Musik berdentum keras. Desahan manja dan liukan pinggul berpacu dengan denting berpuluh botol dan gelas yang bergesek. Hembusan napas berbau alkohol campur aduk dengan pekatnya asap rokok. Kilatan lampu disko berlari kian kemari, menyemangati para penari untuk terus melampiaskan nafsunya.
Ruangan dengan kapasitas seratusan orang ini terasa sesak. Berkali-kali aku menghindar dari terjangan liukan pantat beberapa wanita yang bergerak liar. Aku berlindung di belakang punggung Sahat bagai anak ayam yang tak ingin kehilangan induknya. Tanganku mencengkeram belakang bajunya agar tak lepas, bergerak lincah diantara lautan manusia.
Aku bersyukur tadi sudah mengganti pakaian kantorku dengan pakaian anak milenial. Semakin mendekati meja bar tender kerumunan manusia semakin rapat. Sedikit demi sedikit Sahat menyibak lautan pengunjung. Mereka membalasnya dengan wajah masam dan umpatan kotor yang tak kami hiraukan.
"Aomora", demikian Sion menyebut sebuah nama sebuah diskotik tak jauh dari kawasan blok M.
Siang tadi aku dan Sahat kembali mengunjungi Sion. Semula Sion tak mau bicara apa pun tentang Bang Rud. Semakin Sahat menekan pemuda itu, semakin tak keluar sepatah kata pun dari mulutnya. Ancaman hukuman mati yang dikenakan pada pemuda lugu itu tak membuatnya takut. Beberapa kali aku harus menahan Sahat untuk tidak mengeluarkan cacian. Aku tidak ingin kepercayaan pemuda ini padaku yang kubangun sejak awal berantakan. Perlahan dengan lemah lembut aku mengajak Sion bicara.
Aku awali dengan menunjukkan beberapa foto usang yang kudapat dari mamaknya. Sebagian besar adalah foto Sion dengan kambing dan beberapa teman kecilnya. Aku bertanya ini-itu tentang momen yang terekam. Sion memandangi lama foto-foto itu. Sejumput kemudian wajahnya yang tegang perlahan mencair.
Ketika senyuman tipis muncul dari sudut bibirnya, aku mulai mengajaknya bicara tentang masa lalunya. Mula-mula Sion agak malu malu menceritakan teman teman kecilnya. Setelah melihat sebuah foto dirinya dengan kambing kesayangannya, komunikasiku dengan Sion semakin lancar.
Tetapi, ketika kusinggung tentang Bang Rud, nama yang disebutkan kala pertama pertemuan kami, kembali pemuda itu menarik diri dari pembicaraan. Wajahnya berubah tegang, dan aku harus mengulang lagi pembicaraan dari awal tentang masa kecilnya dengan sabar. Setelah beberapa kali mengulang-ulang pembicaraan, kepercayaan Sion padaku semakin tumbuh.
"Diskotek 'Aomora'. Dekat kawasan blok M. Aku sering diajak Bang Rud ke diskotik itu," kata Sion, akhirnya.
Aku menepuk pundak Sion, memberikan foto-foto dari mamaknya, dan meninggalkan ia tenggelam dalam gulatan masa lalu. Malam ini, setelah sekian tahun aku tidak menginjak tempat hingar bingar ini, kami putuskan untuk mendatangi diskotek "Aomora".
Kami berhasil menyibak pengunjung yang menggeliat bak anjing kepanasan, menuju counter bar, menduduki dua kursi kosong. Bartendernya adalah pemuda culun yang meliukkan cocktail shaker mengelilingi tubuhnya, mengocoknya, kemudian mengisi gelas-gelas di meja dengan hasil kreasi minumannya.
"Soft drink, dua!" teriak Sahat ke arahnya.
Pemuda itu melirik sekilas tak peduli. Dia masih disibukkan dengan pelayanan pada pengunjung lain, atau sengaja tak peduli pada dua orang dewasa yang tidak memesan minuman beralkohol di diskotek. Sahat berteriak kasar. Kali ini lebih keras. Teriakannya memecah bisingnya keramaian.
Partnerku ini akhirnya mendapat perhatian dari Bartender. Pemuda itu menatap kami bergantian, pandangan enggan terpantul dari seringainya. Malas dia mengambil dua botol kecil soft drink dari lemari pendingin kecil di balik badannya.
"Satu seratus ribu!" teriaknya.
