Aku menghentikan pukulan dan tendangan di sansak tatkala suara dering ponselku menyalak. Mataku menangkap nama "Mama" di layar aplikasi.
Tanpa membuat beliau menunggu, kugeser layar sentuh ponselku ke aplikasi video call. Wajah cantik mama muncul beserta suara yang tiap hari kurindukan.
"Akhirnya muncul juga wajah cantik anak mama di televisi. Ha ha ha."
Bibir kutarik sumbang. "Ah, Mama … Norak, ah," balasku manja.
"Jadi, kamu dan law firm-mu yang menangani kasus pembunuhan itu?" Pertanyaan mama lebih ke arah penegasan.
"Iya, aku sudah dapat Surat Kuasa untuk membela si tersangka. Doakan Silvy ya, Ma." Untuk kasus ini aku benar-benar membutuhkan doa mama, bukan basi-basi ucapan anak pada ibunya.
"Tentu saja, Sayang. Tiada hari tanpa doa Mama untuk bidadari kecilku. Sudah makan? Istirahat yang cukup, jangan keluyuran sampai malam, jauhi pergaulan yang aneh-aneh di sana, terutama Jakarta kan…."
Sebelum mitraliur itu terus menerus memuntahkan peluru kekhawatiran, aku memotongnya.
"Sylvi sudah besar, Ma. Mama tidak usah khawatir, aku bisa menjaga diri." Aku menambahkan sebelum Mama sadar bahwa aku bukan bidadari kecilnya lagi.
"Lagipula, mana ada laki-laki kurang ajar yang berani mengganggu gadis mama ini?"
Mama tertawa senang. "Iya, tapi, selama kamu masih jomblo, kamu tetap bidadari kecil mama."
"Iya deh. Selamanya Silvy akan menjadi bidadari kecil mama. Walau suatu hari nanti sudah gak jomblo sekali pun."
Mama terbahak melihat wajahku memerah. Untuk gadis yang menginjak umur dua puluh enam tahun mama tetap memperlakukan aku layaknya anak kemarin sore. Entah sadar atau tidak, mama seakan lupa bahwa aku sudah bergelar Magister Hukum, sudah bekerja, dan hidup mandiri.
Berikutnya adalah menit-menit hamburan petuah. Aku mendengarkan sesekali menimpali. Napas wanita yang masih cantik di usia mendekati lima puluh itu ngos-ngosan setelah meluapkan unek-unek cinta dan kekhawatirannya.
Setelah mengucap salam, aku menutup telepon dengan bibir kutempelkan di layarnya. Mama membalasnya dengan menempelkan pipi kanannya di layar ponselnya. Selepas wajah mama menghilang dari layar, kesepian yang semula lindap berubah menjadi kesedihan yang menyelusupi nadi.
Tidak layak aku meninggalkan mama sendiri di sana. Namun, pertanyaan yang membebat masa laluku menuntut dituntaskan. Walau untuk iku aku harus meninggalkan separuh jiwaku di kota lain. Oh, betapa aku mencintai mama, dan mengutuk pria yang telah meninggalkannya.
"Misteri sialan!" umpatku.
Kuhempaskan rasa kesal dengan melesakkan pukulan dan tendangan keras ke sansak. Bantalan berisi pasir itu menjerit, bergoyang ke sana ke mari kala aku mengeluarkan desakan amarah di dada. Selimut masa lalu kehidupanku yang ingin kugali membuat aku harus jauh dari mama.
Semua pelajaran tentang bagaimana memukul dan menendang yang kudapat dari pelajaran Karate, Tae Kwon Do membuatku kesetanan melampiaskan semua yang menyesak di dada.
Satu jam berlalu penuh keringat dan jerit pasir yang terbungkus kulit. Suara dering kembali menyalak, kali ini dibarengi kedipan lampu intercom di dinding. Sedikit kesal kuangkat telepon yang menghubungkan ruanganku dengan bagian keamanan di lantai satu. Suara petugas keamanan apartemen, Pak Udin, terdengar tegas.
