aku menghitung ada lima nomer pintu tertutup yang kulewati. Dugaanku, itu adalah kamar VIP yang digunakan orang kaya dan pejabat untuk menikmati barang haram tanpa gangguan. Lorong itu pengap, sendu, hanya diterangi lampu temaram yang teronggok di dinding sebagai penunjuk jalan.
Dorsi berhenti di satu ruangan dengan pintu terkunci. Di daun pintu, plakat berbingkai emas tertulis "Owner" menggantung. Dia mengeluarkan kunci dari saku celananya, membuka daun pintu itu dengan kuncinya. Dorsi masuk ke dalam rungan itu, dan membiarkan pintu itu terbuka.
Dua pengawal mendorong tubuhku kasar mengikuti bosnya. Salah satu pengawal menutup pintu, kemudian berjaga di luar menemani salah satunya lagi.
Di dalam ruang yang sama temaramnya seperti lorong, mataku berusaha membiasakan diri dengan luas ruangan. Kamar itu tidak lebih dari enam kali lima meter. Tawaku tak dapat kutahan ketika mendapati ruang itu dipenuhi warna pink. Sofa set berlapis kulit sapi asli warna pink, meja rendah warna pink, wall paper penuh bunga pink.
Mukaku memerah mendapati beberapa foto dan gambar laki-laki bertubuh maskulin dengan pose telanjang menghias dinding. Bingkainya terbuat dari kayu dengan ukiran yang cantik, warna pink pula!
Dorsi duduk di kursi berlengan. Kaki kanannya disilangkan menumpuk kaki kiri. Dengan pandangan angkuhnya dia menyuruhku mengambil tempat duduk di sofa di depannya. Aku menghempaskan pantatku. Bantalan kasurnya terasa lembut, nyaman. Kuregangkan otot kakiku, kutekan rasa sakit yang tersisa di pinggangku. Napasku semakin tercekat saat udara pekat aroma parfum wanita mendesak paru-paruku.
Keheningan berjalan lambat. Dorsi menarik tubuhnya mendekati sofaku. Jarak kami hanya dipisahkan meja pendek. Wajahnya yang bopeng dengan hidung betet diarahkan tepat ke wajahku. Hembusan napasnya berbau rokok menerpa hidungku. Dadaku semakin sesak.
Matanya mendelik penuh kemarahan meneliti wajahku inci demi inci, menunjukkan perasaan tegas kalau dia sangat tidak menyukaiku. Atau ... dia memang tidak suka dengan jenis kaumku.
"Apa maumu?" desisnya.
"Aku ingin bertemu Bang Rud. Itu saja."
"Untuk apa?"
"Itu bukan urusanmu!" jawabku ketus.
Dorsi menggebrak meja. Asbak di atas meja terangkat hingga sisa puntung rokoknya tumpah.
"Anjing! Bangsat! Keras kepala sekali kau ini!" semprotnya.
Ludahnya semburat menjijikkan. Kutarik tubuhku, berusaha menghindari tumpahan ludahnya layaknya takut terkena air najis.
Dia mendelik pada kamera cctv yang ada di sudut ruangan. "Kau urus dia! Aku muak dengan sundal ini!"
Dorsi bangkit dari tempat duduknya. Dengan rasa putus asa dia meraih gagang pintu dan membukanya dengan kasar. Tubuhnya hilang diiringi bunyi bantingan daun pintu. Sumpah serapah masih terdengar sesaat sebelum pintu itu tertutup sempurna.
Hening. Tinggal aku sendirian di dalam ruangan penuh warna pink.
Lima belas menit aku menunggu, gagang pintu bergerak mendapat dorongan dari luar. Pintu terbuka lebar. Sesosok pria muncul dari baliknya. Mataku yang sudah terbiasa dengan suasana temaram cepat menangkap sosok pria itu.
Tingginya sekira seratus tujuh puluh sentimeter-an. Berbadan tambun. Langkahnya seolah mampu membuat lantai dan meja bergetar beriringan. Gerakannya lambat dan berat kala dia menghempaskan tubuhnya diatas sofa. Pipi lelaki yang duduk di depanku ini menggelembung, mata dan hidungnya tenggelam dalam lipatan daging yang menggunung. Dagunya hampir rata dengan lehernya yang penuh gelambir lemak. Dalam balutan jas dan kemeja dengan dua kancing atas yang terbuka, dadanya dipenuhi gambar tato yang mengerikan.