Mata Sahat melotot. Kalau saja kami tidak ada agenda lain, aku yakin dia akan mengeluarkan beberapa Pasal dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen yang bisa menjeratnya. Sahat merogoh sakunya, mengeluarkan dua lembar ratusan ribu sambil menggerutu.
Aku hanya tersenyum melihat wajahnya bersungut. Tanpa menunggu dipersilahkan, aku menyesap langsung soft drink dari botolnya tanpa sedotan. Kerongkonganku yang tadi tercekik terasa normal kembali tatkala cairan bersoda melewatinya.
Sambil berusaha menikmati disc jokey yang memutar lagu-lagu rancak dengan tehnik suara menjerit-jerit akibat piringan hitam disayat, mata kami nyalang mengitari arena. Meneliti, dan memilah dari beberapa sudut pandang berbeda. Tanpa dikomando, mata kami mencari satu tempat yang paling penting: pintu keluar.
Prepare for the worst, persiapan yang paling mudah ketika bahaya mengancam adalah melarikan diri!
Setelah terasa segar dengan minuman bersoda, Sahat mendekati bartender yang semakin bersemangat meracik minuman dengan gaya mutakhir. Beberapa kali botol cocktail shaker dilempar ke arah belakang punggungnya melesat mendekati atap. Ditangkapnya botol itu dengan tangan kiri ketika meluncur deras. Dikocoknya lagi sambil meliukkan pinggul, kemudian dituangkan isinya ke dalam gelas yang berjejer rapi.
Beberapa tamu memberikan tepukan penyemangat, merogoh dua tiga lembar puluhan ribu, meletakkannya di atas meja bar. Pemuda culun yang entah sudah berapa tahun melakukan pekerjaannya itu mengambil uang tip itu, meletakkan di dahinya. Gerakannya menjadi lebih bersemangat meliukkan pinggulnya mengiringi hentakan musik layaknya topeng monyet.
Kami mengakhiri pertunjukannya yang tak menarik itu, dan menggantinya dengan pertunjukan hukum yang lebih menghentak.
"Aku mencari Bang Rud! Katakan padanya, Sion menyampaikan salam!" teriak Sahat di tengah tepuk tangan para penikmat minuman.
Entah kaget karena teriakan Sahat, atau karena nama Bang Rud disebut, tangan kiri bartender itu tak sigap menangkap minuman yang dilempar. Botol yang terbuat dari metal itu jatuh tepat di atas meja. Isinya tumpah ruah. Sebagian cairan menyiprat mengenai pengunjung yang duduk di dekat meja bar.
Seperti mendengar nama hantu menakutkan disebut, wajah bartender itu memucat. Ketakutan bercampur kengerian membuat mulut bartender itu ternganga.
"Kami pengacara Sion! Ingin bertemu Bang Rud. Dimana dia?"
Suara khas Sahat yang keras dan parau, laiknya penyanyi rock mengulang-ulang refrain lagu yang dibawakan berpacu dengan hingar-bingar musik cadas. Pekik Advokat muda itu menimbulkan ketegangan yang aneh ke sekelilingnya. Teriakan dan tepuk tangan puluhan pria dan wanita yang tadi mengelilingi meja bartender tak lagi terdengar. Satu persatu pengunjung menghilang.
Penasaran membelitku. Sedemikian menakutkan kah Bang Rud tatkala namanya disebut orang orang berubah ketakutan? Rasa penasaranku mendapat jawaban.
Lima laki-laki bertubuh dempal muncul dari balik dinding. Kilatan lampu disko menerpa otot di lengan mereka, menunjukkan hiasan tato yang tak begitu jelas gambarnya. Aku menepuk bahu Sahat, memperingatkan dia akan bahaya yang mengancam.
Adrenalin merangkak naik merasuki peredaran darahku. Jurus-jurus pertahanan dalam martial arts yang selama ini kugeluti menyebar ke segala penjuru persendianku. Kapanpun serangan dimulai, aku akan mengikuti aliran gerakan yang sudah kuhapal.
Kelima bodyguard itu tidak menghiraukanku sama sekali. Mereka bergerak lincah mengelilingi Sahat, membuat pagar pembatas antara aku dan sahabatku. Sahat bukanlah orang yang lemah. Tubuhnya atletis dengan otot yang biasa dilatih untuk berolah raga. Tapi, Sahat bukanlah lawan ke lima laki laki ini. Walaupun dia suka berolah raga, namun dia tidak menguasai martial arts sama sekali.