Seorang pria ingin menemuiku, katanya. Kulirik jam dinding, pukul sembilan malam. Masih belum terlalu larut untuk kunjungan laki-laki. Aku meminta Pak Udin untuk memindahkan telepon intercom pada laki-laki itu.
Di lobi apartemen, suara khas Sahat yang meledak mengejutkanku. "Aku harus ketemu kamu, Syl. Sorry tidak meneleponmu terlebih dulu."
Apa yang dilakukan manusia itu di sini? Baru saja kami berpisah lima jam yang lalu dia sudah minta untuk bertemu lagi. Pasti ada yang penting sehingga Sahat tidak mau menunggu sampai besok di kantor.
"Sebaiknya ini hal yang penting, atau aku akan membunuhmu!" kataku ketus dibuat-buat. Tentu saja aku dengan senang hati menerima lelaki ini.
Di lantai lobby, Suara Sahat terdengar terkekeh. "Iyalah, kalau gak penting, mana tahan aku menerima pukulan karatemu."
"Tunggu aku lima belas menit. Aku mandi sebentar."
Tanpa menunggu persetujuannya aku menutup telepon, secepat kilat berlari ke kamar mandi.
Apartemen yang kusewa bukan termasuk apartemen kelas super mewah, walau tidak juga bisa dikatakan murah. Komplek hunian apartemen ini menempati area lebih dari satu hektar. Empat gedung menjulang tinggi. Masing masing gedung mempunyai tiga puluh lantai. Lapangan tenis, tempat parkir luas, kolam renang besar dengan segala fasilitas bermain anak, dan taman indah dengan jogging track yang mengelilingi. Untuk kelas Jakarta, hunian sekelas apartemen ini tak mungkin bisa kubayar dengan hasil honorarium dari Advokat saat ini.
Awalnya aku enggan tinggal di apartemen ini. Terlalu mahal. Aku ingin kos di sebuah rumah sederhana dengan kamar yang biasa saja. Tapi, mama memaksaku untuk tinggal di sebuah tempat yang mempunyai sekuriti dua puluh empat jam, dan area yang nyaman. Mamalah yang membayar apartemen ini. Langsung dua tahun. Mulanya kutolak. Tapi perintah wanita yang sudah menjadi bagian separuh jiwaku ini tidak menerima nota pembelaan.
"Mama tidak akan mengijinkan kamu ke Jakarta bila syarat itu tidak kamu setujui," kata mama sebelum aku berangkat ke Jakarta.
Terpaksa kuiyakan. Tak akan ada guna berdebat dengan mama bila dia sudah memutuskan. Di balik lemah lembut sikap dan kecantikannya, tersirat kekerasan hati yang tak gampang goyah. Itu pula yang membuatnya rela dicoret dari ahli waris keluarga seorang bangsawan Jawa ketika memutuskan memilih laki-laki yang ditolak keluarganya.
Celakanya, lelaki yang dibelanya mati-matian itu meninggalkannya dengan anak kecil yang baru berumur tiga tahun.
"Baiklah, aku turuti keinginan mama. Tapi, tolong jangan paksa Silvy pakai mobil." Sebelum mama membantah keinginanku, aku menegaskan, "Kalau mama tidak setuju, Sylvi tidak akan tinggal di apartemen ini."
Mama tahu sifat keras kepalanya juga menurun ke anak perempuannya. Dia menyetujui syaratku. Jadilah aku satu-satunya penghuni apartemen lumayan mewah di wilayah jakarta pusat ini yang tak berkendara roda empat. Sebagai gantinya, motor 200 cc menemani aktivitasku.
Ruanganku terdiri dari satu kamar tidur, satu ruang living room, toilet bersebelahan dengan dapur yang tak pernah kupakai kecuali untuk masak air. Aku bukan tipe wanita yang sanggup menghabiskan waktu berjam-jam di dapur mencoba resep masakan atau membuat kue. Dari ruanganku di lantai dua puluh tujuh apartemen ini, aku bisa melihat panorama Kota Jakarta dari segala sudut.