"Aku yang disebut Bang Rud. Ada kepentingan apa kau ingin menemuiku?" suaranya berat. Penuh kesombongan.
Aku menyeringai senang. Semakin dia jumawa, semakin dia akan ketakutan bila tertekan.
"Namaku Sylvi Wulandari. Aku penasehat hukum Sion."
"Apa keperluanmu di sini?"
"Dia menyebut namamu, dan aku membutuhkanmu sebagai saksi atas kasus klienku itu," jawabku tanpa basi-basi.
"Aku tak kenal nama itu," katanya melengos.
"Kau bisa mengatakan itu nanti didepan penyidik."
"Kalau aku tak mau?"
"Atas nama Undang-Undang, Penyidik bisa memanggilmu dengan paksa."
"Kalau aku menghilang?"
"Penyidik akan mengeluarkan lembar Daftar Pencarian Orang!"
Wajah pria gendut di depanku ini berubah kelabu. Kesombongan yang sedari tadi ditampakkan menguap entah kemana.
Dalam sekali gertak, keringat menghiasi dahinya. Wajahnya merah padam seperti kepiting rebus. Tubuh tambunnya tak sebesar nyalinya. Dia yang selama ini menikmati mengintimidasi orang lemah shok ketika balik diintimidasi.
Kutambahi kekagetannya dengan tekanan lebih berat lagi agar berat badannya semakin menggelembung.
"Kasus ini menarik banyak pihak karena korban adalah seorang pejabat terkenal. Bukan hanya polisi daerah, Kapolri pun sudah mengeluarkan Surat Perintah untuk mengusut tuntas kasus ini. Kalau kau tidak datang ke penyidikan atau melarikan diri, seluruh jajaran kepolisian akan mencarimu sampai ke lubang semut sekali pun."
"Tidak ada bukti yang mengaitkan aku dengan kasus ini," katanya menyeringai.
"Tersangka menyebut namamu."
Bang Rud berusah tetap tenang walau itu tak tersampaikan di perubahan mimiknya.
"Itu tidak membuktikan apa-apa," dengusnya.
Tangan lelaki gendut itu mengepal. Matanya menyala merah. Mulutnya ditarik penuh kemarahan.
"Biar penyidik yang akan menentukan hubunganmu dengan Sion," kataku enteng.
"Brak!"
Bang Rud menggebrak meja di depannya. Asbak yang sedari tadi tak punya dosa untuk kedua kalinya menjadi korban. Ia terlempar, pecah berantakan.
"Bocah sialan! Anak tak tahu diuntung! Kenapa pula dia bawa-bawa namaku!" teriaknya.
Kemenangan berpihak pada yang benar. Aku menyesap manisnya kemenangan itu walau sumir.
Laki-laki di depanku ini menangkupkan kedua tangannya di kepala, menjambak rambutnya keras sambil mulutnya terus mengeluarkan sumpah serapah.
Aku menikmati pemandangan indah di depanku. Manusia sombong ini tertekan dengan bayang kegagalannya. Berulang kali Bang Rud menarik napas panjang, kemudian mengeluarkan rokok, dan menghisap asapnya dalam-dalam. Dia bisa menguasai hatinya yang galau.
"Baiklah, apa yang bisa membuatku tidak berurusan dengan kasus ini? Aku tak mau terlibat terlalu jauh."
Asap rokok menggelembung menerpa wajahku, membuatku ingin muntah karena terpaksa menghisap zat beracun itu.
"Tidak ada jalan lain. Penuhi saja panggilan penyidik. Itu saja."
Bang Rud berusaha mengetes pengetahuanku tentang hokum. Dia berusaha mengajari ikan berenang. "Apa ada Undang-Undang yang memaksa seseorang mendatangi panggilan penyidik?"
"Pasal 224 ayat (1) Kitab Undang Undang Hukum Pidana. Kalau kau tidak mendatangi panggilan penyidik, kau diancam pidana penjara paling lama sembilan bulan!"
Sengaja aku memberi penekanan pada kata penjara.
"Aku sudah pernah dipenjara. Aku tak takut," dengus Bang Rud.