Mataku mencari mata Sahat, memberinya isyarat untuk mencari pintu keluar. Tapi, si Advokat muda itu tetap tenang. Tatapannya berbisik agar aku mempercayainya.
"Apa mau kalian? Kami pengacara Sion! Kami disini dalam rangka tugas negara. Dilindungi Undang-Undang! Kalau sampai sedikit saja kulit kami lecet, aku akan menuntut kalian karena tindak penganiayaan."
Suara Sahat menggelegar. Tak nampak sedikit pun ketakutan di wajahnya. Para bodyguard dempal itu terkesima termakan gertakan Sahat.
Merasa mendapat angin, sahat melanjutkan intimidasinya. "Banyak saksi di sini! Dengan senang hati polisi akan menangkap kalian, dan mengobok-obok tempat ini. Berani sekali kalian menghalangi tugas pengacara!"
Dan, perkelahian yang belum terjadi berakhir anti klimak. Sahat menang. Kelima laki-laki itu mematung, ragu untuk melanjutkan.
Musik cadas seolah tak terpengaruh kejadian di meja bar, alunan nada-nada kerasnya terus menggetarkan botol dan gelas yang beredar.
"Mundur kalian semua!" Suara tinggi melengking menyembul bersama pemiliknya.
Lima tukang pukul diskotek itu memberi jalan. Seorang pria berumur sekira tiga puluhan dengan rambut klimis disemir merah mendekat. Pipi dan dahi pria itu penuh bopeng bekas cacar yang didempul dengan bedak tebal, terlihat mengerikan bak jalan aspal yang ditambal sekenanya.
Hidungnya seperti manuk betet. Di bawah matanya, eye shadow terlukis pekat. Yang membuatku ingin tertawa adalah sapuan gincu tebal merah darah di bibirnya yang tipis berpadu dengan seluruh pakaian yang dikenakannya; warna merah darah.
Laki-laki feminim itu melangkah gemulai sambil menyeringai. Membuat mukanya semakin memuakkan. Dia mendelik padaku. Namun pandangannya berubah mesra saat menguliti penampilan Sahat dari kaki hingga kepala.
Dia tidak menghiraukanku sama sekali. Bahkan, memilih Sahat sebagai labuhan kekenesannya.
"Aku Dorsi, pemilik diskotik ini. Ada yang bisa kubantu, Handsome?"
Kilasan bola lampu yang berputar menerpa wajah Sahat yang memerah karena lengan Dorsi berusaha memeluk lehernya. Musik berganti lirih. Entah karena program jingkrak-jingkrak berubah menjadi program dansa-dansi, atau karena disk jockey sudah dibisiki untuk menghormati suara sang empunya diskotek.
Dorsi semakin memepetkan tubuhnya ke tubuh Sahat. Anak Batak Mandailing itu berusaha melepaskan diri dari sulur gurita yang sedang berusaha menghisap ketampanannya.
Aku tak dapat menahan tawa. Suaraku tinggi melengking merambah alunan lagu mesra, namun berhenti di udara ketika Dorsi membuka jas merahnya. Lelaki jadi-jadian itu memperlihatkan gagang pistol yang terselip manja di ketiaknya.
"Kami dari Anto and partners. Pengacara yang mendampingi Sion, klien kami. Aku tahu Bang Rud sering bertandang ke sini."
Sahat mengacungkan copy surat kuasa Sion. Tapi tak ada yang menggubris selembar kertas itu.
Dorsi berusaha memeluk lengan Sahat, tapi tangan pemuda itu menyentaknya. "Jangan sentuh aku! Atau aku akan melaporkanmu ke polisi atas tuduhan Perbuatan Tidak Menyenangkan!"
Dorsi tertawa manja sambil menutup mulutnya dengan sapu tangan. "Ough, taatuutt...."
Tak nampak ketakutan di wajahnya akan ancaman Sahat.
Masih terbelenggu dengan sikap kemayu, dia menantang Sahat. "Sini, handsome, aku akan memperlakukanmu dengan perbuatanku yang saaangat menyenangkan."
Lirikan cabul dan cara Dorsi mengucapkan kalimatnya dengan mulut mecucu membuatku ingin muntah. Kalau saja gagang pistol di ketiaknya tidak menahanku, ingin kutusuk kedua matanya dengan kaleng soft drink di tanganku.