Gedung tinggi nan megah ini berdiri sombong di sebelah perkampungan kumuh. Kolam renang dipisahkan tembok tinggi dengan sungai kecil hitam pekat. Mall yang terhubung dengan apartemenku bertetangga dengan rumah petak. Kala malam, aku sering menghabiskan waktu hingga dua jam untuk memandangi pemandangan itu, mencoba membayangkan bagaimana kehidupan perbedaan kelas di antara dua dunia.
Aku selalu bertanya dalam hati, apakah penghuni gedung mewah dan rumah petak itu mendapatkan kebahagian yang sama? Bisa tidur sama-sama nyenyak?
Bel di pintu menyalak diiringi ketukan keras berkali-kali. Aku menarik pegangan pintu sedikit kasar. Rambutku yang masih basah tergulung lemas dalam handuk putih. Aku hanya menggenakan celana pendek selutut dengan T-shirt lusuh waktu Sahat masuk tanpa lebih dulu kupersilahkan.
Matanya menyapu semua isi ruangan. Tidak ada barang mewah di ruanganku kecuali sofa cantik terbuat dari kayu mahoni dengan lapisan busa dan balutan kulit sapi lembut. Warna kayu frame coklat tua sesuai dengan meja dari bahan kayu yang sama. Dari jarak terpisah satu setengah meter, televisi ukuran lima puluh inch teronggok diatas TV board.
Dipojok ruangan dekat pintu, sansak yang tadi menjadi bulan-bulananku masih terayun ringan.
Mata Advokatnya yang penuh selidik mempertanyakan dari mana aku bisa menyewa apartemen seperti ini. Sekilas kilatan cemburu terlontar dari senyum sinisnya. Sebelum aku bertanya, mata elangnya sudah memberondongku dengan pertanyaan.
"Hebat! Aku tahu sekarang kenapa kau selalu menghindar jika aku ingin berkunjung ke tempatmu, little angel!"
Aku mendengus. Dia menggunakan panggilan sayang dari mama untukku."Huh! Tanpa kujawab pasti kau tahulah siapa yang menempatkan aku disini."
"Bagaimana kabar tanteku tersayang itu? Pasti masih cantik, dan ... cerewet, ya?"
Empat tahun melewatkan kuliah bersama di Surabaya, membuat Sahat tahu betul bagaimana sifat mama. Sebaliknya, mama sudah menganggap Sahat sebagai anak laki-laki yang tak pernah dilahirkannya.
Bahkan, mama pernah menyindir agar aku mengambil Sahat sebagai kekasih. Sayangnya aku tak punya rasa itu pada sahabatku.
"Baru saja aku dapat telepon dari mama, memberi ucapan selamat atas kebebasanku yang terampas," kataku kecut.
Kulelepaskan handuk dari kulit kepalaku. Tanpa sadar rambut panjangku yang basah terurai membasahi T-Shirt di bagian dada. Sahat berusaha mengalihkan pandangannya. Aku berlari ke kamar, melapisi tubuhku dengan jaket tipis dan celana panjang, kemudian keluar menemuinya.
Mulut Sahat mengerucut manyun. Mungkin ia tak puas pemandangan indah yang tadi dinikmatinya terampas.
"Resiko pekerjaan. Suka tidak suka, itulah yang akan kita hadapi. Kalau aku, sih … sudah tak sabar ingin tinggal di apartemen berkelas seperti ini," kata Sahat menggoda.
Aku merengut sinis. "Kau menggangguku malam-malam hanya untuk mengagumi apartemenku?"
"Jangan marah donk, little angel. Tentu saja aku ada kabar yang ingin kudiskusikan denganmu. Dan aku tak bisa mengatakannya lewat telepon."
Tanpa kupersilahkan dia menghempaskan tubuhnya ke sofa. Kembali dia mengangkat tubuhnya, kemudian menghempaskannya ke sofa. Tiga empat kali berulang.