"Tidak dalam kasus ini. Kita sama-sama tahu, kasus ini bukanlah kasus penganiayaan ringan. Aku yakin kau tak akan bisa bertahan dalam kurungan selama sembilan bulan!" dengusku tak mau kalah.
Wajah Bang Rud semakin muram. Pertahanannya mulai bobol. Bang Rud berdiri, melangkah cepat ke arah pintu. Hampir saja tubuhnya yang tambun terjengkang tatkala melewati meja di depannya.
Dia membuka pintu dengan kasar, berteriak, "Dorsi! bawa koper itu!"
Tak lebih dari tiga kali helaan napas, Dorsi masuk dengan membawa koper ukuran sedang. Dia menyerahkan koper itu ke Bang Rud. Dengan kasar pula Bang Rud menerima koper itu, meletakkannya di atas meja, membukanya. Ia mengarahkan mulut koper ke hadapanku.
"Aku ingin kau dan teman-temanmu mundur dari kasus ini. Satu milyar, cash!" kata Bang Rud sembari menyorongkan koper itu.
Mataku mendelik melihat bundelan uang ratusan ribu terpampang jelas. Sekilas wajah Anto dengan segala pengeluaran kantor dan tetek bengeknya menari di atas tumpukan gambar Sang Proklamator.
Namun, bayangan itu terbakar bersama amarahku yang berkobar. Dadaku panas, napasku memburu. Kutatap dua laki-laki di hadapanku ini dengan pandangan tajam.
"Simpan uang itu! Aku tidak membutuhkannya," desisku menahan marah.
"Jangan berlagak sok suci! Kelompok kami dan kelompokmu tak ada bedanya. Kalian juga penghisap darah," ejeknya.
"Bangsat!" makiku tak mau kalah.
Dadaku serasa meledak. Aku tak kuasa lagi menahan kemarahan.
"Kalian sudah menyinggung harga diriku! Menyinggung profesi kami!" teriakku.
Tawa sengau keluar dari mulut yang terus menghamburkan asap rokok itu. "Terus? Apa yang kau inginkan?"
"Simpan kembali koper dan uang busukmu itu. Aku bisa melaporkan kalian dengan pasal penyuapan!"
"Artinya, kalau kau tidak mau menerima ini, berarti kau lebih memilih bahaya daripada kenikmatan," kata Bang Rud menyeringai.
"Ya! Kau sudah menentukan jalanmu sendiri!" timpal Dorsi.
Bang Rud menatapku tajam. Kepalanya disorongkan mendekati wajahku. Dia menyeringai. Gigi depannya yang kuning karena terlalu banyak nikotin itu membuat wajahnya semakin terlihat menjijikkan.
"Huh! Kau tidak tahu permainan apa yang sedang kau lakukan, Pengacara sombong. Kematian yang sangat menyakitkan akan menemuimu. Semua teman dekatmu, orang-orang yang kau sayangi, akan terluka karena ulahmu!" bentaknya.
Aku bergidik juga mendengar ancaman laki laki ini. Wajah mama melintas. Membayangkan mama tersakiti membuat air mataku mengambang. Bang Rud menangkap rasa gamangku.
"Menangislah. Ternyata kau tak lebih sekedar anak kucing yang manja. Ha ha ha…." Bang Rud dan Dorsi tergelak.
Aku tak mau lagi berdebat dengan manusia-manusia tak berguna ini. Kutatap dua pria menjijikkan di depanku itu dengan garang. "Tunggu saja panggilan dari penyidik!"
"Kau tidak punya bukti!"
Aku tidak menghiraukan perkataan Bang Rud. Tanpa menunggu dipersilahkan, aku bergerak cepat ke pintu sambil kutunjukkan ponselku. Perasaan hati yang bercampur aduk antara kemarahan dan ketakutan membuatku tak bisa mengontrol akal sehat. Aku ingin membalas ancaman mereka.
"Aku punya rekaman kalian!" kataku sambil tertawa mengejek.
Mereka terkejut. Mimik mereka berubah kelabu. Sebelum Bang Rud dan Dorsi membuka mulut, aku sudah membanting daun pintu itu keras. Secepat kilat aku berlari menyusuri lorong, mencari tulisan "exit".