Aku tak dapat menahan diri melihat Sahat mati kutu. Laki-laki tulen sahabatku itu tak tahu bagaimana menghadapi lelaki jadi-jadian.
"Nona, eh, Tuan Dorsi! Kami ke sini dengan maksud baik. Kami hanya ingin bertemu Bang Rud. Setelah bertemu dengannya, kami akan meninggalkan tempat ini!"
Melihat aku berani membuka mulut walau gagang pistol di ketiaknya menebar hawa ancaman. Dorsi mendelik marah. Mungkin karena aku mengubah panggilannya menjadi "Tuan?"
"Sayang sekali wanita cantik seperti kamu harus pulang dengan wajah mengerikan," seringainya.
"Perkataanmu bisa aku anggap sebagai ancaman. Aku bisa melaporkanmu dengan pasal pengancaman!" bentakku tak mau kalah.
Dorsi melepas sulur guritanya dari Sahat. Berjalan gemulai mendekatiku. Seringai liar menghiasi wajahnya yang menakutkan.
"Siapa namamu?"
"Sylvi Wulandari, Magister Hukum." Sengaja kuucapkan gelar ilmuku walau aku muak mengungkapkan untuk menarik perhatiannya.
"Berapa kalian dibayar pemuda tengil itu?"
Got you! Tanpa sadar dia mengakui kenal dengan Sion.
Sebelum aku membuka mulut, Dorsi meneruskan kalimatnya. "Mundur dari pembelaannya. Aku bisa membayar kalian lebih banyak."
Aku menyeringai kecut, harga diriku sebagai Advokat terluka. "Kau kira kami bisa kalian beli?"
"Huh! Aku yakin kalian pengacara tidak laku!"
Dorsi membuatku semakin meradang. Matanya menguliti tubuhku dari kepala hingga kaki. Berhenti tepat di bagian dadaku.
"Kau cantik dan seksi, Nona. Aku akan membayarmu mahal bila bersedia bergabung dengan klubku."
Laki-laki setengah wanita ini menunjuk panggung yang di atasnya ada tiang dari logam sebesar lengan untuk penari striptis melakukan pertunjukan tengah malam. Mukaku terasa panas. Ingin sekali kutampar mulut makhluk di depanku ini. Aku paling benci direndahkan seorang laki-laki, apalagi laki-laki yang tak jelas eksistensinya. Untunglah Sahat sudah tersadar dari sihir Dorsi. Dia berusaha menengahi kami sebelum mulut Dorsi kuhancurkan dengan tendangan.
"Tuan Dorsi, aku tahu Anda bisa menyewa pengacara mahal untuk melawan kami. Kami tidak takut karena apa yang kami lakukan dilindungi undang undang," kata Sahat berusaha tetap sopan.
"Aku tahu kamu menyembunyikan Bang Rud! Asal kamu tahu, kami akan sekuat tenaga membela anak yang kalian jebak itu. Aku akan yakinkan penegak hukum bahwa dia tidak bersalah. Dan, aku akan menyeret pelaku sebenarnya ke penjara. Termasuk kamu! Apabila sedikit saja ada alat bukti yang mengarah padamu!" bentakku nerocos sambil ngos-ngosan.
Dorsi terkesima melihat ketegasan kami. Dia terdiam. Kalimat kami meretas keangkuhannya.
"Aku tak kenal dan tak tahu siapa yang kalian maksud. Tinggalkan tempat ini!" dengusnya sambil mengibaskan tangan.
Untuk malam ini, gertakan yang kami luncurkan cukup memberi hasil. Dengan gelengan kepala, Sahat memberi isyarat padaku untuk beranjak mengikutinya. Lima tukang pukul bertubuh dempal memberi kami jalan. Disc jokey kembali pada posisinya, hentakan lagu regea beriringan dengan sayatan piringan hitam, bohlam warna-warni bergerak cepat memutar, ratusan pengunjung yang tadi beristirahat meloncat kembali memenuhi arena.
Sebelum tubuh kami tenggelam dalam kerumunan mereka, aku menoleh kebelakang. Sekilas dari sinar lampu yang menari ke sana kemari, kutemukan wajah Dorsi terlihat tegang. Dia memberi instruksi pada anak buahnya sambil menunjuk-nunjuk ke pintu keluar, kemudian mengeluarkan ponselnya dari kemeja, berjalan cepat ke ruangan lain sambil ponsel tetap melekat di telinganya.
Aku tersenyum senang. Pancingan kami berhasil. Pesan kami tersampaikan.