"Hebat! Pasti sofa mahal. Empuk dan nyaman diduduki."
"Kau tidak ingin mencoba tempat tidurku juga? Closetku juga masih baru!" semprotku. Sahat tergelak.
"Soft drink?"
"Kopi saja Syl, itu pun kalau kau tidak keberatan."
Pasti ada hal penting yang akan dibicarakan sehingga Sahat menolak tawaran minuman kesukaannya. Pun, Sahat tidak merokok. Keinginannya minum kopi berarti aku akan melewatkan malam ini bersama dia.
"Persis seperti saat kita persiapan skripsi?" tanyaku mencoba santai, berharap jawabannya tidak seperti yang aku bayangkan.
Sahat menghela napas panjang. "Hehmh, masalah ini akan lebih sulit dari tugas kuliah yang pernah kita kerjakan. Bahkan lebih sulit dari kasus-kasus yang selama ini pernah kita tangani." Suara bariton Sahat yang serius membuat rasa penasaranku semakin mencuat.
"Oh ya?"
Sahat hanya menanggapi dengan anggukan, kemudian diam berpikir keras. Suasana yang sendu membuatku ikut terbawa. Kami terbelenggu dalam hening. Pendingin udara yang menderu mengubah aroma kopi yang kuseduh menjadi pahit dan sulit tersentuh.
Aku menyerahkan cangkir kopi panas. Sahat menerimanya dengan hati-hati, takut memecahkan keheningan. Beberapa makanan kecil yang mulai lapuk sengaja kuletakkan tanpa penutup di atas meja. Sementara menunggu Sahat menghirup kopinya aku juga melakukan hal yang sama. Membasahi mulutku dengan kafein agar membuatku terjaga dan tetap fokus.
"Setelah kau mengantar Bu Rola, aku kembali masuk ke Mapolda, menemui Sion," katanya lirih.
"Kenapa kau tidak menunggu aku?" kataku kaget. Aku melanjutkan, "Kau kan bisa menungguku mengantar Bu Rola sebentar. Tak lebih dari dua jam mengantar dan kembali ke sana."
"Maaf, Syl. Aku tak bisa menunggu lagi. Setelah melayani tanya jawab dengan para wartawan, teleponku berdering. Suara laki-laki tanpa menyebutkan identitas memintaku untuk mundur dari kasus ini."
"Kenapa? Siapa dia?"
"Pertanyaan yang sama dengan pertanyaanmu. Itulah yang membuatku penasaran dan meminta penyidik mempertemukan aku lagi dengan Sion. Awalnya penyidik keberatan, tapi setelah berargumen agak ngotot, mereka akhirnya menyerah."
Aku tahu betul bagaimana Sahat bila berdebat. Sifat bawaannya yang meledak-ledak dan tak mau kalah akan memenangkan argumentasinya dengan berbagai alasan.
"Aku kembali menemui Sion. Mencerca pemuda itu dengan bermacam pertanyaan."
"Terus?" tanyaku tak sabar.
Sahat menyeruput kopinya yang mulai dingin. Diletakkannya cangkir itu perlahan di atas meja. Rasa penasaranku mengulur panjang ingin mendengar cerita selanjutnya. Melihat aku melotot, dia mulai serius membuka mulutnya.
"Dia tak mau mengucapkan sepatah kata pun," katanya lemah.
Kuumpat dia dalam hati. Kalau tak membuahkan hasil, untuk apa dia membuat rasa penasaran membunuhku. Pandangannya bersirobok dengan pandanganku. Aku menggeleng tak percaya.
Bagaimana mungkin temanku yang lihai membuat saksi maupun terdakwa mengungkapkan apa yang selama ini tersembunyi menjadi mati kutu?
"Aku sudah menggunakan berbagai cara yang kuketahui, menggertak, mengancam, bahkan merengek aku ke dia untuk bicara. Tapi anak bodoh itu tetap bergeming. Tak satu pun kalimat keluar dari mulutnya."
