Pengunjung restoran Jepang ini tidak terlalu ramai. Mataku sempat menghitung tak lebih dari empat meja yang terisi di antara lima belas meja yang ada. Masing-masing ruangan dipisahkan pintu geser. Beberapa ornamen Jepang berpadu dengan musik Negara Sakura yang mengalun lembut. Meja dan kursinya terbuat dari kayu pilihan. Terasa lembut tatkala tanganku bertelekan di atasnya.
Restoran ini bertempat di sebuah gedung megah di jalan HR. Rasuna Said, bukan tempat untuk orang biasa melewatkan makan siangnya. Om Sandi yang menginginkan kami bertemu di tempat ini. Kala melihat harga yang tertera di menu masakan, mataku terbelalak. Tentu saja Om Sandi yang akan membayar makan siang kami. Termasuk mahal untuk ukuran gaji seorang Pegawai Negeri.
Pria yang duduk di depanku itu masih tetap sama seperti enam tahun yang lalu. Walaupun beberapa kerut di ujung mata menggurat, dan rambut ikalnya mulai dipenuhi warna keperakan, ketampanannya tak juga hilang. Bahkan, dia terlihat lebih dewasa dan bijaksana dengan wajah segar penuh senyum. Pandangan Om Sandi masih setajam elang. Khas tatapan seorang Reserse. Dasi menggantung anggun dalam ikatan kerah baju krem. Sekilas orang pasti mengira dia seorang bankir, atau direktur di sebuah perusahaan terkemuka.
"Kau kelihatan lebih dewasa, Syl. Enam tahun telah mengubahmu menjadi wanita yang anggun dan menarik."
Aku tertawa ringan. "Om yang lebih hebat. Masih tetap seperti dulu, tampan. Beberapa helai rambut keperakan Om tidak juga membuatku pangling. Om masih menarik," pujiku tulus.
Om Sandi menyeringai. "Bagaimana kabar mamamu?"
"Ya, begitulah mama, Om. Tak pernah rela melepas aku dewasa."
Om Sandi tergelak lepas. Bayangan mama melintas dari sorot matanya. Kala masih berdinas di Surabaya sebagai Reserse, Om Sandi beberapa kali mampir ke rumah. Anto yang memperkenalkannya kepada kami. Setiap ke rumah, selalu yang ditujunya pertama adalah meja makan. Tanpa sungkan Om Sandi membuka tudung saji, mengambil piring sendiri tanpa dipersilahkan, dan menjumput apapun yang dimasak mama hari itu.
Om Sandi tak banyak bercerita tentang kehidupan peribadinya. Yang kami ketahui tentang Om Sandi adalah sudah beristri, mempunyai dua anak perempuan yang cantik.
"Mamamu wanita hebat." Ujung bibir Om Sandi terkembang. Sanjungannya pada mama menyundul langit.
"Cantik, baik hati, pintar masak dan sangat sayang padamu. Semoga keindahan wajah dan pribadinya menurun padamu."
Kugedikkan bahu, berusaha tidak menanggapi ke mana arah lari pernyataan itu.
"Oh, aku sangat merindukan sekali masakan mamamu."
Sebelum aku menyala, pelayan datang membawa masakan yang kami pesan. Pembicaraan tentang mama dan kehidupan privasiku menguap bersama menu yang kami pesan.
Tanpa sungkan lagi kugasak masakan yang tersedia tanpa dipersilahkan. Sushi, sahimi beserta tenzaru soba mengisi mulutku yang akhir-akhir ini jarang merasakan kemewahan.
"Bagaimana perkembangan kasusmu?" tanya Om Sandi di sela gigitan sashimi-nya.
Aku hanya bisa menggeleng karena mulutku dipenuhi buntalan sushi. Kusorong cepat nasi yang baru setengah kukunyah itu dengan ocha hangat sebelum pertanyaan penting Om sandi berubah dingin.
"Masih gelap, Om. Itulah kenapa saya ingin bertemu Om," jawabku tak jelas. Mulutku berpacu dalam ledakan lezatnya sushi.
Om Sandi meletakkan sumpitnya, menghirup ocha hangat, menatapku dalam. "Lebih baik kau melepaskan saja kasusmu itu, terlalu berbahaya. Biar Advokat lain yang ditunjuk Negara yang akan membelanya."
Penekanan kata "Bahaya" diucapkan Om Sandi sedikit berbisik. Tapi jelas tertangkap telingaku.
"Apa maksud, Om?" tanyaku mengakhiri gigitan terakhir Tuna Sashimi yang harusnya terasa lezat. Namun entah kenapa berubah menjadi hambar saat ini.
Om Sandi membiarkanku sebentar meneguk ocha hangat, memberiku waktu sekilas agar tak tersedak dengan letupan peringatan berikutnya.
"Kasusmu sudah jelas. Pembunuh itu sudah mengakui semuanya. Semua alat bukti sudah lengkap. Tak ada lagi gunanya kamu dan Sahat mencari alat bukti lain. Aku dengar kasus itu sebentar lagi sudah P-21."
Om Sandi membicarakan hal itu dengan ringan seolah aku dan Sahat sangat tak kompeten menanganinya. Nada meremehkan kemampuan kami terlintas jelas dalam nada suaranya. Berpacu dalam ledakan lezat potongan terakhir sashimi di mulut, aku mengejar kesangsiannya.
"Aku tahu penyidik mempunyai alat bukti yang lengkap. Semua mengarah ke perbuatan pidana yang dilakukan Sion. Tapi, satu hal yang penyidik tidak dalami. Motif Sion," jawabku tegas.