"Mungkin kau terlalu keras padanya," kataku membela Sion.
"Bah! Kalau saja kau tak bawa surat kuasa itu, sudah aku sobek surat itu di depan anak dungu itu!" Pemuda di depanku yang meratapi kegagalannya itu berhenti sejenak mengatur napas. "Kasus ini semakin aneh. Berkali kali aku bilang padanya, 'Kau akan mati didepan regu tembak!'. Tetap saja anak itu tak mau bicara."
Aku mengingat kembali semua hal sejak pertemuan pertama dengan Sion. Anak itu telah membangun benteng melindungi keterdiamannya. Dia mau menandatangani Surat Kuasa hanya untuk menyenangkan ibunya. Ada hal yang dia lebih takuti daripada mati di depan regu tembak.
"Kau masih ingat apa yang dikatakan Sion saat menanda tangani Surat Kuasa itu?"
Sahat menggelengkan kepala.
"Sion menyebut nama seseorang. Kalau nggak salah dia menyebut nama 'Bang Rud'. Dan, yang lebih aneh lagi, dia mengatakan bahwa Bang Rud akan membunuhnya jika dia menandatangani surat itu."
Tanpa menunggu komentar Sahat, aku meneruskan, "Bagaimana cara Bang Rud menemui Sion di ruang tahanan?"
Sahat menatap lekat wajahku, seolah isi kepalaku ingin ditelannya bulat-bulat. "Kamu benar! Bah, bodoh sekali aku! Bagaimana mungkin aku melewatkan ini semua?"
Dia mengumpat dirinya yang telah melewatkan percikan kecil hal yang bisa menjadi petunjuk.
"Karena kau gampang marah! Kemarahan hanya akan membuatmu melepaskan detailnya," jawabku menggurui.
Sahat melengos. "Oke, berarti kita harus mulai dari kecoak busuk yang bernama Bang Rud ini!" sungutnya menutupi kekalahan.
"Ya, jadi ... apa yang kita ketahui tentang Bang Rud?"
"Tak ada!" teriak Sahat.
Aku tersenyum kecut. "Tidak ada jalan lain, coba kita cari dia di mesin pencarian, siapa tahu kita beruntung."
Aku mengambil laptopku, meletakkannya di atas meja. Sebentar kemudian kami tenggelam menekuni layar bersama bercangkir-cangkir kopi dan makanan kecil yang sudah lapuk. Kami berharap bisa menemukan petunjuk sekecil apa pun tentang kasus ini.
Malam semakin larut, lampu-lampu yang terpancar dari kamar yang berhadapan dengan kamarku telah redup, sementara kami masih terus berkutat memilah dan memilih berita yang tersaji. Namun, yang dicari tak jua kami temukan.
Kami menyerah. Larut malam Sahat pamit pulang dengan wajah kuyu. Berbeda denganku, semakin menemui jalan buntu, aku semakin tertantang. Kasus aneh ini semakin membetot rasa penasaranku. Kekuatan besar sedang melingkupi kasus ini. Kekuatan yang kuyakini akan mengorbankan seorang pemuda desa terbelakang untuk menutupi kasus sebenarnya.
Aku memang belum punya pengalaman menangani kasus kelas kakap, tetapi naluriku mengatakan bahwa Sion bukanlah tersangkanya. Dia adalah korban. Siapa pelaku sebenarnya? Apa motifnya? Tugaskulah untuk menguaknya sebagai pembela klienku.
Besok aku akan menggali dan menguliti semua hal yang berhubungan dengan kasus ini. Adrenalinku terpompa, semangatku terlecut. Aku harus bisa memecahkan kasus ini.
Geen straf zonder schuld, tiada hukuman tanpa kesalahan. Terlalu pagi untuk mengatakan Sion tidak bersalah, namun, terlalu dini pula untuk menghadapkan pemuda lugu itu pada regu tembak.