Bibir Om sandi ditarik lebar. Seuntai gigi putih terlihat di sela bibirnya yang terbuka. Dalam keadaan biasa, aku akan terpana oleh senyum indah laki laki setengah baya ini. Tapi, kali ini kemuakan merebak. Senyum itu penuh cibiran.
"Ayolah, Sylvi. Hukum kita adalah hukum positif. Selama alat bukti sudah didapat dan valid. Cukup kan? Tentang motif, tidak ada yang bisa menebak dengan pasti motif pembunuh."
Ada rasa panas menjalar dari perutku, naik perlahan ke dada, menyekat tenggorokanku hingga sejenak aku susah bernapas. Laki laki dihadapanku ini berbeda dengan laki-laki yang kukenal enam tahun yang lalu. Apakah kehidupan Jakarta begitu mudahnya membuat manusia berubah?
Belum juga rasa jengahku hilang, kalimat Om Sandi berikutnya membuatku tersentak. "Aku tahu kamu dan Sahat ke diskotek Aomora. Bertanya ke sana ke mari mencari seseorang, dan mengancam mereka agar membuka mulut."
Tanpa melihat ekspresiku, lelaki tampan di depanku itu melanjutkannya dengan enteng. "Kamu akan melaporkan diskotek tersebut untuk suatu hal yang belum jelas buktinya."
Aku tersedak. "Bagaimana … Om tahu?"
"Sylvi, aku bertugas di Mabes Polri. Dan aku adalah perwira menengah di Satuan Reserse dan Kriminal. Tentu saja banyak laporan yang masuk ke telingaku. Untuk itulah aku memperingatkan Anto. Aku tidak ingin terjadi sesuatu yang tidak aku inginkan padamu."
"Kalau Om tahu akan ada sesuatu mengerikan yang menunggu kami, bukan kah kewajiban Om untuk mencegahnya?" tuntutku tak puas.
Perwira Menengah di depanku ini tersenyum lembut. Dia membiarkan tuntutanku menghilang di udara. Enam tahun berlalu begitu cepat seiring bintang bersinar di pangkat Om Sandi. Karir polisi dihadapanku ini termasuk cemerlang. Dalam waktu tidak lama, pangkat Brigader Kepala sudah meningkat menjadi Ajun Komisaris Polisi. Tentunya Om Sandi berusaha keras untuk meraihnya. Sekolah calon perwira, menguak banyak kasus dan seabrek prestasi lain.
"Maksud Om Sandi … apakah aku harus membiarkan pemuda lugu itu dihukum mati tanpa pembelaan yang adil?"
Dia menatapku dingin, membuat ketidakpuasan di dadaku meledak.
"Membiarkan dia dibela para advokat bernyali rendah yang akan membiarkan para penuntut umum berpesta-pora dengan tuntutan tanpa perlawanan keras? Membiarkan seorang ibu melihat anak satu-satunya menjadi korban sebuah kasus yang belum jelas? Om tahu bahwa aku tidak akan melepaskan begitu saja kasus ini!"
Om Sandi melunak. Tangannya menepuk lembut tanganku yang memegang sumpit. Lelaki itu tersenyum lembut.
"Aku tak bermaksud demikian, Syl. Aku hanya tidak ingin kamu celaka. Itu saja."
Pertanyaanku yang belum mendapat jawaban kupertegas kembali.
"Kalau memang kami dalam bahaya, bukan kah tugas aparat kepolisi untuk melindungi Advokat yang sedang menjalankan tugasnya? Paling tidak Om Sandi memerintahkan anak buah Om untuk mengawasi dan melindungi kami."
Om Sandi lekat menatapku beberapa detik. Muntahan napas pendek yang keluar dari hidungnya serasa dengus keenganan.
"Ketika aku mendapat informasi bahwa pemuda itu menunjuk salah satu kantor Advokat sebagai Pembelanya, aku tidak membayangkan bahwa itu adalah Law Firm kalian. Tatkala wajahmu dan wajah Sahat muncul di televisi, sejak itu pula aku meminta beberapa anak buahku untuk mengawasi dan melindungimu bila ada bahaya. Dan, aku sudah menyalahgunakan wewenangku untuk itu. Karena bukan aku yang menangani kasus ini. Kalau pihak propam tahu, aku akan mendapat teguran keras."
Nada tulus penuh kebapakannya membuatku luluh. "Terima kasih, Om. Tapi aku akan tetap mencari alat bukti yang akan meringankan klien kami."
Perwira Polisi di depanku ini menyerah melihat kekerasan hatiku. "Baiklah kalau itu keputusan kalian. Tapi berhati-hatilah."
Dia mengeluarkan kartu nama, dan menuliskan sesuatu di balik kartu nama itu, kemudian menyodorkannya kepadaku.
"Ini kartu namaku. Alamat rumah dan telepon ada di baliknya. Kau harus menghubungi aku bila mulai terancam. Please, Sylvi, jangan bertindak gegabah. Aku tak ingin melihat wajah mamamu berlinang air mata dihadapanku."
Kalimat Om Sandi yang mengingatkanku akan mama membuatku diam termangu. Kuucapkan terima kasih padanya, dan menyimpan kartu nama Om Sand laiknya barang mewah yang sangat berharga.
Kala pamit dari Om Sandi, kepalaku penuh dengan pertanyaan tentang sosok Om Sandi yang membutuhkan jawaban. Kenapa dia sangat ingin aku mengundurkan diri dari kasus ini? Ada apa dibalik peringatannya? Untuk mendapatkan jawaban itu aku memutuskan mengunjungi diskotek itu lagi.
Kali ini sendirian.